Minggu, 22 November 2015

Risalah Talak (1) Hukum, Macam dan Ucapan Talak

Hukum dan Macam Talak.

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Di saat zaman semakin jauh dari ilmu. Di saat ilmu diin tidak lagi menjadi perhatian, berbagai hukum pun menjadi rancu dan samar. Salah satunya dalam masalah perceraian antara suami istri. Tidak sedikit kaum muslimin yang blank akan hukum seputar talak. Sehingga sebagian suami begitu entengnya mengeluarkan kata talak dari lisannya. Ia seolah-olah tidak sadar bahwa hal itu sudah dihukumi jatuh talak. Itulah karena amalan dan lisan tidak didasarkan atas ilmu. Terjadilah kerusakan tanpa ia sadari. Oleh karena itu, berlatar belakang hal ini, rumaysho.com berusaha menyusun risalah ringkas mengenai talak (perceraian) yang moga bermanfaat bagi rumah tangga kaum muslimin. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, mudahkanlah dan tolong kami dalam urusan ini).

Pengertian Talak

Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata الْإِطْلَاق ithlaq”, yang berarti melepas atau meninggalkan.
Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan. [Fathul Bari, 9/346]

Dalil Dibolehkannya Talak

Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
Hendaklah ia meruju' istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al 'iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla.” [HR. Bukhari no. 5251 dan Muslim no. 1471]

Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibroh juga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat. [Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi]

Kritik Hadits

Adapun hadits yang berbunyi,
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ
Perkara yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak.” [HR. Abu Daud no. 2178, Ibnu Majah no. 2018, dan Al Hakim 2/196]

Dalam sanad hadits ini ada dua ‘illah (cacat):
(1) dho’ifnya Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah,
(2) terjadi perselisihan di dalamnya.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin Yunus … Abu Daud menyebutnya tanpa menyebutkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sanad hadits dari Al Hakim dinilai dho’if. Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang dho’if. Di antara yang mendho’ifkannya adalah Al Baihaqi (Sunan Al Baihaqi, 7/322), Syaikh Al Albani (Irwaul Gholil no. 2040), dan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi ( dalam Ahkamuth Tholaq fi Syari’atil Islamiyyah)

Hukum Talak

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah dan ada yang boleh.”

Rincian hukum talak di atas adalah sebagai berikut:

·         Talak yang haram yaitu talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.
·         Talak yang makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada diteruskan.
·         Talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan (yang tidak mungkin  lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).
·         Talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki sifat ‘afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat itu ia pun sulit diperingatkan.
·         Talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan bertingkah laku jelek dan mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih tujuan dari menikah. [Lihat Fathul Bari, 9/346, Al Mughni, 10/323-324, Shahih Fiqh Sunnah, 3/224]

Macam Talak: Talak Sunni dan Talak Bid’i

Sebagian ulama membagi talak menjadi dua macam, yaitu talak sunni dan talak bid’i.

Talak sunni adalah talak yang mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri ketika istri dalam keadaan suci (bukan masa haidh) dan belum disetubuhi. [Sebagian ulama ada yang menambahkan bahwa talak sunni adalah talak yang harus dihadiri oleh dua orang saksi.]

Talak bid’i adala talak yang menyelisihi petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri di saat istri dalam keadaan haidh atau mentalaknya dalam keadaan suci setelah disetubuhi. [Ahkamuth Tholaq fi Syari’atil Islamiyyah]

Syarat Talak

Para ulama membagi syarat sahnya talak menjadi tiga macam:
(1) berkaitan dengan suami yang mentalak,
(2) berkaitan dengan istri yang ditalak, dan
(3) berkaitan dengan shighoh talak.

Kesemua syarat ini tidak dibahas dalam satu tulisan. Kami akan berusaha secara perlahan sesuai dengan kelonggaran waktu kami. Untuk saat ini kita akan melihat manakah saja syarat yang berkaitan dengan suami yang akan mentalak.

Syarat Berkaitan dengan Orang yang akan Mentalak

1-     Yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah.

Syarat ini maksudnya adalah antara pasangan tersebut memiliki hubungan perkawinan yang sah. Seandainya tidak ada nikah, lalu dikatakan, “Saya mentalakmu”, seperti ini termasuk talak yang tidak sah. Atau belum menikah lalu mengatakan, “Jika menikahi si fulanah, saya akan mentalaknya”. Padahal ketika itu belum nikah, seperti ini adalah talak yang tidak sah.

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ نَذْرَ لاِبْنِ آدَمَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ عِتْقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ طَلاَقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ
Tidak ada nadzar bagi anak Adam pada sesuatu yang bukan miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak yang bukan miliknya. Tidak ada talak pada  sesuatu yang bukan miliknya.” [HR. Tirmidzi no. 1181 dan Ahmad 2/190]
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ....” (QS. Al Ahzab: 49). Dalam ayat ini disebut kata talak setelah sebelumnya disebutkan nikah. Ini menunjukkan bahwa yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah melalui jalan pernikahan. Seandainya ada yang kumpul kebo (sebutan untuk sepasang pria wanita yang hidup bersama tanpa melalui jalur nikah), lalu si pria mengajukan cerai, seperti ini tidak jatuh talak sama sekali.

2-     Yang mengucapkan talak telah baligh.

Ini bisa saja terjadi pada pasangan yang menikah pada usia belum baligh.

Mayoritas ulama berpandangan bahwa jika anak kecil yang telah mumayyiz (bisa membedakan bahaya dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak sebenarnya murni bahaya, anak kecil tidaklah memiliki beban taklif (beban kewajiban syari’at).

Dalam hadits ‘Aisyah, Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَكْبَرَ
Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, orang yang hilang ingatan sampai kembali ingatannya dan anak kecil sampai ia dewasa.” [HR. Abu Daud no. 4398, At Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041]

Ulama Hambali berpandangan bahwa talak bagi anak kecil tetap sah. Mereka berdalil dengan hadits,
كُلُّ طَلاَقٍ جَائِزٌ إِلاَّ طَلاَقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ
Setiap talak itu boleh kecuali talak yang dilakukan oleh orang yang kurang akalnya.” [HR. Tirmidzi no. 1191]. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if, namun shahih jika mauquf (perkataan sahabat).

Pendapat mayoritas ulama (jumhur), itu yang lebih tepat. Wallahu a’lam.

3-     Yang melakukan talak adalah berakal.

Dari sini, tidak sah talak yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Yang menjadi dalil adalah hadits ‘Aisyah yang disebutkan di atas. Talak yang tidak sah yang dimaksudkan di sini adalah yang dilakukan oleh orang yang gila atau orang yang kurang akal yang sifatnya permanen. Jika satu waktu hilang akal, waktu lain sadar. Jika ia mentalaknya dalam keadaan sadar, maka jatuh talak. Jika dalam keadaan tidak sadar, tidak jatuh talak.

Dalam pembahasan ini, para ulama biasa menyinggung bagaimanakah ucapan talak yang diucapkan oleh orang mabuk, orang dalam keadaan tidur, dan yang hilang kesadaran semacam itu.

4-     Memaksudkan untuk mengucapkan talak atas pilihan sendiri.

Yang dimaksudkan di sini adalah orang yang mengucapkan talak atas kehendak sendiri mengucapkannya tanpa ada paksaan, meskipun tidak ia niatkan.

Jika ada seorang guru mengucapkan talak dalam rangka mengajarkan murid-muridnya mengenai hukum talak, maka tidak jatuh talak. Karena guru tersebut tidak memaksudkan untuk mentalak istrinya, namun dalam rangka mengajar. Begitu pula jika ada seseorang mengucapkan lafazh talak dengan bahasa yang tidak ia pahami, maka sama halnya tidak jatuh talak. Ini disepakati oleh para ulama.

Ada beberapa masalah yang perlu kita tinjau dari orang yang mengucapkan talak berikut ini, apakah telah jatuh talak ataukah tidak.

1.     Orang yang keliru

Orang yang keliru di sini bukanlah orang yang sedang bermain-main atau bergurau. Namun lisannya salah mengucap, sudah terlancur mengucapkan talak tanpa ia maksudkan. Seperti niatannya ingin berkata, “Anti thohir (kamu itu suci)”. Eh malah keliru ucap menjadi, “Anti tholiq (kamu ditalak)”. Menurut jumhur, seperti ini tidaklah jatuh talak. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah memaafkan dosa dari umatku ketika ia keliru, lupa dan dipaksa”. [HR. Ibnu Majah no. 2045]

2.     Orang yang dipaksa

Begitu pula orang yang dipaksa tidak jatuh talak. Demikian menurut pendapat mayoritas ulama. Dalilnya di antara adalah hadits yang telah disebutkan di atas. Dan juga hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَلاَقَ وَلاَ عَتَاقَ فِى غَلاَقٍ
Tidak jatuh talak dan tidak pula dianggap merdeka dalam suatu pemaksaan”. [HR. Abu Daud no. 2193]

Kapan seseorang disebut dipaksa? Kata Ibnu Qudamah, disebut dipaksa jika memenuhi tiga syarat:

a.       Orang yang memaksa punya kekuatan atau bisa mengalahkan seperti pencuri dan semacamnya.
b.      Yakin akan terkena ancaman jika melawan
c.       Akan menimbalkan dhoror (bahaya) besar jika melawan seperti dibunuh, dipukul dengan pukulan yang keras, digantung, dipenjara dalam waktu lama. Adapun jika hanya dicela, maka itu bukan namanya dipaksa. Begitu pula jika hanya diambil harta yang jumlahnya sedikit, bukan pula disebut dipaksa. (Lihat Al Mughni, 8: 260)

3.     Orang yang sedang marah

Keadaan marah ada beberapa bentuk:
a.       Marah dalam keadaan sadar, akal dan pikiran tidaklah berubah, masih normal. Ketika itu, masih dalam keadaan mengetahui maksud talak yang diutarakan. Marah seperti ini tidak diragukan lagi telah jatuh talak. Dan bentuk talak seperti inilah yang umumnya terjadi.
b.      Marah sampai dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa atau hilang kesadaran dan tidak paham apa yang diucapkan atau yang dimaksudkan. Seperti ini tidak jatuh talak dan tidak ada perselisihan pendapat di dalamnya.

4.     Orang yang safiih (idiot atau kurang akal)

Yang dimaksud adalah orang yang tidak bisa membelanjakan hartanya dengan benar. Menurut mayoritas ulama, talak dari orang yang safiih itu jatuh karena ia masih mukallaf (dibebani syari’at) dan punya kemampuan untuk mentalak.

5.     Orang yang sakit menjelang kematian

Hal ini dilakukan suami di antaranya agar istri tidak mendapatkan waris. Menurut pendapat yang kuat, talaknya jatuh karena dilakukan atas kehendak dan pilihan suami. Dan jika talaknya jatuh, berarti istri tidak mendapatkan hak waris.

Namun jika ketika akan meninggal dunia, talak yang dilakukan masih talak rujuk (bukan talak ba-in), lalu istri atau suami yang meninggal dunia, maka masih mewarisi berdasarkan kesepakatan para ulama.

Ucapan Talak

Talak atau cerai adalah suatu permasalahan rumah tangga yang saat ini banyak menimpa suami istri. Kadang karena ketidak tahuan akan talak yang menyebabkan dengan sendirinya talak itu jatuh. Ada ucapan yang secara tegas walau tanpa disertai niat, membuat talak itu sah. Ada pula talak berupa kata kiasan yang butuh akan niat. Talak pun bisa dilakukan via sms, email atau faks.

Syarat yang Berkaitan dengan Istri yang Ditalak

Pertama: Istri yang ditalak adalah benar-benar istri yang sah secara hukum.

Yang dimaksud di sini adalah istri yang ditalak adalah benar-benar istri yang sah atau masih ada masa ‘iddah dari talak roj’i. Sedangkan jika istri sudah ditalak ba-in atau nikahnya jadi faskh (batal), mayoritas ulama menganggap tidak sahnya talak.

Jika istri ditalak sebelum disetubuhi atau sebelum berdua-duaan dengannya, maka tidak ada masa ‘iddah. Karena Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya” (QS. Al Ahzab: 49).

Kedua: Hendaklah dispesifikkan manakah istri yang ditalak. Ini diperlukan ketika istri lebih dari satu. Hal ini bisa dilakukan dengan isyarat, sifat atau niat. Seperti suami mengatakan kepada salah satu istrinya dengan rinci, “Wahai Zainab, saya talak kamu”. (Shahih Fiqh Sunnah, 3: 250-251.)

Syarat yang Berkaitan dengan Sighoh Talak

Asalnya talak dilakukan dengan ucapan. Namun kadangkala talak dilakukan melalui tulisan atau isyarat.

1.     Talak dengan lafazh (ucapan)

Talak dengan ucapan ada dua macam: (1) talak dengan lafazh shorih (tegas) dan (2) talak dengan lafazh kinayah (kiasan).

Talak dengan lafazh shorih (tegas) artinya tidak mengandung makna lain ketika diucapkan dan langsung dipahami bahwa maknanya adalah talak, lafazh yang digunakan adalah lafazh talak secara umum yang dipahami dari sisi bahasa dan adat kebiasaan. Contohnya seseorang mengatakan pada istrinya, “Saya talak kamu”, “Saya ceraikan kamu”, “Tak pegat kowe (saya ceraikan kamu dalam bahasa Jawa). Lafazh-lafazh ini tidak bisa dipahami selain makna cerai atau talak, maka jatuhlah talak dengan sendirinya ketika diucapkan serius maupun bercanda dan tidak memandang niat. Intinya, jika lafazh talak diucapkan dengan tegas, maka jatuhlah talak selama lafazh tersebut dipahami, diucapkan atas pilihan sendiri, meskipun tidak disertai niat untuk mentalak. Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya mengenai orang yang mentalak istri dalam keadaan main-main atau bercanda,
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk”. [HR. Abu Daud no. 2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039]

Talak dengan lafazh kinayah (kiasan) tidak diucapkan dengan kata talak atau cerai secara khusus, namun diucapkan dengan kata yang bisa mengandung makna lain. Jika kata tersebut tidak punya arti apa-apa, maka tidak bisa dimaksudkan cerai dan itu dianggap kata yang sia-sia dan tidak jatuh talak sama sekali. Contoh lafazh kinayah yang dimaksudkan talak, “Pulang saja kamu ke rumah orang tuamu”. Kalimat ini bisa mengandung makna lain selain cerai. Barangkali ada yang memaksudkan agar istrinya pulang saja ke rumah, namun bukan maksud untuk cerai. Contoh lainnya, “Sekarang kita berpisah saja”. Lafazh ini pun tidak selamanya dimaksudkan untuk talak, bisa jadi maknanya kita berpisah di jalan dan seterusnya. Jadi contoh-contoh tadi masih mengandung ihtimal (makna lain). Untuk talak jenis ini perlu adanya niat. Jika diniatkan kalimat tadi untuk maksud talak, jatuhlah talak. Jika tidak, maka tidak jatuh talak. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” [HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob]

Jika talaknya hanya dengan niat dalam hati tidak sampai diucapkan, maka talaknya tidak jatuh. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا ، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
Sesungguhnya Allah memaafkan pada umatku sesuatu yang terbetik dalam hatinya selama tidak diamalkan atau tidak diucapkan”. [HR. Bukhari no. 5269  dan Muslim no. 127, dari Abu Hurairah.]

2.     Talak dengan tulisan

Talak ini bisa dilakukan lewat sms, email, atau surat menyurat. Jika seseorang tidak ada di tempat, lalu ia menulis pesan kepada istrinya melalui sarana-sarana tadi, maka talaknya jatuh ketika ia berniat untuk talak. Demikian pendapat jumhur –mayoritas ulama-.

Az Zuhri berkata, “Jika seseorang menuliskan pada istrinya kata-kata talak, maka jatuhlah talak. Jika suami mengingkari, maka ia harus dimintai sumpah”.

Ibrahim An Nakho’i berkata, “Jika seseorang menuliskan dengan tangannya kata-kata talak pada istrinya, maka jatuhlah talak”.

Alasan lain bahwa tulisan terdiri dari huruf-huruf yang mudah dipahami maknanya. Jika demikian dilakukan oleh seorang pria ketika ia menuliskan kata-kata talak pada istrinya dan ia berniat mentalak, maka jatuhlah talak sebagaimana ucapan. (Shahih Fiqh Sunnah, 3: 258-259)

Namun untuk tulisan melalui perangkat elektronik perlu ditegaskan bahwa benar-benar tulisan tadi baik berupa sms, email atau fax dari suaminya. Jika tidak dan hanya rekayasa orang lain, maka jelas tidak jatuh talak. (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 36761, www.islamqa.com. Juga dijelaskan dalam Shahih Fiqh Sunnah, 3: 259.)

3.     Talak dengan isyarat

Jika suami mampu mentalak dengan ucapan, maka tidak sah jika ia melakukan talaknya hanya dengan isyarat. Demikian menurut jumhur –mayoritas ulama-. Kecuali untuk orang yang bisu yang tidak dapat berbicara, maka talaknya jatuh jika ia melakukannya dengan isyarat. Namun ulama Hanafiyah dan juga pendapat Syafi’iyah menganggap bahwa jika orang bisu tadi mampu melakukannya dengan tulisan, maka sebaiknya dengan tulisan. Jika tidak, maka tidak sah. Karena talak lewat tulisan lebih menunjukkan yang dimaksud, beda halnya jika hanya dengan isyarat kecuali dalam kondisi darurat karena tidak mampu. (Shahih Fiqh Sunnah, 3: 259)

Apakah Talak Harus dengan Saksi?

Menurut mayoritas ulama dari kalangan salaf dan imam madzhab, disunnahkan (dianjurkan) adanya saksi dalam talak karena hal ini lebih menjaga hak-hak suami istri dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari jika masih ada perdebatan. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah” (QS. Ath Tholaq: 2). Di antara alasannya kenapa saksi di sini tidak sampai wajib adalah karena dalam ayat lainnya kalimat talak tidak disertai dengan saksi. Begitu pula dalam beberapa hadits. Dan talak adalah hak suami dan tidak butuh adanya pendukung karena itu haknya secara langsung. Hal ini sama halnya dengan persaksian yang lain. (Shahih Fiqh Sunnah, 3: 259-260)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar