Selasa, 31 Juli 2018

Qurban : Mau Berqurban Tetapi Belum Aqiqah


Ada sebuah kasus, dimana seseorang akan berqurban, tapi orang tua nya mengatakan bahwasanya dia belum diAqiqahi oleh orang tua nya. Hal ini menimbulkan pertanyaan Aqiqah dan Qurban, mana yang lebih didahulukan? Bagaimana pandangan syariat mengenai hal ini?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa Aqiqah maupun qurban hukumnya sunah muakkad (yang sangat ditekankan). Disebutkan dalam riwayat Muslim dari sahabat Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره

“Apabila kalian melihat hilal bulan dzulhijah dan kalian hendak berqurban maka jangan menyentuh rambut dan kukunya.”

Kalimat: ‘hendak berqurban’ menunjukkan bahwa qurban hukumnya sunah dan tidak wajib.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah (fatwa no. 44768) dikatakan bahwa berdasarkan hal ini, yang terbaik adalah seseorang melaksanakan kedua sunah tersebut bersamaan. Karena keduanya dianjurkan untuk dilaksanakan. Jika tidak mampu melakukan keduanya dan waktu Aqiqah berbeda di selain hari Qurban, maka hendaknya mendahulukan yang lebih awal waktu pelaksanaannya. Akan tetapi jika Aqiqahnya bertepatan dengan hari raya Qurban, dan tidak mampu untuk menyembelih dua ekor kambing untuk Aqiqah dan satunya untuk Qurban, pendapat yang lebih kuat, sebaiknya mengambil pendapat ulama yang membolehkan menggabungkan Aqiqah dan Qurban.

Bolehkah Satu Sembelihan untuk Qurban dan Aqiqah?

Mengenai permasalahan menggabungkan niat qurban dan aqiqah, para ulama memiliki beda pendapat.

Pendapat pertama: Qurban tidak boleh digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.

Alasan dari pendapat pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha). [Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526, Multaqo Ahlul Hadits]

Al Haitami –salah seorang ulama Syafi’iyah- mengatakan, “Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk qurban dan ‘aqiqah sekaligus maka keduanya sama-sama tidak teranggap. Inilah yang lebih tepat karena maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.” [Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj, 41/172, Mawqi’ Al Islam]

Ibnu Hajar Al Haitami Al Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab kami sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya, pen).  Begitu pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban) sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah dilaksanakan untuk mendoakannya.” [Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, 9/420, Mawqi’ Al Islam]

Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat ini, boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya. Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban, maka qurban tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.” [Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 5/116]

Al Bahuti –seorang ulama Hambali- mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah sekaligus dengan niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan mandi jum’at sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.” [Syarh Muntahal Irodaat, 4/146, Mawqi’ Al Islam]

Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.

Sebagian mereka yang berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.” [Fatawa wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/136, Asy Syamilah] Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah.

Point Penting dalam Penggabungan Niat

Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa penggabungan niat  diperbolehkan jika memang memenuhi dua syarat:

1.       Kesamaan jenis.
2.   Ibadah tersebut bukan ibadah yang berdiri sendiri, artinya ia bisa diwakili oleh ibadah sejenis lainnya.

Kami contohkan di sini, bolehnya penggabungan niat shalat tahiyatul masjid dengan shalat sunnah rawatib. Dua shalat ini jenisnya sama yaitu sama-sama shalat sunnah. Mengenai shalat tahiyatul masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (shalat sunnah tahiyatul masjid).” [HR. Bukhari no. 1163 dan Muslim no. 714, dari Abu Qotadah]

Maksud hadits ini yang penting mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ketika memasuki masjid, bisa diwakili dengan shalat sunnah wudhu atau dengan shalat sunnah rawatib. Shalat tahiyatul masjid bukan dimaksudkan dzatnya. Asalkan seseorang mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (apa saja shalat sunnah tersebut) ketika memasuki masjid, ia berarti telah melaksanakan perintah dalam hadits di atas.

Namun untuk kasus aqiqah dan qurban berbeda dengan shalat sunnah awatib dan shalat sunnah tahiyatul masjid. Qurban dan aqiqah memang sama-sama sejenis yaitu sama-sama daging sembelihan. Namun keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri dan tidak bisa digabungkan dengan lainnya. Qurban untuk tebusan diri sendiri, sedangkan aqiqah adalah tebusan untuk anak. Lihat kembali penjelasan Ibnu Hajar Al Makki di atas.

Jalan Keluar dari Masalah

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak?

Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya.

Akan tetapi, saya sendiri berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki-laki).” [Majmu’ Fatawa wa Rosail Al ‘Utsaimin, 25/287-288]

Kesimpulan

1.   Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada.
2.   Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban.
3.    Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan).
4.     Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih didahulukan adalah ibadah qurban karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.

Wallahu a’lam bish showab.

Qurban : Perhatikan Usia Hewan Dalam Berkurban


Terkadang semangat sebagian orang dalam beribadah, tidak dibarengi dengan pengetahuan tentang ibadah itu sendiri. Demikian juga dalam melaksanakan ibadah qurban, mereka lupa memperhatikan usia dari binatang qurban, mereka lebih memperhatikan kecocokan dengan ketersediaan dana untuk membelinya. Padahal usia binatang qurban itu sendiri juga penting karena menyangkut sah dan tidaknya ibadah qurban itu.

Bagaimanakah ketentuan umur binatang dalam berkurban?. Apakah boleh misalnya menyembelih sapi sebagai kurban yang berumur satu setengah tahun?.

Pertama:

Para ulama –rahimahullah- sepakat bahwa syari’at telah menentukan umur tertentu pada hewan kurban, yang tidak boleh berkurban dengan binatang ternak yang berumur dibawah yang telah ditentukan. Dan barang siapa yang berkurban dengan binatang di bawah umur, maka kurbannya tidak sah. (Baca: “Al Majmu’: 1/176)

Ada beberapa hadits yang menunjukkan akan hal itu, di antaranya adalah:

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori (5556) dan Muslim (1961) dari al Barra’ bin ‘Azib –radhiyallahu ‘anhuma- berkata: Pamanku yang bernama Abu Burdah berkurban sebelum shalat, maka Rasulullah bersabda kepadanya:

( شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ ) . فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ عِنْدِي دَاجِنًا جَذَعَةً مِنْ الْمَعَزِ . وفي رواية : (عَنَاقاً جَذَعَةً ) . وفي رواية للبخاري ( 5563) ( فَإِنَّ عِنْدِي جَذَعَةً هِيَ خَيْرٌ مِنْ مُسِنَّتَيْنِ آذْبَحُهَا ؟) قَالَ : ( اذْبَحْهَا ، وَلَنْ تَصْلُحَ لِغَيْرِكَ ) وفي رواية : ( لا تُجْزِئ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ ) . ثُمَّ قَالَ : ( مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاةِ فَإِنَّمَا يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ ) .

“Kambingmu kambing pedaging”. ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya mempunyai jadza’ah (usia 8-9 bulan) dari kambing”. dan dalam sebuah riwayat: “jadza’ah dari kambing betina”. Dan dalam riwayat Bukhori (5563) “Saya mempunyai jadza’ah dari kambing, itu lebih baik dari dua musinnah (yang berumur 1 tahun) yang saya sembelih ?” beliau bersabda: “Sembelihlah, namun tidak untuk selainmu”. dan dalam riwayat yang lain: “Hal itu tidak dibolehkan untuk orang lain sesudahmu”. Kemudian beliau bersabda:

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاةِ فَإِنَّمَا يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ

“Barang siapa yang menyembelih sebelum shalat maka ia menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang menyembelih setelah shalat maka ia telah menyempurnakan kurbannya, dan sesuai dengan sunnah kaum muslimin”.

Di dalam hadits ini disebutkan bahwa jadza’ah dari kambing belum boleh untuk berkurban. Arti Jadza’ah akan dijelaskan selanjutnya.

Ibnul Qayyim dalam “Tahdzibus Sunan” berkata: “ Sabda Rasulullah: “Hal itu tidak dibolehkan untuk orang lain sesudahmu”. Maka larangan tersebut sifatnya qat’i, yaitu; tidak dibolehkan kepada selainnya.

Hadits yang lain, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim 1963, dari Jabir –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

لا تَذْبَحُوا إِلا مُسِنَّةً إِلا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ

“Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah (yang berumur satu tahun), dan jika kalian sulit mendapatkannya, maka sembelihlah jadza’ah (antara usia 8-9 bulan) dari domba/biri-biri”.

Hadits ini juga menunjukkan dengan jelas bahwa yang boleh disembelih adalah musinnah, kecuali untuk domba/biri dibolehkan untuk menyembelih jadza’ah “.

An Nawawi dalam “Syarah Muslim” berkata:

“Para ulama berkata: “al Musinnah adalah yang tanggal gigi serinya ke atas baik dari unta, sapi atau kambing, dari sini sudah jelas bahwa tidak boleh sama sekali menyembelih jadza’ah kecuali dari domba/biri-biri”.

Al Hafidz dalam “at Talkhis”: 4/285 berkata:

“Yang jelas makna hadits tersebut menunjukkan bahwa jadza’ah dari domba tidak boleh kecuali sulit mendapatkan yang berusia musinnah. Sedangkan ijma’ menyangkalnya. Maka wajib di takwil dan fahami kepada makna yang lebih utama, jadi yang dimaksud adalah disunnahkan untuk tidak menyembelih kecuali musinnah (yang berumur satu tahun)”. Demikian pernyataan Imam Nawawi dalam “Syarah Muslim” nya.

Disebutkan dalam “ ‘Aunul Ma’bud”: “Takwil ini adalah yang seharusnya dilakukan”.

Kemudian beliau menyebutan beberapa hadits yang membolehkan menyembelih jadza’ah dari kambing untuk berkurban, di antaranya adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir –radhiyallahu ‘anhu- berkata:

( ضَحَّيْنَا مَعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجِذَعٍ مِنْ الضَّأْن ) أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ (4382) . قَالَ الْحَافِظ سَنَده قَوِيّ وصححه الألباني في صحيح النسائي

“Kami berkurban bersama Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan jadza’ah (usia 8-9 ulan ) dari domba”. (HR. Nasa’i 4382. al Hafidz berkata: sandnya kuat, dan dishahihkan oleh al Baani dalam “Shahih Nasa’i)

Disebutkan juga dalam “al Mausu’ah al Fikhiyah” 5/83, ketika menyebutkan syarat-syarat berkurban:

Syarat yang kedua:

Agar hewan kurban mencapai usia yang telah ditentukan, yaitu; Tsaniyah (yang tanggal gigi serinya), atau di atasnya, baik dari unta, sapi atau kambing. Jadza’ah (usia 8-9 bulan) dari kambing atau di atasnya, tidak dibolehkan berkurban dengan hewan yang belum tanggal gigi serinya kecuali kambing, juga tidak boleh jadza’ah kecuali kambing…. Syarat ini sudah disepakati oleh para ulama, namun mereka berbeda pendapat pada penafsiran makna Tsaniyah dan Jadza’ah.

Ibnu Abdil Bar –rahimahullah- berkata: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan bahwa jadza’ah dari kambing atau hewan ternak yang lain tidak boleh untuk berkurban kecuali domba, yang boleh untuk berkurban adalah mulai tsaniyah (tanggal gigi serinya) ke atas dari semua hewan ternak. Boleh jadza’ah dari domba dengan usia yang telah ditentukan”. (Tartib Tamhid: 10/267)

An Nawawi dalam “Al Majmu’ “ 8/366, berkata: “Adalah merupakan konsensus umat, bahwa tidak boleh berukurban dengan unta, sapi atau kambing kecuali tsaniyah (tanggal gigi serinya), dan dengan domba kecuali jadza’ah (usia 8-9 bulan). Semua yang disebutkan di atas boleh dilakukan kecuali pendapat sebagian rekan kami Ibnu Umar dan Zuhri bahwasanya ia berkata: Jadza’ah dari domba tidak boleh. Dari ‘Atha’ dan Auzaa’i beliau menyatakan: Dibolehkan berkurban dengan jadza’ah dari unta (usia 4 masuk 5 tahun), jadza’ah dari sapi (usia 2 masuk 3 tahun), jadza’ah dari kambing atau domba (usia 8-9 bulan)”.

Kedua:

Adapun usia yang menjadi syarat berkurban para imam berbeda pendapat:

Jadza’ah dari domba/biri-biri: Yang berusia genap 6 bulan menurut Hanafiyan dan Hanabilah. Sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi’iyah yang genap berusia satu tahun.

Musinnah (Tsaniyah) dari kambing: Yang berusia genap satu tahun, menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sedangkan menurut Syafi’iyah: yang berusia genap dua tahun.

Musinnah dari sapi: Yang berusia genap dua tahun menurut Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Sedangkan menurut Malikiyah adalah berusia tiga tahun.

Musinnah dari unta: Yang berusia genap lima tahun menurut Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.

Baca: “Bada’ius Shana’i’ “ : 5/70, “Al Bahrur Raiq”: 8/202, “At Taaju wal Iklil”: 4/363, “Syarh Mukhtashar Kholil”: 3/34, “al Majmu’: 8/365, “al Mushni”: 13/368.

Syeikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah- berkata dalam “Ahkam Udhhiyyah”:

“Tsaniy dari unta: yang berusia genap 5 tahun, tsaniy dari sapi yang berusia genap 2 tahun, tsaniy dari kambing yang berusia genap 1 tahun. Sedangkan Jadza’ah adalah yang berusia genap ½ tahun. Dan tidak sah kurbannya dengan hewan ternak di bawah usia tsaniy dari unta, sapi atau kambing. dan di bawah usia jadza’ah dari domba”.

Disebutkan dalam “Fatawa Lajnah Daimah”: 11/377: “Dalil-dalil syar’i telah menunjukkan bahwa usia minimal dari domba/biri-biri adalah 6 bulan, dan dari kambing 1 tahun, dari sapi usia 2 tahun, da dari unta usia 5 tahun, di bawah usai di atas tidak boleh untuk hady (sembelihan haji) atau kurban. Inilah makna mustaisirun min hady (sembelihan yang mudah didapatkan); karena dalil dari al Qur’an dan Hadits satu sama lain menafsiri yang lainnya”.

Al Kasani dalam “Bada’i’ Shana’i’ “ 5/70: “Penyebutan usia hewan kurban tersebut di atas adalah untuk mencegah kurangnya usia, bukan larangan untuk usia maksimal. Bahkan jika seseorang berkurban dengan usia di bawahnya tidak dibolehkan, dan jika berkurban dengan usia di atasnya boleh dan lebih utama. Juga tidak dibolehkan untuk berkurban hewan ternak yang sedang bunting, peranakan kambing yang jantan, anak sapi yang jantan dan anak unta; karena tidak termasuk dalam usia yang telah ditentukan oleh syari’at sebagaimana yang kami sebutkan tadi”.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa menyembelih sapi di bawah usia 2 tahun tidak satu pun para ulama membolehkannya.

Wallahu a’lam.




Sebagai tambahan, dibawah ini pemahasan yang diambil dari link:

http://www.nu.or.id/post/read/47559/syarat-syarat-sah-qurban-i


Syarat-Syarat Sah Qurban

Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban telah diatur sedemikian rupa oleh syari’at Islam, mulai dari waktu, tempat, jenis-jenis hewan yang disembelih beserta umurnya dan kepada siapa daging kurban itu dibagikan, semua ini telah dijelaskan oleh para ulama’-ulama’ fiqih terdahulu.

Berbeda dengan penyembelihan hewan biasa yang tidak terikat dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana hewan qurban, karena hal itu bisa dilakukan kapan saja, siapa saja dan untuk siapa saja dibagikan.

Udhiyyah atau berkurban termasuk salah satu syi'ar Islam yang agung dan termasuk bentuk ketaatan yang paling utama. Ia adalah syi'ar keikhlasan dalam beribadah kepada Allah semata, dan realisasi ketundukan kepada perintah dan larangan-Nya. Karenanya setiap muslim yang memiliki kelapangan rizki hendaknya ia berkurban.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا

"Barangsiapa yang memiliki kelapangan, sedangkan ia tidak berkurban, janganlah dekat-dekat musholla kami." (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan al-Hakim, namun hadits ini mauquf).

Diantara urusan kurban yang harus diketahui oleh seorang mudhahhi (orang yang hendak berkorban) adalah syarat-syaratnya. Apa yang harus dipenuhi oleh pengorban dari ibadah kurbannya:

Pertama, hewan kurban harus dari hewan ternak; yaitu unta, sapi, kambing atau domba. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,

"Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka." (QS. Al-Hajj: 34)

Bahimatul An'am: unta, kambing dan sapi, Ini yang dikenal oleh orang Arab sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hasan, Qatadah, dan selainnya. Atau sejenis hewan sapi seperti kerbau karena hakikatnya sama dengan sapi juga diperbolehkan untuk berkurban, dengan demikian maka tidak sah berkurban dengan 100 ekor ayam, atau 500 ekor bebek dikarenakan tidak termasuk kategori Bahimatul An’am.

Kedua, usianya sudah mencapai umur minimal yang ditentukan syari'at.

Umur hewan ternak yang boleh dijadikan hewan kurban adalah seperti berikut ini;

Unta minimal berumur 5 tahun dan telah masuk tahun ke 6.
Sapi minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun ke 3.
Kambing jenis domba atau biri-biri berumur 1 tahun, atau minimal berumur 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan domba yang berumur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa (bukan jenis domba atau biri-biri, semisal kambing jawa), maka minimal berumur 1 tahun dan telah masuk tahun ke 2.

Sebagaimana terdapat dalam kitab Kifayatul Akhyar,

Umur hewan kurban adalah Al-Jadza’u (Domba yang berumur 6 bulan-1 tahun), dan Al-Ma’iz (Kambing jawa yang berumur 1-2 tahun), dan Al-Ibil (Unta yang berumur 5-6 tahun), dan Al-Baqar (Sapi yang berumur 2-3 tahun).

Maka tidak sah melaksanakan kurban dengan hewan yang belum memenuhi kriteria umur sebagaimana disebutkan, entah itu unta, sapi maupun kambing. Karena syari’at telah menentukan standar minimal umur dari masing-masing jenis hewan kurban yang dimaksud, jika belum sampai pada umur yang telah ditentukan maka tidak sah berkurban dengan hewan tersebut, jika telah sampai pada umur atau bahkan lebih maka tidaklah mengapa, asalkan tidak terlalu tua sehingga dagingnya kurang begitu empuk untuk dimakan. 


Hadits Palsu Tentang Surga Di Bawah Telapak Kaki Ibu


Sebuah perkataan yang sering dibawakan oleh dai-dai di mimbar-mimbar dalam memberikan nasehat adalah surga ada dibawah telapak kaki para ibu. Terkadang mereka membawakan hadits dibawah ini:

رُوِيَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ :  الجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ اْلأُمَّهَاتِ

“Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga ada di bawah telapak kaki para ibu.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu asy-Syaikh al-Ashbahani rahimahullah dalam Thabaqatul Muhadditsina bi-Ashbahan (3/568), al-Qudha-‘i dalam Musnad asy-Syihab (1/102) dan ad-Daulabi dalam al-Kuna wal Asma’ (no. 1440) dengan sanad mereka semua dari Manshur bin al-Muhajir, dari Abu an-Nadhr al-Abbar, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Hadits ini adalah hadits yang sangat lemah, dalam sanadnya ada dua rawi yang tidak dikenal, yaitu Manshur bin al-Muhajir dan Abu an-Nadhr al-Abbar.

Imam Ibnu Thahir rahimahullah berkata, “Manshur (bin al-Muhajir) dan Abu an-Nadhr (keduanya) tidak dikenal, dan hadits ini adalah mungkar (sangat lemah).”

Pernyataan Imam Ibnu Thahir di atas dinukil dan dibenarkan oleh Imam al-Munawi dan Syaikh al-Albani. [Faidhul Qadir 3/361 dan Silsilatul Ahaditsidh Dha’ifah wal Maudhu’ah 2/59]

Hadits ini juga diriwayatkan dari Shahabat yang lain yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu dengan lafazh yang serupa, disertai tambahan di akhirnya, “ … Barangsiapa diingankan oleh para ibu (untuk masuk surga) maka dia masuk surga dan barangsiapa yang diingankan oleh para ibu (untuk dikeluarkan/tidak masuk surga) maka dia tidak masuk surga.”

Dikeluarkan oleh Imam Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil fi Dhu’afa-ir Rijal 6/347, al-‘Uqaili dalam adh-Dhu’afa’. Sebagaimana yang dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Mizanul i’tidal (4/220).

Hadits ini adalah hadits palsu, dalam sanadnya ada rawi yang bernama Musa bin Muhammad bin ‘Atha’ al-Maqdisi. Dia ini dinyatakan sebagai pendusta oleh Imam Abu Zur’ah dan Abu Hatim ar-Razi. Imam Ibnu Hibban dan Ibnu ‘Adi menyatakan bahwa dia adalah pemalsu hadits. (Semua dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Mizanul I’tidal 4/219)

Imam Ibnu ‘Adi berkata, “Hadits ini adalah mungkar (sangat lemah).” [Lisanul Mizan 6/128] Demikian pula Imam al-‘Uqaili menghukuminya sebagai hadits mungkar (sangat lemah), dan ini dibenarkan oleh Imam adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani. [al-Kamil fi Dhu’afa-ir Rijal 6/347]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui lafazh hadits ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih. [Aha-ditsul Qashshash (hlm. 113] Pernyataan beliau ini dinukil dan dibenarkan oleh Imam Mar’i bin Yusuf al-Karami dalam al-Fawa-idul Maudhu’ah” (hlm. 120).

Hadits ini dinyatakan sebagai hadits yang palsu oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. [Silsilatul Ahaditsidh Dha’ifah wal Maudhu’ah 2/59, no. 593]

Akan tetapi ada hadits lain yang shahih atau hasan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan makna yang tersebut dalam hadits di atas.

Dikeluarkan oleh Imam an-Nasa-i 6/11, al-Hakim 2/114 dan 4/167 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir 2/289, dengan sanad mereka dari Mu’awiyah bin Jahimah as-Sulami bahwa ayahnya Jahimah as-Sulami Radhiyallahu anhu datang kepada Nabi Muhammad dan berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ فَقَالَ هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

Wahai Rasulullah! Aku ingin ikut dalam peperangan (berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla ) dan aku datang untuk meminta pendapatmu.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mempunyai ibu?” Dia menjawab, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tetaplah bersamanya! Karena sesungguhnya surga ada di bawah kedua kakinya.”

Hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dan al-Mundziri. [at-Targhibu wat Tarhib 3/217] Juga dikuatkan oleh Imam al-Haitsami [Majma’uz Zawa-id 8/256] dan dihukumi sebagai hadits hasan oleh Syaikh al-Albani. [Silsilatul Ahaditsidh Dha’ifah wal Maudhu’ah 2/59]

Maka hadits shahih inilah yang harusnya kita jadikan sandaran dalam beramal dan yang kita sebarkan di masyarakat. Adapun hadits yang palsu di atas maka tidak boleh kita jadikan sebagai sandaran.

Adapun makna sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas adalah bahwa merendahkan diri di hadapan ibu dan berusaha mencari keridhaannya dalam hal-hal yang tidak melanggar syariat Allah Azza wa Jalla adalah sebab masuk surga. Lihat penjelasan Syaikhul Islam dalam Aha-ditsul Qashshash” (hlm. 113) dan Imam al-Muanawi dalam Faidhul Qadir (3/361).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo]