Sebagian jama’ah haji ada yang menggunakan kesempatan berziarah ke Madinah
untuk melaksanakan shalat empat puluh kali secara berturut-turut di masjid
Nabawi. Amaliah ini lebih kita kenal dengan istilah Shalat Arba’in.
Ada yang sempat menanyakan, “Ana mau tanya tentang yang namanya ARBAIN
dalam kegiatan rombongan haji. Katanya disunnahkan untuk menunaikan ibadah
sunnah Arbain yakni shalat berjamaah 40 waktu di Masjid Nabawi. Apakah kegiatan
yang dinamakan arbain ini ada tuntunannya? Karena ana sudah membaca buku-2 yang
berkaitan dengan haji & umrah tetapi tidak mendapatkan amalan sunnah
seperti yang dilakukan oleh orang-2.”
Mudah-mudahan penjelasan dibawah ini bisa menjawabnya.
Sengaja Melakukan Perjalanan Ke Masjid Nabawi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ
مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ – صلى الله عليه وسلم –
وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah bersengaja melakukan perjalanan (dalam rangka ibadah)
kecuali ke tiga masjid yaitu Masjidil Harom, masjid Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsho.” [HR. Bukhari
no. 1189 dan Muslim no. 1397, dari Abu Hurairah]
Ketiga masjid ini memiliki keutamaan dilihat dari dzatnya. As Subkiy
mengatakan, “Tidak ada satu pun tempat di muka bumi ini yang memiliki keutamaan
-dilihat dari dzatnya- sehingga seseorang bisa sengaja melakukan perjalanan ke
sana selain dari tiga masjid ini.” [Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 4/190]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun negeri lain selain tiga masjid
di atas, maka tidak boleh seorang pun bersengaja melakukan perjalanan ke sana
karena alasan kemuliaan tempatnya (dzatnya). Akan tetapi seseorang boleh
bersengaja melakukan perjalanan ke sana dalam rangka ziarah, berjihad, menuntut
ilmu, dan perkara yang disunnahkan atau yang dibolehkan lainnya.” Beliau rahimahullah
mengatakan pula, “Bersengaja melakukan perjalanan dalam rangka ziarah dan
menuntut ilmu, tujuan keduanya bukanlah pada tempat, namun pada orang yang
berada pada tempat tersebut.” [Fathul Bari, Ibnu
Hajar Al Asqolani, 4/190]
Dari sini menunjukkan bahwa sengaja melakukan perjalanan ke masjid Nabawi
dibolehkan, mengingat keutamaan masjid atau tempat tersebut.
Keutamaan Melakukan Shalat di Masjid Nabawi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى هَذَا خَيْرٌ مِنْ
أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 shalat di
masjid lainnya selain Masjidil Harom.” [HR. Bukhari no. 1190
dan Muslim no. 1394, dari Abu Hurairah]
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ
صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ
“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000
shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. Shalat di Masjidil Harom lebih
utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” [HR. Ahmad dan
Ibnu Majah no. 1406, dari Jabir bin ‘Abdillah]
Para ulama berselisih pendapat, apakah yang dimaksud dengan pengecualian
dalam hadits di atas. Perbedaan pendapat ini berasal dari perselisihan mereka,
manakah tempat yang lebih utama: Madinah ataukah Makkah?
Ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama mengatakan bahwa Makkah lebih utama
dari Madinah. Sehingga Masjidil Haram lebih utama dari Masjid Madinah. Dan ini
berkebalikan dengan pendapat Imam Malik dan pengikutnya. Sehingga menurut ulama
Syafi’iyah dan mayoritas ulama, makna hadits di atas adalah: shalat di masjid
Nabawi lebih utama dari 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom
karena shalat di Masjidil Harom lebih utama dari shalat di masjid Nabawi. [Syarh Muslim, An Nawawi]
Meninjau Hadits Shalat Arba’in
Mengenai anjuran shalat Arba’in di Madinah yaitu shalat 40 kali
berturut-turut di sana, sebagian orang berhujah dengan hadits berikut ini.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى
الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَلَّى فِى مَسْجِدِى أَرْبَعِينَ صَلاَةً لاَ
يَفُوتُهُ صَلاَةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنَ
الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ
Dari Anas bin Malik, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda, “Barangsiapa melaksanakan shalat sebanyak 40
kali shalat di masjidku (Masjid Nabawi) dalam keadaan tidak tertinggal satupun
shalat, maka akan dicatat baginya keterbebasan dari api neraka dan keselamatan
dari kemunafikan.” [HR. Ahmad no. 12605]
Syaikh Muqbil Al Wadi’iy rahimahullah –ulama hadits dari Yaman- menilai
bahwa hadits di atas tidak shahih dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Asy
Syafa’ah, hal. 281]
Syaikh Al Albani rahimahullah menilai bahwa hadits tersebut adalah hadits munkar. Syaikh juga mengatakan, “Sanad hadits ini dho’if (lemah). Ada seorang perowi bernama Nubaith yang
tidak dikenali statusnya.” [As Silsilah Adh Dho’ifah no.
364]
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if (lemah)
karena status Nubaith bin ‘Umar yang tidak diketahui. [Musnad Al Imam Ahmad bin Hambal [Takhrij Syaikh
Syu’aib Al Arnauth] no. 12605, 3/155]
Hadits ini dihukumi shahih oleh beberapa ulama seperti
al-Mundziri , al-Haitsami dan Hammad al-Anshari (Majma’ az-Zawaid 4/8,
at-Targhib wat Tarhib 2/139) berdasarkan dimasukkannya Nubaith bin Umar
dalam kitab ats-Tsiqat oleh Ibnu Hibban. Padahal Nubaith ini tidak dikenal (majhul),dan
para ulama hadits menjelaskan bahwa Ibnu Hibban memakai standar longgar dalam
kitab ini, yaitu memasukkan orang-orang yang majhul dalam
kelompok rawi yang terpercaya (tsiqah).
Sedangkan komentar Al Haitsamiy dalam Al Majma’ Az Zawa’id yang mengatakan
bahwa periwayat hadits di atas tsiqoh (terpercaya) [Majma’ Az
Zawa-id, Al Haitsamiy, 2/35], dikomentari oleh Syaikh Al Albani,
“Beliau sudah salah sangka karena Nubaith bukanlah periwayat dari kitab shahih,
bahkan dia bukan periwayat dari kutubus sittah lainnya.” [As Silsilah Adh Dho’ifah no. 364]
Perlu direnungkan, bagaimana amalan dengan pahala sebesar
ini tidak populer di kalangan sahabat dan hanya diriwayatkan oleh satu sahabat
lalu oleh satu tabi’i yang tidak dikenali dan tidak memiliki riwayat sama
sekali –tidak dalam hadits shahih maupun dha’if- kecuali hadits ini?
Maka sesungguhnya penshahihan ini tidak bisa diterima,
dan pendapat yang melemahkan hadits ini adalah pendapat yang –wallahu
a’lam- lebih kuat, dan ini adalah pendapat Syaikh al-Albani, Bin Baz,
Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan Lajnah Daimah (Komisi Tetap Fatwa di Arab Saudi).
Kesimpulan: Hadits shalat arba’in di atas adalah hadits yang lemah (dho’if).
Beberapa Catatan Tentang Praktek Shalat Arba’in
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, ada beberapa catatan
yang perlu diperhatikan seputar amalan ini, di antaranya:
1- Kadang-kadang terjadi pelanggaran
sunnah yang sudah jelas untuk mengejar pahala amalan yang masih diperselisihkan
ini. Saat musim haji, di Masjid Nabawi kita bisa dengan mudah melihat banyak
orang yang berlarian saat mendengar iqamat dikumandangkan. Hal ini mereka
lakukan untuk mengejar takbiratul ihram bersama imam. Padahal Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam- memerintahkan kita untuk mendatangi masjid dengan tenang
dan melarang kita untuk tergesa-gesa saat hendak shalat. Beliau bersabda:
«إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى
الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا
أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا»
“Jika kalian mendengar iqamat, berjalanlah untuk shalat
dengan tenang dan wibawa, jangan terburu-buru, shalatlah bersama imam
sedapatnya, dan sempurnakan sendiri bagian yang tertinggal.”
(HR. al-Bukhari no.636 dan Muslim no. 154, dan ini adalah lafazh al-Bukhari)
2- Sebagian orang tidak lagi bersemangat
untuk shalat di Masjid Nabawi setelah menyelesaikan arba’in. Hal
ini bisa mudah dilihat di penginapan para jamaah haji menjelang kepulangan dari
Madinah. Panggilan adzan yang terdengar keras dari hotel-hotel yang umumnya
dekat dari Masjid Nabawi tidak lagi dijawab sebagaimana hari-hari sebelumnya
saat program arba’in belum selesai. Jika kita melihat kondisi
para jamaah haji setelah sampai di negeri masing-masing, kita bisa melihat
kondisi yang lebih memprihatinkan lagi. Adakah ini karena keyakinan mereka
bahwa mereka telah bebas dari neraka dan kemunafikan setelah menyelesaikan
program arba’in? Jika demikian, maka amalan yang masih
diperselisihkan ini telah memberikan dampak buruk atau dipahami secara
salah. Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim –salah satu ulama yang ikut
menshahihkan amalan ini- berkata, “Perlu diketahui bahwa tujuan dari arba’in adalah
membiasakan dan memompa semangat shalat jamaah. Adapun jika setelah pulang
orang meninggalkan shalat jamaah dan meremehkan shalat, maka ia sungguh telah
kembali buruk setelah sempat baik.” [Adhwa’ul Bayan 8/336]
3- Sebagian orang memaksakan diri untuk
menginap di Madinah untuk waktu lama, sedangkan mereka tidak memiliki bekal
yang memadai. Padahal mereka perlu menyewa penginapan dan menyediakan kebutuhan
hidup yang lain. Sebagian orang yang kehabisan bekal akhirnya mengemis di
Madinah demi mengejar keutamaan arba’in.
Adapun jamaah haji Indonesia, insyaallah tidak
mengalami hal ini karena biaya hidup di Madinah sudah masuk dalam paket biaya
pelaksanaan ibadah haji yang harus dibayarkan sebelum berangkat.
Di samping itu, jika ada bekal dan waktu berlebih, lebih
baik jika digunakan untuk memperbanyak ibadah di Makkah dan Masjidil Haram yang
jelas memiliki keutamaan lebih besar.
4- Barangkali ada jamaah haji yang
memaksakan diri untuk tetap shalat di Masjid Nabawi saat sedang sakit keras demi
mengejar keutamaan arba’in. Semangat ibadah tentu sangat
dianjurkan, namun jika sampai membahayakan kesehatan, maka hal ini menjadi
tidak boleh. Dalam beberapa kasus, saya melihat bahwa memforsir tenaga secara
berlebihan selama perjalanan haji adalah salah satu faktor penyebab banyaknya
kematian para jamaah haji. Sayangnya hal ini kadang terjadi dalam ibadah yang
tidak kuat dalilnya, seperti mengulang-ulang umrah saat di Makkah. Sementara
sebagian jamaah lain justru sakit saat ibadah utama (haji) tiba waktunya,
karena sebelumnya sudah terforsir untuk ibadah-ibadah seperti ini.
5- Bagi para jamaah haji wanita, shalat
di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat di Masjid
Nabawi. Mari kita perhatikan hadits berikut ini:
عَنْ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ
السَّاعِدِيِّ، أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ، قَالَ: «قَدْ
عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ
لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ
صَلاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي
مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ
فِي مَسْجِدِي» ، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ
مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ
Dari Ummu Humaid –istri Abu Humaid as-Sa’idi-bahwa ia
telah datang kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- dan
berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi –shallallahu
‘alaihi wasallam- berkata, “Aku sudah tahu itu, dan shalatmu di
bagian dalam rumahmu lebih baik bagimu dari shalat di kamar depan.
Shalatmu di kamar depan lebih baik bagimu dari shalat di kediaman keluarga
besarmu. Shalatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu dari shalat di
masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalat di
masjidku.” Maka Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan masjid di bagian
rumahnya yang paling dalam dan paling gelap, dan ia shalat di situ sampai
bertemu Allah. (HR. Ahmad no. 27.090, dihukumi hasan oleh Ibnu Hajar)
Kita sudah mengetahui besarnya keutamaan shalat di Masjid
Nabawi. Namun bagi para wanita, shalat di rumah mereka tetap lebih baik bagi
mereka dibanding shalat di Masjid Nabawi, bahkan di Masjidil Haram. Semakin
tersembunyi tempat shalat, itu semakin baik bagi mereka. Para jamaah haji
wanita perlu meneladani Ummu Humaid yang begitu menaati sunnah Nabi –shallallahu
‘alaihi wasallam- dengan selalu shalat di rumah. Tidak seperti
sebagian jamaah haji wanita yang kadang sampai shalat di jalan-jalan kota
Makkah karena masjid-masjid penuh. Mereka bersemangat tinggi tapi tidak
didasari ilmu agama yang memadai.
Jangan
Lewatkan Pahala Jihad di Masjid Nabawi
Sebagai motivator agar para peziarah kota Madinah untuk
tidak melewatkan sebuah peluang pahala besar selama di Madinah, yakni sebuah
amalan yang tidak hanya akan bermanfaat selama musim haji saja, tapi diharapkan
bisa menerangi sisa kehidupan mereka yang akan datang. Hal ini termaktub dalam
hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ جَاءَ
مَسْجِدِي هَذَا، لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ،
فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ
ذَلِكَ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ»
Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda: “Barang siapa mendatangi masjidku ini,
tidak datang kecuali untuk kebaikan yang ingin dia pelajari atau dia ajarkan,
maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Dan barang siapa datang untuk
selain itu, maka ia laksana orang yang hanya memandang barang orang lain.”
(HR. Ibnu Majah no. 227, dihukumi shahih oleh al-Albani)
Memandang barang orang lain maksudnya adalah ia seperti
orang yang masuk ke pasar, tapi tidak menjual atau membeli, dan hanya memandang
barang orang lain sehingga tidak mendapatkan apa-apa. Hadits ini juga
menunjukkan bahwa Masjid Nabawi adalah suqul ‘ilmi (pasar
ilmu), dan selayaknya bagi orang yang masuk ke dalamnya untuk berdagang ilmu,
baik dengan menuntut ilmu atau mengajarkannya. [Mir’atul Mafatih Syarh
Misykatil Mashabih 2/456]
Shalat
Jama’ah Sebanyak Empat Puluh Hari Memang Ada Tuntunan
Shalat jama’ah di masjid nabawi adalah amal yang sangat terpuji. Bahkan
menurut pendapat yang kuat shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki itu
hukumnya wajib ‘ain.
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi
keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” [Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 107]
Akan tetapi, yang memotivasi amal yang satu ini adalah hadits yang lemah
(dho’if), ini tentu sangat disayangkan. Lebih ironi lagi jika mewajibkan untuk
berada di kota Madinah selama sepekan dalam rangka mendapatkan keutamaan arbain
ini. Andai motivasi untuk melakukan Shalat Arbain tersebut adalah hadits yang
kuat berikut ini tentu lain lagi keadaannya.
مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِى
جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ
مِنَ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
“Barangsiapa mengerjakan shalat secara ikhlas karena Allah selama
empat puluh hari dengan berjamaah dan dengan mendapatkan takbiratul ihram maka
dicatat untuknya dua kebebasan, yaitu bebas dari neraka dan bebas dari
kemunafikan.” [HR. Tirmidzi no. 241, dari Anas bin Malik]
Mengenai hadits ini, Ath Thibi menjelaskan, “Di dunia Allah akan
menyelamatkannya dari beramal sebagaimana amal orang munafik dan Allah akan
beri taufik padanya untuk beramal sebagaimana amal orang yang ikhlas. Sedangkan
di akherat nanti Allah akan menyelamatkannya dari berbagai amal yang
menyebabkan orang munafik disiksa dan Allah akan bersaksi bahwa dia bukanlah
seorang munafik. Artinya sesungguhnya orang-orang munafik jika hendak
mengerjakan shalat mereka berdiri dengan malas sedangkan keadaan orang tersebut
jelas sangat berbeda.” [Tuhfatul Ahwadzi 1/274]
Riwayat ini berasal dari Anas bin Malik, sama dengan riwayat Shalat Arba’in
di atas. Namun ada sebagian orang yang termotivasi melaksanakan shalat arba’in
dengan hadits dho’if (lemah) yang kami sebutkan di awal, ini yang keliru. Akan
tetapi, jika ia beramal shalat jama’ah sebanyak empat puluh hari berdasarkan
hadits kedua ini, maka itu tidak bisa disalahkan.
Dari hadits kedua ini, ada pelajaran penting yang bisa kita gali yaitu
keutamaan bagi orang yang mendapati takbiratul ihram bersama imam.
Penulis Tuhfatul Ahwadzi –Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al
Mubarakfuri Abul ‘Ala- mengatakan, “Dari hadits ini menunjukkan bahwa mendapati
takbiratul ihram bersama imam adalah sesuatu amalan sunnah yang sangat
ditekankan. Sampai-sampai para ulama salaf terdahulu, jika luput dari takbiratul
bersama imam, mereka demikian sedih selama tiga hari. Bahkan jika mereka luput
dari shalat jama’ah, mereka terus sedih hingga tujuh hari lamanya.” [Tuhfatul
Ahwadzi 1/274]
Dibanding arba’in yang pertama, arba’in kedua ini
memiliki beberapa perbedaan, yaitu:
1. Jumlah bilangan shalatnya dua ratus shalat dalam empat
puluh hari. Bandingkan dengan empat puluh shalat dalam delapan hari! Karenanya,
sebagian orang yang pernah mencoba mengamalkannya mengalami kesulitan yang
cukup besar, kira-kira sebanding dengan besarnya pahala yang dijanjikan.
2. Arba’in ini pelaksanaannya tidak terbatas pada Masjid
Nabawi, tapi bisa dilakukan di masjid manapun di atas muka bumi ini.
Semoga Allah meluruskan pemahaman kaum muslimin yang keliru selama ini.
Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkan ilmu dan istiqomah dalam
beramal.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi
sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar