Sabtu, 14 November 2015

Bolehkah Wanita Haid Memasuki Masjid?

Seorang wanita yang sedang haid ingin memasuki masjid untuk menghadiri majelis ilmu dengan alasan bahwa dia menghadiri majelis tersebut secara rutin, dan apabila tidak hadir disebabkan haid maka dia akan tertinggal pelajaran dan tidak dapat mengikuti pelajaran setelahnya.

Wanita haid juga butuh akan ibadah. Begitu pula ia butuh akan ilmu. Bagaimanakah jika ia mengalami haid sedangkan butuh akan siraman rohani atau pelajaran ilmu syar’i yang cuma ditemukan di masjid.

Bolehkah wanita itu menghadiri majelis tersebut dengan syarat-syarat tertentu ketika menghadirinya, dan bagaimanakah pendapat ulama yang rajih tentang hal ini?

@ Jumhur ahli fikih dari keempat madzhab berpendapat bahwasannya tidak boleh seorang wanita haid untuk berdiam di masjid, dengan dalil hadist riwayat Bukhari (974)dan Muslim (890),dari Ummu ‘Athiyah dia berkata:
أمرنا تعني النبي صل الله عليه و سلم أن نخرج في العيدين  العواتق  ذوات الخدورو و أمر الخيض أن يعتزلن مصلى المسلمين
“Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kami untuk keluar rumah pada dua hari raya, termasuk remaja putri dan gadis pingitan, dan beliau memerintahkan wanita yang haid untuk menjauhi tempat shalat”.

Dalam hadist ini, Nabi shalallahu alaihi wasallam melarang  wanita yang haid mendekati tempat shalat ‘id dan memerintahkan mereka untuk menjauhinya, dikarenakan disana terdapat hukum masjid, dan ini menjadi dalil dilarangnya wanita haid untuk memasuki masjid. Jumhur juga berdalil dengan hadist yang lain, akan tetapi hadist tersebut dhaif dan tidak boleh dijadikan hujjah, diantaranya hadist perkataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
لا أحل المسجد لحائض ولا جنب
Tidaklah halal masjid untuk orang yang haid dan junub”.  Hadist ini didhaifkan oleh syekh Albani dalam kitab Dhaif Abi Daud (232).

@ Ulama Lajnah Daimah ditanya tentang hal ini dalam fatwa no (6/272):

Bagaimanakah hukum syar’i tentang seorang  wanita yang memasuki masjid padahal dia sedang haid untuk mendengarkan khutbah saja?

Jawaban Lajnah Daimah:
Tidak boleh bagi seorang wanita yang sedang haid atau nifas untuk memasuki masjid. Sedangkan bila hanya lewat, maka diperbolehkan apabila ia mempunyai kepentingan dan yakin bahwa tidak akan mengotori masjid dengan najisnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
ولا جنبا الا عابري سبيل حتى تغتسلوا
”Dan (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja, sampai kamu mandi” (Qs An Nisa’:43)
dan wanita yang haid termasuk dalam makna junub. Dalil selanjutnya adalah bahwa Nabi pernah memerintahkan Aisyah untuk mengambilkan kebutuhan beliau dari masjid sedangkan dia sedang haid. Demikian fatwa Lajnah Daimah no 6/272

@ Syekh Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya: apakah boleh bagi wanita haid menghadiri halaqah dzikir di masjid?

Beliau menjawab: wanita yang haid tidak boleh berdiam di masjid , sedangkan bila hanya lewat maka tidak mengapa, dengan syarat yakin bahwa tidak akan mengotori masjid dengan darahnya. Apabila tidak boleh baginya untuk berdiam di masjid, maka tidak boleh juga baginya untuk masuk mendengarkan pengajian atau bacaan Al Qur’an, kecuali apabila di sana terdapat tempat di luar masjid yang dia dapat mendengar suara dengan perantara mikrofon, maka tidak mengapa dia duduk di sana untuk mendengarkan pengajian. Karena tidak mengapa seorang wanita haid mendengarkan dzikir dan ayat-ayat Al Qur’an sebagaimana dalam hadist Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau bersandar di pangkuan Aisyah dan membaca Al Quran sedangkan Aisyah ketika itu sedang haid.

Sedangkan pergi ke masjid untuk berdiam di dalamnya karena mendengarkan pengajian atau bacaan Al Quran maka hal ini tidak boleh. Dalilnya adalah hadist Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’: ketika sampai berita kepada Nabi shallalhu alaihi wa sallam, bahwa Shofiyyah haid, maka beliau berkata: Apakah ia menahan kita (dari kembali ke Madinah)? karena beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengira Shafiyyah belum melaksanakan thawaf ifadhah. Para shahabat menjawab: dia sudah melaksanakan thawaf ifadhah.  Maka hal ini menjadi dalil tidak bolehnya berdiam di masjid walaupun untuk ibadah. Dan juga telah tetap dari Nabi bahwasannya beliau memerintahkan para wanita untuk keluar ke tempat shalat id untuk pelaksanaan shalat dan dzikir dan memerintahkan wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat shalat. Demikian nukilan dari Fatawa at Thahirah (273).

Beliau mengambil pendapat para ulama dalam kitab Al Mabshuut (3/153), Hasyiyah Ad Dasuuqi (1/173), Al Majmu’ (2/388), dan Al Mughni(1/195)

Sedangkan hal ditakutkan tertinggalnya beberapa pelajaran bagi wanita yang haid apabila dilarang untuk memasuki masjid, maka dapat dilakukan dengan merekam pelajaran tersebut, atau mendengarkan pelajaran dari luar masjid, apabila hal tersebut memungkinkan, dan sebaiknya beberapa tempat di masjid disambungkan dengan tempat khusus yang tidak dihukumi sebagai masjid, seperti membuat maktabah/perpustakaan atau ruangan untuk tahfidz Al Qur’an, yang memungkinkan bagi orang yang memiliki ‘udzur untuk duduk di sana tanpa ada larangan.

@ Syaikh Kholid Mushlih –hafizhohullah– ditanya, “Apakah boleh wanita haid menghadiri majelis Al Qur’an (di masjid)?”

Jawab beliau, “Wanita haidh boleh saja masuk masjid jika ada hajat, inilah pendapat yang lebih tepat. Karena terdapat dalam kitab shahih (yaitu Shahih Muslim) bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada ‘Aisyah, “Berikan padaku sajadah kecil di masjid.” Lalu ‘Aisyah berkata, “Saya sedang  haid.” Lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya haidmu itu bukan karena sebabmu.”
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله و عليه و سلم: نَاوِلِيْنِى الْجُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ حَائِضٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِى يَدِكِ.
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, “Ambilkan untukku khumroh (sajadah kecil) di masjid.” “Sesungguhnya aku sedang haid”, jawab ‘Aisyah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya haidmu itu bukan karena sebabmu” (HR. Muslim no. 298).

Hal ini menunjukkan bahwa boleh saja bagi wanita haid untuk memasuki masjid jika:
(1) ada hajat, dan ...
(2) tidak sampai mengotori masjid.
Demikian dua syarat yang mesti dipenuhi bagi wanita haid yang ingin masuk masjid.

Adapun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan,
لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ
Tidak dihalalkan masjid bagi wanita haid dan orang yang junub. [HR. Abu Daud no. 232. Hadits ini dikatakan dha’if oleh Syaikh Al Albani] Ini hadits yang tidak shahih. Para ulama hadits menyatakan demikian bahwa hadits tersebut tidaklah shahih. Sehingga hadits tersebut tidak bisa jadi pendukung untuk melarang wanita haid masuk masjid.

Adapun jika ada yang mengqiyaskan wanita haid dengan orang junub, ini jelas qiyas (analogi) yang tidak memiliki kesamaan. Karena junub boleh masuk masjid jika dia berwudhu untuk memperingan junubnya, ini yang pertama. Yang kedua, junub adalah hadats karena pilihannya yang sendiri dan ia mungkin saja menghilangkan hadats tersebut. Hal ini berbeda dengan wanita haid. Wanita yang mengalami haid bukanlah atas pilihannya sendiri. Jika wanita haid mandi sekali pun selama darahnya masih mengalir, itu tidak bisa menghentikan darah haidnya. Intinya, tidak bisa disamakan antara wanita haid dan orang yang junub sehingga qiyasnya nantinya adalah qiyas yang jelas berbeda (qiyas ma’al faariq).”

@ Syaikh al-Albani pernah ditanya tentang hukum mengikuti kajian di masjid bagi wanita haid. Jawaban beliau,
نعم يجوز لهن ذلك ، لأن الحيض لا يمنع امرأة من حضور مجالس العلم ، ولو كانت في المساجد ، لأن دخول المرأة المسجد ، في الوقت الذي لا يوجد دليل يمنع منه

Ya, mereka boleh kajian di sana. Karena haid tidak menghalangi wanita untuk menghadiri majlis ilmu, meskipun di masjid. Karena masuknya wanita ke dalam masjid di satu waktu, tidak ada dalil yang melarangnya. (Silsilah Huda wa an-Nur, volume: 623).

Mereka yang melarang berdalil juga dengan beberapa atsar dibawah ini.

1.      Perkataan Ibnu Abbas tentang firman Allah surat An-Nisaa ayat 43.

Berkata Ibnu Abbas, “Tidak boleh engkau masuk masjid sedangkan engkau dalam keadaan junub kecuali sekedar lewat dan jangan engkau duduk” [Riwayat Baihaqiy : 2/443]

Sanad riwayat ini dha’if, karena Abu Ja’far Ar-Raazi yang ada di sanadnya seorang rawi yang dla’if karena buruk hafalannya dan dia telah dilemahkan oleh para Imam diantaranya Imam Ahmad bin Hambal, Abu Zur’ah, Nasa’i, Al-Fallas dan lain-lain. Dan telah datang riwayat dari Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih yang menyalahi riwayat dla’if di atas.

2.      Kemudian Imam Baihaqiy meriwayatkan lagi (2/443) dari jalan Abu Ubaidah bin Abdullah, dari Ibnu Mas’ud bahwa dia telah memberikan keringanan bagi orang yang junub untuk sekedar lewat di dalam masjid (yakni tidak duduk atau tinggal di masjid)

Sanad ini dha’if, karena Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud tidak pernah berjumpa dengan bapaknya yaitu Abdullah bin Mas’ud. Dengan demikian maka sanad ini munqathi (terputus).

3.      Kemudian Imam Baihaqiy meriwayatkan lagi (2/443) dari jalan Hasan bin Abi Ja’far Al-Azdiy, dari Salm Al-Alawiy, dari Anas bin Malik tentang firman Allah di atas dia berkata, “Sekedar lewat dan tidak duduk (di masjid)”.

Sanad in pun dha’if, karena:

Pertama : Salm bin Qais Al-Alawiy seorang rawi yang dha’if sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafidzh Ibnu Hajar di Taqribnya (1/314).

Kedua ; Hasan bin Abi Ja’far Al-Jufriy Abu Sa’id Al-Azdiy, telah dilemahkan oleh Jama’ah ahli hadits. [Taqribut Tahdzib 1/164, Tahdzibit Tahdzib 2/260-261. Mizanul I’tidal 1/482-483]

Telah sah dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau menafsirkan ayat An Nisa’:43 diatas dengan orang musafir, beliau berkata, “Diturunkan ayat ini berkenaan dengan orang musafir. Dan tidak juga bagi orang yang junub kecuali orang yang mengadakan perjalanan sehingga dia mandi. Beliau berkata ; Apabila seorang (musafir) itu junub lalu dia tidak memperoleh air, dia tayamum lalu shalat sampai dia mendapatkan air. Dan apabila dia telah mendapatkan air (hendaklah) dia mandi’ [Riwayat Baihaqiy 1/216 dan Ibnu Jarir di kitab Tafsirnya juz 5 hal. 62 dan lain-lain sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Katsir di Tafsirnya 1/501 dan Imam Suyuthi di tafsirnya Ad-Durul Mantsur 2/165]

Tarjih :

Setelah kita mengetahui bahwa seluruh riwayat yang melarang orang yang junub dan perempuan haid/nifas berdiam atau tinggal di masjid semuanya dha’if. Demikian juga tafsir ayat 43 surat An-Nisaa yang melarang orang yang junub dan perempuan haid berdiam atau tinggal di masjid semuanya dha’if tidak ada satupun yang sah (shahih atau hasan). Bahkan tafsir yang shahih dan sesuai dengan maksud ayat ialah tafsir dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas di atas. Yaitu, musafir yang terkena janabah dan dia tidak mendapatkan air lalu dia tayammum sampai dia memperoleh air. Jadi yang dimaksud dengan firman Allah ‘aabiri sabil ialah musafir. Bukanlah yang dimaksud orang yang masuk ke dalam masjid sekedar melewatinya tidak diam atau tinggal di dalamnya. Tafsir yang demikian selain tidak sesuai dengan susunan ayat dan menyalahi tafsir shahabat dan sejumlah dalil di bawah ini yang menjelaskan kepada kita bahwa orang yang junub dan perempuan yang haid atau nifas boleh diam atau tinggal di masjid.

Maka pendapat yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang memperbolehkan wanita haid masuk masjid. Di antara dalilnya adalah:

Dalil pertama: Disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari, bahwa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang wanita berkulit hitam yang tinggal di masjid.

Dari Aisyah (ia berkata), "Sesungguhnya ada seorang budak perempuan hitam kepunyaan salah satu suku dari bangsa Arab. Lalu mereka memerdekakannya, kemudian ia pun tinggal bersama mereka..." 

Berkata 'Aisyah, "Lalu perempuan itu datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan masuk Islam." 

Berkata 'Aisyah,
فَكَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي المَسْجِدِ – أَوْ حِفْشٌ
"Dan perempuan itu mempunyai kemah kecil di masjid (yakni sebagai tempat tinggalnya)..." 

Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini jelas sekali tentang bolehnya bagi perempuan haidh untuk tinggal lama atau diam di masjid. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memberikan pengecualian kepada perempuan di atas yang tinggal di masjid dan mempunyai kemah untuk dia tidur dan menurut dalil ini perempuan itu bekerja sebagai pembersih masjid, bahwa 'kalau datang hari-hari haidhmu hendaklah engkau jangan tinggal di masjid.' Kalau sekiranya perempuan haidh itu tidak boleh tinggal atau diam di masjid tentu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan pengecualian seperti di atas. Akan tetapi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan dan membolehkan perempuan tersebut untuk tinggal di masjid bahkan mempunyai kemah sendiri secara umum dan mutlak tanpa satupun pengecualian. Padahal beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui dan kita pun mengetahui bahwa perempuan setiap bulannya akan melalui hari-hari haidh. 

Dalil di atas bersama dalil keempat di bawah ini merupakan setegas-tegas dalil dan hujjah tentang bolehnya bagi perempuan haidh dan nifas untuk diam dan tinggal lama di masjid. Dan Imam Bukhari yang meriwayatkan hadits di atas di kitab shahihnya telah memberikan bab dengan judul: "Bab: Tidurnya perempuan di masjid" 

Al Hafizh Ibnu Hajar di dalam mensyarahkan bab di atas mengatakan bahwa yang dimaksud ialah, "Tinggal atau diamnya perempuan di dalam masjid." 
.

Dalil kedua: Dari Abu Hurairah (ia berkata):
أَنَّ رَجُلًا أَسْوَدَ أَوْ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَ يَقُمُّ الْمَسْجِدَ فَمَاتَ فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي بِهِ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ أَوْ قَالَ قَبْرِهَا فَأَتَى قَبْرَهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا
Bahwasanya ada seorang laki-laki hitam -atau seorang perempuan hitam- yang biasa membersihkan kotoran di masjid mati. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya tentangnya, mereka menjawab, "Ia telah mati." Beliau bersabda, "Kenapakah kamu tidak memberitahukan kepadaku tentang (kematian)nya, tunjukkanlah kepadaku kuburnya." Lalu beliau mendatangi kubur laki-laki itu -atau kubur perempuan itu- kemudian beliau menshalatinya. 

Shahih riwayat Bukhari (no.458, 460 dan 1337). 

Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini sama dengan yang sebelumnya karena orangnya satu, yaitu seorang perempuan hitam yang masuk Islam kemudian tinggal dan menetap di masjid dan bekerja sebagai pembersih masjid

Dalil ketiga: Ketika melaksanakan haji, Aisyah mengalami haid. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan beliau :
اِفْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الْحَاجُ غَيْرَ أَلاَّ تَطُوْفِيْ بِالْبَيْتِ حَتىَّ تَطْهُرِيْ
“Lakukanlah apa saja yang dilakukan oleh jama’ah haji lainnya selain tawaf di Ka’bah, hingga engkau suci.”

Sisi pengambilan dalil: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melarang Aisyah untuk tawaf di Ka’bah dan tidak melarang Aisyah untuk masuk masjid. Riwayat ini disebutkan dalam Shahih Bukhari.

Dalil keempat: Disebutkan dalam Sunan Sa’id bin Manshur, dengan sanad yang sahih, bahwa seorang tabi’in, Atha bin Yasar, berkata, “Saya melihat beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk-duduk di masjid, sementara ada di antara mereka yang junub. Namun, sebelumnya, mereka berwudhu.” Sisi pemahaman dalil: Ulama meng-qiyas-kan (qiyas:analogi) bahwa status junub sama dengan status haid; sama-sama hadats besar.

Dalil kelima: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”.

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
أن النبي صلى الله عليه وسلم لقيه في بعض طرق المدينة وهو جنب ، فانخنس منه فذهب فاغتسل ثم جاء فقال : ( أين كنت يا أبا هريرة ؟ ) فقال : كنت جنبا ، فكرهت أن أجالسك وأنا على غير طهارة ، فقال : سبحان الله إن المؤمن لا ينجس
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku junub. Lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”, Maka beliau bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis) [Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain]

Dalil Keenam: Dari Abu Hurairah, ia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus pasukan berkuda kearah Najd, lalu pasukan itu datang membawa seorang tawanan laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumaamah bin Utsaal. Kemudian mereka mengikatnya di salah satu dari tiang-tiang masjid, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemuinya dan beliau bersabda, “Lepaskan (ikatan) Tsumaamah”. Kemudian ia (yakni Tsumaamah) pergi ke sebuah pohon kurma yang berada di dekat masjid, lalu dia mandi kemudian masuk ke dalam masjid dan mengucapkan, “Syhadu allaa ilaaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah”
Shahih riwayat Bukhari (no. 462, 469, 2422, 2423 dan 4372)

Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini ialah, kalau orang kafir saja yang tidak pernah mandi janabah dibolehkan masuk ke dalam masjid apalagi seorang muslim, tentunya lebih utama dan lebih berhak masuk ke dalam masjid meskipun dalam keadaan junub atau dia seorang perempuan yang sedang haid atau nifas (yakni mimbaabil aula). Yang mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”.

Dalil ketujuh: Diriwayatkan,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله و عليه و سلم: نَاوِلِيْنِى الْجُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ حَائِضٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِى يَدِكِ.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya, “Ambilkan sajadah untukku di masjid!” Aisyah mengatakan, “Saya sedang haid.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, haidmu tidak berada di tanganmu.” (HR. Muslim). Sebagian ulama menjadikan hadis ini sebagai dalil tentang bolehnya wanita haid masuk masjid.

Dalil kedelapan: Tidak terdapat larangan tegas agar wanita haid tidak masuk masjid. Dalil yang dijadikan alasan untuk melarang wanita masuk masjid tidak lepas dari dua keadaan:
1. Tidak tegas menunjukkan larangan tersebut.
2. Sanadnya lemah, sehingga tidak bisa dijadikan dalil.


Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar