Sabtu, 17 Februari 2018

Selektif Dalam Berinfak

Allah Ta’ala berfirman,

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٢٧٣)

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. (Al Baqarah: 273).

Dari ayat ini kita dapat mengambil beberapa pelajaran, diantaranya adalah:

Pertama

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan enam kriteria orang yang berhak memperoleh sedekah dari kaum muslimin. Keenam kriteria tersebut yaitu:

Fakir, yaitu orang yang tidak memiliki suatu apapun atau memiliki sedikit kecukupan namun tidak mencukupi kebutuhannya meski setengahnya. Termasuk dalam kriteria pertama ini adalah golongan yang miskin, yaitu mereka memiliki kecukupan yang dapat memenuhi setengah kebutuhannya atau lebih, namun tidak seluruhnya [Tafsir As Sa’di hlm. 341].

Terikat jihad di jalan Allah. Dari keterangan para ahli tafsir firman Allah الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ   mencakup mereka yang mengabdikan diri untuk melakukan ketaatan kepada Allah baik itu berupa jihad maupun yang selainnya sehingga hal tersebut menghalangi mereka untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.

Tidak mampu berusaha di bumi, yaitu mereka yang tidak dapat pergi (bersafar) mencari sumber penghidupan entah dikarenakan minimnya harta, lemahnya kondisi fisik akibat luka dan cedera, atau alasan yang semisal [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/367].

Terlihat berkecukupan (kaya), -padahal miskin-, karena memelihara diri dari meminta-minta. Orang-orang yang tidak mengetahui kondisi mereka menduga bahwa mereka itu berkecukupan karena sikap ‘iffah-nya dalam hal pakaian, perilaku, dan perkataan.

Memiliki siimah, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka itu fakir dan sangat membutuhkan uluran tangan. Hal ini hanya dapat diketahui oleh orang yang jeli dalam mengenal kondisi mereka.

Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Firman Allah تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ  maksudnya adalah anda mengetahui kondisi mereka sebenarnya dengan tanda-tanda yang ada pada diri mereka. Apabila seseorang melihat kondisi mereka, maka dia akan menduga bahwa mereka itu berkecukupan, namun jika diperhatikan dengan lebih teliti, maka barulah diketahui bahasanya mereka itu fakir, namun mereka muta’affif (memelihara diri dari meminta-minta)… Hal ini hanya bisa diketahui oleh mereka yang dianugerahi Allah firasat sehingga dapat mengetahui kondisi manusia dengan hanya memperhatikan wajahnya secara sekilas [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/368].

Sebagian ulama mendefinisikan bahwa yang dimaksud siimah adalah tanda-tanda ketakwaan seperti bekas sujud, kekhusuyu’an dan ketawadhu’an [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Tidak meminta-minta kepada orang secara mendesak. Hal ini bisa berarti bahwa mereka tidak meminta-minta secara mutlak karena pada redaksi sebelumnya disebutkan bahwa mereka memiliki sifat ‘iffah. Dengan demikian, mereka tidak meminta-minta kepada manusia sama sekali, baik dengan mendesak atau tidak mendesak. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ahli tafsir. Bisa juga berarti mereka meminta kepada orang karena teramat butuh, namun tidak mendesak-desak orang agar memenuhi permintaan mereka [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Inilah keenam sifat yang dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin untuk memilih kepada siapa sedekah atau infak akan disalurkan.

Kedua

Tidak boleh memberikan sedekah kepada orang yang sanggup untuk bekerja karena Allah berfirman لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ. Oleh karena itu, harus selektif dalam memberikan sedekah, karena sedekah tidak diberikan kepada mereka yang malas bekerja kemudian mencari jalan pintas dengan meminta-minta.

Anehnya, di negara kita ini banyak orang yang justru enjoy berprofesi sebagai peminta-minta karena malas dan ajaibnya hasil yang diperoleh dari hasil mengemis itu bisa lebih besar dari penghasilan seorang karyawan atau pegawai negeri. Anggaplah mereka fakir harta, tapi mereka bukanlah fakir dari segi fisik. Artinya, mereka itu pada dasarnya sanggup untuk bekerja namun lebih memilih menjadi peminta-minta.

Alhamdulillah, kami melihat sudah ada gerakan nyata untuk mengatasi hal tersebut di daerah seperti di Yogyakarta terdapat gerakan yang menyerukan kepada masyarakat bahwa peduli kepada peminta-minta bukanlah dengan cara memberikan uang kepada mereka.

Ketiga

Pada hakekatnya peminta-minta yang sering ditemui di jalanan tidak dapat dikatakan sebagai orang yang miskin karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ليس المسكين الذي ترده الأكلة والأكلتان ولكن المسكين الذي ليس له غنى ويستحيي أو لا يسأل الناس إلحافا

Orang miskin itu bukanlah orang yang meminta-minta satu dua kali makan, tapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta yang mencukupi dan malu untuk meminta-minta manusia secara mendesak [Shahih. HR. Al Bukhari: 1406].

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

يس المسكين الذي يطوف على الناس ترده اللقمة واللقمتان والتمرة والتمرتان ولكن المسكين الذي لا يجد غنى يغنيه ولا يفطن به فيتصدق عليه ولا يقوم فيسأل الناس

Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling di tengah-tengah manusia untuk meminta-minta satu dua suap makanan, satu dua buah kurma, akan tetapi orang miskin itu adalah orang yang tidak memiliki kekayaan yang mencukupinya dan kemiskinannya tidak diketahui orang, maka sedekah diberikan kepadanya [Shahih. HR. Al Bukhari: 1409].

Keempat

Kapankah seorang bisa dikatakan meminta-minta dengan mendesak? Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa seorang yang meminta-minta sedangkan ia memiliki apa yang mencukupi kebutuhan dirinya sehingga tidak perlu meminta-minta, maka berarti dia telah meminta-minta dengan mendesak [Tafsir Ibn Katsir 1/432; Asy Syamilah] . Lebih jelas lagi nabi shallahu ‘alai wa sallam bersabda,

من سأل و له أربعون درهما فهو ملحف

Barangsiapa yang meminta-minta dan ternyata memiliki harta sebanyak 40 dirham maka dia telah meminta-minta dengan mendesak [Hasan Shahih. HR. Ibnu Khuzaimah: 2448].

Kelima

Keutamaan ta’affuf (memelihara diri dari meminta-minta) meski miskin, karena firman Allah يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ  orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan keutamaan bagi mereka yang memiliki sifat ta’affuf dalam sabda beliau,

ومن استعف أعفه الله عز وجل
Barangsiapa yang bersikap ‘iffah (menjaga kehormatan diri) niscaya Allah akan menjaga kesuciannya [Hasan Shahih. HR. An Nasaa-i: 2595].

Keenam

Ayat ini merupakan dalil bahwa label fakir boleh disematkan kepada orang yang memiliki pakaian yang cukup mewah karena firman-Nya يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ. Hal itu tidaklah menghalangi pemberian zakat kepada mereka karena dalam ayat ini Allah telah memerintahkan untuk memberi sedekah kepada mereka [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Ketujuh

Seseorang hendaknya memiliki sifatjeli karena Allah ta’ala menyifati orang yang tidak tahu akan kondisi orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas dengan karakter jahil sebagaimana firman-Nya يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ .

Kedelapan

Isyarat akan adanya firasat berdasarkan firman-Nya تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ karena siimah merupakan tanda yang hanya diketahui oleh mereka yang berfirasat kuat [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].

Kesembilan

Pujian kepada orang yang tidak minta-minta kepada manusia berdasarkan firman Allah لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا. Karakter ini merupakan salah satu poin perjanjian tatkala nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaiat para sahabat. Sehingga ketika pecut kuda salah seorang sahabat jatuh, dia tidak meminta tolong kepada rekannya untuk mengambilkan demi mengamalkan janji baiat yang telah diucapkannya. Bagaimana hukum meminta kepada orang lain khususnya terkait harta? Meminta harta kepada orang lain tanpa ada kebutuhan yang darurat merupakan perkara yang diharamkan kecuali kita tahu bahwa orang yang dimintai senang apabila ada yang meminta kepadanya. Jika demikian, maka tidak mengapa meminta kepada orang tersebut, bahkan meminta kepadanya dapat bernilai pahala dikarenakan hal itu termasuk perbuatan menyenangkan hati saudaranya [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].

Kesepuluh

Ayat ini menjelaskan keumuman sifat ilmu yang dimiliki Allah karena segala kebaikan yang dikerjakan hamba, Allah mengetahuinya [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].


Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

Minggu, 11 Februari 2018

Sebelas Fakta Dalam Islam Terkait Homoseksual (LGBT)

Hukum Islam terkait Homoseksualitas atau yang dikenal dengan singkatan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) sangat jelas, namun karena kampanye besar-besaran pihak yang menghalalkannya maka kebenaranpun menjadi kabur. Oleh karena itu di sini perlu saya ingatkan saudara-saudaraku yang muslim tentang delapan fakta hokum Islam terkait homoseksualitas sebagai berikut:

1. Ijma’ Para Ulama bahwa Homoseks adalah dosa besar lebih keji daripada zina.

Para ulama memberi peringatan keras agar umat selamat dari kekejiaannya. Sebagai contoh adalah imam Mujahid yang mengatakan: “Seandainya orang yang melakukan perbuatan itu –maksudnya homoseksual- mandi dengan setiap tetesan air dari langit dan setiap tetesan air dalam bumi niscaya dia tetap najis.” (Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 7/287 no. 5020; Ibn Abi al-Dunya dalam Dzam al-Malahi, hal. 98)

Imam Ibn Sirin berkata: “Tidak ada binatang yang melakukan homo kecuali babi dan himar.” (Syuabul Iman, 7/287, no. 5018)

2. Homoseksual itu adalah penyakit jiwa dan sosial (tidak normal, melampaui batas) (QS. Al-Syu’ara`: 165-166; al-Anbiya’: 74)

Dalam sebuah diskusi Indonesian Lawyer’s Club (ILC) pada Selasa 16 Februari 2016 di salah satu stasiun televisi swasta yang bertajuk “LGBT Marak, Apa Sikap Kita?” dr. Fidiansyah mengatakan, dalam sebuah buku Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) halaman 288, 280, 279 disebutkan homoseksual dan biseksual termasuk dalam gangguan psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan perkembangan dan orientasi seksual.

Menteri Agama Lukman Saifuddin juga pada hari Sabtu 13 Februari 2016 mengatakan bahwa LGBT adalah ‘penyakit sosial’, perlu pencerahan. Dia menegaskan “Kita harus memberikan pencerahan. Setidak-tidaknya kita bisa merangkul mereka keluar dari penyakit sosial.”

3. Homoseksual itu adalah kriminal, jahat, dan merusak (QS. Al-Hijr: 58; al-Ankabut: 29-30)

4. Homoseksual itu lekat dengan Kufur kepada Allah (takdzib, tasykik, benci hukum al-Qur`an, dan tahrif al-Qur`an) (QS. Syu’ara`: 160)

Contoh takdzib dan tahrif adalah apa yang dilakukan oleh Mun’im A. Sirry, dia menulis artikel dan dimuat di Koran Tempo, Rabo 2 Maret 2016, dengan judul Islam, LGBT dan Perkawinan Sejenis. Mun’im Sirry adalah tokoh JIL yang mengajar teologi di Notre Dame AS. Dalam salah satu situs dia mengaku: “Dalam tulisan ini saya akan meruntuhkan argumen tekstual yang acapkali digunakan oleh mereka menolak hak-hak kaum LGBT. Saya akan menggiring perbincangan kita lebih jauh menyangkut prinsip-prinsip yang bisa dikembangkan untuk melegitimasi perkawinan sejenis”.

Kemudian dalam artikel tersebut dia menyimpulkan “Singkatnya ayat-ayat al-Quran mengenai kisah Nabi Luth dan kaumnya tidak dapat dijadikan landasan normatif untuk mendiskriminasi kaum LGBT termasuk melarang menikah sejenis…Yang dilarang oleh al-Quran memperkosa sejenis, bukan menikah sejenis… Kalau menikah sejenis tidak diperintah dan tidak dilarang maka hukumnya boleh karena konsep kemaslahatan!!”

5. Hukumannya adalah hukuman mati, seperti pezina (dengan cara Rajam):

Telah shahih sabda Nabi saw tentang homoseksual (liwath), tetapi tidak pernah ada kasus di zamannya dan di zaman Abu Bakar r.a. sebab bangsa Arab tidak mengenal homoseksual. Nabi i bersabda:

اُقْتُلُوا اْلفَاعِلَ وَالْمَفْعُوْلَ بِهِ

“Bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR. para menulis al-Sunan yang empat dengan sanad Hasan. Lihat Ibnul Qayyim dalam Zad al-Ma’ad: 5/36).

Sedangkan lafazh rajamlah yang di atas dan di bawah, rajamlah mereka berdua semuanya, maka dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam komentarnya atas Sunan Ibn Majah dan didhaifkan oleh yang lain.

Telah Shahih dari Kholifah Usman Ibn Affan bahwa beliau berkata: “Tidakkah kalian telah mengetahui bahwa tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan empat perkara?” Lalu beliau menyebut: “Atau orang yang melakukan perbuatan kaum Luth.” (HR. Ibn Abi Syaibah. Suyuthi dalam al-Hawi, 2/105: ini sanadnya shahih; Ibn Hajar al-Haitami dalam Fatawa Fiqhiyyah, 4/243 juga menshahihkan)

Telah Shahih dari Ibn Abbas bahwa pelakunya dijatuhkan dari tempat tertinggi sambil dilempari batu dari atas (Yahya ibn Ma’in dalam Tarikhnya 4/329; Baihaqi dalam Sunan Kubra, 8/232 dll, dengan sanad shahih)

Dan telah hasan dari Ibn Abbas bahwa pelaku homo dirajam (Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf, Ibn Hazm dalam al-Muhalla, 11/381 dll)

Telah Shahih dari Jabir ibn Zaid, Qotadah, Zuhri, ibn Musayyib bahwa pelaku homoseksual dirajam (mutlak).

Telah shahih dari Atho’, Hasan Bashri, az-Zuhri, Ibrahim Nakha’i, dan ibn Juraij bahwa pelaku homoseksual dihukum seperti hukuman Zina.

Telah shahih dari Nakha’i tiga qaul: “rajam mutlak, had zina, dan ta’zir”.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada Selasa, 3 Maret 2015, mengeluarkan peringatan keras dan merekomendasikan hukuman mati bagi para pelaku lesbian, gay, dan sodomi.

“Sodomi, homoseksual, gay dan lesbi dalam hukum Islam adalah haram dan merupakan perbuatan yang keji yang bisa dikenakan hukuman hingga hukuman mati,” kata Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin AF dalam jumpa pers di kantor MUI Jalan Proklamasi, Menteng, Selasa 3 Maret 2015.

6. Dilaknat pelakunya oleh Allah dan Rasul-Nya

Nabi bersabda yang artinya: “Dilaknat orang yang mencaci ayahnya, dilaknat orang yang mencaci ibunya, dilaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, dilaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, dilaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan, dilaknat orang yang menyetubuhi binatang, dan dilaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth”. Nabi mengucapkan yang terakhir ini 3x. (HR. Ahmad dari Ibn Abbas, 1875. Syu’aib al-Arnautd menghasankannya) (HR. Ahmad dalam Musnad, Abu Ya’la al-Mushili dalam Musnad, 4/414; Ibn Hibban 10/266, dishahihkan oleh al-Albani, Syu’aib al-Arnauth dan Husain Salim Asad).

Catatan: Imam Ibn Hazm juga menetapkan dilaknatnya kaum homoseksual (al-Muhalla bi al-Atsar: 12/396), namun karena tidak sampai kepadanya sanad yang shahih untuk membunuh dan merajamnya maka hukumannya -menurutnya- adalah Ta’zir dan penjara (al-Muhalla, 12/397). Selain itu Ibnu Hazm juga menhukumi murtad orang yang menghalalkan homoseksual.

7. Fitnah keburukan dan penyebaran kaum homoseksual sangat dikhawatirkan oleh Nabi .

Nabi bersabda:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ

“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR. Turmudzi dari Jabir: 1457, hadits Hasan gharib; dihasankan al-Albani; dishahihkan al-Hakim dalam Mustadrak, 8057 dan disetujui al-Dzahabi)

Imam Thabrani meriwayatkan dalam Musnad al-Syamiyyin 1/104 hadits Jabir no 156: “Ingat yang paling aku takutkan menimpa umatku setelahku adalah perbuatan kaum Luth. Maka hendaklah umatku takut datangnya adzab jika wanita cukup dengan wanita dan laki-laki cukup dengan laki-laki.”

8. Para pemuda dan masyarakat harus mengucilkan pelaku homoseksual jika ini efektif untuk membuatnya jera sebagai hukuman sosial.

Ibunda Aisyah s berkata: “Orang pertama kali yang dituduh melakukan perkara buruk ini –maksudnya homoseksual- ada di masa Khalifah Umar, maka Umar memerintahkan para pemuda untuk menjauhinya.” (HR. Mu’ammar ibn Rasyid dalam Jami’nya 11/243, no. 20436 dengan sanad shahih)

9. Penyebaran penyakit sosial ini menyebabkan kehancuran dan adzab

Dari Anas, Rasulullah bersabda: “Jika menyebar di umatku 5 perkara maka kehancuran menimpa mereka: saling melaknat, khamer, babi, alat-alat musik, dan laki-laki cukup dengan laki-laki, perempuan cukup dengan perempuan.” (HR. Abdul Malik ibn Habib al-Qurthubi dalam Adab al-Nisa` yang diberi nama kitab al-‘Inayah wa al-Nihayah no 109, lihat Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, 2/225, no. 2054, hasan lighairihi)

10. Korban dan pelaku LGBT ditolong, disadarkan, ditaubatkan dan diobati dan diruqyah (agar sehat jasmani, akal, jiwa, ruhani dan agamanya)

Ibnu Juraij berkata: “Saya diberi tahu oleh para ulama Madinah bahwa mereka bersepakat apabila setiap orang yang melakukan homoseksual, atau zina, atau menuduh zina, atau minum khamer atau mencuri… diminta untuk bertaubat.” (Riwayat Abdurrazzaq al-Shan’ani dalam Mushannaf, 7/389, no. 13581)

Termasuk diterapi ruqyah syar’iyyah (Majalah al-Umm Edisi 3 tentang LGBT dalam perspektif Ruqyah, dan buku terbitan kami Ruqyah Syar’iyyah untuk korban LGBT).

11. Yang menghalalkan LGBT hukumnya murtad, keluar dari Islam/batal keislamannya

Imam Ibn Hazm al-Andalusi (Abu Muhammad Ali ibn Ahmad al-Zhahiri 456 H) dalam al-Muhalla (12/388) berkata:

فِعْلُ قَوْمِ لُوطٍ مِنْ الْكَبَائِرِ الْفَوَاحِشِ الْمُحَرَّمَةِ: كَلَحْمِ الْخِنْزِيرِ، وَالْمَيْتَةِ، وَالدَّمِ، وَالْخَمْرِ، وَالزِّنَى، وَسَائِرِ الْمَعَاصِي، مَنْ أَحَلَّهُ أَوْ أَحَلَّ شَيْئًا مِمَّا ذَكَرْنَا فَهُوَ كَافِرٌ، مُشْرِكٌ حَلَالُ الدَّمِ وَالْمَالِ. وَإِنَّمَا اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الْوَاجِبِ عَلَيْهِ

“Perbuatan kaum Nabi Luth adalah termasuk perbuatan keji yang besar yang diharamkan; seperti daging babi, bangkai, darah, khamer, zina, dan maksiat-maksiat lainnya. Barang siapa meghalalkannya atau menghalalkan sesuatu dari yang kami sebutkan maka dia kafir, musyrik halal darahnya dan hartanya. Sesungguhnya yang diperselisihkan oleh manusia adalah tentang kewajiban terhadapnya.”

Imam Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini Taqiyyuddin al-Syafi’i 829 H dalam kitab Kifayat al-Akhyar Fi Hall Ghayat al-Ikhtishar, hal 495 berkata:

وَمن اسْتحلَّ الْخمر أَو لحم الْخِنْزِير أَو الزِّنَا أَو اللواط … وَنَحْو ذَلِك مِمَّا هُوَ حرَام بِالْإِجْمَاع وَالرِّضَا بالْكفْر كفر والعزم على الْكفْر كفر

“Dan Orang yang menghalalkan khamer (miras), atau daging babi atau zina atau homoseksual…dan sejenisnya dari hal-hal yang diharamkan secara ijma’. Ridha dengan kekufuran itu adalah kufur, dan bertekad atas kekufuran itu juga kufur.”

Dengan demikian orang yang mengkampanyekan LGBT atau menghalalkannya adalah lebih jahat dan lebih buruk dari pelaku LGBT, dan dariNecrophilia (memuaskan nafsu syahwat dengan mayat).

Demikian delapan fakta hokum Islam terkait LGBT. Semoga bermanfaat.

Minggu, 04 Februari 2018

Seputar Kitab Barzanji


Secara umum peringatan maulid Nabi shallallahu’alaihi wa sallam selalu disemarakkan dengan sholawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung Qasidah Burdah.

Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang diawali dengan dengan membaca kitab Daiba’, lalu Barzanji, kemudian ditutup dengan Qasidah Burdah.

Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan maulid Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bahkan sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak diantara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran.

Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada kitab Barzanji. Berikut uraiannya:

Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga:

1. Cerita tentang perjalanan hidup Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan sastra bahasa yang tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.

2. Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).

3. Sholawat kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, tetapi telah bercampur aduk dengan sholawat bid’ah dan sholawat-sholawat yang tidak berasal dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.

Penulis Kitab Barzanji

Kitab Barzanji ditulis oleh Ja’far al-Barzanji al-Madani , dia adalah khatib di Masjidil Haram dan seorang mufti dari kalangan Syafi’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan diatara karyanya adalah Kisah Maulid Nabi Shalallahu’alahi wa sallam (Al-Munjid fii al A’laam, 125)

Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermahzab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam. Ini dibuktikan dalam do’anya “Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahra di bumi Nu’man”. (Majmuatul Mawalid, hal. 132)

Kesalahan Umum Kitab Barzanji

Kesalahan kitab Barzanji tidak separah yang ada pada kitab Daiba’ dan Qasidah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Quran. Bahkan, dianggap lebih mulia daripada al-Quran. Padahal, tidak ada nash syar’i yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba’ atau Qasidah Burdah.

Sementara, membaca al-Quran yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Quran apalagi pada saat perayaan maulid Nabi. Padahal Nabi Shallallahu’alahi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa membaca 1 huruf dari al-Quran maka dia akan mendapatkan 1 kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Laam Miim satu huruf. Tetapi, Alif 1 huruf, Laam 1 huruf, Miim 1 huruf .” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam shahihul jam’i hadist ke 6468).

Kesalahan Khusus Kitab Barzanji

Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain :

Pertama : Penulis kitab Barzanji menyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu ’alahi wa sallam termasuk ahlul iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.

ﻭَﻗَﺪْ ﺃَﺳْﺒَﺤَﺎﻭَﺍﻟﻠﻪِ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍْﻹِ ﻳْﻤَﺎﻥِ
ﻭَﺟَﺎﺀَﻟِﻬَﺬَﺍ ﻓِﻲ ﺍْﻟﺤَﺪِﻳْﺚِ ﺷَﻮَﺍ ﻫِﺪُ
ﻭَﻣَﺎﻝَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺍﻟْﺠَﻢُّ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻌِﺮْﻓَﺎﻥِ
ﻓَﺴَﻠَّﻢْ ﻓَﺈِﻥََّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺟَﻞَّ ﺟَﻼَﻟُﻪُ
ﻭَﺇِﻥَّ ﺍْﻹِﻣَﺎﻡَ ﺍْﻷَ ﺷْﻌَﺮِﻱَ ﻟَﻤُﺜْﺒِﺖُ
ﻧَﺠَﺎﺗَﻬُﻤَﺎﻧَﺼَّﺎﺑِﻤُﺤْﻜَﻢِ ﺗِﺒْﻴَﺎﻥِ

“Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Ta’ala termasuk ahli iman
Dan telah datang dalil dari hadist sebagai bukti-buktinya.
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat ini
Maka ucapkanlah salam, karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesugguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Quran).” (Lihat Majmuatul Mawalid Barzanji, hal 101)

Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadist dari Anas radliyallahu’ahu:

Bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya “Wahai Rasulullah, dimanakah ayahku (setelah mati)?” Beliau Shalallahu ’alahi wasallam bersabda, “Dia berada di neraka.”

Ketika orang itu pergi, beliau memanggilnya dan bersabda :
“Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di neraka”.
(HR. Muslim dalam shahihnya (348) dan Abu Daud dalam sunannya (4718))

Imam Nawawi berkata :
“Makna hadits ini adalah bahwa, barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka dan kedekatan kerabat tidak berguna baginya. Begitu juga orang Arab penyembah berhala yang mati pada masa fatrah (jahiliyah), maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyimpangan dakwah mereka, kaena sudah sampai kepada mereka dakwah Nabi Ibrahim ‘alahissalam dan yang lainnya.” (Lihat Minhaj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi. 3/74)

Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi Shalallahu ’alahi wasallam dan keduanya beriman dan selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah sekali serta tidak ada satupun yang shahih. Para ahli hadits sepakat akan kedhaifannya seperti Daruquthni, al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khatib, Ibnu Asaki, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurtubi, ath-Tabhari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas. (Aunul Ma’bud, Abu Thayyib (12/324))

Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam Suyuthi berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam beriman dan selamat dari Neraka, namun hal ini menyelisihi para hafidz dan para ulama peneliti hadist. (Aunul Ma’bud, Abu Thayyib (12/324))

Kedua : Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka meyakini bahwa Rasulullah hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyam (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyam (berdiri) mambaca :

ﻣَﺮْﺣَﺒًَﺎﻳَﺎﻣَﺮْﺣَﺒًَﺎ ﻳَﺎﻣَﺮْﺣَﺒًَﺎ
ﻣَﺮْ ﺣَﺒًَﺎﻳَﺎﺟَﺪَّ ﺍﻟْﺤُﺴَﻴْﻦِ ﻣَﺮْﺣَﺒًَﺎ

“Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain selamat datang”

Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang hadir secara fisik? Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan, apakah yang hadir jasad Nabi Muhammad Shallallahu ’alahi wa sallam bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela perayaan Maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.

Padahal Rasulullah Shallallahu ’alahi wa sallam telah berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Ta’ala di surga, sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.

Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa Rasulullah Shallallahu ’alahi wa sallam diyakini hadir, meskipun sebagian mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.

ﻳَﺎﻧَﺒِﻨﻲْ ﺳَﻼَﻡٌُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ
ﻳَﺎﺭَﺳُﻮْﻝ ﺳَﻠَﻢٌُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ
ﻳَﺎﺣَﺒِﺐُ ﺳَﻼَﻡٌُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ
ﺻَﻠَﻮَﺍﺕُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻚَ

“Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu.
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.”

Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisional” berkilah, bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu ’alahi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati.

Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri.

Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau. Bukankah Nabi Muhammad Shalallahu ’alahi wasallam adalah manusia teragung yang lebih layak dihormati dari pada orang lain? (Lihat Fikh Tradisional, Muhyiddin Abdusshamad (277-278))

Ini adalah qiyas yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin menghormati Rasul Shallallahu ’alahi wa sallam disamakan dengan hormat bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau Shalallahu ’alahi wasallam sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi.

Di samping itu, kehadiran Rasul Shalallahu ’alahi wasallam ke dunia merupakan keyakinan bathil karena termasuk perkara gaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah Ta’ala, dan bukan dengan logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara bid’ah. Pengagungan Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam terwujud dengan cara menaatinya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya dan mencintainya.

Melakukan amalan bid’ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu’alahi wa sallam. Demikian juga dengan cara perayaan maulid Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam, perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang tercela.

Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam adalah para shahabat, sebagaimana perkataan Urwah bin Mas’ud kepada kaum Quraisy :

“Wahai kaumku, demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada Kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang Raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad. Tidaklah Muhammad meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka.

Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila beliau berwudhu, mereka saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka.” (HR. Bukhari : 3/187, no. 2731, 2732, al-Fath 5/388)

Bentuk pengagungan para shahabat kepada Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakan acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul Shallallahu’alahi wa sallam sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.

Jika para pembela maulid tersebut berdalih dengan hadits Nabi Shalallahu’alahisasalam, “Berdirilah kalian untuk tuan atau orang yang paling baik di antara kalian” (Shahih HR. Bukhari-Muslim dalam shahihnya), maka alasan ini tidak tepat.

Memang benar Imam Nawawi berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai keutamaan, (Lihat Minhaj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313).

Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah Shallallahu ’alahi wa sallam. Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul kepada orang-orang Anshar agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Mu’adz radliyallahu ’anhu turun dari keledainya, karena ia sedang terluka parah, bukan menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara berlebihan. (Lihat Ikmalil Mu’lim bi Syarah Shahih Muslim, Qadhi ‘Iyadh, 6/105).

Ketiga : Penulis Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.

ﻓِﻴﻚَ ﻗَﺪْ ﺃَﺣْﺴَﻨْﺖُ ﻇَﻨِّﻲْ
ﻳَﺎﺑَﺸِﻴْﺮُ ﻳَﺎﻧَﺬِﻳْﺮُ
ﻓَﺄَﻏِﺜْﻨِﻲْ ﻭَ ﺃَﺟِﻦ
ﻳَﺎﻣُﺠِﻴْﺮُﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻌِﻴْﺮِ
ﻳَﺎﻏَﻴَﺎﺛِﻲْ ﻳَﺎﻣِﻼَﺫِﻱْ
ﻓِﻲْ ﻣُﻬِﻤَّﺎﺕِ ﺍْﻷُﻣُﻮْﺭِ

“Padamu sungguh aku telah berbaik sangka.
Wahai pemberi kabar gembira
wahai pemberi peringatan
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku.
Wahai pelindung dari neraka sa’ir.
Wahai penolongku dan pelindungku.
Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)”.

Sikap berlebihan kepada Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam, mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi Allah Ta’ala dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau dan bersumpah dengan nama beliau merupakan sikap yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan syirik.

Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk dan manhaj dakwah beliau Shallallahu’alahi wa sallam, bahkan menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu Tauhid.

Nabi telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut, sehingga beliau Shallallahu ’alahi wa sallam bersabda :

“Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. AKu hanyalah seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR. Bukhari dalam shahihnya 3445)

Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa ‘alahissalam sebagai sekutu bagi Allah dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Ta’ala, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu’alahi wa sallam telah memberi peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya :

“Janganlah kalian jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah shalawat atasku, sesungguhnya shalawatmu akan sampai kepadaku dimanapun kaum berada”. (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih (2042) dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram : 125)

Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam memberikan peringatan keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan beliau.

Bahkan, ketika ada orang yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shalallahu ’alahi wasallam, mereka berkata :

“Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau adalah orang terbaik di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi Shallallahu’alahi wa sallam bersabda kepada mereka :

“Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan mengelincirkanmu.”
(Shahih, disahhihkan oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram 127, lihat takhrij beliau di dalamnya).

Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampaui batas terhadap Nabi adalah bersumpah dengan anma beliau, karena adalah bentuk pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Ta’ala.
Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah Ta’ala, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari-Muslim dalam shahihnya 2679 dan 1646)

Cukuplah dengan hadist tentang larangan bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu’alahi wa sallam menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan hadist tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.

Keempat : Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu’alahi wa sallam.

Para pengagum kitab Barzanji menganggap bahwa membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam merupakan ibadah yang sangat terpuji.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻣَﻼَﺋِﻜَﺘَﻪُ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻳَﺂﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠِّﻤُﻮﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴﻤًﺎ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻣَﻼَﺋِﻜَﺘَﻪُ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻳَﺂﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠِّﻤُﻮﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴﻤًﺎ

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al-Ahzab: 56).

Ayat ini yang mereka jadikan dalil untuk membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulid Nabi Shallallahu’alahi wa sallam. Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulid Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam.

Tidak dipungkiri bahwa bershalawat atas Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam terutama ketika mendengar nama Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan shalawat atas Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam, ia akan terhalang dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan akhirat, karena :

1) Terkena doa Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam yaitu sabda beliau:

“Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku disisnya, namun ia tidak bershalawat atasku.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya 2/254, At-Tirmidzi dalam Sunannya 3545 dan dishahihkan oleh al-Albani dal ‘Irwa : 6)

2) Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam, beliau bersabda :

“Orang bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku disisinya, ia tidak bershalawat atasku”. (Shahih, HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya 3546, Ahmad dalam Musnadnya 1/201, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ‘Irwa : 5).

3) Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Ta’ala, karena meninggalkan shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya.
Nabi bersabda :

“Barangsiapa membaca shalawat atasku skali, maka Allah Ta’ala bershalawat atasku 10 kali”. (HR. Imam Muslim dalam Shahihnya 284).

4) Tidak mendapatkan keutamaan shalawat dari Allah Ta’ala dan para malaikat.

Allah Ta’ala berfirman :
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang teramg dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (QS. Al Ahzab 33:34)

Bahkan membaca shalawat menyebabkan hati menjadi lembut, karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir.

Dengan dzikir, hati menjadi tentram dan damai sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dangan mengingat Allah Ta’ala. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (QS. Ar-Ra’du 13:28).

Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar dan ikhlas karena Allah Ta’ala semata, bukan shalawat yang dikotori oleh bid’ah dan khurafat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah Shallallahu ’alahi wa sallam, sehingga bukan mendapat ketentraman di dunia dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allah Ta’ala.

Siksaan tersebut bukan karena mambaca shalawat, namun karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam peringatan maulid Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap syariat.

Kelima : Penulis kitab Barzanji juga meyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu ’alahi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya :

ﻭَﻣَﺎﺯَﺍﻝَ ﻧُﻮْﺭُﺍﻟْﻤُﺴْﻄَﻔَﻰ ﻣُﺘَﻨَﻘِّﻼًَ
ﻣِﻦَ ﺍﻟﻄَّﻴِّﺐِ ﺍْﻷَﺗْﻘَﻲ ﻟِﻄَﺎﻫِﺮِﺃَﺭْﺩَﺍﻥٍِ

“Nur musthafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni”

Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata :

“Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam memilik cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut”.

Demikian juga perkataan Ibnu Arabi Attha’i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam ‘alahissalam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad Shallallahu ’alahi wa sallam yaitu penutup para Nabi. (Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasulullah oleh Abdur Rauf Utsman (169-192)).

Perlu diketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum jahiliyah.

Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan mereka seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa ‘alahissalam, seperti ; dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip Trinitas mereka. Bahkan mereka adalah kepunyaan Allah Ta’ala dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun, mereka menyembah Tuhan-Tuhan mereka dengan keyakinan bahwa Tuhan-Tuhan mereka itu mempu memberi syafaat dan menolong mereka.

Demikian uraian sekilas tentang sebagian kesalahan kitab Barzanji, semoga bermanfaat.

Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12 Th. XII Rabiul Awal 1430/Maret 2009 oleh: Al-Ustadz Zainal Abidin, Lc