Sabtu, 14 November 2015

Menyentuh Mushaf Al Qur’an bagi Orang yang Berhadats (1)

Pendapat Ulama Madzhab

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah –kitab Ensiklopedia Fiqih- disebutkan,
Orang yang berhadats (hadats besar atau hadats kecil) tidak boleh menyentuh mushaf seluruh atau sebagiannya. Inilah pendapat para ulama empat madzhab. Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)

Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” [HR. Al Hakim]

Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para ulama empat madzhab sepakat bolehnya membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadats baik hadats besar maupun kecil selama tidak menyentuhnya.

Yang dimaksud menyentuh mushaf menurut mayoritas ulama adalah menyentuhnya dengan bagian dalam telapak tangan maupun bagian tubuh lainnya.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa menyentuh mushaf Al Qur’an tidak dibolehkan oleh para ulama madzhab.

Menyentuh Mushaf bagi Orang yang Berhadat Besar dan Kecil

Larangan menyentuh mushaf di sini berlaku bagi orang yang berhadats besar seperti wanita yang sedang haidh, nifas dan orang yang junub. Mengenai larangan menyentuh mushaf bagi yang berhadats besar terdapat riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Al Qosim bin Muhammad, Al Hasan Al Bahsri, ‘Atho’, dan Asy Sya’bi. Bahkan sampai-sampai Ibnu Qudamah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Daud (salah satu ulama Zhohiriyah).”

Begitu pula larangan menyentuh mushaf di sini berlaku bagi orang yang berhadats kecil seperti orang yang sehabis kentut atau kencing dan belum bersuci. Inilah mayoritas pendapat pakar fiqih. Bahkan Ibnu Qudamah sampai-sampai mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada ulama yang menyelisihi pendapat ini kecuali Daud Azh Zhohiri.”

Al Qurthubi mengatakan bahwa ada sebagian ulama yang membolehkan menyentuh mushaf tanpa berwudhu.

Al Qolyubi, salah seorang ulama Syafi’iyah mengatakan, “Ibnu Sholah menceritakan ada pendapat yang aneh dalam masalah ini yang menyebutkan tidak terlarang menyentuh mushaf sama sekali (meskipun keadaan hadats kecil maupun hadats besar)”

Orang yang berhadats di sini diperbolehkan menyentuh Al Qur’an setelah mereka bersuci, untuk hadats besar dengan mandi wajib sedangkan hadats kecil dengan berwudhu.

Menyentuh Mushaf Al Qur’an dengan Pembatas Ketika Berhadats

Tentang menyentuh mushaf Al Qur’an dengan pembatas ketika berhadats, maka terdapat perselisihan di antara para ulama. Ada ulama yang membolehkan dan ada yang tidak.

Namun yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan menyentuh mushaf dalam keadaan berhadats dengan menggunakan pembatas selama pembatas tersebut bukan bagian dari mushaf (artinya: tidak dibeli beserta mushaf seperti sampul). Seperti yang digunakan sebagai pembatas di sini adalah sarung tangan. Karena larangan yang dimaksud adalah larangan menyentuh mushaf secara langsung. Sedangkan jika menggunakan pembatas, maka yang disentuh adalah pembatasnya dan bukan mushafnya. Demikian pendapat yang dipilih oleh ulama Hambali.

Membawa Mushaf Al Qur’an Ketika Berhadats Tanpa Menyentuh

Misalnya, saja seorang yang dalam keadaan berhadats membawa mushaf Al Qur’an di tasnya, tanpa menyentuhnya secara langsung. Apakah seperti ini dibolehkan?

Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah dibolehkan. Yaitu dibolehkan bagi yang berhadats (seperti orang yang junub) untuk membawa mushaf tanpa menyentuhnya secara langsung, dengan menggunakan pembatas yang bukan bagian dari Al Qur’an. Karena seperti ini bukanlah disebut menyentuh. Sedangkan larangan yang disebutkan dalam hadits adalah menyentuh mushaf dalam keadaan tidak suci. Sedangkan di sini sama sekali tidak menyentuh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, ulama Hanabilah dan menjadi pendapat Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Asy Sya’bi, Al Qosim, Al Hakam dan Hammad.

Yang Dibolehkan Menyentuh Mushaf Meskipun dalam Keadaan Berhadats

Pertama: Anak kecil.

Ulama Syafi’iyah mengatakan, “Tidak terlarang bagi anak kecil yang sudah tamyiz untuk menyentuh mushaf walaupun dia dalam keadaan hadats besar. Dia dibolehkan untuk menyentuh, membawa dan untuk mempelajarinya. Yaitu tidak wajib melarang anak kecil semacam itu karena ia sangat butuh untuk mempelajari Al Qur’an dan sangat sulit jika terus-terusan diperintahkan untuk bersuci. Namun ia disunnahkan saja untuk bersuci.”

Yang dimaksud tamyiz adalah sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang manfaat dan manakah yang bahaya.

Kedua: Bagi guru dan murid yang butuh untuk mempelajari Al Qur’an.

Dibolehkan bagi wanita haidh yang ingin mempelajari atau mengajarkan Al Qur’an di saat jam mengajar untuk menyentuh mushaf baik menyentuh seluruh mushaf atau sebagiannya atau cuma satu lembaran yang tertulis Al Qur’an. Namun hal ini tidak dibolehkan pada orang yang junub. Karena orang yang junub ia mudah untuk menghilangkan hadatsnya dengan mandi sebagaimana ia mudah untukk berwudhu. Beda  halnya dengan wanita haidh, ia tidak bisa menghilangkan hadatsnya begitu saja karena yang ia alami adalah ketetapan Allah. Demikian pendapat dari ulama Malikiyah.

Akan tetapi yang jadi pegangan ulama Malikiyah, boleh bagi orang yang junub (laki-laki atau perempuan, kecil atau dewasa) untuk membawa Al Qur’an ketika mereka hendak belajar karena keadaan yang sulit untuk bersuci ketika itu. Ia dibolehkan untuk menelaah atau menghafal Al Qur’an ketika itu.

Yang lebih tepat, untuk laki-laki yang junub karena ia mudah untuk menghilangkan hadatsnya, maka lebih baik ia bersuci terlebih dulu, setelah itu ia mengkaji Al Qur’an. Adapun untuk wanita haidh yang inginn mengkaji Al Qur’an, sikap yang lebih hati-hati adalah ia menyentuh Al Qur’an dengan pembatas sebagaimana diterangkan pada pembahasan yang telah lewat. Wallahu a’lam.

Menyentuh Kitab-kitab Tafsir dalam Keadaan Berhadats

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa diharamkan menyentuh mushaf jika isinya lebih banyak Al Qur’an daripada kajian tafsir, begitu pula jika isinya sama banyaknya antara Al Qur’an dan kajian tafsir, menurut pendapat yang lebih kuat. Sedangkan jika isinya lebih banyak kajian tafsir daripada Al Qur’an, maka dibolehkan untuk menyentuhnya.

An Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”

Menyentuh Kitab Fiqh dan Kitab Hadits dalam Keadaan Berhadats

Menyentuh kitab fiqh dibolehkan dalam keadaan berhadats karena kitab tersebut tidaklah disebut mushaf dan umumnya, isinya lebih banyak selain ayat Al Qur’an. Demikian pendapat mayoritas ulama.

Begitu pula dengan kitab hadits diperbolehkan untuk menyentuhnya walaupun dalam keadaan berhadats. Demikian pendapat mayoritas ulama.

Intinya, jika suatu kitab atau buku tidak disebut mushaf dan isinya lebih banyak tulisan selain ayat Al Qur’an, maka tidak mengapa orang yang berhadats menyentuhnya.

Menyentuh Al Qur’an Terjemahan dalam Keadaan Berhadats

Jika yang disentuh adalah terjemahan Al Qur’an dalam bahasa non Arab, maka itu tidak disebut Al Qur’an. Namun kitab atau buku seperti ini disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu tidak mengapa menyentuh Al Qur’an terjemahan seperti ini karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al Qur’annya lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, maka seharusnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats sebagaimana keterangan yang telah lewat.

Menyentuh Sampul Mushaf dan Bagian Lainnya

Mayoritas ulama menyatakan bahwa termasuk yang terlarang ketika berhadats di sini adalah menyentuh sampul mushaf yang bersambung langsung dengan mushaf, halaman pinggirannya yang tidak ada tulisan ayat di sana, celah-celah ayat yang tidak terdapat tulisan dan bagian lainnya dari mushaf secara keseluruhan. Karena bagian-bagian tadi semuanya termasuk mushaf dan ikut serta ketika dibeli, sehingga dikenai hukum yang sama.

Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Pendapat yang menyatakan tidak terlarang menyentuh sampul mushaf ketika hadats lebih dekat pada qiyas (analogi). Sedangkan pendapat yang menyatakan terlarang, alasannya adalah untuk mengagungkan mushaf Al Qur’an. Pendapat yang menyatakan terlarang, itulah yang lebih tepat.”

Dalil Pendukung Larangan Menyentuh Mushaf Al Qur’an Ketika Berhadats


Sebagaimana telah diisyaratkan diatas, bahwa larangan menyentuh mushaf ketika berhadats menjadi pendapat ulama empat madzhab. Sedangkan yang menyelisihi adalah ulama Zhohiriyah (Daud Azh Zhohiri, Ibnu Hazm, dkk) sebagaimana telah disinggung sekilas oleh Ibnu Qudamah. Ulama belakangan yang mengikuti pendapat ini adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah.

Berikut adalah beberapa alasan mengapa menyentuh Al Qur’an terlarang dalam kondisi berhadats:

Pertama: Pendapat para sahabat dan tidak ada yang menyelisihinya.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Pendapat imam mazhab yang empat, mushaf al Qur’an tidak boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci sebagaimana dalam surat yang dikirimkan oleh Rasulullah kepada ‘Amr bin Hazm,
أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ
Tidak boleh menyentuh mushaf melainkan orang yang suci”. Imam Ahmad mengatakan, “Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menuliskan surat tersebut kepada ‘Amr bin Hazm.” Inilah pendapat Salman al Farisi, Abdullah bin Umar dan yang lainnya. Tidak diketahui adanya sahabat lain yang menyelisihi pendapat dua sahabat ini”. (Majmu’ Al Fatawa, 21/266)

Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun menyentuh mushaf maka pendapat yang benar wajib berwudhu sebelum menyentuh mushaf sebagaimana pendapat jumhur fuqaha. Inilah pendapat yang diketahui dari para sahabat, seperti Sa’ad, Salman dan Ibnu Umar” (Majmu’ Al Fatawa, 21/288)

Dalam Syarh al Umdah, Ibnu Taimiyyah berkata, “Hal itu juga merupakan pendapat sejumlah tabiin tanpa diketahui adanya perselisihan di antara para shahabat dan tabiin. Ini menunjukkan bahwa pendapat ini telah dikenal di antara mereka”. (Syarh Al ‘Umdah, 1/383)
Di antara pendapat para sahabat dalam masalah ini adalah sebagai berikut.

1. Sa’ad bin Abi Waqash
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ قَالَ كُنْتُ أُمْسِكُ الْمُصْحَفَ عَلَى سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ فَاحْتَكَكْتُ فَقَالَ سَعْدٌ لَعَلَّكَ مَسِسْتَ ذَكَرَكَ قَالَ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ قُمْ فَتَوَضَّأْ فَقُمْتُ فَتَوَضَّأْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ
Dari Mush’ab bin Saad bin Abi Waqash, “Aku memegang mushfah di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash lalu aku menggaruk-garuk kemaluanku”. Beliau lantas berkata, “Engkau menyentuh kemaluanmu?”. “Benar”, jawabku. Beliau berkata, “Berdirilah lalu berwudhulah”. Aku lantas bangkit berdiri dan berwudhu lalu aku kembali. (HR Malik dalam Muwatha no 128)

Al Baihaqi dalam al Khilafiyat 1/516 mengatakan, “Riwayat ini shahih, diriwayatkan oleh Malik dalam al Muwatha’. Riwayat di atas juga dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 1/161 no. 122.

2. Salman al Farisi
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ كُنَّا مَعَهُ فِى سَفَرٍ فَانْطَلَقَ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ جَاءَ فَقُلْتُ أَىْ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ تَوَضَّأْ لَعَلَّنَا نَسْأَلُكَ عَنْ آىٍ مِنَ الْقُرْآنِ فَقَالَ سَلُونِى فَإِنِّى لاَ أَمَسُّهُ إِنَّهُ لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ فَسَأَلْنَاهُ فَقَرَأَ عَلَيْنَا قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ.
Dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman, Kami bepergian bersama Salman. Suatu ketika beliau pergi untuk buang hajat setelah kembali aku berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, berwudhulah agar kami bisa bertanya kepadamu tentang ayat-ayat al Qur’an”. Beliau berkata, “Silahkan bertanya namun aku tidak akan menyentuhnya. ‘Sesungguhnya tidaklah menyentuhnya melainkan orang-orang yang disucikan’ (QS al Waqiah:77)”. Kami pun mengajukan beberapa pertanyaan kepada beliau dan beliau bacakan beberapa ayat kepada kami sebelum beliau berwudhu. (HR al Hakim no 3782 dan dinilai shahih oleh al Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi, Daruquthni no 454)

Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa riwayat dari Salman itu shahih. (Majmu’ Al Fatawa 21/200)

3. ‘Abdullah bin Umar
عن نافع عن بن عمر أنه كان لا يمس المصحف إلا وهو طاهر
Dari Nafi, “Tidaklah Ibnu Umar menyentuh mushaf melainkan dalam keadaan suci” (Ibnu Abi Syaibah no 4728)

Kedua: Pemahaman ayat Al Qur’an

Dalil Al Qur’an yang dimaksud adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (80
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara, tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan, diturunkan dari Rabbil ‘alamiin” (QS Al Waqiah 77-80).

Sisi pendalilan dari ayat ini menurut ulama yang berdalil dengannya adalah firman Allah yang artinya, ‘tidak menyentuhnya’ adalah kalimat berita namun maknanya adalah larangan. Sehingga maknanya adalah ‘janganlah menyentuhnya’, dan bukan semata-mata kalimat berita karena berita yang Allah sampaikan pasti tidak meleset. Sedangkan kenyataannya mushaf al Qur’an disentuh oleh muslim, munafik dan orang kafir.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan kitab dalam ayat tersebut adalah Al Qur’an yang ada di tengah-tengah kita. Alasannya, karena dalam ayat tersebut disebut “tanzil“, artinya turun. Demikian alasan An Nawawi dalam Al Majmu’. (Al Majmu’, 2/72)

Ibnul Jauzi mengatakan, “Para ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Al Qur’an dalam ayat di atas adalah mushaf Al Qur’an berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan menjadi empat pendapat.

·         Pertama, mereka adalah orang-orang yang bersih dari hadats. Inilah pendapat mayoritas ulama. Sehingga ayat di atas adalah kalimat berita namun maknanya adalah larangan.
·         Kedua, orang yang bersih dari syirik. Inilah pendapat ibnu As Sa-ib.
·         Ketiga, orang yang bersih dari dosa dan kesalahan. Inilah pendapat Ar Robi’ bin Anas.
·         Keempat, makna ayat adalah tidak ada yang bisa merasakan nikmatnya Al Qur’an dan manfaatnya melainkan orang yang mengimani al Qur’an. Adanya pendapat ini diceritakan oleh al Faro’. (Zaadul Masiir, 8/152)

Di antara hal yang menguatkan bahwa orang-orang yang suci dari hadats tercakup dalam ayat ini adalah inilah pemahaman Salman al Farisi terhadap ayat di atas sebagaimana telah kami kemukakan. Salman al Farisi berdalil dengan ayat di atas bahwa mushaf al Qur’an itu tidak disentuh oleh orang yang dalam kondisi berhadats. Salman adalah salah seorang sahabat Nabi. Sedangkan para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya al Qur’an, memahaminya, menghafalnya, mengenalnya, mengetahui kandungan lafazhnya serta tafsirnya. Merekalah orang yang paling mengetahui al Qur’an.

Ketiga: Pemahaman hadits.

عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا فَكَانَ فِيهِ « لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
Dari Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh al Quran melainkan orang yang suci”. (HR. Daruquthni no. 449, dinilai shahih oleh al Albani dalam al Irwa no 122)

Banyak ulama salaf yang berdalil dengan hadits ini terkait masalah ini. Di antaranya adalah Malik, Ahmad dan Ishaq.

Kerancuan dari Pemahaman Hadits

Jika ada orang yang mengatakan bahwa hadits di atas mengandung dua kemungkinan makna yaitu suci yang abstrak, itulah iman dan suci yang konkret, itulah hadats. Karena ada beberapa kemungkinan maka hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil.

Kita katakan bahwa bukanlah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut mukmin dengan istilah orang yang suci karena itulah mukmin itu lebih agung.

Hadits di atas tidaklah bermasalah karena istilah ‘suci’ adalah satu kata yang mengandung banyak kemungkinan makna dan tidaklah terlarang memaknai istilah ‘suci’ dalam hadits ini dengan semua maknanya. Sehingga mushaf Al Qur’an itu tidak boleh disentuh oleh orang musyrik sebagaimana tidak boleh disentuh oleh seorang muslim yang berhadats besar ataupun berhadats kecil.

Mengenai kata yang mengandung kemungkinan makna, dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Kata yang bersifat musytarok (satu kata yang memuat banyak kemungkinan makna) bisa dimaknai dengan semua maknanya. Hal ini dibolehkan oleh mayoritas pakar fiqih dari mazhab Maliki, Syafii dan Hanbali serta banyak pakar ilmu kalam” (Majmu’ Al Fatawa, 13/341)

Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Memaknai kata yang bersifat musytarok dengan semua maknanya adalah pendapat yang kuat”. (Nailul Author 3/8, Syamilah)

Perlu ditambahkan bahwa para ulama salaf berdalil dengan hadits di atas untuk membahas bersuci yang bersifat konkret yaitu hadats. Orang yang paling terkenal memaknai suci dalam hadits di atas dengan suci yang abstrak adalah Daud azh Zhahiri dan orang-orang yang mengikutinya.

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Daud (Azh Zhohiri) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan dalam firman Allah ‘tidaklah menyentuhnya melainkan orang-orang yang disucikan’ (QS al Waqiah:79) adalah para malaikat. Daud juga menolak hadits ‘Amr bin Hazm yang berisikan bahwa tidak boleh menyentuh al Qur’an melainkan orang yang suci dengan mengatakan bahwa hadits tersebut mursal dan tidak bersambung. Dia juga membantah hadits tersebut dengan menggunakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seorang mukmin itu tidak najis’.

Telah kami jelaskan pembelaan untuk hadits Amr bin Hazm dari sisi periwayatan. Mayoritas ulama pun berpendapat dengan kandungan hadits ‘Amr bin Hazm dan tidak mungkin mereka melakukan penyelewengan makna atau menerima dalil yang tidak layak untuk diterima. Pendapat mayoritas ulama-lah yang aku pilih”. (Al Istidzkar, 2/473, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.)

Yang menguatkan bahwa yang dimaksud dengan suci dalam hadits di atas yaitu suci dari hadats adalah beberapa riwayat dari para shahabat yang telah kita sebutkan di pembahasan yang telah lewat.

Ibnu Taimiyyah berkata, “Untuk menyentuh mushaf Al Qur’an disyaratkan harus bersih dari hadats besar dan hadats kecil menurut mayoritas ulama. Inilah pendapat yang sejalan dengan Al Qur’an, sunnah dan pendapat Salman (Al Farisi), Saad bin Abi Waqqash dan shahabat yang lain”. (Majmu Fatawa 26/200)

Ibnu Taimiyyah berkata, “Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendapat para shahabat dan itulah pendapat yang sejalan dengan al Qur’an dan sunnah yaitu menyentuh mushaf tidak diperbolehkan bagi orang yang berhadats” (Majmu Fatawa 21/270)

Demikianlah pendapat yang lebih menenangkan hati penulis bahwa menyentuh Al Qur’an terlarang dalam keadaan berhadats. Silakan setiap orang memilih pendapat yang ia rasa lebih kuat, namun tentu saja yang mendekati Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang patut diikuti. Itulah mengapa kami pun lebih tenang dengan pendapat mayoritas ulama madzhab yang melarang menyentuh Al Qur’an ketika berhadats karena didukung oleh Al Qur’an, As Sunnah dan pemahaman para sahabat. Pendapat ini pun lebih hati-hati agar tidak terjerumus pada perselisihan ulama yang ada.

Solusi bagi Wanita Haidh Supaya Bisa Membaca Al Quran

Bulan Ramadhan adalah kesempatan yang baik untuk membaca Al Quran. Namun setiap wanita pasti tidak penuh menjalankan puasa. Ada satu waktu ia mengalami haidh. Ketika mengalami haidh tersebut, ia tentu terhalang untuk membaca Al Quran sehingga waktunya berkurang untuk mengkhatamkan Al Quran sebulan Ramadhan.

Berikut ada solusi yang baik untuk para wanita ketika menghadapi masalah ini.

1- Membaca mushaf saat haidh namun tidak menyentuh secara langsung

Membaca masih dibolehkan bagi wanita yang berhadats. Yang tidak dibolehkan adalah menyentuh langsung saat berhadats.

Dalil yang menunjukkan larangan untuk menyentuhnya adalah ayat,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Dalam keadaan suci di sini bisa berarti suci dari hadats besar dan hadats kecil. Haidh dan nifas termasuk dalam hadats besar.

Jika dilarang menyentuh Al Quran dalam keadaan haidh, lalu bagaimana dengan membaca?

Solusinya dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah di mana beliau berkata, “Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al Qur’an tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau memang mau menyentuh Al Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen). Demikian pula untuk menulis Al Qur’an di kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka diperbolehkan dengan menggunakan pembatas seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10: 209-210)

Adapun hadits yang menyebutkan,
لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئاً من القرآن
Tidak boleh membaca Al Qur’an sedikit pun juga bagi wanita haidh dan orang yang junub.” Imam Ahmad telah membicarakan hadits ini sebagaimana anaknya menanyakannya pada beliau lalu dinukil oleh Al ‘Aqili dalam Adh Dhu’afa’ (90), “Hadits ini batil. Isma’il bin ‘Iyas mengingkarinya.” Abu Hatim juga telah menyatakan hal yang sama sebagaimana dinukil oleh anaknya dalam Al ‘Ilal (1/49). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya (21/460), “Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana kesepakatan para ulama pakar hadits.”

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hadits di atas tidak diketahui sanadnya sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini sama sekali tidak disampaikan oleh Ibnu ‘Umar, tidak pula Nafi’, tidak pula dari Musa bin ‘Uqbah, yang di mana sudah sangat ma’ruf banyak hadits dinukil dari mereka. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudang seringkali mengalami haidh, seandainya terlarangnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh atau nifas sebagaimana larangan shalat dan puasa bagi mereka, maka tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menerangkan hal ini pada umatnya. Begitu pula para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya dari beliau. Tentu saja hal ini akan dinukil di tengah-tengah manusia (para sahabat). Ketika tidak ada satu pun yang menukil larangan ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tentu saja membaca Al Qur’an bagi mereka tidak bisa dikatakan haram. Karena senyatanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang hal ini. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak melarangnya padahal begitu sering ada kasus haidh di masa itu, maka tentu saja hal ini tidaklah diharamkan.” (Majmu’ Al Fatawa, 26: 191)

2- Membaca Al Quran terjemahan

Kalau di atas disebut mushaf berarti seluruhnya berisi ayat Al Quran tanpa ada terjemahan. Namun kalau yang dibaca adalah Al Quran terjemahan, itu tidak termasuk mushaf.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”

Jika yang disentuh adalah Al Qur’an terjemahan dalam bahasa non Arab, maka itu tidak disebut mushaf yang disyaratkan dalam hadits mesti menyentuhnya dalam keadaan suci. Namun kitab atau buku seperti itu disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu tidak mengapa menyentuh Al Qur’an terjemahan seperti itu karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al Qur’annya lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, maka seharusnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats.


Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar