Sabtu, 31 Oktober 2015

Islam Menghapus Agama Sebelumnya

Islam Menghapus Agama-Agama Sebelumnya dan Penyempurna Bagi Seluruh Agama

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:
وَ الَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ! لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَ لاَ نَصْرَانِيٌّ , ثُمَّ يَمُوْتُ وَ لَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ, إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
"Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentangku salah satu dari umat ini, baik ia Yahudi dan Nashrani, kemudian ia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepadaku, melainkan ia menjadi penghuni neraka".

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman (I/134). Juga Imam Ahmad dalam Musnad (II/466) dan Ibnu Mandah dalam Kitab Tauhid (I/314) dan juga dalam Kitabul Iman (II/192), Mustakhraj Abu Awanah (I/104) semuanya diriwayatkan dari Abu Hurairah radliayallahu ‘anhu. Syaikh Al Albani menjelaskan dalam kitabnya Silsilah Hadits Ash Shahihah hadits no.157, bahwa hadits ini shahih. Sebagian jalannya sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim dan sebagian sesuai dengan syarat Muslim.

Syarah Hadits

Ajaran untuk menikah membedakan antara manusia dengan hewan. Sehingga tatakala lahir seorang bayi dari seorang ibu tanpa adanya suami, dianggapnya hal ini keluar dari kewajaran dan suatu keanehan. Kode etik yang ada di tengah-tengah kehidupan, jika seorang wanita melahirkan bayi tanpa suami, maka ia telah melakukan perbuatan zina, suatu perbuatan yang sama dengan hewan, dan ini merupakan aib yang besar di mata manusia. Namun bagi seorang yang mempunyai fitrah salimah dan akal yang sehat, kejadian bayi lahir tanpa bapak pun bisa saja terjadi jika hal ini memang dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Bukan sebagaimana yang telah dilontarkan oleh kaum Nashara, yang dikarenakan adanya bayi lahir tanpa bapak, tetapi dari tiupan ruh Allah, maka anak yang dilahirkan ditetapkan sebagai anak-Nya (dengan asumsi agar ia tidak dipanggil anak zina karena tidak mempunyai bapak).

Ini adalah kalimat yang menjijikkan dan kufur tatkala keluar dari mulut seorang makhluk pada Penciptanya. Sungguh hanya bagi-Nya segala kekuasaan, kehendak dan penciptaan. Tidakkah mereka tengok jauh-jauh ke belakang, di sana ada kejadian yang lebih dahsyat dari semua itu. Yang menjadikan seorang lebih termangu, tak mampu bergerak kecuali hanya duduk menopang dagu. Sadarlah dan ingatlah bahwa Allah yang Maha Esa dan Maha Kuasa mampu menciptakan makhluk-Nya dari seorang lelaki tanpa isteri disisinya (yaitu diciptakannya Hawa). Bahkan lebih dari itu ia pun mampu menciptakan manusia tanpa ayah dan ibu (yaitu diciptakannya Adam) sebagaimana yang tertera dalam firman-Nya :
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
"Sesungguhnya misal (pemciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: (Jadilah [seorang manusia]), maka jadilah ia" (Ali Imran 59)

Allah Ta’ala memperbandingkan penciptaam Isa dengan Adam untuk membantah kedustaan kaum nashara karena mereka telah melontarkan suatu ucapan yang tidak benar dan tanpa alasan, yaitu Isa ‘alaihis salam adalah Tuhan atau anak Tuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa kejadian Isa bukanlah suatu hal yang membingungkan, bukan pula merupakan alasan yang kuat bagi mereka untuk mengatakan Isa itu Tuhan atau anak Tuhan. Justru ini adalah tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah, satu-sataunya Dzat yang Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam, serta seluruh kejadian yang ada di alam ini di bawah kekuasaan dan kehendak-Nya.

Ayat di atas selain membantah kedustaan mereka, juga menjelaskan bahwa tak ada satu pun yang berhak untuk menandingi Allah dari segi manapun. Allah patahkan argumen mereka dengan memberikan permisalan yang lebih dari apa yang mereka lihat, yaitu adanya penciptaan Adam dari tanah. Maka seandainya yang mereka katakan itu betul (bahwa Nabi yang lahir tanpa bapak berarti Allah sebagai bapaknya), tentunya Adam ‘alaihis salam lebih berhak karena ia diciptakan tanpa ayah dan ibu. Sedangkan Isa ‘alaihis sallam dilahirkan hanya tanpa bapak.

Wahai manusia yang berakal. Tak cukupkah bukti ini bagimu? Dengan pemikiran seperti ini telah mereka sesatkan sekian juta umat dari fitrah mereka yang selamat dan akal yang sehat. Dengan doktrin-doktrin yang mereka tanamkan ini, manusia lari dari kebenaran yang hakiki, hanya mimpi-mimpi semu yang mereka dapatkan atau sebungkus mie.

Kebencian kaum salibis mencuat tatkala muncul sayyidul basyar (manusia yang terbaik), habibullah (manusia kekasih Allah), Nabi yang menjadi rahmat seluruh alam, pembawa cahaya yang menerangi jalan yang gelap menuju jalan yang terang, penyempurna akhlak dan tauladan bagi pengikutnya. Mereka lampiaskan kebencian dan kedengkiannya dengan ungkapan yang penuh kedustaan sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah :
وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ
"Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang bernama Ahmad (Muhammad). Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: Ini adalah sihir yang nyata" (Ash Shaf 6)

Pendustaan ini pun tidak berhenti di situ saja. Mereka juga selalu mendengungkan propaganda "kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya". Padahal mereka manusia biasa yang tidak terlepas dari kesalahan dan dosa, sebagaimana yang Allah firmankan dalam kitab-Nya yang mulia:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
"Orang-orang Yahudi dan Nashrani mengatakan: kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya. Katakanlah: Mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu? (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kesakih-Nya). Tetapi kamu manusia biasa diantara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan hanyalah milik Allah kerajaan seluruh langit dan bumi serta apa yang ada diantara keduanya. Dan kepada Allah lah kembali (segala sesuatu)" (Al Maidah 18)

Kaum salibis tidak henti-hentinya menampakkan kecongkakan dan kedustaan dengan angan-angan yang selalu mereka  lontarkan: "Kamilah umat yang terbaik dan petunjuk itu ada pada kami. Tidak ada satu pun yang dapat masuk ke dalam surga kecuali dari golongan kami saja."

Lihatlah kedustaan ini dikisahkan dalam firman Allah:
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
"Dan mereka (Yahudi dan nashrani) berkata:"Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang (beragama) yahudi atau nashrani". Demikian itu hanya angan-angan mereka yang kosong berlaka. Katakanlah:"Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar" (Al Baqarah 111)

وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوا قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
"Dan mereka berkata:"Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi dan Nashrani, niscaya kamu mendapat petunjuk. Katakanlah: Tidak! Melainkan (kami mengiktui) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang-orang yang musyrik" (Al Baqarah 135)

Kebencian dan upaya untuk mempropagandakan agama mereka membuat mereka tidak ridha selama-lamanya sebelum Rasulullah dan umatnya mengikuti agama mereka. Sebagaimna yang telah Allah Ta’ala beritakan dalam kitab-Nya yang mulia:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
"Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka" (Al Baqarah 120)

Pembaca yang dimuliakan Allah, sebagaimana kita ketahui, Allah Ta’ala dengan keadilan, kebesaran dan kesempurnaan kasih sayang-Nya kepada seluruh makhluk-Nya mengutus pada setiap umat seorang Nabi, yang Dia sewrtakan aturan-aturan yang sesuai dengan kebutuhan situasi serta kondisi masing-masing, sebagaimana firman-Nya:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
"Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang" (Al Maidah 48)

Namun meskipun aturan-aturan itu beraneka ragam, tetap ada satu kesepakatan yang Allah perintahkan kepada  setiap Nabi yaitu supaya mengajak umatnya untuk menyembah serta memberikan segala bentuk peribadahan hanya kepada-Nya saja. Firman Allah Ta’ala :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
"Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut itu" (An Nahl 36)

Dengan demikian seluruh nabi dan rasul pada hakekatnya mereka menyeru pada ke-Esaan Allah. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyeru untuk menyembah kepada selain-Nya, termasuk Nabi Isa ‘alaihis salam yang mereka katakan sebagai anak Allah. Nabi Isa pun menyeru kepada kaumnya agar mereka menyembah Allah, Rabb yang mengatur semua alam ini. Firman Allah:
وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَلأحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ وَجِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ. إِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ
"Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu. Karena itu bertaqwallah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus" (Ali Imran 50-51)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan kerububiyahan-Nya (Pencipta, Pengatur Seluruh Alam dan Pemberi Rezeki) yang tidak seorang pun mengingkarinya. Sesungguhnya Dzat yang mempunyai sifat-sifat inilah yang layak untuk disembah, bukan lainnya. Terdapat pula bantahan untuk orang-orang Nasharani yang mengatakan "Isa itu Tuhan atau anak Tuhan". Padahal Nabi Isa sendiri mengikrarkan dirinya "bahwa aku ini adalah seorang hamba (mahkluk). Jangan menyembah kepadaku, tetapi sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhan kamu sekalian", sebagaimana yang Allah firmankan dalam kitab-Nya :
لَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا
"Berkata Isa: Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi" (Maryam 30)

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ
مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمٌ
"Dan ingatlah ketika Allah berfirman: "Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua orang tuhan selain Allah? Isa menjawab:"Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentu Engkau telah mengetahuinya. Aku (Isa) tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan) yaitu: "Sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu" (Al Maidah 116-117)

Dalam ayat lain dijelaskan bahwa setiap yang tunduk dan patuh kepada Nabi-Nya, dikatakan sebagai muslim di jamannya. Contohnya yahudi, mereka dinyatakan sebagai muslimin di jalan Nabi Musa sebagaimana yang Allah firmankan:
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan kepada anak-anaknya ,demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): Wahai anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai muslim" (Al Baqarah 132)

Dan diperintahkan untuk beriman kepada apa-apa yang telah dibawa oleh Nabi-Nabi dan para Rasul sebelumnya. Firman Allah Ta’ala:
قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
"Katakan (hai orang-orang mukmin):  Kami beriman kepada Allah dengan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada Nabi-Nabi dari Tuhannya. Kami tidak membedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk (muslimin) patuh kepada-Nya" (Al Baqarah 136)

Meski demikian keadaannya, Allah Ta’ala telah menjadikan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi Rasul terakhir yang membawa kitab yang sempurna dan menghapus agama-agama sebelumnya. Oleh karena itu tiap orang dari umatnya yang hidup di jaman setelah diutusnya beliau baik dia yahudi, nashrani, majusi dan yang tidak beragama sekali pun, yang mendengar ajaran Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sampai ajaran tersebut kepadanya, kemudian dia tidak mengimaninya, maka tempat kembalinya adalah neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu:

((وَ الَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ! لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَ لاَ نَصْرَانِيٌّ , ثُمَّ يَمُوْتُ وَ لَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ, إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ ))
"Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentangku salah satu dari umat ini, baik ia Yahudi dan Nashrani, kemudian ia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepadaku, melainkan ia menjadi penghuni neraka".

Berkata Imam Nawawi: "Hadits ini mengandung perihal dihapusnya seluruh agama dengan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umat yang dimaksudkan dalam hadits ini, mereka yang hidup di jamannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelahnya sampai hari kiamat. Disebutkannya Yahudi dan Nashrani, dikarenakan kedua golongan ini mempunyai kitab, maka bagi selain mereka yang tidak mempunyai kitab tentunya lenih utama dalam mengimani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikh Al Albani rahimahullah berkata setelah memaparkan hadits ini: "Hadits ini jelas sekali. Siapa pun yang mendengar dakwah beliau dan sampai kepadanya dengan semestinya kemudian dia tidak beriman, maka tempat kembalinya adalah neraka. Tidak ada bedanya apakah ia yahudi, nashrani, masjusi atau tanpa agama".

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: "Islam yang ada sejak Nabi Adam ‘alaihis salam sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi dua bagian:

a.   Islam secara umum, yaitu semua pengikut rasul dikatakan sebagai muslimin di jamannya, seperti halnya yahudi pengikut Musa, mereka muslimin di jaman Musa ‘alaihis salam. Nashara juga dikatakan Muslimin di jamannya Isa ‘alaihis salam.

b.      Islam secara khusus, yaitu Islam yang ada setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menghapus agama-agama sebelumnya dan penyempurna bagi seluruh agama. Barangsiapa yang hidup di jaman setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengingkari ajarannya, maka tidaklah mereka dikatakan sebagai muslimin melainkan kafir.

Dari keterangan di atas, tidak diragukan lagi bahwasanya Allah Ta’ala tidak akan menerima agama apa pun di muka bumi ini kecuali Islam dan Islam yang dimaksudkan adalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan barangsiapa yang menolak maka ia telah mencari kesengsaraan dalam hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. Firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi" (Ali Imran 85)

Adapun firman Allah yang tertera dalam surat Al Baqarah ayat 62 yaitu :
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang yahudi, orang-orang nashrani, dan orang-orang shabi’in, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shalih, mereka akan menerima pahala dari tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula merka bersedih hati’ (Al Baqarah 62)

Ahli Tafsir menjelaskan, keimanan yahudi (mereka yang berpegang teguh kepada Taurat dan ajaran Nabi Musa ‘alaihis sallam) diakui dan diterima sampai diutusnya Nabi Isa ‘alaihis salam. Adapun sesudah datangnya Nabi Isa ‘alaihis sallam dan mereka itu tetap berpegang teguh kepada ajaran Musa, dan tidak meninggalkannya, serta tidak beriman kepada Nabi Isa ‘alaihis salam, maka celakalah ia. Demikian pula keimanan Nashrani diakui sampai diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka setelah itu siapapun yang tetap berpegang teguh kepada Injil dan ajaran Isa serta tidak mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka celakalah ia.


Wallahu a’lam bish shawab

Amalan Ketika Turun Hujan

Apa saja amalan-amalan ketika turun hujan?

Segala puji bagi Allah, pada saat ini Allah telah menganugerahkan kita suatu karunia dengan menurunkan hujan melalui kumpulan awan. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ (68) أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ (69)
Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?” (QS. Al Waqi’ah [56] : 68-69)

Begitu juga firman Allah Ta’ala,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14)
Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.” (QS. An Naba’ [78] : 14)

Allah Ta’ala juga berfirman,
فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ
Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya.” (QS. An Nur [24] : 43) yaitu dari celah-celah awan.

Merupakan tanda kekuasaan Allah Ta’ala, kesendirian-Nya dalam menguasai dan mengatur alam semesta, Allah menurunkan hujan pada tanah yang tandus yang tidak tumbuh tanaman sehingga pada tanah tersebut tumbuhlah tanaman yang indah untuk dipandang. Allah Ta’ala telah mengatakan yang demikian dalam firman-Nya,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الأرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat [41] : 39).

Itulah hujan, yang Allah turunkan untuk menghidupkan tanah yang mati. Sebagaimana pembaca dapat melihat pada daerah yang kering dan jarang sekali dijumpai air seperti Gunung Kidul, tatkala hujan itu turun, datanglah keberkahan dengan mekarnya kembali berbagai tanaman dan pohon jati kembali hidup setelah sebelumnya kering tanpa daun. Sungguh ini adalah suatu kenikmatan yang amat besar.

Sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat hujan yang telah diberikan ini, sebaiknya kita mengilmui beberapa hal seputar musim hujan. Untuk tulisan pertama, kami akan menjelaskan amalan-amalan yang semestinya dilakukan seorang muslim ketika hujan turun. Setelah itu, kita akan memperjari fenomena kilatan petir dan geledek. Dan terakhir kita akan mengkaji bersama mengenai beberapa keringanan di musim penghujan. Semoga bermanfaat.

:: Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan ::

[1] Keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Tatkala Mendung

Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khawatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى نَاشِئاً فِي أُفُقٍ مِنْ آفَاِق السَمَاءِ، تَرَكَ عَمَلَهُ- وَإِنْ كَانَ فِي صَلَاةٍ- ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ؛ فَإِنْ كَشَفَهُ اللهُ حَمِدَ اللهَ، وَإِنْ مَطَرَتْ قَالَ: “اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً”
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat awan (yang belum berkumpul sempurna, pen) di salah satu ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya –meskipun dalam shalat- kemudian beliau kembali melakukannya lagi (jika hujan sudah selesai, pen). Ketika awan tadi telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika turun hujan, beliau mengucapkan, “Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat].” [Adabul Mufrod no. 686]

’Aisyah radhiyallahu ’anha berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا رَأَى مَخِيلَةً فِى السَّمَاءِ أَقْبَلَ وَأَدْبَرَ وَدَخَلَ وَخَرَجَ وَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ ، فَإِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ سُرِّىَ عَنْهُ ، فَعَرَّفَتْهُ عَائِشَةُ ذَلِكَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « مَا أَدْرِى لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمٌ ( فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ ) »
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam apabila melihat mendung di langit, beliau beranjak ke depan, ke belakang atau beralih masuk atau keluar, dan berubahlah raut wajah beliau. Apabila hujan turun, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mulai menenangkan hatinya. ’Aisyah sudah memaklumi jika beliau melakukan seperti itu. Lalu Nabishallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan, ”Aku tidak mengetahui apa ini, seakan-akan inilah yang terjadi (pada Kaum ’Aad) sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), ”Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka.” (QS. Al Ahqaf [46] : 24)” [HR. Bukhari no. 3206]

Ibnu Hajar mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan bahwa seharusnya seseorang menjadi kusut pikirannya jika ia mengingat-ingat apa yang terjadi pada umat di masa silam dan ini merupakan peringatan agar ia selalu merasa takut akan adzab sebagaimana ditimpakan kepada mereka yaitu umat-umat sebelumnya.” [Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ’Asqolani Asy Syafi’i]

[2] Mensyukuri Nikmat Turunnya Hujan

Apabila Allah memberi nikmat hujan, dianjurkan bagi seorang muslim dalam rangka bersyukur kepada-Nya untuk membaca do’a,
اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً
Allahumma shoyyiban naafi’aa [Ya Allah, turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].

Itulah yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ucapkan ketika melihat turunnya hujan. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً »
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”. [HR. Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190, dan An Nasai no. 1523]

Ibnu Baththol mengatakan, ”Hadits ini berisi anjuran untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.”
Al Khottobi mengatakan, ”Air hujan yang mengalir adalah suatu karunia.” [Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol].


[3] Turunnya Hujan, Kesempatan Terbaik untuk Memanjatkan Do’a

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan, ”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.”

Hadits diatas dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohihul Jaami’ no. 1026.

Begitu juga terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallambersabda,
ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَ تَحْتَ المَطَرِ
Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.” [HR. Al Hakim dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shohihul Jaami’ no. 3078.]

[4] Ketika Terjadi Hujan Lebat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah meminta diturunkan hujan. Kemudian ketika hujan turun begitu lebatnya, beliau memohon pada Allah agar cuaca kembali menjadi cerah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,
اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari [Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].” [ HR. Bukhari no. 1014.]

Ibnul Qayyim mengatakan, ”Ketika hujan semakin lebat, para sahabat meminta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam supaya berdo’a agar cuaca kembali menjadi cerah. Akhirnya beliau membaca do’a di atas.” [Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah]

Syaikh Sholih As Sadlan mengatakan bahwa do’a di atas dibaca ketika hujan semakin lebat atau khawatir hujan akan membawa dampak bahaya. [Lihat Dzikru wa Tadzkir, Sholih As Sadlan, hal. 28]

[5] Mengambil Berkah dari Air Hujan

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى
Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.” [HR. Muslim no. 898.]

An Nawawi menjelaskan, “Makna hadits ini adalah hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.” [Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 6/195]

An Nawawi selanjutnya mengatakan, ”Dalam hadits ini terdapat dalil bagi ulama Syafi’iyyah tentang dianjurkannya menyingkap sebagian badan (selain aurat) pada awal turunnya hujan, agar terguyur air hujan tersebut. Dan mereka juga berdalil dari hadits ini bahwa seseorang yang tidak memiliki keutamaan, apabila melihat orang yang lebih berilmu melakukan sesuatu yang ia tidak ketahui, hendaknya ia menanyakannya untuk diajari lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya pada yang lain.” [Syarh Muslim, 6/196.]

Dalam hal mencari berkah dengan air hujan dicontohkan pula oleh sahabat Ibnu ‘Abbas. Beliau berkata,
أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ، يَقُوْلُ: “يَا جَارِيَّةُ ! أَخْرِجِي سَرْجِي، أَخْرِجِي ثِيَابِي، وَيَقُوْلُ: وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكاً [ق: 9].
”Apabila turun hujan, beliau mengatakan, ”Wahai jariyah keluarkanlah pelanaku, juga bajuku”.” Lalu beliau membacakan (ayat) [yang artinya], ”Dan Kami menurunkan dari langit air yang penuh barokah (banyak manfaatnya).” (QS. Qaaf [50] : 9)” [Adabul Mufrod no. 1228. Syaikh Al Albani mengatakan sanad hadits ini shohih dan hadits ini mauquf -perkataan sahabat-].

[6] Dianjurkan Berwudhu dengan Air Hujan

Ibnu Qudamah mengatakan, ”Dianjurkan untuk berwudhu dengan air hujan apabila airnya mengalir deras.” [Al Mughni, 2/295.]

Dari Yazid bin Al Hadi, apabila air yang deras mengalir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
اُخْرُجُوا بِنَا إلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللَّهُ طَهُورًا ، فَنَتَطَهَّرَمِنْهُ وَنَحْمَدَ اللّهَ عَلَيْهِ
Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci.” Kemudian kami bersuci dengan air tersebut dan memuji Allah atas nikmat ini.” [HR Al Baihaqi]

Namun, hadits di atas adalah hadits yang lemah karena munqothi’ (terputus sanadnya) sebagaimana dikatakan oleh Al Baihaqi. Syaikh Al Albani dalam Dho’if Al Jaami’ no. 4416 mengatakan bahwa hadits ini dho’if

Ada hadits yang serupa dengan hadits di atas dan shahih,
كَانَ يَقُوْلُ إِذَا سَالَ الوَادِي ” أُخْرُجُوْا بِنَا إِلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللهُ طَهُوْرًا فَنَتَطَهَّرُ بِهِ “
“Apabila air mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.” [HR. Muslim, Abu Daud, Al Baihaqi, dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Gholil no. 679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

[7] Janganlah Mencela Hujan

Sungguh sangat disayangkan sekali, setiap orang sudah mengetahui bahwa hujan merupakan nikmat dari AllahTa’ala. Namun, ketika hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, timbullah kata-kata celaan, “Aduh!! hujan lagi, hujan lagi”.

Perlu diketahui bahwa setiap yang seseorang ucapkan, baik yang bernilai dosa atau tidak bernilai dosa dan pahala, semua akan masuk dalam catatan malaikat.
Allah Ta’ala berfirman,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50] : 18)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ
Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu. Dan ada juga seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkan bahayanya lalu dia dilemparkan ke dalam jahannam.” [HR. Bukhari no. 6478.]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menasehatkan kita agar jangan selalu menjadikan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai kambing hitam jika kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti beliau melarang kita mencela waktu dan angin karena kedua makhluk tersebut tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ ، بِيَدِى الأَمْرُ ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.” [HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246, dari Abu Hurairah.]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ تَسُبُّوا الرِّيحَ
Janganlah kamu mencaci maki angin.” [HR. Tirmidzi no. 2252, dari Abu Ka’ab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

Dari dalil di atas terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu) dan angin adalah sesuatu yang terlarang. Begitu pula halnya dengan mencaci maki makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti mencaci maki angin dan hujan adalah terlarang.

Larangan ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari kejelekan yang terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk. Ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka seperti ini hukumnya haram, tidak sampai derajat syirik. Dan apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan, “Hari ini hujan deras, sehingga kita tidak bisa berangkat ke masjid untuk shalat”, tanpa ada tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa.

Intinya, mencela hujan tidak terlepas dari hal yang terlarang karena itu sama saja orang yang mencela hujan mencela Pencipta hujan yaitu Allah Ta’ala. Ini juga menunjukkan ketidaksabaran pada diri orang yang mencela. Sudah seharusnya lisan ini selalu dijaga. Jangan sampai kita mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat Allah murka. Semestinya yang dilakukan ketika turun hujan adalah banyak bersyukur kepada-Nya sebagaimana telah diterangkan dalam point-point sebelumnya.

[8] Berdo’a Setelah Turunnya Hujan

Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat shubuh bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan, ”Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?” Kemudian mereka mengatakan,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
« أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ »
“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ’Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah)maka dialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.” [HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71, dari Kholid Al Juhaniy.]

Dari hadits ini terdapat dalil untuk mengucapkan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah) setelah turun hujan sebagai tanda syukur atas nikmat hujan yang diberikan.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, ”Tidak boleh bagi seseorang menyandarkan turunnya hujan karena sebab bintang-bintang. Hal ini bisa termasuk kufur akbar yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam jika ia meyakini bahwa bintang tersebut adalah yang menciptakan hujan. Namun kalau menganggap bintang tersebut hanya sebagai sebab, maka seperti ini termasuk kufur ashgor (kufur yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam). Ingatlah bahwa bintang tidak memberikan pengaruh terjadinya hujan. Bintang hanya sekedar waktu semata.” [Kutub wa Rosa’il Lil ‘UtsaiminDemikian beberapa amalan yang bisa diamalkan ketikan hujan turun.


Wallahu a’lam.