Manusia adalah musuh bagi sesuatu yang tidak ia ketahui.
Begitulah makna sebuah pepatah Arab. Inilah yang menimpa sebagian orang dalam
memaknai kata sunnah. Mereka cenderung salah kaprah dalam memahami arti sunnah.
Mereka hanya memaknai sunnah sebagai suatu amalan yang apabila dilakukan
memperoleh pahala, dan jika ditinggalkan maka tidaklah mengapa. Pemahaman
seperti ini meskipun lahir dari sebagian definisi yang berkembang dalam diskursus fikih,
namun apakah dimaknai sesempit itu? Terkadang pemahaman saklek seperti
ini dapat menggiring seseorang malas untuk mengerjakan suatu amalan yang
berpahala besar, bahkan wajib, hanya dengan berasumsi ditinggalkan tidaklah
berkonsekuensi apa-apa.
Oleh sebab itu, penting kiranya kita memaknai apa
sebenarnya definisi sunnah, serta meluruskan salahkaprah yang telah mengakar
dalam benak sebagian orang.
Makna Sunnah Secara Bahasa
Jika dipandang dari sudut etimologi atau bahasa, sunnah
berarti metode atau jalan. Hal ini dapat disimpulkan dari hadis Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam yang berbunyi,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ
مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ
عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barang siapa yang mencontohkan jalan yang baik di
dalam Islam, maka ia akan mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya
setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang
mencontohkan jalan yang jelek, maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang
mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR.
Muslim: 2398)
Hadits di atas bermuara dari datangnya suku Mudhar ke
kota Madinah dalam keadaan miskin. Kondisi mereka membuat hati Rasulullah
terenyuh. Selepas itu, Rasulullah pun berkhutbah. Mendengar khutbah tersebut,
seorang sahabat serta merta menyedekahkan hartanya, pakaiannya, gandum, dan
kurma. Lantas akhirnya sahabat yang lain berbondong-bondong turut menyedekahkan
apa yang mereka punya, mengikuti sahabat yang bersedekah kali pertama. Maka
Rasulullah pun menyebutkan hadis di atas.
Dari penjelasan ini dapat kita tarik benang merah bahwa
menurut bahasa sunnah berarti metode atau jalan, yang mencakup makna konotasi
positif maupun negatif.
Makna lain dari sunnah secara bahasa adalah kebiasaan,
syariat, contoh terdahulu, dan adat.
Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ahli Fikih
Adapun jika dilihat dari sudut terminologi atau secara
istilah, maka makna sunnah sangat beragam tergantung konteks kata sunnah
itu sendiri. Hal inilah yang kerap kali mengharuskan kita untuk lebih
hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam mencerna kata sunnah yang terdapat dalam
sebuah pernyataan. Karena pengertian yang banyak ini pulalah, kita harus pandai
menempatkannya ke dalam makna yang tepat dan dibenarkan oleh syariat.
Kita mulai dari definisi yang familiar di kalangan
mayoritas manusia, yaitu definisi menurut para fukaha (ulama pakar dalam
disiplin ilmu fikih). Menurut mereka, sunnah adalah suatu amal yang dianjurkan
oleh syariat namun tidak mencapai derajat wajib atau harus.
Dalam versi lain, dan inilah yang masyhur, sunnah adalah
segala perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan
maka tidak berdosa. Makna ini memiliki beberapa kata yang serupa yaitu mustahab (dianjurkan)
ataupun mandub, salah satu tingkatan hukum-hukum syariat yang lima:
wajib, haram, makruh, mubah, dan sunnah.
Ini termasuk makna sunnah yang cukup sempit. Dalam
artian, definisi ini hanya mencakup amal yang dihukumi sebagai mustahab.
sunnah dalam makna ini terbagi menjadi dua: sunnah muakadah (dikuatkan atau
sangat dianjurkan) dan sunnah yang tidak muakadah. Contoh jenis pertama seperti
puasa senin-kamis, salat rawatib, dan lain sebagainya. Sedangkan sunnah untuk
jenis kedua seperti salat dua rakaat sebelum salat Magrib.
Akan tetapi, perlu diketahui, bahwa tidak diperkenankan
bagi kita untuk menafsirkan kalimat sunnah di dalam hadis Rasulullah, perkataan
sahabat, tabiin, atau imam-imam besar dengan makna mustahab. Karena
sejatinya sunnah itu lebih umum dari penamaan ini. sunnah terkadang meliputi mustahab,
dan terkadang wajib, bahkan hal-hal yang jika diingkari menyebabkan seseorang
terjerumus ke dalam kekufuran. Oleh karena itu, sebagian ulama salaf abad
ketiga yang menulis kitab-kitab mereka dengan judul As-Sunnah mencakup
pembahasan akidah yang wajib diyakini dan mengingkarinya adalah kekufuran.
Seperti kitab As-Sunnah karya Imam Ibnu Abi Ashim, Imam Ahmad,
Imam Al-Marwazi, dan selain mereka.
Karenanya, tidak selayaknya kita menggiring kata sunnah
yang terdapat pada ucapan sahabat, tabiin, atau imam-imam besar lainnya dengan
makna mustahab semata secara mutlak.
Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ahli Hadits
Para muhadditsun (ulama pakar hadis)
mendefinisikan sunnah sebagai segala hal yang disandarkan kepada Nabi, baik itu
berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan), maupun sifat
perangai atau sifat fisik. Baik sebelum diutus menjadi nabi ataupun setelahnya.
sunnah dalam versi ini memiliki makna yang lebih luas. Ia
tidak hanya menghimpun amal ibadah yang hukumnya sunnah, akan tetapi juga
hal-hal yang dihukumi wajib oleh ulama ahli fikih. Oleh sebab itu, jika
mendengar suatu pernyataan ini adalah sunnah atau disunnahkan, tidak berarti
hukumnya sunnah. Bisa jadi wajib, karena yang dimaksud sunnah tersebut adalah
sunnah menurut ulama ahli hadis.
Dari definisi sunnah yang telah dijelaskan, terdapat
beberapa bentuk sunnah yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
sunnah qauliyyah atau sunnah yang berupa
perkataan adalah hadis yang memuat ucapan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Salah satu contohnya ialah hadis yang diriwayatkan Umar
bin Khathtab radhiyallahu ‘anhu. Dia menceritakan bahwa ia
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya dan setiap
orang akan memperoleh sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari
no. 1 dan Muslim no. 1907)
Adapun sunnah fi’liyyah atau sunnah yang
berupa perbuatan yaitu seorang sahabat menukilkan kepada kita bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berbuat seperti ini dan seperti itu, meninggalkan ini
dan itu, sebagaimana perkataan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُحِبُّ الدُّبَّاءَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai labu.” (HR.
Tirmidzi, dalam Asy-Syama-il no. 161, Ad-Darimi 2/101, dan Ahmad no. 2/174)
Hal ini merupakan sunnah yang berwujud perbuatan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di antara sunnah fi’liyyah lainnya
adalah apa yang bersumber dari Rasulullah berupa perbuatannya yang menjelaskan
tentang salat, zakat, puasa, haji, dan selainnya. Hal ini pun termasuk sunnah fi’liyyah.
Adapun sunnah taqririyyah adalah ketika
seseorang sahabat misalnya menceritakan atau mengerjakan suatu perbuatan di
depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau pada masa
beliau saat wahyu masih turun, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam atau wahyu menetapkannya, tanpa diingkari maupun diubah.
Inilah taqrir menurut syariat di untuk suatu perbuatan.
Adapun sifat khuluqiyyah adalah sesuatu
yang disampaikan para sahabat berkaitan dengan bagaimana akhlak, perilaku, dan
perangai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana di
saat Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya ihwal akhlak Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, beliau pun menjawab,
فَإِنَّ خُلُقَ نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- كَانَ الْقُرْآنَ
“Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
Alquran.” (HR. Muslim, no. 1773)
Sedangkan sifat khalqiyyah ia adalah
sesuatu yang disampaikan oleh para sahabat berkenaan dengan sifat fisik
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti yang disebutkan
dalam beberapa hadis bahwa Rasulullah itu berbadan sedang, tidak tinggi dan
tidak pula pendek. Diceritakan pula bahwa wajah beliau putih, bak rembulan.
Juga dikabarkan bahwa Rasulullah seperti ini dan seperti itu, sebagaimana yang
diriwayatkan tentang sifat fisik beliau.
Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ahli Ushul
Fikih
Para ulama usul fikih mengungkapkan pengertian sunnah
berupa sumber hukum pensyariatan Islam setelah Alquran. Atau bisa diartikan
sebagai segala hal yang disandarkan kepada Nabi berupa perkataan, perbuatan,
dan taqrir atau ketetapan. Hal itu dikarenakan ulama usul
hanya melihat sunnah dari sisi pendalilan. Dan dalil itu hanyalah mencakup
perkataan, perbuatan, dan ketetapan.
Adapun yang berupa sifat fisik maupun akhlak, maka itu
tidak termasuk sunnah. Begitu pula yang terjadi sebelum diutusnya beliau
menjadi Nabi, atau yang berasal dari para Nabi sebelumnya, maupun generasi
setelahnya, yaitu sahabat, tabiin, dan selainnya, maka hal itu pun bukan
termasuk sunnah dalam pandangan disiplin ilmu mereka.
Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ulama Aqidah
Menurut ulama akidah, sunnah adalah antonim atau lawan
kata dari bidah. Jadi, setiap amal perbuatan yang ada contoh dan tuntunannya
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan perkara yang
diada-adakan dalam agama, maka ini masuk dalam kategori sunnah.
Atau dalam arti lain, sunnah bukan hanya sesuatu yang dinukil
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi sunnah juga
merupakan segala hal yang dijelaskan oleh Al Qur’an, sunnah, kaidah syar’iyyah,
atau yang semisalnya. Makna sunnah ini otomatis menggambarkan agama Islam
secara keseluruhan.
Hadis yang memuat pengertian ini adalah sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Maka dari itu, wajib atas kalian berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah khulafa rasyidin. Gigitlah ia dengan gigi-gigi
geraham kalian! Dan berhati-hatilah terhadap perkara baru yang diada-adakan
dalam agama. Karena setiap perkara yang baru dalam agama itu adalah bidah dan
setiap bidah itu sesat.” (HR. Abu Dawud, no. 4607, dan Tirmidzi, no.
2677)
Dengan mengetahui makna-makna sunnah di atas, semoga hati
kita semakin lapang dalam memahami suatu permasalahan. Janganlah menyempitkan
sesuatu yang sejatinya luas. Ketika mendengar kata sunnah, maka sudah
selayaknya kita tidak mencukupkan diri dengan memaknainya sebagai mustahab atau
yang dianjurkan. Sebaliknya, kita pun harus pandai memilah kata yang tepat jika
hendak menyampaikan suatu hal. Misalkan merinci makna sunnah yang dimaksud,
dengan mengucapkan, “Perbuatan ini adalah sunnah Nabi yang hukumnya wajib.”
Atau bisa pula dengan mengatakan, “Amal ini hukumnya sunnah alias mustahab.”
Semoga tulisan singkat ini bisa meluruskan kesalahpahaman
kita dalam memaknai kata sunnah dan memotivasi kita untuk terus menuntut ilmu
karena ilmu agama ini begitu luas.
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar