Minggu, 30 Desember 2018

Hukum Pemeriksaan Dan Operasi Keperawanan



Hal ini memang menjadi polemik dan memang merupakan permasalah fikih kontemporer. Ada pro-kontra dalam permasalahan ini, baik dari segi kemanusiaan dan tinjauan syariat. Berikut beberapa fatwa ulama mengenai hal ini.

Pemeriksaan keperawanan sebelum menikah

Terdapat fatwa yang melarang hal ini karena menimbang mashlahat dan mafsadahnya. Salah satunya karena bisa menimbulkan kecurigaan dan mengawali pernikahan dengan rasa setengah tidak percaya dengan calon pasangannya. Sehingga bisa berdampak negatif dalam menjalani rumah tangga selanjutnya.

Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (semacam MUI di Saudi).

Pertanyaan:

Saya seorang pemudi muslimah di Prancis, saya ingin tahu hukum pergi ke dokter wanita untuk memastikan bahwa saya masih perawan karena permintaan calon suami saya, perlu diketahui bahwa dokter tersebut bukan dokter muslimah. Terima kasih.

Jawaban:

لحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد:
فكشف العورة بين غير الزوجين من المحرمات التي يجب على المسلم الحذر منها، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: احفظ عورتك إلا من زوجتك أو ما ملكت يمينك. رواه الترمذي وغيره.
وعورة المرأة مع المرأة ما بين السرة والركبة، ويشتد ذلك إذا كان في الفرج، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: ولا تنظر المرأة إلى عورة المرأة. رواه مسلم.
وقد استثنى العلماء من هذا ما دعت إليه ضرورة كالعلاج، قال الكاساني: ولا يجوز لها أن تنظر ما بين سرتها إلى الركبة إلا عند الضرورة بأن كانت قابلة فلا بأس لها أن تنظر إلى الفرج عند الولادة. ا.هـ
وما ذكرته السائلة لا يدخل ضمن الضرورة المبيحة للكشف، وبالتالي لا يجوز لها فعل ذلك ولو كان بقصد الزواج

Membuka aurat selain suami-istri termasuk yang diharamkan, wajib bagi setiap muslim memperhatikannya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“jagalah auratmu kecuali dari istri dan budak-budak wanitamu” (HR. Tirmidzi dan lainnya)

Aurat wanita dengan wanita yang lain adalah antara pusar dan lutut, apalagi jika itu adalah kemaluan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Janganlah seorang wanita melihat aurat wanita yang lainnya” (HR. Muslim)

Maka hal ini (pemeriksaan keperawanan) tidak boleh baginya.

Sebagian ulama mengecualikan (membuka aurat) jika ada kebutuhan darurat seperti pengobatan, berkata Al-Kasani,

“Melihat antara pusat (wanita) dan lututnya kecuali ketika darurat, jika ia seorang bidan maka tidak mengapa melihat kemaluannya ketika melahirkan”

Dan apa yang disebutkan oleh penanya bukanlah termasuk darurat yang membolehkan dibukanya aurat. Tidak boleh baginya melakukan hal ini walaupun dengan tujuan menikah. [Dinukil dari: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=46607]

Kemudian dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah yang lain dijelaskan:

ثم إنا ننبه إلى أن البكارة ليست من شروط الزواج، كما أنه يتعين على أبوي الفتاة حماية دينها وعرضها ووقايتها من النار بتعليمها أمور دينها وحملها على العفة والبعد عن جميع ما يخدش عفتها وعرضها، وأما الاتكال على فحص البكارة فإنه لا يجدي شيئا؛ إذ قد تفقد الفتاة عذريتها بسبب عارض كوثبة، أو باغتصاب لا دخل لها فيه، أو بتكرار اندفاع الحيض بشدة أو غير ذلك، وفي الحالة هذه لا يجوز للمجتمع ظلمها ولا اتهامها بالسوء، ولا يجوز لزوجها أن يتهمها بالشر، ولا خيار له في فراقها بسبب فقدان البكارة إن لم يكن اشترط عذريتها عند الزواج،
وبناء عليه، فإن هذه الفحوص لا تحل المشكلة، وقد نص الفقهاء على أنه لا يجوز لأولياء البنت أن يذكروا سوابق أخلاقها السيئة فقد نهى عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن ذلك.

Kemudian kami mengingatkan bahwa keperawanan bukanlah syarat pernikahan.  Sebagaimana wajib bagi kedua orang tua gadis menjaga agama dan kehormatannya, menjaganya dari neraka dengan mengajarkannya ilmu agama dan menjaga kehormatannya serta menjauhkan dari apa bisa merusak kemuliaan dan  kehormatan.

Adapun bersandar dengan pemeriksaan keperawanan tidak menjamin. Karena seorang gadis kehilangan keperawanan dengan sebab tertentu seperti melompat (kemudian jatuh), pemerkosaan atau berulang tertahannya haidh dengan keras atau yang lainnya. Dalam keadaan ini tidak boleh bagi masyarakat mendzaliminya dengan tuduhan yang jelek, tidak boleh bagi suaminya menuduh dengan tuduhan yang jelek. Tidak ada pilihan (hak) baginya untuk berpisah (menceraikan) karena sebab tidak perawan kecuali ia mempersyaratkan istri harus perawan ketika akan menikah.

Berdasarkan hal ini maka pemeriksaan ini (pemeriksaan keperawanan) tidak memecahkan masalah. Ulama telah menegaskan bahwa tidak boleh bagi wali wanita menyebutkan kelakuan-kelakuan jelek wanita tersebut sebelumnya, Umar bin Khattab telah melarang hal tersebut. [Diringkas dari: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=58606]

Fatwa yang membolehkan ketika ada kebutuhan mendesak

Ada juga ulama yang membolehkan ketika ada kebutuhan mendesak, misalnya suami yang tidak percaya kepada istrinya, sedangkan istri berkeyakinan ia masih perawan. Dan mereka sudah menikah (bukan pemeriksaan sebelum menikah). Maka untuk lebih melegakan hati suami dan mempertahankan rumah tangga, maka boleh dilakukan pemeriksaan keperawanan.

Pertanyaan:

Bolehkah bagi kami melakukan pemeriksaan untuk memastikan keperawanan?

jawaban:

الجواب : ( الحمد لله ، إذا كان المراد إجراء كشف طبي لإثبات البكارة فلا بأس به عند الحاجة إليه بطلب الزوج ، لا سيما عند التهمة وقد يتعين ذلك إذا لم يكن وسيلة سواه ) ( الشيخ : عبد الكريم الخضير

Alhamdulillah, jika tujuan dari pemeriksaan kedokteran tersebut untuk memastikan keperawanan, maka tidak mengapa jika ada kebutuhan misalnya permintaan suami. Lebih-lebih jika terjadi tuduhan dan harus melakukan hal tersebut jika tidak ada sarana pemeriksaan yang lain. (Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair) [Sumber: http://islamqa.info/ar/ref/26334]

Demikianlah mengenai hal ini, maka hukumnya dirinci, harus mempertimbangankan mashlahat dan mafsadat serta memaparkan keadaan-keadaan yang lain kepada ulama/ustadz yang berilmu sehingga bisa diambil kesimpulan hukum yang mungkin berbeda dalam setiap kasus individu tertentu. Wallahu a’lam.

Operasi Mengembalikan Keperawanan (selaput dara)

Permasalahan ini adalah permasalahan fiqh kontemporer, di mana ada beberapa pendapat mengenai permasalahan ini. Secara ringkas pendapat tersebut sebagai berikut:

Pendapat pertama:

HARAM bagi mereka yang kehilangan keperawanan  karena maksiat seperti berzina atau sudah pernah berhubungan badan dengan pernikahan yang sah. Hampir semua fatwa ulama jika kasusnya seperti ini

Syaikh Khalid Al-Muhslih menukilkan pendapat gurunya yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Ustaimin,

مَعَ أننا نرى منعَ هذهِ العمليةِ مطلقًا؛ لأنها تفتحُ بابَ الشرِّ، فتكونُ كلُّ امرأةٍ تشتهي أن تزنيَ زنتْ، وإذا زالتْ بكارتُها أجرتِ العملي

“Kami berpendapat tidak bolehnya operasi semacam ini secara mutlak karena akan membuka pintu keburukan. Wanita akan mudah untuk dizinahi dan berzina, apabila hilang keperawanannya maka ia akan melakukan operasi Caesar.” [Sumber: https://almosleh.com/ar/index-ar-show-49588.html]

Pendapat kedua:

BOLEH jika pecahnya selaput dara disebabkan bukan hal maksiat atau pernikahan yang sah, seperti terjatuh atau atau kecelakaan untuk menghindari kecurigaan suaminya kelak yang berujung bisa retaknya hubungan rumah tangga

Sebagaimana fatwa berikut,

فقد سبق أن بينا أن ترقيع غشاء البكارة لا يجوز لما يترتب على ذلك من مفاسد شرعية ذكرنا طرفا منها وذلك بالفتوى رقم: 5047.

فهذا هو الأصل، ولكن قد تكون هنالك بعض الملابسات تستدعي القول بجواز مثل هذه العملية دفعا للضرر كما هو الحال في البكر التي زالت بكارتها بوثبة أو ظفر ونحو ذلك وغلب على ظنها أن يلحقها ضرر عظيم كالأذى الشديد أو القتل، وقد بينا ذلك بالتفصيل بالفتوى رقم: 49021

Telah kami jelaskan sebelumnya bahwa operasi menutup selaput dara tidak boleh karena akan menimbulkan kerusakan-kerusakan dalam syariat sebagaimana yang kami sebutkan pada fatwa no. 5047

Inilah hukum asalnya (yaitu haram), akan tetapi terkadang ada beberapa keadaan yang menuntut pendapat bolehnya operasi ini untuk mencegah bahaya (masalah yang timbul) seperti keadaan seorang gadis yang kehilangan keperawanannya akibat loncatan (yang keras) atau kuku (robek karena kuku) atau yang lainnya. Menurut dugaan kuatnya ia akan mendapatkan bahaya (masalah) besar misalnya gangguan yang besar atau pembunuhan, telah kami jelaskan rinciannya dalam fatwa no. 49021. [Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=179743]

Pendapat ketiga:

HARAM secara MUTLAK

Dengan menimbang berbagai mafsadah dan mashlahat di saat ini dan di zaman ini. Dan inilah pendapat yang terkuat, sebagaimana kaidah fiqhiyah.

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat

Maka menolak mafsadah lebih didahulukan, di zaman ini di mana pergaulan bebas sudah merasuki bahkan sampai ke pedesaan akibat majunya teknologi internet dan komunikasi. Maka jika dibiarkan ada praktek terbuka operasi mengembalikan keperawanan, maka bisa saja setiap orang akan mengaku bahwa ia kehilangan keperawanan karena bukan sebab maksiat. Kemudian bisa terjadi krisis kepercayaan para suami terhadap istri mereka.

Berikut penjelasan secara merinci pendapat ini, sekaligus jawaban-jawaban terhadap fatwa yang membolehkan. Syaikh Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqiti berkata,

Tarjih (pendapat terkuat):

Dan yang rajih –wal ‘ilmu ‘indallah- adalah pendapat tidak dibolehkan operasi mengembalikan keperawanan secara mutlak dengan alasan sebagai berikut:

Pertama: Benarnya apa yang disebutkan oleh ulama yang berpendapat tidak bolehnya dalam pendalilan

Kedua: adapun pendalilan pendapat kedua (boleh pada keadaan khusus) maka dijawab (dibantah) sebagai berikut:

Jawaban pertama: Menutup aib  yang dituntut adalah apa yang didukung oleh nash-nash syariat dengan ‘itibar dan wasilah dan operasi mengembalikan keperawanan tidak mewujudkan hal tersebut.

Jawaban kedua: Menutup prasangka buruk (suami) bisa dilakukan dengan jalan memberitahukan sebelum menikah (misalnya selaput dara pecah ketika kecelakaan, pent) . Jika ia ridha maka ia akan menikahi wanita tersebut jika tidak maka Allah akan menggantikannya dengan yang lain.

Jawaban ketiga: Mafsadah yang disebutkan tidaklah hilang secara total dengan operasi tersebut karena kemungkinan bisa diketahui (misalnya pernah berzina, pent) walaupun dengan cara diberi tahu dari yang lain. Kemudian mafsadah juga bisa terjadi dengan menikahkan wanita tanpa memberitahukan kepada suaminya bahwa keperawanannya telah hilang, yang selayaknya diberitahu dan suaminya tahu (misalnya keperawanan hilang saat jatuh). Jika ia lakukan, Maka hilanglah mafsadah tersebut.

Jawaban keempat: Sebagaimana menyembunyikan (fakta tidak perawan) memiliki mashlahat, maka ia juga menimbulkan mafsadat, di antaranya memudahkan jalan timbulnya perbuatan keji zina dan menolak mafsadat lebih didahulukan daripada mendatangkan mashlahat.

Jawaban kelima: Kita tidak bisa selamat dari tidak menipu karena keperawanan buatan ini, karena bukan keperawanan yang asli. Seandainya kita selamat dari penipuan suami pada  keadaan hilangnya keperawanan dengan alami karena loncatan (kemudian jatuh) akan tetapi kita tidak selamat dari penipuan jika hilangnya karena pemerkosaan (sexual abuse).

Ketiga: Menutup jalan-jalan kerusakan sebagaimana pendapat pertama (haram secara mutlak) adalah perkara yang sangat penting, khususnya jika jika dikembalikan dalam masalah pelanggaran kehormatan kemaluan dan mafsadah yang ditimbulkan pada pendapat yang membolehkan.

Keempat: Hukum asalnya adalah haram membuka aurat, menyentuh dan melihatnya dan alasan-alasan (udzur-udzur) yang disampaikan oleh pendapat yang membolehkan tidaklah kuat untuk sampai pada derajat dibolehkannya operasi ini. Maka wajib “tetapnya hukum haram” pada operasi mengembalikan keperawanan ini.

Kelima: Mafsadah tuduhan (berzina jika suami tahu selaput daranya telah robek, pent), maka tuduhan ini bisa di hilangkan dengan persaksian kedokteran setelah kejadian (misalnya jatuh) dan terlepasnya tuduhan dari seorang wanita dengan cara ini adalah cara yang paling ideal serta tidak membutuhkan cara operasi.

Dengan  alasan ini seluruhnya maka tidak boleh bagi seorang dokter maupun wanita melakukan operasi semacam ini. Wallahu a’lam (lihat kitab Ahkamul Jarahati Thibbiyah Wal Aatsarul Mutarabbatu ‘Alaiha oleh syaikh Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqiti) [Sumber: http://islamqa.info/ar/ref/844]

Fatwa Bisa berubah sesuai zaman dan keadaan

Untuk di zaman kita sekarang dan fatwa secara umum maka sebagaimana pendapat terkuat adalah haram secara mutlak. Akan tetapi untuk kasus tertentu, keadaan tertentu, tempat serta individu tertentu maka fatwa bisa menjadi boleh dengan beberapa syarat yang telah di sampaikan. Tentunya setelah berdiskusi dan bermusyawarah dengan ahli ilmu yang mumpuni. Oleh karena itu kita dapati beberapa fatwa ulama yang membolehkan dengan syarat-syarat.

Sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh Muhammad Shalih  Al-Munajjid setelah merajihkan pendapat haram secara mutlak, beliau berkata,

وقد أفتى بعض أهل العلم المعاصرين بجواز إجراء عملية الرّتق للمغتصبة والتائبة وأمّا غير التائبة فلا لأنّ في ذلك إعانة لها على الاستمرار في جريمتها ، وكذلك التي سبق وطؤها لا يجوز إجراء العملية لها لما في ذلك من الإعانة على الغشّ والتدليس حيث يظنّها من دخل بها بعد العملية بكرا وليست كذلك ، والله تعالى أعلم

Sebagian ulama di masa sekarang telah memberikan fatwa bolehnya melakukan operasi mengembalikan keperawanan bagi wanita yang diperkosa atau wanita yang telah bertaubat. Adapun wanita yang belum bertaubat maka tidak boleh karena hal tersebut adalah menolong mereka untuk terus-menerus dalam kemaksiatan. Demikian juga bagi wanita yang telah melakukan hubungan badan dengan pernikahan yang sah maka tidak boleh melakukan operasi ini karena bisa meolong mereka dalam menipu dan mengelabui di mana suami setelahnya akan mengira di adalah wanita perawan padahal tidak demikian. Wallahu ‘alam [Sumber: http://islamqa.info/ar/ref/844]

Inilah yang dimaksud dengan kaidah fiqhiyah,

الفتوى تتغير بتغير الزمان والمكان والعرف والحال
Fatwa (hukum) berubah dengan perubahan zaman, tempat, kebiasaan dan keadaan

Wallahua’lam

Hasil Tes DNA Dalam Kasus Perzinahan


Sering kita mendengar tes DNA untuk memastikan siapkah orang tua (bapak) dari anak yang dikandung oleh seorang wanita. Tes ini diklaim cukup valid, sehingga sering dipakai dalam berbagai kasus bahkan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam pengadilan. Terlepas dari permasalahan validitas, kita melihat bagaimana kacamata syariat melihat hal ini.

Membedakan Nasab biologis dan nasab syar’i

Dua hal ini berbeda, sebagai contoh kasus anak yang  lahir dari hasil perzinahan. Maka anak tersebut tidak dinasabkan kepada bapaknya secara syariat. Anak tersebut memang adalah anak biologis dari bapaknya (lahir dari benih sperma bapaknya), akan tetapi bukan anak bapak tersebut secara syariat.

Berikut penjelasan yang lebih rinci:

Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,

قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka, tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya.” [HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

“Anak yang lahir adalah bagi pemilik kasur (dinasabkan kepada suami yang sah), dan seorang pezina tidak punya hak (pada anak hasil perzinaannya).” [Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

فمعناه أنه إذا كان للرجل زوجة أو مملوكة صارت فراشا له فأتت بولد لمدة الإمكان منه لحقه الولد وصار ولدا يجري بينهما التوارث وغيره من أحكام الولادة سواء

“Jika seorang laki-laki memiliki istri atau seorang budak wanita, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi suaminya (anak yang dikandung dinasabkan kepada suaminya atau pemilik budak). Selama sang wanita menjadi firasy lelaki maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. [Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10:37, Darul Ihya’ AT-Turast, Beirut, cet.II, 1392 H, syamilah]

Jadi, anak tersebut tetap dinasabkan (nasab syar’i) kepada pemilik kasur (suaminya yang sah) walaupun misalnya istrinya selingkuh dan anak tersebut lahir bukan dari benih suaminya, maka anak tersebut tetap anak suaminya secara syariat (walaupun nasab biologisnya bukan anak suaminya)

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

حتى لو أن امرأة أتت بولد وزوجها غائب عنها منذ عشرين سنة لحقه ولدها

“walaupun hingga seorang istri melahirkan anak suaminya yang sedang pergi (tidak ada) selama 20 tahun, maka anak tersebut dinasabkan (nasab syariat) kepada suaminya.” [Al-Mughni  6/420, Darul Fikr, Beirut, cet. I, 1405 H, syamilah]

Dan laki-laki yang berzina tidak berhak atas anak zinanya tersebut, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

بمعنى أنه لو كانت المزني بها لا فراش لها، وادعى الزاني أن الولد ولده فهل يلحق به؟ الجمهور على أنه عام، وأنه لا حق للزاني في الولد الذي خلق من مائه

“Maknanya jika seorang berzina dengan bukan firasy-nya (bukan istri sah), kemudian ia mengklaim anak tersebut adalah anaknya, apakah anak tersebut dinisbatkan kepadanya? Pendapat jumhur ulama bahwa lafadz (hadits) umum, tidak ada hak bagi pezina pada anak tersebut yang (walaupun) diciptakan dari maninya.” [Syarhul Mumti’ 12/17, Dar Ibnul Jauzi, cet. I, 1422 H, syamilah]

Dengan demikian, seluruh hukum nasab antara anak zina dengan bapaknya tidak berlaku, yaitu:

1. Bapak dan anak zinanya tidak saling mewarisi.

2. bapaknya tidak wajib memberi nafkah kepada anak zinanya.

3. Bapaknya bukan mahram bagi anak zinanya (jika dia wanita),

kecuali jika bapaknya menikah dengan ibu anak tersebut dan telah melakukan hubungan jimak suami-istri (keduanya bertaubat dari zina dan menikah sah)  maka anak zina tersebut statusnya adalah rabibah (anak perempuan istri dari suami sebelumnya, yang menjadi asuhannya dan anak perempuan yang dibawa oleh istrinya adalah mahram baginya)

Sebagimana dalam ayat,

وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ

“ (diharamkan bagimu) anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu/pengasuhanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.” (An-Nisa’ :23)

4. Bapaknya tidak bisa menjadi wali, menikahkan anak zinanya itu dalam pernikahan.

Yang menikahkan adalah qhadi (hakim pemerintah, dalam hal ini adalah KUA), sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ

“Penguasa adalah wali nikah bagi perempuan yang tidak memiliki wali nikah” [HR Abu Daud no 2083 dan dinilai shahih oleh Al-Albani]

Jangan sampai bapaknya menikahkan anak zinanya (perempuan), maka status pernikahan tidak sah, maka anak yang lahir dari pernikahan tersebut juga statusnya anak zina secara syariat.

Hasil tes DNA untuk menetapkan nasab biologis tidak untuk nasab syar’i

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya mengenai anak hasil zina kemudian bapaknya ditentukan dengan pemeriksaan DNA, beliau menjawab:

والحاصل أن الولد لأبيه وإن أظهرت التحاليل أنه ليس منه.

“kesimpulannya, anak tersebut dinasabkan (nasab syar’i) kepada bapaknya (pemilik kasur), walaupun hasil tes pemeriksaan (DNA) menunjukkan bahwa anak tersebut bukan anaknya.” [Al-Irsyad lii Thabibil Muslim pertanyaan no.19, syamilah]

Kesimpulannya:

-Jika sepasang pemuda-pemudi berzina

Kemudian lahir anak zina, maka anak tersebut dinasabkan (secara syar’i) kepada Ibunya tidak kepada bapaknya. Dan tidak berlaku hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum bapak-anak sebagaimana telah dijelaskan.

-Jika suami tidak mengakui anak yang dikandung istrinya

Misalnya suami menuduh istrinya berzina. Maka hukum asalnya anak dalam kandungan istrinya itu adalah anaknya secara syariat, meskipun suaminya tidak mengakui anak tersebut anaknya, akan tetapi secara syariat anak dalam kandungan istrinya adalah anaknya secara syar’i (nasab syar’i), meskipun ia bukan bapak biologis dari anak tersebut. Meskipun dengan pemeriksaan tes DNA anak tersebut bukan anaknya.

Jika ia (suami) ingin tidak mengakui anak tersebut secara syar’i dan biologis, maka ia menuduh istrinya berzina dan wajib mendatangkan bukti, jika tidak ada bukti maka sang suami akan dijatuhi hukuman hadd cambuk. Jika ingin tidak dicambuk, maka ia akan melakukan li’an (saling melaknat).

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُن لَّهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ ۙ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَن تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ ۙ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِن كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan Nama Allah, sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas Nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atas-nya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” [An-Nuur: 6-9]

Alhamdulillah, Semoga bermanfaat.

wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam