Kamis, 08 Oktober 2015

Mengusap Khuf Dalam Wudhu

Islam selalu mendatangan kemudahan. Inna ad diina yusrun [HR. Bukhari no. 39], sesungguhnya Islam itu mudah, demikian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara kemudahan yang diberikan oleh Islam adalah memberikan keringanan saat thoharoh (bersuci). Ketika seseorang mesti mengenakan khuf (sejenis sepatu) dan sulit ia copot karena berada dalam perjalanan (misalnya), maka Islam mengajarkan jika kondisi demikian sepatu tersebut tidak perlu dilepas. Sepatu tersebut hanya perlu diusap asalkan sebelumnya dikenakan dalam keadaan suci. Baik, bagaimanakah Islam menjelaskan hal ini? Alangkah bagusnya kita menyimak ulasan sederhana berikut ini.

Apa itu Khuf dan Apa yang Dimaksud Mengusap?

Khuf adalah alas kaki dari kulit yang menutupi mata kaki. [Subulus Salam, 1/233]

Sedangkan mengusap diistilahkan dengan (مَسْحِ) “mash” yaitu tangan yang dalam keadaan basah bergerak menyentuh sesuatu. [Al Mughrib fii Tartiibil Mu’rob, 2/266]

Jadi yang dimaksud mengusap khuf adalah membasahi khuf dengan cara yang khusus, di bagian yang khusus, dan pada waktu yang khusus sebagai ganti dari membasuh kedua kaki saat berwudhu. [Ad Durul Mukhtar, 1/281]

Dalil Pensyariatan Khuf

Tentang dalil pensyariatan mengusap khuf adalah dari berbagai hadits Nabawiyah. Di antaranya dari hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu,
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.” [HR. Abu Daud no. 162. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

Ada juga riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al Bakhili radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau kencing, kemudian berwudhu lalu mengusap kedua khufnya. Ada yang mengatakan padanya, “Betul engkau melakukan seperti itu?” “Iya betul”, jawab Jarir. Saya pernah melihat Rasulullahshallahu ‘alaihi wa sallam kencing, kemudian beliau berwudhu, lalu hanya mengusap kedua khufnya saja. Dan perlu diketahui bahwa Jarir masuk Islam setelah turun firman Allah yaitu surat Al Maidah berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6) [Lihat HR. Ibnu Majah no. 543. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih]

Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah menjelaskan bahwa seandainya Jarir masuk Islam lebih dulu sebelum turunnya surat Al Maidah di atas, maka dapat dipahami kalau mengusap khuf itu sudah dihapus dengan ayat Al Maidah tersebut. Namun Islamnya Jabir ternyata belakangan setelah turun surat Al Maidah tadi. Dari sini dapat diketahui bahwa hadits mengusap khuf itu masih tetap diamalkan. Sedangkan yang dimaksud mencuci kaki (bukan mengusap khuf) dalam surat Al Maidah di atas berlaku untuk selain yang mengenakan khuf. Oleh karena itu, sunnah di sini menjadi pengkhusus bagi ayat di atas. Demikian kata An Nawawi. [Tuhfatul Ahwadzi, 1/264]

Dalil yang menjelaskan disyari’atkannya mengusap khuf diriwayatkan lebih dari 80 sahabatradhiyallahu ‘anhum, di antara mereka adalah sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga. [Ad Durul Mukhtar, 1/286]

Ibnul Mubarok rahimahullah mengatakan, “Tidak ada beda pendapat di kalangan sahabat akan bolehnya mengusap khuf. Karena setiap riwayat yang menunjukkan kalau mereka mengingkari bolehnya hal itu, dalam riwayat lainnya menunjukkan kebalikannya yaitu mereka membolehkan mengusap khuf.” [Subulus Salam, 1/235]

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui riwayat dari salaf yang mengingkari bolehnya mengusap khuf kecuali dari Malik. Namun riwayat shahih dari Imam Malik adalah beliau membolehkan mengusap khuf.” [Subulus Salam, 1/235]

Hukum Mengusap Khuf

Hukum asal mengusap khuf adalah boleh. Menurut mayoritas ulama, mencuci kaki lebih afdhol (lebih utama) daripada mengusap khuf. Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam ajaran Islam. Allah subhanahu wa ta’ala amat menyukai orang yang mengambil rukhsoh (keringanan), sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya. Namun menurut ulama Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu berarti seseorang mengambil rukhsoh dan kedua-keduanya (antara mengusap khuf dan mencuci kaki saat wudhu) adalah suatu hal yang sama-sama disyari’atkan. [Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/262]

Hikmah Mengusap Khuf

Hikmah mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah kesulitan untuk melepas khuf dan mencuci kedua kaki, apalagi saat musim dingin atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu pula kesulitan tersebut bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-gesaan sehingga sulit untuk mencuci kaki secara langsung. [Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/262]

Syarat Bolehnya Mengusap Khuf

Syarat yang harus dipenuhi agar dibolehkan mengusap khuf adalah sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci (berwudhu atau mandi -- Sebagaimana pendapat mayoritas ulama selain Syafi’iyah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/264) terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits Al Mughiroh bin Syu’bah, ia berkata, “Pada suatu malam di suatu perjalanan aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku sodorkan pada beliau bejana berisi air. Kemudian beliau membasuh wajahnya, lengannya, mengusap kepalanya. Kemudian aku ingin melepaskan sepatu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau berkata,
دَعْهُمَا ، فَإِنِّى أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ » . فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا
Biarkan keduanya (tetap kukenakan). Karena aku telah memakai keduanya dalam keadaan bersuci sebelumnya.” Lalu beliau cukup mengusap khufnya saja. [HR. Ahmad 4/251, Bukhari no. 206 dan Muslim no. 274] Syarat ini yaitu mengenakan khuf dalam keadaan sudah bersuci dengan sempurna adalah syarat yang disepakati oleh para ulama. [Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/264]

Adapun syarat yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa khuf tersebut harus menutupi kaki (yang wajib dibasuh saat wudhu), harus kokoh dan kuat digunakan untuk berjalan, maka tentang hal ini telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya akan lemahnya pendapat tersebut. [Fiqih Sunnah, 1/47]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengusap khuf disebutkan secara mutlak. Dan diketahui bahwa cacat ringan secara adat yang didapati pada khuf seperti adanya belahan, sobekan, lebih-lebih lagi jika khuf tersebut sudah lama dikenakan dan para sahabat di masa dahulu kebanyakan miskin, yang tidak mungkin mereka terus menggunakan khuf baru.” [Majmu’ Al Fatawa, 21/174]  Pendapat yang tepat adalah masih bolehnya mengusap khuf yang cacat (seperti ada sobekan) selama masih disebut khuf dan selama masih kuat untuk digunakan berjalan. [Shahih Fiqh Sunnah, 1/154]

Bagian Mana yang Diusap?
Bagian khuf yang diusap bukanlah seluruh khuf, atau bukan pula pada bagian bawah yang biasa menginjak tanah atau kotoran. Yang diajarkan dalam Islam, ketika berwudhu bagian khuf yang diusap adalah bagian punggung khuf (atas). Jadi cukup bagian atas khuf yang dibasahi lalu khuf diusap (tidak perlu air dialirkan), sebagaimana definisi “mengusap” (مَسْحِ) yang sudah disebutkan di awal.

Dalilnya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.” [HR. Abu Daud no. 162. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih]

Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf

Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada masanya yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).

Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,
فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلاَثاً إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ نَخْلَعَهُمَا مِنْ غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.” [HR. Ahmad 4/239. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa penjelasan mengenai mengusap khuf dalam hadits ini dinilai shahih lighoirihi (dilihat dari jalur lain). Sedangkan sanad ini hasan dilihat dari jalur ‘Ashim]

Dari Syuraih bin Haani’, ia berkata, aku pernah mendatangi ‘Aisyah, lalu akan menanyakannya mengenai cara mengusap khuf. ‘Aisyah menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi Tholib, tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam enjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” [HR. Muslim no. 276]

Kapan dihitung 1×24 jam (bagi mukim) atau 3×24 jam (bagi musafir)?
Hitungannya adalah dimulai dari mengusap pertama kali setelah berhadats. Demikian pendapat Imam Ahmad, Al Auzai, An Nawawi, Ibnul Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam katakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini menunjukkan bahwa waktu permulaan sebagai hitungan memulai mengusap adalah ketika mengusap khuf pertama kali. Demikian pemahaman tekstual (zhohir) dari hadits. Wallahu a’lam. [Shahih Fiqh Sunnah, 1/152]

Contoh: Ahmad berwudhu sebelum memulai safar pada pukul 06.00. Pada pukul 09.00, wudhu Ahmad batal karena hadats kecil (kentut). Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat akan melaksanakan shalat Zhuhur. Maka pada pukul 12.00 mulai hitungann 3×24 jam bagi Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam (pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa mengusap khuf bagi Ahmad usai.

Cara Mengusap Khuf

Setelah berwudhu secara sempurna lalu mengenakan khuf, kemudian setelah itu tatkala ingin berwudhu cukup khuf saja yang diusap sebagai ganti dari mencuci (membasuh) kaki. Keringanan seperti ini diberikan bagi orang mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama 3×24 jam. Namun ketika seseorang terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya melepas sepatunya saat bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Shafwan di atas. [Fiqih Sunnah, 1/48]

Pembatal Mengusap Khuf
  1. Berakhirnya waktu mengusap khuf.
  2. Terkena junub.
  3. Melepas sepatu. [Fiqh Sunnah, 1/ 48 dan Shahih Fiqh Sunnah, 1/155]

Jika khuf dilepas –dan masa mengusap khuf belum selesai- kemudian berhadats, maka tidak diperkenankan mengenakan khuf dan mengusapnya, karena ketika itu berarti seseorang memasukkan kakinya dalam keadaan tidak suci.

Jika salah satu pembatal di atas ada, maka tidak diperkenankan mengusap khuf. Wajib baginya ketika berhadats, ia berwudhu lagi, lalu ia mencuci kakinya secara langsung saat itu. Kemudian setelah itu, ia boleh lagi mengenakan khuf dan mengusapnya. [Shahih Fiqh Sunnah, 1/155]


Catatan penting: Jika salah satu pembatal mengusap khuf di atas terwujud tidak berarti wudhunya batal jika memang masih dalam keadaan suci. Demikian pendapat An Nakho’i, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Ibnu Hazm, pilihan An Nawawi, Ibnul Mundzir dan Ibnu Taimiyah. [Shahih Fiqh Sunnah, 1/156] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar