Rabu, 25 November 2015

Risalah Talak (5) Masa Iddah Bagi Wanita Yang Ditalak

Bagi wanita yang telah ditalak, ia harus mengetahui perihal ini. Karena wanita yang ditalak baru bisa menikah lagi dengan pria setelah ia selesai dari masa ‘iddahnya. Jika masih dalam masa ‘iddah, suaminya masih bisa rujuk tanpa mesti dengan akad baru. Namun kalau sudah melewati masa ‘iddah, lantas suami ingin kembali lagi pada istri, maka harus dengan akad yang baru.

Pengertian ‘Iddah

Dalam Kifayatul Akhyar (hal. 391), yang dimaksud ‘iddah adalah masa waktu terhitung di mana wanita menunggu untuk mengetahui kosongnya rahim, di mana pengetahuan ini diperoleh dengan kelahiran, atau dengan hitungan bulan atau dengan perhitungan quru’.

Pembagian Masa ‘Iddah

Al Qodhi’ Abu Syuja’ dalam matannya membagi ‘iddah pada wanita dilihat dari sisi wanita yang diceraikan menjadi: (1) wanita yang ditinggal mati suami, (2) wanita yang tidak ditinggal mati suami.

1-     Wanita yang ditinggal mati suami

Wanita yang ditinggal mati suami ada dua macam: (a) ditinggalkan mati dalam keadaan hamil, (b) ditinggalkan mati dalam keadaan tidak hamil.

(a) Wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil, masa ‘iddahnya adalah dengan melahirkan, baik masa kelahiran dekat atau jauh. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).

Begitu juga dalil mengenai Sabi’ah Al Aslamiyah, ia melahirkan sepeninggal suaminya wafat setelah setengah bulan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
قَدْ حَلَلْتِ فَانْكِحِى مَنْ شِئْتِ
“Engkau telah halal, silakan menikah dengan siapa yang engkau suka” (HR. An Nasai no. 3510. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

(b) Wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan tidak hamil, masa ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari, baik sesudah disetubuhi ataukah tidak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُ‌ونَ أَزْوَاجًا يَتَرَ‌بَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْ‌بَعَةَ أَشْهُرٍ‌ وَعَشْرً‌ا  فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُ‌وفِ  وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ‌
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)

Ditambah dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491). Sedangkan wanita hamil yang ditinggal mati suami tidak termasuk dalam dua dalil ini karena dikhususkan dengan dalil yang disebutkan sebelumnya.

2-     Wanita yang tidak ditinggal mati suami

Yang dimaksud wanita jenis adalah wanita yang diceraikan, wanita yang berpisah dengan li’an atau faskh, atau setelah disetubuhi. Untuk wanita jenis ini ada tiga macam: (a) diceraikan dalam keadaan hamil, (b) diceraikan dengan ‘iddah hitungan quru’, (c) diceraikan dengan ‘iddah hitungan bulan

(a) Wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil, masa ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).

(b)Wanita yang memiliki quru’ bagi wanita yang masih mengalami haidh, yaitu ia menunggu sampai tiga kali quru’. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS. Al Baqarah: 228).

Yang dimaksud quru’ di sini diperselisihkan oleh para ulama karena makna quru’ yang dapat dipahami dengan dua makna (makna musytarok). Ada yang berpendapat makna quru’ adalah suci, seperti pendapat dalam madzhab Syafi’i. Ada yang berpendapat, maknanya adalah haidh.

Contoh: Wanita ditalak tanggal 1 Ramadhan (01/09). Kapan masa ‘iddahnya jika memakai tiga kali haidh atau tiga kali suci? Coba perhatikan tabel berikut ini.
01/09                  à Talak ketika Suci
05/09 - 11/09   à Haidh
11/09 - 05/10   à Suci
05/10 - 11/10   à Haidh
11/10 - 05/11   à Suci
05/11 - 11/11   à Haidh
11/11                  à Suci

Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali suci: masa ‘iddah dimulai dihitung ketika masa suci saat dijatuhkan talak dan berakhir pada tanggal 5/11 (5 Dzulqo’dah) saat muncul darah haidh ketiga. Di sini masa ‘iddah akan melewati dua kali haidh.

Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali haidh: masa ‘iddah dimulai dihitung dari haidh tanggal 5/9 (5 Ramadhan) dan berakhir pada tanggal 11/11 (11 Dzulqo’dah) setelah haidh ketiga selesai secara sempurna. Di sini masa ‘iddah akan melewati tiga kali haidh secara sempurna.

Jika kita perhatikan, hitungan dengan tiga kali haidh ternyata lebih lama dari tiga kali suci.

Manakah di antara dua pendapat di atas yang lebih kuat? Tiga kali suci ataukah tiga kali haidh?

Pendapat yang lebih kuat setelah penelusuran dari dalil-dalil yang ada, yaitu makna tiga quru’ adalah tiga kali haidh. Pengertian quru’ dengan haidh telah disebutkan oleh lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau berkata kepada wanita yang mengalami istihadhoh,
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ فَانْظُرِى إِذَا أَتَى قُرْؤُكِ فَلاَ تُصَلِّى فَإِذَا مَرَّ قُرْؤُكِ فَتَطَهَّرِى ثُمَّ صَلِّى مَا بَيْنَ الْقُرْءِ إِلَى الْقُرْءِ
Sesungguhnya darah (istihadhoh) adalah urat (yang luka). Lihatlah, jika datang quru’, janganlah shalat. Jika telah berlalu quru’, bersucilah kemudian shalatlah di antara masa quru’ dan quru’.” (HR. Abu Daud no. 280, An Nasai no. 211, Ibnu Majah no. 620, dan Ahmad 6: 420. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Yang dimaksud dalam hadits ini, makna quru’ adalah haidh. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan ulama salaf seperti empat khulafaur rosyidin, Ibnu Mas’ud, sekelompok sahabat dan tabi’in, para ulama hadits, ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Imam Ahmad berkata, “Dahulu aku berpendapat bahwa quru’ bermakna suci. Saat ini aku berpendapat bahwa quru’ adalah haidh.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 29: 308)

Catatan:
•  Hitungan ‘iddah menggunakan kalender Hijriyah, bukan kalender Masehi.
•  Talak yang syar’i jika dilakukan ketika: (1) suci dan (2) belum disetubuhi.

(c) Wanita yang tidak memiliki masa haidh yaitu anak kecil yang belum datang bulan dan wanita yang monopause (berhenti dari haidh), maka masa ‘iddahnya adalah tiga bulan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).

(d)Wanita yang dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak memiliki masa ‘iddah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah (hadiah untuk membuat mereka senang) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya” (QS. Al Ahzab: 49).

Hak Wanita Dalam Masa Iddah

Setelah kita mengetahui pengertian ‘iddah dan berapa lama masa ‘iddah pada beberapa wanita, maka perlu juga diketahui beberapa hak yang tetap diperoleh wanita ketika masa ‘iddahnya. Juga apa saja yang mesti dilakukan oleh wanita yang mengalami masa ‘iddah.

1-     Untuk wanita yang mengalami masa ‘iddah karena talak roj’iy (talak yang masih bisa dirujuki), maka ia masih memiliki hak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah.

Hal ini dikarenakan wanita yang ditalak roj’iy (yang masih bisa dirujuki), masih berstatus sebagai istri. Suami bisa saja rujuk kapan pun selama masa ‘iddah, tanpa melalui akad baru dan tanpa pula melalui ridho istri.

2-     Untuk wanita yang ditalak ba-in (yang tidak bisa kembali kecuali dengan akad baru), maka ia masih mendapatkan hak rumah selama masa ‘iddah, namun tidak mendapatkan nafkah kecuali jika dalam keadaan hamil, maka tetap masih diberikan nafkah sampai melahirkan bahkan ketika mengasuh anak-anak tetap diberikan upah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya” (QS. Ath Tholaq: 6). Ayat ini menunjukkan kewajiban memberikan tempat tinggal bagi setiap wanita yang masih dalam masa ‘iddah. Dan juga menunjukkan pengecualian bagi wanita hamil yaitu masih mendapatkan nafkah selain tempat tinggal. Sebagaimana didukung pula dalam hadits lainnya mengenai kisah Fathimah binti Qois radhiyallahu ‘anha ketika ia diceraikan oleh suaminya, lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
لاَ نَفَقَةَ لَكِ إِلاَّ أَنْ تَكُونِى حَامِلاً
Tidak ada nafkah untukmu kecuali jika engkau dalam keadaan hamil” (HR. Abu Daud no. 2290. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Berlaku pula bagi wanita dalam masa ‘iddah yang ditinggal mati suaminya, yaitu ia masih mendapatkan hak tempat tinggal. Ada dalil khusus yang menerangkan hal ini. Dari Al Furai’ah binti Malik bin Sinan yang merupakan saudari Abu Sa’id Al Kudri, dia berkata,
أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْأَلُهُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهَا فِي بَنِي خُدْرَةَ فَإِنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِي طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ أَبَقُوا حَتَّى إِذَا كَانُوا بِطَرَفِ الْقَدُومِ لَحِقَهُمْ فَقَتَلُوهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي فَإِنِّي لَمْ يَتْرُكْنِي فِي مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ وَلَا نَفَقَةٍ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ قَالَتْ فَخَرَجْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي الْحُجْرَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ دَعَانِي أَوْ أَمَرَ بِي فَدُعِيتُ لَهُ فَقَالَ كَيْفَ قُلْتِ فَرَدَدْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ الَّتِي ذَكَرْتُ مِنْ شَأْنِ زَوْجِي قَالَتْ فَقَالَ امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ قَالَتْ فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin kepada beliau untuk kembali kepada keluarganya di Bani Khudrah karena suaminya keluar mencari beberapa budaknya yang melarikan diri hingga setelah mereka berada di Tharaf Al Qadum ia bertemu dengan mereka lalu mereka membunuhnya. Dia berkata, “Aku meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kembali kepada keluargaku karena suamiku tidak meninggalkan rumah dan harta untukku.” Ia berkata, “Kemudian aku keluar hingga setelah sampai di sebuah ruangan atau di masjid, beliau memanggilku dan memerintahkan agar aku datang. Kemudian beliau berkata, “Apa yang tadi engkau katakan?” Kemudian aku kembali menyebutkan kisah yang telah saya sebutkan, mengenai keadaan suamiku. Kemudian beliau bersabda, “Tinggallah di rumahmu hingga selesai masa ‘iddahmu.” Ia berkata, “Aku melewati masa ‘iddah di tempat tersebut selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Abu Daud no. 2300, At Tirmidzi no. 1204. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

3-     Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, maka ia wajib menjalani masa ihdaad (berkabung), di mana ketika itu ia tidak boleh berhias diri dan tidak boleh memakai harum-haruman. Mengenai masa ihdaad disebutkan dalam hadits,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung (menjalani masa ihdaad) atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491).

Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كُنَّا نُنْهَى أَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلَا نَكْتَحِلَ وَلَا نَتَطَيَّبَ وَلَا نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ وَكُنَّا نُنْهَى عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ
Kami dilarang ihdaad (berkabung) atas kematian seseorang di atas tiga hari kecuali atas kematian suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wewangian, tidak boleh memakai pakaian yang berwarna kecuali pakaian ashab. Dan kami diberi keringanan bila hendak mandi seusai haid untuk menggunakan sebatang kayu wangi. Dan kami juga dilarang mengantar jenazah.” (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 2739). Yang dimaksud dengan pakaian dalam hadits tersebut, yang tidak boleh dipakai dalam masa ihdaad (berkabung) adalah pakaian yang bukan perhiasan diri.

4-     Untuk wanita yang ditinggal mati suaminya dan wanita yang telah ditalak ba-in (yang mesti kembali dengan akad baru) di mana wanita talak ba-in di sini tidak harus melakukan ihdaad (berkabung), maka ia tetap di rumah suami selama masa ‘iddah kecuali ada hajat.

Hikmah Wanita Dalam Masa Iddah Masih Dirumah Suami

Kekeliruan selama terjadi perceraian atau talak adalah istri langsung diusir suami dari rumah atau istri yang berinisiatif keluar dari rumah suami. Padahal yang benar, selama masa ‘iddah, istri harus tetap berada di rumah suami sampai masa ‘iddah selesai. Syari’at Islam memerintahkan demikian karena ada maksud baik di balik itu, supaya bisa terpupuk kembali cinta kasih dan sayang. Begitu pula istri selama masa ‘iddah setelah ditalak masih berstatus milik suami, belum jadi milik laki-laki lain.

Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” (QS. Ath Tholaq: 1)

Beberapa pelajaran bisa kita petik dari ayat di atas:
1-     Walau konteks pembicaraan ditujukan pada Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tetapi pembahasan talak dan ‘iddah dalam ayat di atas berlaku juga untuk umatnya.

2-     Mentalak istri di waktu ‘iddah maksudnya adalah mentalaknya di waktu suci dan sebelum disetubuhi. Ibnu ‘Abbas mengatakan,
لا يطلقها وهي حائض ولا في طهر قد جامعها فيه، ولكن: تتركها حتى إذا حاضت وطهرت طلقها تطليقة
“Janganlah mentalak istri dalam keadaan haidh dan jangan pula dalam keadaan suci setelah disetubuhi dahulu. Akan tetapi biarkanlah hingga ia suci, lalu talaklah sekali.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 27)

3-     Ada perintah menghitung masa ‘iddah. Ini menunjukkan bahwa masa ‘iddah ada awal dan akhirnya. Selama masa ‘iddah tersebut, wanita tidak diperkenankan untuk menikah.

4-     Ibnu Katsir berkata, “Selama masa ‘iddah, istri masih memiliki hak tempat tinggal di rumah suami. Sehingga tidak boleh bagi suami mengusir istri dari rumahnya. Begitu pula  istri tidak boleh keluar dari rumah karena statusnya masih sebagai istri untuk memenuhi hak suami.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 28)

5-     Istri masih tetap di rumah sampai masa ‘iddah selesai kecuali jika ia melakukan perbuatan fahisyah (perbuatan keji) yang jelas. Di antara makna fahisyah adalah zina. Demikian makna fahisyah dalam ayat ini menurut Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 28.

6-     Allah memiliki batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar.

7-     Apa hikmah di balik wanita tetap di rumah selama masa ‘iddah? Kata Ibnu Katsir rahimahullah, “Wanita yang telah ditalak tetap di rumah suami selama masa ‘iddah agar bisa muncul penyesalan pada diri suami karena telah mentalak istrinya sehingga ia pun rujuk pada istrinya jika Allah telah menentukannya. Inilah alasan mudah dan gampangnya suami bisa rujuk kembali pada istri.” Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 14: 28.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah menetapkan masa ‘iddah bagi wanita yang ditalak karena adanya hikmah yang besar. Di antara hikmahnya adalah supaya Allah menjadikan pada hati suami yang mentalak rasa kasih dan sayang sehingga ia pun bisa rujuk kembali pada istrinya. Mereka bisa membina rumah tangganya kembali selama masa ‘iddah tersebut. Atau mungkin ada sebab lain sehingga bisa terjadi talak, lalu hilang sebab tersebut selama masa ‘iddah, dan suami pun merujuk pada istri karena telah hilangnya sebab tersebut.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 869).

Namun sekali lagi, talak yang bisa dirujuki adalah talak pertama dan kedua.


Wallahul muwaffiq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar