Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitabNya:
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ
أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم بَمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ
اسْتَهْزِءُوا إِنَّ اللهَ مُخْرِجُ مَاتَحْذَرُونَ
Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap
mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati
mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah
dan RasulNya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. [at-Taubah/9 : 64].
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ
لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ
وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang
mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya
bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah,
ayat-ayatNya dan RasulNya, kamu selalu berolok-olok?”. [at Taubah/9 : 65].
لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ
كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ
طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah
beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat),
niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah
orang-orang yang selalu berbuat dosa. [at- Taubah/9 : 66].
Ayat ini menjelaskan sikap orang-orang munafik terhadap
Allah, RasulNya dan kaum mukminin. Kebencian yang selama ini mereka pendam,
terlahir dalam bentuk ejekan dan olok-olokan terhadap Allah dan RasulNya.
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir mencantumkan
sebuah riwayat dari Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi dan lainnya yang menjelaskan
kepada kita bentuk pelecehan dan olokan mereka terhadap Allah, RasulNya dan
ayat-ayatNya.
Ia berkata: Seorang lelaki munafik mengatakan:
“Menurutku, para qari (pembaca) kita ini hanyalah orang-orang yang paling rakus
makannya, paling dusta perkataannya dan paling penakut di medan perang.”
Sampailah berita tersebut kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu orang munafik itu menemui Beliau, sedangkan Beliau
sudah berada di atas ontanya bersiap-siap hendak berangkat. Ia berkata: “Wahai,
Rasulullah. Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”
Maka turunlah firman Allah.
أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ
وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ
“Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu
selalu berolok-olok?” sesungguhnya
kedua kakinya tersandung-sandung batu, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak menoleh kepadanya, dan ia bergantung di tali pelana Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Tafsir Ibnu Katsir]
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At Thobari, serta oleh Ibnu
Abi Yatim dengan sanad yang cukup, Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma
berkata:
Dalam majelis, berkatalah seorang laki-laki pada perang
Tabuk, "kami tidak pernah melihat seperti tamu-tamu kita ini, sangat
mementingkan perut (rakus), sangat pendusta dan penakut dalam pertempuran."
Maka, berkatalah seseorang kepadanya, "engkau berdusta, engkau Jelas
munafiq. Akan saya laporkan apa yang engkau ucapkan kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam."
Maka, sampailah ucapan tersebut kepada Rasul. Lalu,
turunlah ayat tersebut.
Berkata lagi Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu anhuma,
melanjutkan riwayat tadi.
Maka, saya lihat laki-laki pada perang Tabuk itu
hergantung di belakang unta Nabi, tersandung batu-batu, sambi! berkata:
"Ya, Rasulullah, kami hanya main-main, tidak sungguh-sungguh." Maka,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab "Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya, serta Rasul-Nya kalian ber-istihza'? Jangan mencari-cari
alasan. Kalian telah kafir setelah beriman".
Ayat ini menjelaskan hukum memperolok-olok Allah,
RasulNya, ayat-ayatNya, agamaNya dan syiar-syiar agama, yaitu hukumnya kafir.
Barangsiapa memperolok-olok RasulNya, berarti ia telah memperolok-olok Allah.
Barangsiapa memperolok-olok ayat-ayatNya, berarti ia telah memperolok-olok
RasulNya. Barangsiapa memperolok-olok salah satu daripadanya, berarti ia
memperolok-olok seluruhnya. Perbuatan yang dilakukan oleh kaum munafikin itu
adalah memperolok-olok Rasul dan sahabat Beliau, lalu turunlah ayat ini sebagai
jawabannya.
Sikap memperolok-olok syi’ar agama bertentangan dengan
keimanan. Dua sikap ini, dalam diri seseorang, tidak akan bisa bertemu. Oleh
karena itu, Allah menyebutkan bahwa pengagungan terhadap syiar-syiar agama
berasal dari ketaqwaan hati. Allah berfirman.
ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ
شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. [Al Hajj/22 : 32].
Makna Istihza’
Istihza’, secara bahasa artinya sukhriyah, yaitu melecehkan [lihat Lisanul Arab (I/183) dan Al Mishbaahul Munir, hlm. 787]. Ar Raghib Al Ashfahani berkata, ”Al huzu’, adalah senda-gurau tersembunyi. Kadang-kala disebut juga senda-gurau atau kelakar.” [lihat kitab Al Mufradaat, hlm. 790]
Al Baidhawi berkata, ”Al Istihza’, artinya adalah
pelecehan dan penghinaan. Dapat dikatakan haza’tu atau istahza’tu. Kedua kata
itu sama artinya. Seperti kata ajabtu dan istajabtu.” [lihat Tafsir Al
Baidhaawi (I/26)]
Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui makna
istihzaa’. Yaitu pelecehan dan penghinaan dalam bentuk olok-olokan dan kelakar.
Istihza’, Dahulu Dan Sekarang
Perbuatan mengolok-olok agama dan syi’ar-syi’ar agama ini, bukan hanya muncul pada masa sekarang; namun akarnya sudah ada sejak dahulu. Banyak sekali bentuk-bentuk istihzaa’ yang dilakukan oleh orang-orang dahulu maupun sekarang. Diantaranya:
-Dalam bentuk pelesetan-pelesetan yang menghina agama.
Bisa dikatakan, Yahudilah yang menjadi pelopor dalam membuat pelesetan-pelesetan yang isinya menghina Allah, RasulNya dan Islam. Sikap mereka ini telah disebutkan oleh Allah dalam firmanNya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا لاَ تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا
وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan
(Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi
orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. [al-Baqarah /2:104].
Raa’ina, artinya sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.
Dikala para sahabat menggunakan kata-kata ini kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, orang-orang Yahudipun memakainya pula, akan tetapi mereka
pelesetkan. Mereka katakan ru’unah, artinya ketololan yang amat sangat. Ini
sebagai ejekan terhadap Rasulullah. Oleh karena itulah, Allah menyuruh para
sahabat agar menukar perkataan raa’ina dengan unzhurna, yang juga sama artinya
dengan raa’ina.
Yahudi juga memelesetkan ucapan salam menjadi as saamu
‘alaikum, yang artinya (semoga kematianlah atas kamu). Mereka tujukan ucapan
itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebelumnya, hal sama sebenarnya telah mereka lakukan
terhadap Nabi Musa Alaihissallam. Allah menceritakannya dalam KitabNya.
وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا
هَذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوامِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ
سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَّغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنَزِيدُ
الْمُحْسِنِينَ . فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلاً غَيْرَ الَّذِي قِيلَ
لَهُمْ فَأَنزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِّنَ السَّمَآءِ بِمَا
كَانُوا يَفْسُقُونَ
Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: “Masuklah kamu ke
negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi
enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya dengan bersujud,
dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni
kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada
orang-orang yang berbuat baik. Lalu orang-orang yang mengganti perintah dengan
(mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas
orang-orang yang zhalim itu siksaan dari langit, karena mereka berbuat fasik. [al-Baqarah/2:58-59].
Mereka disuruh mengucapkan hiththah, yang artinya
bebaskanlah kami dari dosa. Namun mereka pelesetkan menjadi hinthah, yang
artinya beri kami gandum.
Memang, urusan peleset-memelesetan ini orang Yahudi
merupakan biangnya. Celakanya, sikap seperti inilah yang ditiru oleh sebagian
orang jahil. Mereka menjadikan agama sebagai bahan pelesetan. Seperti yang
dilakukan oleh para pelawak yang memelesetkan ayat-ayat Allah dan syi’ar-syi’ar
agama.
Sebagai contoh, memelesetkan firman Allah yang berbunyi “laa
taqrabuu zina” kemudian diartikan “jangan berzina hari Rabu!” Bahkan
sebagian oknum itu, ada yang berani memelesetkan arti firman Allah: Inna
lillahi wa inna ilahi raji’un, dengan arti “yang tidak berkepentingan dilarang
masuk!” dalam bentuk guyonan dan lawakan. Kepada orang seperti ini, kita
ucapakan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Demikian pula, kita sering mendengar dari sebagian orang
yang memelesetkan lafadz azan. Sebagai contoh ucapan “hayya ‘alal falaah”,
mereka pelesetkan menjadi “hayalan saja”. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk
pelesetan, yang hakikatnya adalah pelecehan dan istihzaa’ terhadap
syi’ar-syi’ar agama. Hendaklah orang-orang yang melakukannya segera bertaubat
dengan taubatan nasuha. Dan bagi para orang tua, hendaklah mencegah dan
melarang anak-anaknya, apabila mendengar anak-anak mereka melatahi
pelesetan-pelesetan bernada pelecehan tersebut. Hendaklah mereka ketahui, bahwa
perbuatan seperti itu merupakan perbuatan Yahudi.
-Dalam bentuk ejekan dan sindiran terhadap syi’ar-syi’ar
agama dan orang-orang yang mengamalkannya.
Seringkali kita mendengar sebagian orang tak bermoral mengejek wanita-wanita Muslimah yang mengenakan busana Islami dengan bercadar dan warna hitam-hitam dengan ejekan “ninja! ninja! Atau seorang Muslim yang taat memelihara jenggotnya dengan ejekan “kambing!” Atau seorang Muslim yang berpakaian menurut Sunnah tanpa isbal (tanpa menjulurkannya melebihi mata kaki) dengan ejekan: “pakaian kebanjiran”. Sering kita dapati di kantor-kantor, para pegawai yang taat menjalankan syi’ar agama ini diejek oleh rekan kerjanya yang jahil alias tolol. Sekarang ini kaum muslimin yang taat menjaga identitas keislamannya, seringkali dicap dan diejek dengan sebutan teroris dan lain sebagainya. Yang sangat memprihatinkan adalah para pelaku pelecehan dan pengejekan itu adalah dari kalangan kaum muslimin sendiri.
-Dalam bentuk sindiran terhadap Islam dan hukum-hukumnya.
Seperti orang yang mengejek hukum hudud dalam Islam, semisal potong tangan dan rajam dengan sebutan hukum barbar. Menyebut Islam sebagai agama kolot dan terkebelakang. Menyebut syariat thalak dan ta’addud zaujaat (poligami) sebagai kezhaliman terhadap kaum wanita. Atau ucapan bahwa Islam tidak cocok diterapkan pada zaman modern. Dan ucapan-ucapan sejenisnya.
–Dalam bentuk perbuatan dan bahasa tubuh atau gambar.
Seperti isyarat, istihzaa’ dalam bentuk karikatur dan sejenisnya.
Jenis-Jenis Istihza’
Istihza’ ada dua jenis.
Pertama. Istihzaa’ sharih. yaitu memperolok-olok
agama dengan ucapan secara jelas dan terang-terangan. Sebagai contoh ucapan mereka para
munafiqin kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di suatu majlis pada
perang tabuk ‘Tidaklah kami melihat orang yang lebih mementingkan perutnya,
lebih berdusta ucapannya, dan lebih penakut ketika berjumpa dengan musuh
daripada mereka para pembaca-pembaca Qur’an (yakni Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam dan para shahabatnya)’. atau seperti ucapan mereka lainnya
yang menyatakan: ‘Agama tidaklah diukur dengan jenggot kita’, yakni karena
permasalahan cukur jenggot, dan masih banyak lagi yang semisal dengan itu.
Kedua. Istihza’
ghairu sharih. Jenis ini sangat luas dan banyak sekali cabangnya.
Diantaranya adalah ejekan dan sindiran dalam bentuk isyarat tubuh. Misalnya,
seperti menjulurkan lidah, mencibirkan bibir, menggerakkan tangan atau anggota
tubuh lainnya.
Hukum Istihza’
Istihzaa’ termasuk salah satu dari pembatal-pembatal keislaman. Dalam ta’liq (syarah) terhadap kitab Aqidah Ath Thahawiyah, Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “Pembatal-pembatal keislaman sangat banyak. Diantaranya adalah juhud (pengingkaran), syirik dan memperolok-olok agama atau sebagian dari syi’ar agama –meskpin ia tidak mengingkarinya-. Pembatal-pembatal keislaman sangat banyak. Para ulama dan ahli fiqh telah menyebutkannya dalam bab-bab riddah (kemurtadan). Diantaranya juga adalah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.”
Ketika mengomentari surat At Taubah ayat 64-66 di atas,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ayat ini merupakan nash bahwasanya
memperolok-olok Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya hukumnya kafir.” [lihat Ash
Sharimul Maslul, hlm. 31 dan juga Majmu’ Fatawa (XV/48)]
Al Fakhrur Razi dalam tafsirnya mengatakan:
“Sesungguhnya, memperolok-olok agama, bagaimanapun bentuknya, hukumnya kafir.
Karena olok-olokan itu menunjukkan penghinaan; sementara keimanan dibangun atas
pondasi pengagungan terhadap Allah dengan sebenar-benar pengagungan. Dan
mustahil keduanya bisa berkumpul.” [At Tafsir Al Kabir (XVI/124)]
Ibnul Arabi menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut:
“Apa yang dikatakan oleh orang-orang munafik tersebut tidak terlepas dari dua
kemungkinan, sungguh-sungguh atau cuma berkelakar saja. Dan apapun
kemungkinannya, konsekuensi hukumnya hanya satu, yaitu kufur. Karena berkelakar
dengan kata-kata kufur adalah kekufuran. Tidak ada perselisihan diantara umat
dalam masalah ini. Karena kesungguhan itu identik dengan ilmu dan kebenaran.
Sedangkan senda gurau itu identik dengan kejahilan dan kebatilan.” [Ahkamul
Qur’an (II/964), dan lihat juga Tafsir Al Qurthubi (VIII/197)]
Ibnul Jauzi berkata: “Ini menunjukkan bahwa
sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengungkapkan kalimat kekufuran
hukumnya adalah sama.” [Zaadul Masiir (III/465)]
Al Alusi menambahkan perkataan Ibnul Jauzi di atas
sebagai berikut: “Tidak ada perselisihan diantara para ulama dalam masalah
ini.”
Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya:
“Sesungguhnya, memperolok-olok Allah dan RasulNya hukumnya kafir, dan dapat
mengeluarkan pelakunya dari agama. Karena dasar agama ini dibangun di atas
sikap ta’zhim (pengagungan) terhadap Allah dan pengagungan terhadap agama dan
rasul-rasulNya. Dan memperolok-olok sesuatu daripadanya, (berarti) menafikan
dasar tersebut dan sangat bertentangan dengannya.” [Tafsir As Sa’di (III/259)]
Ditambahkan lagi, istihza’ pada hakikatnya bertentangan
dengan keimanan. Karena hakikat keimanan adalah pembenaran terhadap Allah dan
tunduk serta patuh kepadaNya. Orang yang memperolok-olok Allah, sesungguhnya ia
menolak tunduk kepadaNya, karena ketundukan itu merupakan komposisi dari
pengangungan dan memuliakan. Sementara itu olok-olokan adalah penghinaan dan
pelecehan. Kedua perkara tersebut sangat berlawanan dan saling bertolak
belakang. Apabila salah satu ada dalam hati seseorang, maka yang lain akan
hilang. Dapatlah diketahui, bahwa istihza’, penghinaan dan pelecehan terhadap
Allah, RasulNya dan ayat-ayatNya menafikan keimanan.
Ibnu Hazm mengatakan: “Nash yang shahih telah menyatakan,
bahwa siapa saja yang memperolok-olok Allah setelah sampai kepadanya hujjah,
maka ia telah kafir.” [Al Fishal (III/299)]
Al Qadhi Iyadh berkata: “Barangsiapa mengucapkan
perkataan keji dan kata-kata yang berisi penghinaan terhadap keagungan Allah
dan kemuliaanNya, atau melecehkan sebagian dari perkara-perkara yang diagungkan
oleh Allah, atau memelesetkan kata-kata untuk makhluk yang sebenarnya hanya
layak ditujukan untuk Allah tanpa bermaksud kufur dan melecehkan, atau tanpa
sengaja melakukan ilhad (penyimpangan); jika hal itu berulang kali
dilakukannya, lantas ia dikenal dengan perbuatan itu sehingga menunjukkan
sikapnya yang mempermainkan agama, pelecehannya terhadap kehormatan Allah dan
kejahilannya terhadap keagungan dan kebesaranNya, maka tanpa ada keraguan lagi,
hukumnya adalah kafir.” [Asy Syifaa (II/1092)]
An Nawawi menyebutkan dalam kitab Raudhatuth Thalibin:
“Seandainya ia mengatakan -dalam keadaan ia minum khamar atau melakukan zina-
dengan menyebut nama Allah! Maksudnya adalah melecehkan asma Allah, maka hukumnya
kafir.” [Raudhatuth Thalibin (X/67) dan Mughnil Muhtaaj, karangan Asy Syarbini
(IV/135)]
Ibnu Qudamah mengatakan: “Barangsiapa mencaci Allah, maka
hukumnya kafir, sama halnya ia bercanda atau sungguh-sungguh. Demikian pula,
siapa saja yang memperolok-olok Allah atau ayat-ayatNya atau rasul-rasulNya
atau kitabNya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ
لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ
وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ . لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ
إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ
كَانُوا مُجْرِمِينَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang
mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya
bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah,
ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta
maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari
kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain)
di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [at-Taubah/9 : 65-66].”
Ibnu Nujaim mengatakan: “Hukumnya kafir, apabila ia
mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagiNya atau
memperolok-olok salah satu dari asma Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [Al Bahrur
Raaiq (V/129), dan lihat juga Syarah Fiqh Al Akbar, tulisan Mulaa Ali Al Qaari,
hlm. 227]
Dari penjelasan para ulama di atas dapat disimpulkan, bahwa
istihzaa’ bid din termasuk dosa besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari
agama. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memasukkan perkara ini
sebagai salah satu pembatal keislaman.
Sikap Islam Terhadap Pelaku Istihza’
Allah Azza wa Jalla berfirman dalam kitab-Nya:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ
فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا
وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ
غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ
وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam
Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka,
sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu
berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan
mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam. [an-Nisa’/4:140].
Berkaitan dengan ayat ini, Syaikh Abdurrahman As Sa’di
mengatakan dalam tafsirnya [Taisir Karimir Rahman, hlm. 228]: “Yakni Allah
telah menjelaskan kepada kamu –dari apa yang telah Allah turunkan kepadamu-
hukum syar’i berkaitan dengan menghadiri majelis-majelis kufur dan maksiat. Allah
mengatakan “bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan” yaitu dilecehkan, maka sesungguhnya kewajiban atas
setiap mukallaf (orang yang sudah baligh dan berakal sehat) apabila mendengar
ayat-ayat Allah adalah mengimaninya, mengagungkan dan memuliakannya. Itulah
maksud diturunkannya ayat-ayat Allah. Dialah Allah yang karenanya telah
menciptakan makhluk. Lawan dari iman adalah mengkufurinya, dan lawan dari
pengagungan adalah melecehkan dan merendahkannya. Termasuk di dalamnya adalah
perdebatan orang-orang kafir dan munafik untuk membatalkan ayat-ayat Allah dan
mendukung kekafiran mereka.
Demikian pula ahli bid’ah dengan berbagai jenisnya.
Argumentasi mereka untuk mendukung kebatilan mereka, termasuk bentuk pelecehan
terhadap ayat-ayat Allah; karena ayat-ayat tersebut tidak menunjukkan kecuali
hak, dan tidak memiliki konsekuensi lain selain kebenaran. Dan juga termasuk di
dalamnya, (yaitu) larangan menghadiri majelis-majelis maksiat dan kefasikan,
(dikarenakan) dalam majelis tersebut perintah dan larangan Allah dilecehkan,
hukum-hukumNya dilanggar. Dan batasan larangan ini adalah “sehingga mereka
memasuki pembicaraan yang lain”, yaitu mereka tidak lagi mengingkari
ayat-ayat Allah dan tidak melecehkannya.
Firman Allah “Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat
demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka”. Yakni jika kamu duduk
bersama mereka dalam kondisi seperti itu, maka kalian serupa dengan mereka,
karena kalian ridha dengan kekufuran dan pelecehan mereka. Orang yang ridha dengan
perbuatan maksiat, sama seperti orang yang melakukan maksiat itu sendiri.
Walhasil, barangsiapa menghadiri majelis maksiat, yang disitu Allah didurhakai
dalam majelis tersebut, maka wajib atas setiap orang yang tahu untuk
mengingkarinya apabila ia mampu, atau ia meninggalkan majelis itu bila ia tidak
mampu.”
Anehnya sebagian orang justru tertawa terbahak-bahak di
depan televisi mendengar celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan
simbol-simbol agama dan syi’ar-syi’arNya, wal iyadzu billah!
Adzab yang
disegerakan bagi pengejek Sunnah Nabi
Sesungguhnya
keyakinan yang menyatakan bahwa Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
adalah Islam dan bahwasanya Islam yang murni adalah Sunnahnya, merupakan
keyakinan yang shahih, yang selamat dan lurus. Sebagaimana perkataannya Al-Imam
Al-Barbahariy dan disepakati oleh 'ulama Ahlus Sunnah: "Ketahuilah,
bahwasanya Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam, dan tidak akan berdiri
salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya." (Syarhus Sunnah
hal.65).
Setiap apa saja yang menyelisihi keyakinan tersebut, maka itu merupakan keyakinan yang rusak, yang salah, jahiliyyah dan kebinasaan.
Dan kewajiban kita, kaum muslimin adalah mengagungkan Sunnah tersebut, menghidupkannya, mendakwahkannya dan membelanya dari orang-orang yang membenci dan memusuhinya.
Allah Ta'ala memperingatkan kita agar jangan sampai menyelisihi perintah Rasulullah, dengan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul, takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa 'adzab yang pedih." (An-Nuur:63)
Rasulullah juga memperingatkan: "Barangsiapa yang membenci Sunnahku maka dia bukan dari golonganku." (Muttafaqun 'alaih dari Anas bin Malik)
Berikut ini, akan dipaparkan riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang disegerakannya balasan dan hukuman bagi orang-orang yang memperolok-olok, meremehkan dan tidak mengagungkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
” Jangan Mendatangi Istri di Malam Hari! “
Dari Ibnu 'Abbas dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian mengetuk pintu para wanita (istri-istri) pada waktu malam hari."
Berkata (Ibnu 'Abbas): "Dan pada suatu saat Rasulullah (pernah) pulang dalam keadaan berkafilah, kemudian berjalanlah dua orang bersembunyi-sembunyi pulang kepada istrinya masing-masing, maka kedua orang tersebut mendapatkan seorang pria sedang bersama dengan istrinya."
(Sunan Ad-Darimiy
no.444; lihat juga hadits yang mirip dengan ini dalam Shahiih Al-Bukhaariy
no.1800 & 1801, Shahiih Muslim no.1928; Al-Mu'jamul Kabiir, Ath-Thabraniy
no.11626; Al-Mustadrak, Al-Hakim no.7798 dari 'Abdullah bin Rawahah; Sunan
Ad-Darimiy no.445 dari Sa'id bin Al-Musayyab, pent.)
Berkata Al-Imam An-Nawawiy: "Adapun bila safarnya dekat, istrinya pun mengharapkan kedatangannya pada malam hari, maka pulang malam pun boleh. Begitu pula apabila telah ada informasi awal (melalui telpon, surat atau lainnya, pent.) yang memberitahu akan kedatangannya kepada istri dan keluarganya, hal ini pun tidak mengapa." (Syarh Shahiih Muslim 13/71-72, lihat Dhiyaa`us Saalikiin fii Ahkaam wa Aadaabil Musaafiriin, Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuriy)
” Makanlah dengan Tangan Kanan! “
Dari Salamah bin Al-Akwa', bahwasanya seseorang pernah makan di sisi Rasulullah dengan tangan kirinya. Maka beliau berkata: "Makanlah dengan tangan kananmu!" Orang itu berkata: "Saya tidak bisa." (Maka) beliau berkata: "Kamu tidak akan bisa." Tidak ada yang menghalangi orang tersebut (untuk makan dengan tangan kanannya) melainkan hanya kesombongan.
Berkata (Salamah bin Al-Akwa'): "Maka orang itu pun (akhirnya) tidak bisa mengangkat tangan (kanan)nya ke mulutnya." (HR. Muslim no.2021)
”Jangan Memperolok-olokkan Hadits! “
Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
بَيْنَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ فِي بَرْدَيْنِ
خَسَفَ اللهُ بِهِ اْلأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيْهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Tatkala
seseorang berjalan dengan sombong di waktu pagi dan petang, maka Allah
menenggelamkannya ke dalam bumi, dia dalam keadaan terbolak-balik di dalamnya
sampai hari kiamat." (Lihat juga hadits yang mirip dengan ini dalam Shahih
Muslim no.2088; Musnad Abu 'Awwaanah I no.8565; Musnad Ahmad no.7074 dari
'Abdullah bin 'Amr, pent.)
Maka berkatalah seorang pemuda kepada Abu Hurairah: -telah disebutkan namanya- sedangkan pemuda tersebut dalam keadaan bergurau: "Wahai Abu Hurairah apakah seperti ini jalannya orang yang ditenggelamkan ke bumi itu (sambil menirukan gaya jalannya orang yang diceritakan dalam hadits tersebut, pent.)?"
Maka Abu Hurairah memukul orang tersebut dengan tangannya sehingga membekas yang hampir-hampir mematahkan tulangnya. Kemudian Abu Hurairah berkata: Untuk hidung dan mulut (kata cercaan) (lalu membaca ayat):
إِنَّا كَفَّيْنَكَ الْمُسْتَهْزِئِيْنَ
"Sesungguhnya Kami mencukupkan engkau balasan bagi orang yang suka
mengolok-olok." (Al-Hijr:95). (Sunan Ad-Darimiy no.437)
” Jangan Keluar dari Masjid setelah Adzan! “
Dari 'Abdurrahman bin Harmalah dia berkata: "Telah datang seseorang kepada Sa'id bin Al-Musayyab untuk pamitan berhaji atau 'umrah. Maka (Sa'id bin Al-Musayyab) berkata kepada orang tersebut: "Janganlah engkau pergi sehingga engkau shalat terlebih dahulu, karena sesungguhnya Rasulullah telah bersabda:
لاَ يَخْرُجُ بَعْدَ النِّدَاِ مِنَ الْمَسْجِدِ
إِلاَّ مُنَافِقٌ إِلاَّ رَجُلٌ أَخْرَجتْهُ حَاجَةٌ وَهُوَ يُرِيْدُ الرَّجْعَةَ إِلَى
الْمَسْجِدِ
"Tidaklah keluar dari masjid setelah panggilan (adzan) melainkan dia
seorang munafiq, kecuali seseorang yang keperluannya menjadikan dia harus
keluar, sedangkan dia berkeinginan untuk kembali lagi ke masjid tersebut!" Maka orang itu pun berkata:
"Sesungguhnya teman-temanku telah berada (menungguku) di Al-Hurrah ?"
Berkata
('Abdurrahman): "Orang itu pun akhirnya keluar. Maka belum selesai Sa'id
menyayangkan atas kepergian orang tersebut dengan menyebut-nyebutnya, tiba-tiba
dikhabarkan bahwa orang tersebut telah terjatuh dari kendaraannya sehingga
pahanya patah." (Sunan Ad-Darimiy no.446)
” Akibat Buruk bagi Pengolok-olok Sunnah “
Dari Abu Yahya As-Saajii dia berkata: "Kami berjalan di gang-gang Bashrah menuju ke rumah salah seorang Ahlul Hadits, maka aku mempercepat jalanku dan ada seseorang di antara kami yang jelek dalam agamanya, kemudian berkata: "Angkatlah kaki-kaki kalian dari sayap-sayapnya para Malaikat, jangan kalian mematahkannya", (seperti orang yang istihza`/memperolok-olok), maka (akhirnya) orang tersebut tidak bisa melangkah dari tempatnya sehingga kering kedua kakinya dan kemudian jatuh." (Bustaanul 'Aarifiin, Al-Imam An-Nawawiy hal.92)
”Mencuci Kedua Tangan Setelah Bangun Tidur “
Berkata Abu 'Abdillah Muhammad bin Isma'il At-Taimiy: "Aku pernah membaca di dalam sebagian kisah-kisah, bahwasanya pernah ada seorang ahlul bid'ah tatkala mendengar sabda Nabi: "Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sehingga dia mencucinya terlebih dahulu, karena dia tidak mengetahui di mana tangannya (semalam) bermalam!" (Muttafaqun 'alaih dari Abu Hurairah dan ini lafazh Muslim)
Maka ahlul bid'ah tersebut berkata -dengan cara mengejek-, "Aku mengetahui di mana tanganku bermalam di atas tempat tidur!!" Maka ketika dia bangun (di pagi hari), tangannya sungguh telah masuk ke dalam duburnya sampai ke pergelangan tangannya."
Takutlah dari Memperolok-olok Sunnah!
Berkata At-Taimiy: "Hendaklah seseorang itu merasa takut untuk menganggap ringan terhadap Sunnah-sunnah serta tempat-tempat yang seharusnya dia itu tawaqquf (diam dan berhenti serta tidak mempermasalahkannya dengan akalnya, pent.). Maka lihatlah terhadap apa yang telah sampai kepada orang tersebut akibat dari jeleknya perbuatannya!" (Bustaanul 'Aarifiin, Al-Imam An-Nawawiy hal.94)
Meskipun jumhur 'Ulama menyatakan bahwa hukum mencuci kedua tangan setelah bangun tidur (yaitu mencuci atau mengguyurkan kedua tangan dengan air sebelum mencelupkannya ke bejana) adalah mustahab, akan tetapi barangsiapa yang mengentengkan atau memperolok-olok Sunnah tersebut, maka bersiap-siaplah untuk menerima akibat yang jelek dari perbuatannya tersebut. Wallaahul Musta'aan.
”Bertaubatlah sebelum Terlambat! “
Berkata Al-Qadhiy Abu Thayyib: "Kami pernah berada di majelis "An-Nazhar" di Masjid Jami' Al-Manshur, maka tiba-tiba datanglah seorang pemuda Khurasan, kemudian bertanya tentang "Al-Mushrah", dia meminta dengan dalil-dalilnya, sampai akhirnya diberikan dalil dengan hadits Abu Hurairah yang meriwayatkan dan menjelaskan permasalahan tersebut, kemudian orang tersebut mengatakan: -sedangkan dia adalah orang yang hanif (cenderung kepada kebenaran)- "Abu Hurairah tidak bisa diterima haditsnya ...." Maka belum selesai orang itu dari perkataannya, tiba-tiba jatuh atas orang tersebut seekor ular yang besar dari atas atap masjid tersebut, sehingga manusia berlompatan dikarenakan ular tersebut dan pemuda itu pun lari darinya, sedangkan ular tersebut terus mengejarnya. Maka orang-orang mengatakan kepadanya: "Bertaubatlah, bertaubatlah!!" Dan pemuda itu pun berkata: "Aku bertaubat!" Maka akhirnya ular itu pun lenyap dan tidak terlihat bekas-bekasnya." (Siyar A'laamin Nubalaa` 2/618)
Berkata Al-Imam Adz-Dzahabiy: "Sanadnya adalah para imam."
Itulah beberapa riwayat yang tegas dan jelas tentang disegerakannya balasan bagi orang-orang yang meremehkan atau memperolok-olok Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari hal itu.
Penutup
Tulisan ini merupakan peringatan dan nasihat kepada segenap kaum muslimin dari perbuatan dosa besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Berapa banyak kita dapati bentuk-bentuk penghinaan terhadap syi’ar-syi’ar agama, pelesetan-pelesetan yang berisi sindiran terhadap agama, karikatur-karikatur lelucon yang berisi ejekan dan lain sebagainya. Khususnya banyak kita dapati anak-anak kaum muslimin melatahi bentuk-bentuk istihza’ ini. Anehnya, para orang tua diam saja melihatnya tanpa memperingatkan atau memberi hukuman terhadap anak-anak mereka. Sehingga istihzaa’ ini menjadi hal yang biasa di kalangan kaum muslimin, padahal termasuk dosa besar. Na’udzubillah min dzalika.
Bagi siapa saja yang diserahkan mengurusi urusan kaum
muslimin, hendaklah cepat tanggap mengambil tindakan terhadap setiap bentuk
pelecehan terhadap agama, apapun bentuknya. Karena hal itu termasuk kejahatan
yang harus dibasmi, dan pelakunya berhak dihukum dengan hukuman yang berat.
Kita memohon kepada Allah agar
menjadikan kita orang-orang yang mencintai Sunnah Nabi-Nya, mengamalkannya,
mengagungkannya, mendakwahkannya dan membelanya, aamiin.
Wallaahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar