Minggu, 27 Mei 2018

Keutamaan Puasa


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :((قَالَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ ,وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ، وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ. وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ. لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ صَوْمِهِ))مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَهَذََا لَفْظُ رِوَايَةِ الْبُخَارِيِّ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لَهُ: يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أجْلِيْ، اَلصِّيَامُ لِيْ وَأنَا أجْزِيْ بِهِ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أمْثَالِهَا وَ فِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، اَلْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ تَعَالَى : (إِلاَّ الصَّوْمَ فَإنَّهُ لِيْ وَأنَا أجْزِيْ بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أجْلِي). لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ : فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ . وَلَخُلُوْفُ فِيْهِ أطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ المِسْكِ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Semua amal perbuatan anak Adam untuk dirinya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.’Puasa adalah perisai. Apabila seseorang di antara kamu berpuasa, janganlah berkata kotor/keji (cabul) dan berteriak-teriak. Apabila ada orang yang mencaci makinya atau mengajak bertengkar, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’ Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kesturi. Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya.’” [Muttafaq ‘alaihi, dan ini lafazh al-Bukhari]

Dalam suatu riwayat lain imam al-Bukhari, “Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya. Setiap satu kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipatnya.”

Dalam riwayat Muslim, “Semua amalan anak Adam dilipatgandakan. Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa.  Sesungguhnya puasa itu untuk Aku, dan Aku-lah yang membalasnya. Dia meningalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.’Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kesturi.”

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1894, 1904, 5927, 7492, 7538); Muslim (no. 1151); Ahmad (II/232, 266, 273); Ibnu Majah (no. 1638); an-Nasa-i (IV/163-164), dan Ibnu Khuzaimah (no. 1896, 1900).

Kosa Kata Hadits

جُنَّةٌ : Benteng, pelindung dari api Neraka dan kemaksiatan.
اَلرَّفَثُ : Ucapan kotor dan keji.
الصَّخَبُ : Bertengkar dan berteriak.
خُلُوْفٌ : Perubahan bau mulut.

Syarh Hadits

Betapa agungnya hadits ini karena didalamnya disebutkan amalan secara umum, kemudian disebutkan puasa secara khusus, keutamaannya, kekhususannya, pahala yang akan diperoleh dengan segera maupun yang akan datang, penjelasan hikmahnya, tujuannya, dan apa-apa yang harus diperhatikan seperti adab-adab yang mulia. Semua hal tersebut tercakup dalam hadits ini.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan pokok yang menyeluruh, bahwa semua amal shalih, dilipatgandakan (amal shalih tersebut) sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan hingga berkali-kali lipat lebih dari itu.

Ini menunjukkan keagungan dan luasnya rahmat Allah dan kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya yang beriman, karena Allah Azza wa Jalla membalas satu perbuatan buruk dan menyelisihi syari’at dengan satu balasan.

Adapun balasan kebajikan, maka pelipatgandaan minimal sepuluh kali, dan bisa lebih dari itu dengan sebab-sebab lain. Di antaranya yaitu kuatnya iman seorang hamba dan kesempurnaan ikhlasnya. Jika iman dan ikhlas semakin bertambah kuat, maka pahala amal shalih pun akan berlipat ganda.

Di antaranya juga yaitu amalan yang memiliki porsi besar, seperti berinfak dalam rangka jihad di jalan Allah dan menuntut ilmu syar’i, serta berinfak untuk proyek-proyek agama Islam secara umum. Dan juga seperti amalan yang semakin kuat karena kebaikannya dan kekuatannya dalam menolak hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah orang yang tertahan dalam gua [HR. al-Bukhari, no. 2272 dan Muslim, no. 2743] , dan kisah pezina yang memberi minum seekor anjing lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuninya [HR. al-Bukhari, no. 3467 dan Muslim, no. 2245] . Dan juga seperti suatu amalan yang dapat menumbuhkan amalan lain dan diikuti oleh orang lain. Dan juga seperti menolak bahaya-bahaya yang besar atau menghasilkan kebaikan-kebaikan yang besar. Dan juga seperti amalan-amalan yang berlipat ganda karena keutamaan waktu dan tempat, serta keutamaan seorang hamba di sisi Allah Azza wa Jalla . Semua pelipatgandaan ini mencakup semua amalan.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengecualikan puasa dan menyandarkannya kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akan membalasnya dengan keutamaan dan kemuliaan-Nya, dengan tidak melipatgandakannya seperti amalan yang lain. Ini adalah suatu hal yang tidak dapat diungkapkan, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasnya dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata, tidak didengar oleh telinga, dan tidak terlintas dalam benak manusia.

Ulama berbeda pendapat tentang makna :

فَإنَّهُ لِيْ وَأنَا أجْزِيْ بِهِ
Puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya

Padahal semua amal perbuatan adalah untuk Allah Azza wa Jalla dan Dia-lah yang akan membalasnya, sebagai berikut:

Pertama : Di dalam puasa tidak terdapat unsur riya’ sebagaimana yang terjadi pada ibadah lainnya.

Kedua : Bahwa yang dimaksud dengan “dan Aku-lah yang akan membalasnya,” adalah “Hanya Aku-lah yang mengetahui besarnya balasan orang tersebut dan berapa banyak kebaikannya dilipatgandakan. Adapun ibadah lainnya, karena ia dapat dilihat orang.”

Ketiga: Yang dimaksud dengan “dan Aku-lah yang akan membalasnya,” yaitu bahwa puasa adalah ibadah yang paling Aku cintai dan yang akan didahulukan di sisi-Ku.

Keempat: Idhafah (penyandaran) dalam redaksi ini merupakan idhafah tasyrif (kemuliaan) dan ta’zhim (keagungan), sebagaimana dikatakan “Baitullah (rumah Allah), meskipun seluruh masjid sebenarnya adalah milik Allah.” az-Zain Ibnul Munayyir berkata, “Pengkhususan pada konteks redaksi umum seperti ini tidaklah dipahamiselain dengan makna pengagungan dan pemuliaan.”

Kelima: Tidak membutuhkan makan dan syahwat-syahwat lainnya merupakan salah satu sifat Allah Azza wa Jalla . Dan karena orang yang berpuasa mendekatkan dirinya dengan salah satu sifat-Nya, maka Dia pun menyandarkan ibadah tersebut kepada diri-Nya.

Keenam: Maksudnya sama seperti di atas; hanya saja hal tersebut sesuai dengan sifat malaikat. Karena tidak membutuhkan makan dan tidak memiliki syahwat merupakan salah satu sifat mereka.

Ketujuh: Maksudnya bahwa puasa tersebut murni hanya untuk Allah Azza wa Jalla , dan tidak satu bagian pun dari ibadah tersebut yang ditujukan kepada sesama hamba. Demikian yang dikatakan oleh al-Khaththabi dan demikian pula pendapat yang dinukil oleh ‘Iyadh dan yang lainnya.

al-Baidhawi rahimahullah berkata, “Ada dua hal yang menjadi alasan mengapa ibadah puasa diistimewakan dengan kelebihan seperti ini. Pertama, karena ibadah-ibadah lainnya dapat dilihat oleh manusia, berbeda dengan puasa karena ia merupakan rahasia antara hamba dan Allah Azza wa Jalla . Ia melakukannya dengan ikhlas dan mengerjakannya karena mengharap ridha-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Azza wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa salla, (hadits qudsi, yang artinya) , ‘Sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku.’

Kedua, karena seluruh perbuatan baik dilakukan dengan cara mengeluarkan harta atau mempergunakan fisik. Sementara puasa mencakup pengekangan hawa nafsu dan membuat fisik menjadi lemah. Dalam ibadah puasa terdapat unsur kesabaran menahan rasa lapar, haus, dan meninggalkan syahwat. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Azza wa Jalla dalam sabda beliau n (hadits qudsi, yang artinya), ‘Dia meninggalkan syahwatnya karena-Ku.’” [Diringkas dari Fat-hul Bari (IV/107-108).]

Para Ulama berkata, “Puasa dikecualikan karena ia mencakup tiga macam sabar, yaitu
(1) sabar dalam (melaksanakan) ketaatan kepada Allah,
(2) sabar (menjauh) dari maksiat kepada Allah, dan
(3) sabar terhadap takdir Allah.”

Adapun sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, yaitu seorang hamba membebani dirinya untuk berpuasa walaupun terkadang ia tidak menyukainya karena ada kesulitannya, bukan karena Allah telah mewajibkannya. Jika seseorang membenci puasa karena Allah mewajibkannya, maka akan semua amalnya akan terhapus. Seseorang yang tidak menyukai puasa karena sulit, namun ia tetap memaksa dirinya untuk berpuasa, ia bersabar (menahan diri) dari makan, minum, dan jima’ karena Allah Azza wa Jalla .Oleh karena itu disebutkan dalam hadits qudsi di atas, Allah berfirman :

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أجْلِيْ
Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku.”

Sedangkan sabar (menahan diri) dari maksiat kepada Allah, ini didapat dari orang yang berpuasa, karena ia menyabarkan dirinya dan menjauhkan dirinya dari berbuat maksiat kepada Allah. Ia menjauhi hal yang sia-sia, berkata kotor, bodoh, dusta, dan selainnya dari apa-apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan.

Adapun sabar terhadap takdir Allah, yaitu seseorang diuji ketika ia berpuasa -apalagi jika pada musim panas yang panjang- dengan rasa malas, bosan, dan haus, tetapi ia tetap bersabar karena mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala .Ketika puasa mencakup tiga macam sabar tersebut, maka ganjarannya tidak terbatas. Allah Azza wa Jalla berfirman :

مَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“…Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” [az-Zumar/39:10]

Hikmah dari pengkhususan tersebut yaitu bahwa orang yang berpuasa ketika dia meninggalkan hal-hal yang dicintai oleh hawa nafsunya karena Allah, maka itu artinya ia telah mendahulukan kecintaannya kepada Allah dari segala kecintaan jiwanya, ia lebih mengharap ridha-Nya dan ganjaran-Nya daripada meraih keinginan hawa nafsu. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla mengkhususkan puasa untuk diri-Nya dan menjadikan pahala orang yang berpuasa di sisi-Nya.

Coba Anda pikirkan, bagaimana dengan ganjaran dan balasan yang diberikan oleh Allah Azza wa Jalla, Yang Mahapengasih, Mahapenyayang, Mahadermawan, Mahapemberi, yang pemberian-Nya menyeluruh kepada semua makhluk yang ada, lalu Allah mengkhususkan untuk para wali-Nya bagian yang banyak dan sempurna, dan Allah mentakdirkan buat mereka sarana yang dengannya mereka bisa meraih apa-apa yang ada di sisi Allah berupa perkara-perkara yang tidak pernah terlintas dalam benak dan dalam khayalan?! Bagaimana dengan apa yang akan Allah Azza wa Jalla lakukan kepada mereka, orang-orang yang berpuasa dengan ikhlas?!

Itulah karunia yang Allah berikan kepada siapa yang dikehendaki

Hadits ini juga menunjukkan bahwa puasa yang sempurna yaitu jika seorang hamba meninggalkan dua perkara:

Pertama, pembata-pembatal puasa seperti makan, minum, jima’ (bersetubuh) dan lainnya.

Kedua, hal-hal yang mengurangi (kesempurnaan) amalan, seperti berkata kotor, jorok, cabul dan berteriak-teriak, mengerjakan perbuatan haram dan pembicaraan haram. Jauhkanlah semua maksiat, pertengkaran, dan perdebatan yang menyebabkan dendam. Karena inilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Janganlah berkata kotor/keji (cabul).”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, yang artinya, “Janganlah berteriak-teriak!” Yaitu perkataan yang menyebabkan fitnah dan permusuhan. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang lain:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya, maka Allah tidak butuh kepada (puasanya) yang hanya meninggalkan makan dan minumnya [HR. al-Bukhari, no. 1903 dan 6057, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Barangsiapa menerapkan dua perkara tersebut di atas maka sempurnalah pahala puasanya. Siapa yang tidak menerapkannya, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuki orang yang puasa bahwa apabila ada yang mengajak untuk bertengkar dan mencelanya, hendaklah ia mengatakan:

إِنِّي صَائِمٌ
Sesungguhnya aku sedang berpuasa

Faidahnya yaitu bahwa seakan-akan ia berkata, “Ketahuilah bahwa aku bukannya tidak bisa membalas apa yang engkau katakan, tapi sesungguhnya aku sedang berpuasa. Aku menghormati puasaku dan menjaga kesempurnaannya, serta perintah Allah dan rasul-Nya. Dan ketahuilah bahwa puasa mengajakku untuk tidak membalas semua itu dan memerintahkanku untuk bersabar. Maka apa yang aku lakukan ini lebih baik dan lebih mulia dari apa yang engkau perbuat kepadaku, wahai orang yang mengajak bertengkar!”

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ
Puasa adalah perisai

Yaitu penjaga yang menjaga seorang hamba dari dosa-dosa di dunia, membiasakannya untuk mengerjakan kebajikan, dan menjaga dari siksa neraka.

Ini adalah hikmah syari’at yang paling agung dari faidah puasa, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman!Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” [al-Baqarah/2:183]

Jadi, puasa menjadi perisai dan sebab untuk mendapat ketakwaan. Karena puasa mencegah dari perbuatan haram dan apa-apa yang dilarang serta memerintahkan untuk memperbanyak amal ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ : فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya

Kedua ganjaran ini, ganjaran pertama, segera didapat dan ganjaran kedua, ganjaran yang didapatkan di akhirat. Yang langsung didapat yaitu ketika orang yang berpuasa itu berbuka, ia gembira karena nikmat Allah yang diberikan kepadanya sehingga bisa menyempurnakan ibadah puasanya.

Sedangkan ganjaran yang akan datang yaitu kegembiraannya ketika bertemu Rabb-nya dengan keridhaan-Nya dan kemuliaan-Nya.

Kegembiraan yang didapat langsung di dunia ini adalah contoh dari kegembiraan yang akan datang, dan Allah akan mengumpulkan keduanya bagi orang yang berpuasa.

Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga menunjukkan bahwa orang yang berpuasa jika sudah mendekati waktu berbuka, maka ia mendapat kegembiraan. Itu merupakan balasan dari apa yang telah ia lalui pada siang hari berupa kesulitan menahan nafsu.

Ini untuk menumbuhkan semangat dan berlomba dalam berbuat kebaikan.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ
Sungguh, bau mulut orang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kesturi

al-Khuluf yaitu pengaruh bau dalam mulut ketika kosong dari makanan dan naiknya uap. Walaupun ini tidak disukai oleh orang, tapi janganlah engkau bersedih, wahai orang yang berpuasa! Karena sesungguhnya ia lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kesturi dan berpengaruh pada ibadah dan pendekatan diri kepada-Nya. Dan semua yang meninggalkan pengaruh dalam ibadah berupa kesulitan dan ketidaksukaan, maka itu dicintai oleh Allah Azza wa Jalla . Dan kecintaan Allah bagi orang Mukmin lebih didahulukan dari segala sesuatu. [Bahjatu Qulubil Abrar bi Syarh Jawami’il Akhbar, hlm. 191-196, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dan Syarh Riyadhis Shalihin,hlm. 267, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin]

Fawaa-id

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjamin balasan puasa seseorang dengan balasan yang istimewa

2. Apapun yang berhubungan dengan ibadah puasa, baik kadar keikhlasan hamba, diterima atau tidak, maupun kadar jerih payah dalam melaksanakannya, hanya Allah yang mengetahuinya.

3. Semua amalan memiliki pahala tertentu, yang kemudian dilipatgandakan sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Karena pahala puasa tidak terbatas hitungannya.

4. Puasa adalah benteng, sebagai pelindung dari api neraka dan dosa-dosa yang bisa menjerumuskan ke neraka, serta penghalang dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan syari’at. Oleh karena itu orang yang berpuasa wajib menjaga dirinya dari perbuatan dosa dan maksiat serta menjauhkan hal-hal yang tidak bermanfaat.

5. Orang yang berpuasa tidak boleh berkata kotor, jorok, keji, cabul, perkataan yang membawa kepada persetubuhan, dan lainnya.

6. Orang yang berpuasa tidak boleh berteriak-teriak, tidak boleh bertengkar, dan tidak boleh mengganggu orang lain.

7. Orang yang berpuasa tidak boleh berkata bohong, dusta, membohongi dan menipu orang, dan lainnya.

8. Orang yang terus menerus berbohong dan berlaku bodoh, ghibah, fitnah dan mengadu domba, maka Allah Azza wa Jalla tidak butuh kepada puasanya.

9. Orang yang berpuasa wajib menjaga lisannya dan anggota tubuh lainnya dari yang terlarang. Dia harus selalu taat, berdzikir, membaca al-Qur’an, berdo’a, sedekah, dan ibadah lainnya.

10. Puasa melatih dan mendidik diri untuk taat, membiasakan diri bersabar terhadap penyakit dan gangguan karena mengharapkan ridha Allah Azza wa Jalla .

11. Boleh memberitahukan amal ketaatan kepada orang lain apabila dapat membuahkan maslahat dan menolak keburukan. Misalnya ucapan orang yang berpuasa, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Ucapan ini digunakan untuk menghindari kata-kata makian seseorang atau ajakan untuk bertengkar.

12. Bau mulut orang yang berpuasa kelak di hari kiamat lebih harum aromanya dari aroma minyak kesturi.

13. Orang yang berpuasa pasti bergembira dengan puasanya. Apalagi menjelang buka puasa, maka semua orang yang berpuasa bergembira karena makan, minum, jima’ yang halal yang tadinya tidak boleh dilakukan selama siang hari, menjadi boleh dengan terbenamnya matahari.

14. Kegembiraan orang yang berpuasa di saat berbuka jangan sampai berlebihan sehingga melanggar syari’at.

15. Orang yang berpuasa atau orang yang beribadah dengan ikhlas, jika ia gembira karena ibadahnya, maka kegembiraannya itu tidak mengurangi pahalanya sedikit pun di akhirat kelak.

16. Kegembiraan yang sempurna didapatkan ketika bertemu Allah Azza wa Jalla, yakni ketika orang-orang yang sabar dan yang berpuasa diberikan pahalanya secara utuh tanpa dibatasi oleh hitungan.

Hadits Palsu : Huru-Hara Akhir Zaman Pada Hari Jumat Di Pertengahan Bulan Ramadhan


Bismillah. Segala puji bagi Allah, Robb semesta alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita, Muhammad bin Abdullah shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan ajarannya hingga hari kiamat.

Sekarang ini beredar sebuah video yang berisikan sebuah hadits yang berisikan tentang huru-hara akhir zaman yang terjadi pada pertengahan bulan Ramadhan yang bertepatan dengan hari Jumat.

Sesungguhnya para ulama hadits terdahulu maupun yang hidup di zaman sekarang telah menerangkan dengan jelas dan gamblang bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang masalah tersebut tidak ada satu pun yang Shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, baik ditinjau dari segi sanad hadits maupun realita yang ada. Bahkan semuanya adalah hadits-hadits munkar dan palsu yang didustakan atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Berikut ini adalah teks (lafazh) hadits tersebut dengan sanadnya, serta studi kritis para ulama terhadapnya.

قَالَ نُعَيْمٌ بْنُ حَمَّادٍ : حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ عَنِ ابْنِ لَهِيعَةَ قَالَ : حَدَّثَنِي عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ حُسَيْنٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْحَارِثِ الْهَمْدَانِيِّ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : “إذا كانَتْ صَيْحَةٌ في رمضان فإنه تكون مَعْمَعَةٌ في شوال، وتميز القبائل في ذي القعدة، وتُسْفَكُ الدِّماءُ في ذي الحجة والمحرم.. قال: قلنا: وما الصيحة يا سول الله؟ قال: هذه في النصف من رمضان ليلة الجمعة فتكون هدة توقظ النائم وتقعد القائم وتخرج العواتق من خدورهن في ليلة جمعة في سنة كثيرة الزلازل ، فإذا صَلَّيْتُمْ الفَجْرَ من يوم الجمعة فادخلوا بيوتكم، وأغلقوا أبوابكم، وسدوا كواكـم، ودَثِّرُوْا أَنْفُسَكُمْ، وَسُـدُّوْا آذَانَكُمْ إذا أَحْسَسْتُمْ بالصيحة فَخَرُّوْا للهِ سجدًا، وَقُوْلُوْا سُبْحَانَ اللهِ اْلقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ اللهِ اْلقُدُّوْسِ ، ربنا القدوس فَمَنْ يَفْعَلُ ذَلك نَجَا، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ هَلَكَ

Nu’aim bin Hammad berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abu Umar, dari Ibnu Lahi’ah, ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdul Wahhab bin Husain, dari Muhammad bin Tsabit Al-Bunani, dari ayahnya, dari Al-Harits Al-Hamdani, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: “Bila telah muncul suara di bulan Ramadhan, maka akan terjadi huru-hara di bulan Syawal, kabilah-kabilah saling bermusuhan (perang antar suku) di bulan Dzul Qo’dah, dan terjadi pertumpahan darah di bulan Dzul Hijjah dan Muharram…”. Kami bertanya: “Suara apakah, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Suara keras di pertengahan bulan Ramadhan, pada malam Jumat, akan muncul suara keras yang membangunkan orang tidur, menjadikan orang yang berdiri jatuh terduduk, para gadis keluar dari pingitannya, pada malam Jumat di tahun terjadinya banyak gempa. Jika kalian telah melaksanakan solat Subuh pada hari Jumat, masuklah kalian ke dalam rumah kalian, tutuplah pintu-pintunya, sumbatlah lubang-lubangnya, dan selimutilah diri kalian, sumbatlah telinga kalian. Jika kalian merasakan adanya suara menggelegar, maka bersujudlah kalian kepada Allah dan ucapkanlah: “Mahasuci Allah Al-Quddus, Mahasuci Allah Al-Quddus, Rabb kami Al-Quddus”, kerana barangsiapa melakukan hal itu, niscaya ia akan selamat, tetapi barangsiapa yang tidak melakukan hal itu, niscaya akan binasa”.

(Hadits ini diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad di dalam kitab Al-Fitan I/228, No.638, dan Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi di dalam kitab Kanzul ‘Ummal, No.39627).

Derajat hadits:

Hadits ini derajatnya Palsu (Maudhu’), karena di dalam sanadnya terdapat beberapa perowi hadits yang pendusta dan bermasalah sebagaimana diperbincangkan oleh para ulama hadits. Para perowi tersebut ialah sebagaimana berikut ini

1. Nu’aim bin Hammad

Dia seorang perowi yang Dho’if (lemah),

An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang Dho’if (lemah).” (Lihat Adh-Dhu’afa wa Al-Matrukin, karya An-Nasa’i I/101 no.589)

Abu Daud berkata: “Nu’aim bin Hammad meriwayatkan dua puluh hadits dari Nabi shallallahu alaihi wasallam yang tidak mempunyai dasar sanad (sumber asli, pent).”

Imam Al-Azdi mengatakan: “Dia termasuk orang yang memalsukan hadits dalam membela As-Sunnah, dan membuat kisah-kisah palsu tentang keburukan An-Nu’man (maksudnya, Abu Hanifah, pent), yang semuanya itu adalah kedustaan.”  (Lihat Mizan Al-I’tidal karya imam Adz-Dzahabi IV/267).

Imam Adz-Dzahabi berkata tentangnya: “Tidak boleh bagi siapa pun berhujjah dengannya, dan ia telah menyusun kitab Al-Fitan, dan menyebutkan di dalamnya keanehan-keanehan dan kemungkaran-kemungkaran.” (Lihat As-Siyar A’lam An-Nubala X/609).

2. Ibnu Lahi’ah (Abdullah bin Lahi’ah).

Dia seorang perowi yang Dho’if (lemah), karena mengalami kekacauan dalam hafalannya setelah kitab-kitab haditsnya terbakar.

An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang Dho’if (lemah).” (Lihat Adh-Dhu’afa wa Al-Matrukin, karya An-Nasa’i I/64 no.346)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata: “Dia mengalami kekacauan di dalam hafalannya setelah kitab-kitab haditsnya terbakar.” (Lihat Taqrib At-Tahdzib I/319 no.3563).

3. Abdul Wahhab bin Husain.

Dia seorang perowi yang majhul (tidak dikenal).

Al-Hakim berkata tentangnya: “Dia seorang perowi yang Majhul (tidak jelas jati dirinya dan kredibilitasnya).” (Lihat Al-Mustadrak No. 8590)

Imam Adz-Dzahabi berkata di dalam At-Talkhish: “Dia mempunyai riwayat hadits palsu.” (Lihat Lisan Al-Mizan, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani II/139).

4. Muhammad bin Tsabit Al-Bunani.

Dia seorang perowi yang Dho’if (lemah dalam periwayatan hadits) sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu hajar Al-Asqolani, Ibnu Hibban dan An-Nasa’i.

An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang Dho’if (lemah).”

Yahya bin Ma’in berkata: “Dia seorang perowi yang tidak ada apa-apanya.” (Lihat Al-Kamil Fi Dhu’afa Ar-Rijal, karya Ibnu ‘Adi VI/136 no.1638).

Ibnu Hibban berkata: “Tidak boleh berhujjah dengannya, dan tidak boleh pula meriwayatkan darinya.” (Lihat Al-Majruhin, karya Ibnu Hibban II/252 no.928).

Imam Al-Azdi berkata: “Dia seorang yang gugur riwayatnya.” (Lihat Tahdzib At-Tahdzib, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani IX/72 no.104)

5. Al-Harits bin Abdullah Al-A’war Al-Hamdani.

Dia seorang perowi pendusta, sebagaimana dinyatakan oleh imam Asy-Sya’bi, Abu Hatim dan Ibnu Al-Madini.

An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia bukan seorang perowi yang kuat (hafalannya, pent).” (Lihat Al-Kamil Fi Dhu’afa Ar-Rijal, karya Ibnu ‘Adi II/186 no.370).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata tentangnya: “Imam Asy-Sya’bi telah mendustakan pendapat akalnya, dan dia juga dituduh menganut paham/madzhab Rofidhoh (syi’ah), dan di dalam haditsnya terdapat suatu kelemahan.” (Lihat Taqrib At-Tahdzib I/146 no.1029).

Ali bin Al-Madini berkata: “Dia seorang pendusta.”

Abu Hatim Ar-Rozi berkata: “Dia tidak dapat dijadikan hujjah.” (Siyar A’lam An-Nubala’, karya imam Adz-Dzahabi IV/152 no.54)

Perkataan Para Ulama Tentang Hadits Ini

Al-Uqoily rahimahullah berkata: “Hadits ini tidak memiliki dasar dari hadits yang diriwayatkan oleh perowi yang tsiqoh (terpercaya), atau dari jalan yang tsabit (kuat dan benar adanya).” (Lihat Adh-Dhu’afa Al-Kabir III/52).

Ibnul jauzi rahimahullah berkata: “Hadits ini dipalsukan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat Al-Maudhu’aat III/191).

Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Hadits ini Palsu (Maudhu’). Dikeluarkan oleh Nu’aim bin Hammad dalam kitab Al-Fitan.” Dan beliau menyebutkan beberapa riwayat dalam masalah ini dari Abu Hurairah dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhuma. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah wa Al-Maudhu’ah no.6178, 6179).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Hadits ini tidak mempunyai dasar yang benar, bahkan ini adalah hadits yang batil dan dusta.” (Lihat Majmu’ Fatawa Bin Baz XXVI/339-341).

Kesimpulan

Dengan demikian, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hadits ini adalah hadits Maudhu’ (Palsu). Tidak boleh diyakini sebagai kebenaran, dan tidak boleh dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Karena disamping sanad hadits ini tidak ada yg dapat diterima sebagai hujjah, juga realita telah mendustakannya. Sebab telah berlalu tahun-tahun yang banyak dan telah terjadi berulang kali hari Jumat yang bertepatan dengan tanggal lima belas (pertengahan) bulan Ramadhan, namun kenyataannya tidak pernah terjadi sebagaimana berita yang terkandung di dalam hadits ini. (Alhamdulillah).

Oleh karena itu, kita dilarang keras menyebarluaskannya kepada orang lain baik melalui media cetak, maupun elektronik, atau dalam obrolan dan khutbah kecuali dalam rangka menjelaskan sisi kelemahan, kepalsuan, dan kebatilannya, serta bertujuan untuk memperingatkan umat darinya.

Jika kita telah melakukan ini, berarti kita telah bebas dan selamat dari ancaman keras Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu berupa masuk neraka bagi siapa saja yang sengaja berdusta atas nama beliau, baik dengan tujuan menjelekkan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan ajarannya, atau dalam rangka membela Nabi dan memotivasi kaum muslimin untuk bersemangat dalam beribadah kepada Allah.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.

Wallahua’lam