Prolog : Artikel berikut merupakan paparan kisah seputar
hari-hari wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang diambil dari
riwayat-riwayat yang valid. Seleksi validitas riwayat dinukil dari telaahan
Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umari hafidhahullah dalam bukunya : As-Siirah
An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah : Muhaawalatun li-Tathbiiqi Qawaaidil-Muhadditsiin
fii Naqdi Riwaayaati As-Siirah An-Nabawiyyah. Di akhir pembahasan kami lengkapi
dengan penjelasan Mamduh Farhan Al-Buhairi mengenai syubuhaat Syi’ah yang
mengklaim bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak wafat di pangkuan
’Aisyah, tapi di pangkuan ’Ali bin Abi Thalib.
Sekitar tiga bulan sepulang menunaikan haji wada’, beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menderita sakit yang cukup
serius.
àIbnu Katsir berkata bahwa wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam adalah 81 hari setelah pelaksanaan hari haji akbar [Al-Bidaayah
wan-Nihaayah, 5/101].
Beliau pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Ummul-Mukminin
Maimunah radliyallaahu ’anhaa.
àIbnu Hajar berkata bahwa itu merupakan pendapat yang mu’tamad. Ada beberapa
riwayat lain yang bertolak-belakang yang menyatakan bahwa beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Zainab
binti Jahsy atau Raihaanah [Fathul-Baariy, 8/129].
Beliau sakit selama
10 hari,
àSulaiman At-Taimiy memastikan pendapat ini. Riwayat
ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad shahih. Dan menurut pendapat
kebanyakan ulama, bahwasannya beliau jatuh sakit selama 13 hari [Fathul-Baariy,
8/129].
dan akhirnya wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul-Awwal pada usia
63 tahun. [Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/150).]
àAl-Haafidh berpegang pada pendapat/perkataan Abu
Mikhnaf bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat pada tanggal 2 Rabi’ul-Awwal. Tambahan angka 1
di depan angka 2 sehingga menjadi 12 merupakan kesalahan [Fathul-Baariy,
8/130].
Dan telah shahih (satu riwayat yang menyatakan) bahwa sakit beliau tersebut
telah dirasakan semenjak tahun ketujuh pasca penaklukan Khaibar, yaitu setelah
beliau mencicipi sepotong daging panggang yang telah dibubuhi racun yang
disuguhkan oleh istri Sallaam bin Masykam Al-Yahudiyyah. Walaupun beliau sudah
memuntahkannya dan tidak sampai menelannya, namun pengaruh racun tersebut masih
tersisa. [Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/131).]
Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam meminta ijin kepada
istri-istrinya agar diperbolehkan untuk dirawat di rumah ’Aisyah
Ummul-Mukminiin. [Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/141) dan Musnad
Ahmad (Fathur-Rabbaaniy 21/226) dengan sanad shahih.]
Ia (’Aisyah) mengusap-usapkankan tangan beliau pada badan beliau sambil
membacakan surat Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas). [Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/131).]
Ketika beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dalam keadaan
kritis, beliau berkata kepada para shahabat :
هلموا أكتب
لكم كتابًَا لا تضلوا بعده
”Kemarilah, aku ingin menulis untuk kalian yang dengan
itu kalian tidak akan tersesat setelahnya”.
Terjadi perselisihan di antara mereka. Sebagian berkeinginan memberikan
alat-alat tulis (sebagaimana permintaan beliau), sebagian yang lain tidak
setuju karena khawatir hal itu justru akan memberatkan beliau. Belakangan
menjadi jelas bahwa perintah untuk menghadirkan alat tulis itu bukan merupakan
hal yang wajib, namun merupakan sebuah pilihan. Ketika mendengar ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu
’anhu mengatakan : (حسبنا كتاب الله) ”Kami
telah cukup dengan Kitabullah”; maka beliau tidak mengulangi permintaannya
tersebut. Seandainya hal itu merupakan satu kewajiban, tentu beliau akan
menyampaikannya dalam bentuk pesan. Sebagaimana pada saat itu beliau berpesan
secara langsung kepada mereka agar mengeluarkan orang-orang musyrik dari
Jazirah ’Arab dan agar memuliakan rombongan delegasi yang datang ke Madinah. [Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/132).] Sebuah riwayat shahih
menyebutkan bahwa beliau meminta alat tulis tersebut pada hari Kamis, 4 hari
sebelum beliau wafat.
«Seandainya permintaan tersebut wajib, niscaya beliau shallallaahu
’alaihi wasallam tidak akan meninggalkannya karena adanya perselisihan
para shahabat pada waktu waktu itu. Beliau tidak mungkin meninggalkan tabligh (atas
risalah) meskipun ada yang menyelisihi. Para shahabat sudah biasa
mengkonfirmasi kepada beliau dalam beberapa perkara yang ada perintah secara
pasti».
Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil
Fathimah radliyallaahu ’anhaa yang kemudian membisikinya yang
dengan itu kemudian Fathimah menangis. Beliau memanggil kembali dan
membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah tersenyum. Setelah wafat,
Fathimah menjelaskan bahwa ia menangis karena dibisiki bahwa beliau akan wafat,
dan ia tersenyum karena dibisiki bahwa ia merupakan anggota keluarganya yang
pertama yang akan menyusul beliau. [Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 1/208).] Dan salah satu tanda nubuwwah tersebut
akhirnya terbukti.
Sakit yang beliau derita semakin bertambah berat sehingga beliau tidak
sanggup keluar untuk shalat bersama para shahabat. Beliau shallallaahu
’alaihi wasallam bersabda :
مروا أبا بكر
فليصل بالناس
”Suruhlah Abu Bakr agar shalat mengimami manusia”.
’Aisyah berusaha agar beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menunjuk
orang lain saja karena khawatir orang-orang akan berprasangka yang bukan-bukan
kepada ayahnya (Abu Bakr). ’Aisyah berkata :
إن أبا بكر
رجل رقيق ضعيف الصوت كثير البكاء إذا قرأ القرآن
”Sesungguhnya Abu Bakr itu seorang laki-laki yang fisiknya lemah, suaranya
pelan, mudah menangis ketika membaca Al-Qur’an”. (Siirah Ibni Hisyaam, 4/330 dengan sanad shahih; dan Al-Bidaayah
wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/233.)
Namun beliau tetap bersikeras dengan perintahnya tersebut. Akhirnya Abu
Bakr maju menjadi imam shalat bagi para shahabat. (Lihat Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh
Ibnu Katsir, 5/232-233.) Pada satu hari, Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam keluar
dengan dipapah oleh Ibnu ’Abbas dan ’Ali radliyallaahu ’anhuma untuk
shalat bersama para shahabat, dan kemudian beliau berkhutbah. Beliau
memuji-muji serta menjelaskan keutamaan Abu Bakr radliyallaahu
’anhu dalam khutbahnya tersebut dimana ia (Abu Bakr) disuruh memilih
oleh Allah antara dunia dan kahirat, namun ia memilih akhirat. [Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy 8/141).
Lihat Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy 21/231I; dan Al-Bidayah
wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/229-230.]
Khutbah terakhir yang beliau sampaikan tersebut adalah 5 hari sebelum wafat
beliau. Beliau berkata di dalamnya :
إن عبدًا
عرضت عليه الدنيا وزينتها فاختار الآخرة
”Sesungguhnya ada seorang hamba yang ditawari dunia
dan perhiasannya, namun justru ia memilih akhirat”.
Abu Bakr paham bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Ia pun menangis. Melihat
hal tersebut, orang-orang merasa heran karena mereka tidak paham apa yang
dirasakan oleh Abu Bakr. [Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy, 21/222 berikut catatan
pinggir/hasyiyah no. 3); dan Tirkatun-Nabiy (ق.أ.ب) dengan sanad dimana rijalnya adalah tsiqah, namun mursal.]
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam membuka tabir
kamar ’Aisyah pada waktu shalat Shubuh, hari dimana beliau wafat, dan kemudian
beliau memandang kepada para shahabat yang sedang berada pada shaf-shaf shalat.
Kemudian beliau tersenyum dan tertawa kecil seakan-akan sedang berpamitan
kepada mereka. Para shahabat merasa sangat gembira dengan keluar beliau
tersebut. Abu Bakr pun mundur karena mengira bahwa Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam ingin shalat bersama mereka. Namun beliau memberikan
isyarat kepada mereka dengan tangannya agar menyelesaikan shalat mereka. Beliau
kemudian kembali masuk kamar sambil menutup tabir.
Fathimah masuk menemui beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dan
berkata : ”Alangkah berat penderitaan ayah”. Maka beliau menjawab :
ليس على أبيك
كرب بعد اليوم
”Setelah hari ini, tidak akan ada lagi penderitaan”. [Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/149).]
Usamah bin Zaid masuk, dan beliau memanggilnya dengan isyarat. Beliau sudah
tidak sanggup lagi berbicara dikarenakan sakitnya yang semakin berat. [Sirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.]
Pada saat-saat menjelang ajal, beliau bersandar di dada ’Aisyah. ’Aisyah
mengambil siwak pemberian dari saudaranya yang bernama ’Abdurrahman. Ia lalu
menggigit siwak tersebut dengan giginya dan kemudian memberikannya kepada
beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Beliaupun lantas bersiwak
dengannya. [Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/139).]
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kemudian
memasukkan tangannya ke dalam bejana yang berisi air dan membasuh mukanya.
Beliau pun bersabda :
لا إله إلا
الله إن للموت سكرات
”Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah.
Sesungguhnya pada setiap kematian itu ada saat-saat sekarat”. [Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/144).]
Dan ’Aisyah samar-samar masih sempat mendengar sabda beliau :
مع الذين
أنعم الله عليهم
”Bersama orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh
Allah”. [Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/136).]
Lalu beliau pun berdoa :
اللهم في
الرفيق الأعلى
”Ya Allah, pertemukan aku dengan Ar-Rafiiqul-A’laa
(Allah)”.
’Aisyah mengetahui bahwasannya beliau pada saat itu disuruh memilih, dan
beliau pun memilih Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah). [Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/136); dan Siirah Ibni
Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.]
Akhirnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam pun wafat
pada waktu Dluhaa - dan ada yang mengatakan pada waktu
tergelincirnya matahari - sedangkan kepala beliau di pangkuan ’Aisyahradliyallaahu
’anhaa. Abu Bakr radliyallaahu ’anhu segera masuk, dimana
ketika wafatnya beliaushallallaahu ’alaihi wasallam ia tidak berada
di tempat. Ia membuka penutup wajah beliau, dan kemudian ia menutupnya kembali
dan menciumnya. Ia pun keluar menemui orang-orang. Pada waktu itu, orang-orang
berada dalam keadaan percaya dan tidak percaya atas khabar wafatnya
beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. ’Umar radliyallaahu
’anhu termasuk orang yang tidak percaya atas berita wafatnya beliau
tersebut. Orang-orang pun kemudian berkumpul menemui Abu Bakr. Ia (Abu Bakr)
pun kemudian berkata :
أما بعد، من
كان منكم يعبد محمدًا فإن محمدًا قد مات، ومن كان منكم يعبد الله فإن الله حي لا
يموت. قال الله : (وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ
الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ
يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ
الشَّاكِرِينَ)
”Amma ba’du, barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad,
maka sesungguhnya Muhammad saat ini telah mati. Dan barangsiapa di antara
kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak
akan pernah mati. Allah telah berfirman : ”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat
atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke
belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun;
dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS. Aali ’Imraan : 144)”.
(Mendengar itu), maka para shahabat pun merasa tenang. Sementara itu,
’Umar radliyallaahu ’anhu duduk di tanah tidak sanggup
berdiri. Seakan-akan mereka belum pernah mendengar ayat tersebut melainkan pada
saat itu saja. [Shahih
Al-Bukhari (Fathul-Baariy,
8/145).]
Fathimah radliyallaahu ’anhaa berkata :
يا أبتاه أجاب ربًا دعاه.
يا أبتاه من جنة الفردوس مأواه.
يا أبتاه إلى جبريل ننعاه.
”Wahai ayah, Rabb telah memenuhi doamu
Wahai ayah, surga Firdaus
tempat kembalimu
Wahai ayah, kepada Jibril kami mengkhabarkan atas kewafatanmu”. [Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/149).]
Semoga Allah melimpahkan shalawat, salam, barakah, dan nikmat kepada
Nabi-Nya, keluarganya, dan para shahabatnya.
Dan akhir seruan/doa kami adalah alhamdulillaahi rabbil-’aalamiin.
[selesai – diambil dari kitab As-Siirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah oleh
Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umariy, 2/553-556; Maktabah Al-’Ulum wal-Hikam,
Cet. 6/1415, Madinah Munawarah].
Sebagai tambahan, keterangan Mamduh Farhan
Al-Buhairiy tentang bantahan terhadap syubhat Syi’ah yang
mengingkari riwayat wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam di dada ’Aisyah, dimana mereka mendasarkan pengingkaran
mereka dengan riwayat-riwayat yang tidak valid.
1. Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanad sampai ’Ali radliyallaahu
’anhu, ia berkata :
((أُدْعُوا
لِي أَخِي))، فَأَتَيتُهُ، فَقَالَ : ((أَدْنُ مِنِّي))،
فَدَنَوْتُ مِنْهُ، فَاسْتَنَدَ إِلَيَّ فَلَمْ يَزَلْ مُسْتَنِدًا
إِلَيَّ، وَإِنَّهُ لَيُكَلِّمُنِيْ حَتَّى إِنَّ رِيْقَهُ لَيُصِيْبُنِيْ
”Panggilkan untukku saudaraku !”. Maka akupun mendatangi
beliau, lalu beliau bersabda : ”Mendekatlah kepadaku !”. Maka akupun mendekat
kepada beliau, kemudian beliau bersandar kepadaku dan tidak henti-hentinya
beliau bersandar kepadaku, dan beliau berbicara kepadaku hingga air ludah
beliau mengenaiku”. Ini adalah hadits haalik (rusak) sangat dla’if,
dikarenakan Ibnu Sa’d meriwayatkannya dari Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy. Dia
adalah pendusta. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : ”Dia
adalah pendusta, dia membolak-balik hadits”. Ibnu Ma’in rahimahullah berkata
: ”Dia bukan termasuk orang yang tsiqah, haditsnya tidak ditulis”.
Al-Bukhari dan Abu Hatim berkata : ”Matruk (haditsnya
ditinggalkan)”. Abu Hatim dan An-Nasa’i juga berkata : ”Haditsnya diletakkan” [Al-Miizaan,
3/662]. 2. Juga hadits ’Ali radliyallaahu ’anhu yang lain :
عَلِّمَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْفَ بَابٍ كُلُّ بَابٍ يَفْتَحُ أَلْفَ بَابٍ.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mengajari
aku seribu bab, setiap bab membuka seribu bab”. Ini adalah hadits maudlu’ (palsu), sebab ’Imran bin
Haitsam adalah pendusta. Seandainya saja kita menyerah tidak mendebat
keshahihan hadits ini, maka tidak ada di dalamnya hal yang menunjukkan bahwa
pengajaran ini pada saat-saat kematian beliau shallallaahu ’alaihi
wasallam, bahkan tidak masuk akal semua itu bisa dilakukan pada saat-saat
seperti itu. 3. Hadits Jaabir bin ’Abdillah radliyallaahu ’anhu, bahwasannya
Ka’b Al-Ahbar bertanya kepada ’Umar radliyallaahu ’anhu seraya
berkata :
مَا آخِرُ مَا تَكَلَّمَ بِهِ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ عُمَرُ : سَلْ عَلِيًا.....
”Apa yang terakhir kali dibicarakan oleh Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasalam ?”. Maka ’Umar menjawab : ”Tanyalah kepada
’Ali....”. Hadits ini adalah dla’if (lemah) yang tidak boleh ditoleh,
karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidi. Dia dalah matrukul-hadiits (haditsnya
ditinggalkan) sebagaimana telah lalu perinciannya [Al-Miizaan, 3/662].
Juga di dalamnya terdapat Haram bin ’Utsman Al-Anshariy, dia juga matruk.
Al-Imam Malik dan Yahya berkata : ”Dia tidaktsiqah”. Al-Imam Ahmad
berkata : ”Manusia meninggalkan haditsnya”. Al-Imam Asy-Syafi’iy dan Yahya bin
Ma’in berkata : ”Riwayat dari Haram hukumnya haram”. Ibnu Hibban berkata : ”Dia
keterlaluan dalam memihak Syi’ah, membolak-balik sanad, dan membuat yang mursal menjadi marfu’ [Al-Miizaan,
1/468].
4. Hadits :
قِيْلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ : أَرَأَيْتَ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوْفِيَ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ
أَحَدٍ؟ قَالَ : نَعَمْ، تُوْفِيَ وَإِنَّهُ لَمُسْتَنِدٌ إِلَى صَدْرِ عَلِيّ
Dikatakan kepada Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma :
”Apakah engkau melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat dan
kepala beliau di pangkuan seseorang ?”. Maka ia menjawab : ”Ya, beliau wafat
dan beliau bersandar di dada ’Ali....”.
Hadits ini adalah dla’if (lemah). Karena di dalam sanadnya
terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy, dia adalah matrukul-hadits sebagaimana
penjelasan sebelumya. Di dalam sanadnya juga terdapat orang yang bernama
Sulaiman bin Dawud bin Al-Hushain, dari Abu Ghatfal, diamajhul tidak
diketahui keadaannya. 5. Hadits ’Ali bin Al-Husain :
قُبِضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ عَلِيٍّ.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat
sementara kepala beliau di pangkuan ’Ali”.Hadits ini dla’if, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad
bin ’Umar Al-Waqidiy. Diamatrukul-hadiits. Di samping itu, sanadnya
terputus. 6. Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanadnya kepada Asy’Sya’biy,
ia berkata :
تُوْفِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَأْسُهُ فِي حُجْرِ عَلِيٍّ.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat
sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali”.
Dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy yang dia
ini matruk. Selain itu, dalam sanadnya terdapat Abul-Huwairits yang
namanya adalah ’Abdurrahman bin Mu’awiyyah. Ibnu Ma’in dan yang lainnya berkata
: ”Tidak bisa dijadikan hujjah”. Al-Imam Malik dan An-Nasa’i berkata : ”Dia tidak tsiqah” [Al-Miizaan,
2/591].
7. Hadits Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
كَانَ عَلِيٌّ لَأَقْرَبُ النَّاسِ عَهدًا
بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.....
“’Ali adalah benar-benar manusia yang paling dekat
masanya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
Hadits ini shahih, namun sama sekali tidak menafikkan
hadits ‘Aisyah bahwa beliaushallallaahu ‘alaihi wasallam wafat di
dadanya, bahkan hadits ‘Aisyah lebih shahih dari hadits Ummu Salamah. Para
ulama ahli hadits telah menggabungkan dan mengkompromikan antara hadits Ummu
Salamah dengan hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhuma. Ibnu Hajar rahimahullah berkata
dalam Fathul-Baariy (12/255) : “Mungkin bisa dikompromikan
bahwa ‘Ali adalah orang yang paling akhir masanya dengan Rasulullahshallallaahu
‘alaihi wasallam. Dia tidak meninggalkan beliau hingga kepala beliau
condong. Saat itu dia menyangka bahwa beliau telah wafat. Maka dia adalah orang
yang paling akhir bertemu dengan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian beliau siuman, dan dia sudah pergi. Setelah itu ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa menyandarkan beliau di dadanya, kemudian beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam wafat”. 8. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dari ‘Ali radliyallaahu ’anhum, ia
berkata :“Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajarkan
kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab”.
Hadits ini adalah dla’if, di dalam
sanadnya terdapat Kaamil bin Thalhah. Para ulama ahli hadits berselisih
tentangnya. Al-Imam Ahmad dan Ad-Daruquthni menyatakan tsiqah,
namun Yahya bin Ma’in berkata : “Tidak bernilai apa-apa” [Al-Miizaan,
3/400]. Di dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdullah bin
Lahi’ah. Ibnu Ma’in berkata :
“Dia lemah, tidak bisa dijadikan hujjah”. Yahya bin sa’id sama sekali tidak
menganggapnya sama sekali. Abu Zur’ah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang
bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya”. An-Nasa’i berkata : ”Dia lemah”.
Al-Jauzajani berkata : ”Tidak ada cahaya pada haditsnya, tidak layak berhujjah
dengannya”. Al-Bukhari berkata dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ saat
menyebut Ibnu Lahi’ah dengan mengomentari hadits yang diriwayatkannya : ”Ini
adalahmunkar”.
Di dalam sanadnya juga terdapat Huyay bin ’Abdillah Al-Maghafiriy. Ibnu
’Adiy berkata : ”Ibnu Lahi’ah memiliki sekian belas hadits yang umumnya munkar.
Diantaranya hadits : ”Beliau mengajarkan kepadaku seribu bab, pada
setiap bab dibukakan untuknya seribu bab” [Al-Miizaan, 1/623].
Adapun orang yang tanpa ilmu menginginkan untuk menjadikan hadits-hadits
lemah lebih kuat sanadnya, maka itu adalah murni disebabkan hawa nafsu. Tentang
hadits-hadits tersebut, Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata
: ”Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa menceritakan bahwa
beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat di antara dada dan
lehernya; membantah apa yang diriwayatkan Al-Haakim dan Ibnu Sa’d dari berbagai
jalur yang menceritakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam wafat
sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali radliyallaahu ’anhu.
Seluruh jalan hadits tersebut tidak luput dari orang Syi’ah. Maka tidak layak
dilirik sama sekali” [Fathul-Baariy, 8/139].
Wallahu a'lam