Rabu, 29 Maret 2017

Shalat Tasbih

Diantara shalat tathawu’ atau sholat sunnah adalah shalat tasbih. Dan dalam hal ini, terdapat hadits marfu' (yang dirafa'kan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam) berkaitan dengan shalat Tasbih dan dihasankan oleh sebagian Ahlul 'ilm, akan tetapi banyak diantara para ulama yang mendho'ifkan (melemahkan) hadits tersebut dan menganggapnya tidak masyru'.

Dalam hal ini, al-Lajnah ad-Dâimah telah ditanyai mengenai shalat Tasbih dan memberikan jawabannya sbb: "Shalat Tasbih adalah bid'ah dan hadits yang berkaitan dengannya tidak tsabit (tidak dapat dipertanggung jawabkan keshahihan sumbernya dari Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam) bahkan (kualitasnya) adalah Munkar [hadits yang termasuk kategori lemah yang diriwayatkan oleh orang yang dha'if (lemah) bertentangan dengan riwayat orang yang dapat dipercayai (tsiqah)], dan sebagian Ahlul 'ilm menyebutkan hadits tersebut dalam kategori hadits-hadits maudhu' (palsu).

[Lihat : Fatawa al-Lajnah ad-dâimah, jld. VIII, h. 163]

Syaikh Ibn 'Utsaimin berkata : "Shalat Tasbih tidak masyru' karena haditsnya lemah. Imam Ahmad berkata: '(hadits tentang shalat Tasbih) tidak shahih', bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: '(haditsnya) adalah dusta'. (Syaikh Utsaimin melanjut-kan) :"Tidak seorang pun dari para Imam (Aimmah) yang me-mustahabkannya, dan benarlah (Syaikhul Islam) -rahimahullah- . Sesungguhnya orang yang merenungkan shalat tersebut niscaya akan  mendapatkan kejanggalan-kejanggalan didalamnya baik dalam tata caranya, sifatnya atau pun perbuatannya (prakteknya), ditambah lagi; bila benar ia (shalat Tasbih tsb) masyru' niscaya termasuk hadits-hadits yang banyak diriwayatkan dan ditrans-formasikan lantaran banyaknya keutamaan dan pahalanya.

Maka, tatkala (realitasnya) tidaklah demikian dan tak seorang pun dari para Imam yang memustahabkannya, disini diketahui bahwa ia (hadits yang berkaitan dengannya) bukanlah hadits yang shahih.Dan diantara aspek kejanggalannya adalah (sebagaimana terdapat dalam teks hadits yang meriwayat-kannya) : "(Dia mengerjakannya (shalat Tasbih) sekali dalam sehari atau dalam seminggu atau dalam sebulan atau dalam setahun atau seumur sekali).. Ini merupakan bukti bahwa ia (hadits tentang shalat ini) tidak shahih (sebab) jikalau benar ia masyru' niscaya shalat tersebut dilakukan secara kontinyu; tidak (dengan) memberikan pilihan kepada orang berupa pilihan yang amat jauh dan berbelit-belit.

Maka berdasarkan hal tersebut, sesungguhnya tidaklah sepatutnya seseorang melakukannya. Wallahu a'lam. [ Fatawa Manaril Islam, I/203]

Derajat Hadits Shalat Tasbih

Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang sholat tasbih :
 
1.  Hadits Ibnu ‘Abbas.
  
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهْ أَلاَ أُعْطِيْكَ أَلاَ أُمْنِحُكَ أَلاَ أُحِبُّوْكَ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطْأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ وَكَبِيْرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ عَشَرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ تَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وِسُوْرَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقُرْاءَةِ فِيْ أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشَرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشَرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوْعِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تّهْوِيْ سَاجِدًا فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُوْنَ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِيْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً  فَإِنْ لََمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُ فَفِيْ كُلِّ سَنَةِ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ عُمْرِكَ مَرَّةً 
"Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada ‘Abbas bin ‘Abdul Muththolib : Wahai ‘Abbas, wahai pamanku maukah saya berikan padamu?, maukah saya anugerahkan padamu?, maukah saya berikan padamu?, saya akan tunjukkan suatu perbuatan yang mengandung 10 keutamaan yang jika kamu melakukannya maka diampuni dosamu, yaitu  dari awalnya hingga akhirnya, yang lama maupun yang baru, yang tidak disengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang nampak. Semuanya 10 macam. Kamu sholat 4 raka’at setiap raka’at kamu membaca Al-Fatihah dan satu surah. Jika telah selesai maka bacalah Subhanallahi walhamdulillahi walaa ilaaha illallah wallahu akbar sebelum ruku’ sebanyak 15 kali, kemudian kamu ruku’ lalu bacalah kalimat itu di dalamnya sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari ruku’ baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian sujud baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari sujud baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian sujud lagi dan baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari sujud sebelum berdiri baca lagi sebanyak 10 kali, maka semuanya sebanyak 75 kali setiap raka’at. Lakukan yang demikian itu dalam  empat raka’at. Lakukanlah setiap hari, kalau tidak mampu lakukan setiap pekan, kalau tidak mampu setiap bulan, kalau tidak mampu setiap tahun dan jika tidak mampu maka lakukanlah sekali dalam seumur hidupmu".  
Hadits ini mempunyai empat jalan :
 
Pertama : Al-Hakam bin Aban dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththolib … kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Dikeluarkan oleh : Abu Daud 2/29 no.1297 dan Ibnu Majah 2/158-159 no.1387 dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shohihnya 2/223-224 no.1216 dan Al-Hakim 1/627-628 no.1233-1234 Al-Baihaqy 3/51-52, Ath-Thobarany 11/194-195 no.11622 Ad-Daraquthny sebagaimana dalam Al-Alai Al-Mashnu’ah 2/37 dan Ibnu Al-Jauzy dalam Al-Maudhuat 2/143-144 dan Al-Hasan bin ‘Ali Al-Ma’mari dalam kitab Al-Yaum Wal Laila, Al-Khalily dalam Al-Irsyad 1/325 no.58 dan Ibnu Syahin dalam At-Targhib Wa At-Tarhib sebagaimana dalam kitab Al-Alai Al-Mashnu’ah 2/39.

Seluruhnya dari jalan ‘Abdurrahman bin Bisyr bin Al-Hakam Al-‘Abdi dari Abi Syu’aib Musa bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Qinbary dari Al-Hakam bin Aban … dan seterusnya.

Berkata Az-Zarkasyi dalam Al-Alai Al-Mashnu’ah 2/44 : “Telah meriwayatkan dari Musa bin ‘Abdil ‘Aziz : Bisyr bin Al-Hakam serta anaknya Abdurrahman, Ishaq bin Abi Israil, Zaid bin Mubarak Ash-Shon’any dan selain mereka”. Dinukil dengan sedikit perubahan.

Riwayat Ishaq bin Abi Israil dikeluarkan oleh Al-Hakim 1/628 no.1234 dan Ibnu Syahin dalam At-Targhib Wa At-Tarhib sebagaimana dalam Al-Alai Al-Mashnu’ah 2/39.

Komentar para ulama tentang Musa bin ‘Abdil ‘Aziz:

Berkata Ibnu Ma’in tentangnya : Laa Araa bihi ba’san (dalam pandangan saya dia tidak apa-apa). Dan berkata An-Nasai : Laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya).

Ibnu Hibban menyebutkan di dalam Ats-Tsiqot dan dia berkata : Rubbamaa akhto’ (kadang-kadang bersalah).

Berkata Ibnu Al-Madiny : Dho’if (lemah).

Dan berkata As-Sulaimany : Mungkarul hadits (mungkar haditsnya). (Lihat At-Tahdzib At-Tahdzib.)    

Imam Muslim bin Al-Hajjaj berkata : “Saya tidak melihat sanad hadits yang lebih baik dari hadits ini”. Diriwayatkan oleh Al-Khalily dalam Al-Irsyad 1/327 dan Al Baihaqy dan selain keduanya.

Yang nampak dari komentar para ulama di atas bahwasanya hadits dia itu tidaklah turun dari derajat hasan. Wallahu A’lam. Maka karena itulah kedudukan hadits ini adalah hasan.
 
Catatan Penting :

Ada riwayat dari jalan Muhammad bin Rafi’ dari Ibrahim bin Al-Hakam bin Aban dia berkata :

“Menceritakan kepada saya ayahku dari ‘Ikrimah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda … kemudian dia menyebutkan haditsnya secara mursal (seorang tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam sedangkan ia tidak mendengar darinya).

Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya 2/224, Al-Hakim 1/628, Al-Baihaqy 3/53 dan dalam Syu’abul Iman 125 no.3080 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 4/156-157 no.1018.

Riwayat ini tidaklah membahayakan riwayat Musa bin ‘Abdil ‘Aziz karena komentar para ulama terhadap Ibrahim bin Hakam sangat keras dan yang nampak bagi yang memperhatikan komentar para ulama tersebut bahwasanya dia adalah dho’if, tidak dipakai sebagai pendukung. Terlebih lagi telah terdapat riwayat-riwayat yang mungkar dalam riwayat bapaknya dari jalannya (Ibrahim bin Al-Hakam).

Berangkat dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa penyelisihan yang dilakukan oleh Ibrahim bin Al-Hakam yang meriwayatkan secara mursal kemudian menyelisihi riwayat Musa bin ‘Abdil ‘Aziz yang meriwayatkan secara maushul (bersambung) tidaklah berpengaruh. Bersamaan dengan itu Ibrahim bin Al-Hakam telah guncang dalam riwayatnya karena  kadang-kadang dia meriwayatkan secara mursal sebagai-mana dalam riwayat Muhammad bin Rafi’ ini dan kadang-kadang dia meriwayatkan-nya secara maushul  sebagaimana dalam riwayat Ishaq bin Rahaway dikeluarkan oleh Hakim 1/628 no.1235 dan Baihaqy dalam Syu’abul Iman 125-126 no.3080.

Dan dari sini diketahui bahwasanya tidak perlu bagi Imam Al-Baihaqy untuk berkata : “Yang benar adalah riwayat secara mursal” dalam Syu’abul Iman 3/126, karena perselisihan riwayat yang berasal dari Ibrahim bin Al-Hakam ini menunjukkan keguncangan dalam riwayatnya sehingga semakin jelas menunjukkan lemahnya orang ini. Demikian kaidah para ulama menanggapi rawi yang seperti ini, sebagai-mana yang tersebut dalam Syarh ‘Ilal At-Tirmidzy oleh Ibnu Rajab dan yang lainnya. Wallahu A’lam.
  
Kedua : Dari jalan ‘Abdul Quddus bin Habib dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepadanya … Kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Dikeluarkan oleh : Ath-Thobarany dalam Al-Ausath 3/14-15 no.2318 dan Abu Nuaim dalam Al-Hilyah 1/25-26.

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar : “Abdul Quddus sangat lemah dan dinyatakan berdusta oleh sebagian para Imam”. Baca Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah 4/311 dan Al-Alai Al-Mashnu’ah 2/40 dan lihat Mizanul I’tidal.
  
Ketiga : Dari jalan Nafi’ bin Hurmuz Abu Hurmuz dari Atho’ dari Ibnu ‘Abbas. Dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 11/130 no.11365.

Berkata Al-Hafidz sebagaimana dalam Al-Alai Al-Masnu’ah 1/39-40 : Rawi-rawinya terpercaya kecuali Abu Hurmuz, matrukul hadits (dia ditinggalkan haditsnya). Lihat Mizanul I’tidal.
  
Keempat : Dari jalan Yahya bin ‘Uqbah bin Abi Al-‘Aizar, dari Muhammad bin Jahadah dari Abi Al-Jauza’ dari Ibnu ‘Abbas.

Dikeluarkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Ausath 3/187 no. 2879.

Berkata Al-Hafidz : “Semua rawinya terpercaya kecuali Yahya bin ‘Uqbah, dia matruk (haditsnya ditinggalkan)”.

Bahkan Ibnu Ma’in berkata : Kadzdzabun Khabits (pendusta yang sangat hina). (Lihat Mizanul I’tidal.)
  
2. Hadits Abu Rofi’, maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.

Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 2/157-159 no.1386, dan Tirmidzi 2/350-351 no.482 dan Abu Bakar bin Abi Syaibah sebagaimana dalam Ajwibah Al-Hafidz Ibnu Hajar ‘Ala Ahadits Al Mashobih 3/1781 dari Misyakatul Mashobih dan Ad-Daruqthny dalam Al-Alai Al-Masnu’ah 2/38 dan Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhu’at 2/144 dan Abu Nu’aim dalam Qurban Al-Muttaqin sebagaimana dalam Al-Alai Al-Masnu’ah 2/41.

Semuanya  dari jalan Zaid bin Al-Hibban Al-‘Uqly dari Musa bin ‘Abidah dari Sa’id bin Abi Sa’id maula Abu Bakr bin ‘Amr bin Hazm dari Abu Rofi’ dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Al-‘Abbas … kemudian dia menyebut kan haditsnya.

Dalam sanadnya ada dua cacat :
 
a.    Musa bin ‘Abidah yaitu Ar-Rabadzy Al-Madany. Yang nampak bagi saya setelah membaca komentar para ulama tentangnya ia adalah rowi yang dho’if  yang bisa dipakai sebagai pendukung apalagi dalam hadits-hadits Ar-Riqaq.

b.       Sa’id bin Abi Sa’id majhulul hal (tidak diketahui keadaannya).

Maka hadits ini adalah syahid (pendukung) yang sangat kuat.
  
3.  Hadits Al Anshory

Dikeluarkan oleh Abu Daud 2/48 no.1299 dan Al Baihaqy 2/52 dari Abu Taubah Ar-Robi’ bin Nafi’ dari Muhammad bin Muhajir dari Urwah bin Ruwaim dia berkata : “Menceritakan kepada saya Al-Anshory bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Ja’far …” kemudian dia menyebutkan hadits tersebut.

Para ‘ulama berbeda pendapat tentang siapa Al Anshori ini tapi menurut penilaian saya, tidak ada dalil yang benar yang menjelaskan siapa Al Anshory ini kemudian mungkin ia seorang sahabat dan mungkin juga bukan. Wallahu A’lam.
  
4.  Hadits Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththolib.

Dikeluarkan oleh Ibnu Al-Jauzy dalam Al-Maudhu’at 2/143 dan Abu Nua’im , Ibnu Syahin dan Daruquthny dalam Al-Afrad sebagaimana dalam Al-Ala`i Al-Masnu’ah 2/40.

Semuanya dari jalan Musa bin A’yan dari Abu Raja’ dari Shodaqah dari ‘Urwah bin Ruwaim dari Ibnu Ad-Dailamy dari Al-‘Abbas dia berkata bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam … kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Berkata Al-Hafidz tentang Shodaqoh : “Dia adalah Ibnu ‘Abdillah yang dikenal dengan panggilan As-Samin, dia lemah dari sisi hafalannya akan tetapi dikatakan tsiqoh (terpercaya) oleh banyak ulama, maka haditsnya bisa digunakan sebagai pendukung”.

Maka dari sini diketahui salahnya sangkaan Ibnul Jauzy yang mengatakan dia adalah  Al-Khurasany.

Adapun Abu Roja’ dia adalah ‘Abdullah bin Muhriz Al-Jazary. Kami tidak menemukan biografinya. Wallahu A’lam.

Dan Ibnu Ad-Dailamy dia adalah ‘Abdullah bin Fairuz tsiqoh (terpercaya) termasuk dari tabi’in besar bahkan sebagian ulama menggolongkannya sebagai sahabat.

Hadits ini mempunyai jalan lain, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Ibrahim bin Ahmad Al-Hirqy dalam Fawa’idnya. Akan tetapi di dalam sanad jalan tersebut ada Hammad bin ‘Amr An-Nashiby yang para ulama menganggap dia sebagai kadzdzab (pendusta). Lihat Al-Ala`i Al-Masnu’ah 2/40.
  
5.   Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.

Dikeluarkan oleh Abu Daud 2/48 no.1298 dan Al-Baihaqy 3/52 dari jalan Mahdy bin Maimun dari ‘Amr bin Malik dari Abu Al-Jauza`i dia berkata : “Seorang laki-laki yang dia adalah sahabat, menurut mereka dia adalah ‘Abdullah bin ‘Amr dia berkata : “bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam …” kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Berkata Abu Daud : “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Mustamir bin Rayyan dari Abu Al-Jauza`i dari ‘Abdullah bin ‘Amr secara mauquf (dari perkataan sahabat). Dan diriwayatkan pula oleh Rauh bin Al-Musayyab dan Ja’far bin Sulaiman dari ‘Amr bin Malik An-Nukri dari Abu Al-Jauza`i dari perkataannya. Dan dikatakan dalam hadits Rauh ia berkata hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam (yakni secara marfu’-pen-)”. Dan hal yang serupa dinyatakan pula oleh Imam Al-Baihaqy. 

Berkata Ibnu Hajar : “Akan tetapi perselisihan terletak pada Abu Al-Jauza`i. Ada yang mengatakan hadits ini darinya dari Ibnu ‘Abbas dan ada yang mengatakan darinya dari ‘Abdullah bin ‘Amr dan adapula yang mengatakan dari dia dari Ibnu ‘Umar, bersamaan dengan itu ada perselisihan (dalam riwayatnya) apakah hadits ini marfu’ (sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam) atau mauquf (sampai kepada sahabat). Dan dalam riwayat secara marfu’ juga ada perselisihan pada siapa hadits ini dikatakan apakah kepada Al-‘Abbas atau Ja’far atau ‘Abdullah bin ‘Amr ataukah Ibnu ‘Abbas. Ini adalah idhthirob (kegoncangan) yang sangat keras. Dan Ad-Daruquthny banyak mengeluarkan jalan-jalan hadits ini dengan uraian perselisihannya”.
 
Lihat : Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah 4/314-315, dan Al-Ala`i Al Masnu’ah 2/41.

Dan terdapat pula jalan lain yang dikeluarkan oleh Daruquthni dari ‘Abdullah bin Sulaiman bin Al-Asy’ats dari Mahmud bin Kholid dari seorang tsiqoh (terpercaya) dari ‘Umar bin ‘Abdul Wahid dari Tsauban dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya secara marfu’.

Mahmud bin Kholid tsiqoh (terpercaya) dan demikian pula ‘Amr bin ’Abdul Wahid, akan tetapi dalam sanadnya ada rawi mubham (tidak disebut namanya). Dan Tsauban saya tidak mengetahui siapa dia. Wallahu A’lam.

Dan dikeluarkan pula oleh Ibnu Syahin dari jalan yang lain dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Al-‘Abbas … kemudian dia menyebutkan seperti hadits Ibnu ‘Abbas. Akan tetapi hadits ini lemah. Lihat Al-Ala`i Al-Masnu’ah 2/41 dan Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah 4/314-315.
 
6.  Hadits Ja’far bin Abi Tholib.
 
Hadits ini mempunyai dua jalan :
 
Pertama : Dari jalan Daud bin Qois dari Isma’il bin Rafi’ dari Ja’far ia berkata : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepadanya : “Inginkah engkau saya berikan …”, kemudian dia menyebutkan haditsnya. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya 3/123 no.5004.

Dan dikeluarkan pula oleh Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan dan Al-Khotib dalam Kitab Sholat At-Tasbih , Sebagaimana dalam Al-Ala`i Al-Masnu’ah 2/242 dari jalan yang lain, dari Abi Ma’syar Najih bin Abdirrahman dari Abu Rafi’ Ismail bin Rafi’ dia berkata : “Telah sampai kepada saya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Ja’far bin Abi Tholib…”.

Ismail bin Rafi’ dho’if (lemah haditsnya) bisa digunakan sebagai penguat. Akan tetapi hadits ini mursal sebagaimana yang terlihat.
      
Kedua : Dari jalan ‘Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah dari bapaknya dari kakeknya dari ‘Ali bin Ja’far dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepadaku… kemudian dia menyebutkan haditsnya. Dikeluarkan oleh Ad-Daruquthny sebagaimana dalam Al-Ala`i Al-Masnu’ah 2/41-42 .

Abdul Malik Ini matruk (ditinggalkan haditsnya) bahkan dianggap pendusta oleh sebagian ulama dan dituduh memalsukan hadits. Baca Mizanul I’tidal.
  
7.   Hadits Al Fadhl bin ‘Abbas.

Dikeluarkan Abu Nu’aim dalam Qurban Al-Muttaqin dari riwayat Musa bin Isma’il dari ‘Abdil Hamid bin Abdurrahman Ath-Thoiy dari bapaknya dari Abu Rofi’dari Al-Fadhl bin ‘Abbas bahwasanya Rasulallah r bersabda … kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar : “Dan dalam sanadnya ada Abdul Hamid bin Abdirrahman Ath-Tho`i, saya tidak mengenal dia dan saya tidak mengenal bapaknya. Dan saya menduga bahwa Abu Rofi’ guru Ath Tho`i bukan Abu Rofi’ Isma’il bin Rofi’ salah seorang di antara orang yang lemah haditsnya”. Dari Al-Futuhat Al Robbaniyyah 4/310.
  
8.   Hadits ‘Ali bin Abi Tholib.

Dikeluarkan oleh Ad-Daraquthny dari jalan ‘Umar maula ‘Afarah dia berkata bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam kepada ‘Ali bin Abi Tholib : “Wahai ‘Ali saya akan memberimu hadiah …” kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar : “Dalam sanadnya terdapat kelemahan dan keterputusan”.

Sepertinya yang dimaksudkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dengan kelemahan yaitu kelemahan pada ‘Umar maula ‘Afarah dan dia adalah ‘Umar bin ‘Abdillah Al-Madany, dho’if  (lemah haditsnya) dan yang diinginkan dengan keterputusan adalah ‘Umar tidak pernah mendengar dari seorang sahabatpun.

Dan hadits ini memiliki jalan yang lain yang dikeluarkan oleh Al-Wahidy dalam Kitab Ad-Da’wat dari jalan Ibnu Al-Asy’ats dari Musa bin Ja’far bin Isma’il bin Musa bin Ja’far Ash Shodiq dari ayah-ayahnya secara berurut sampai kepada ‘Ali.

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar : “Sanad ini disebutkan oleh Abu ‘Ali dalam satu kitab yang dia susun dengan bab-bab semuanya dengan sanad ini dan para ulama telah mengeritiknya (pengarangnya) dan mengeritik kitabnya”. Lihat : Al-Ala`i Al-Mashnu’ah 2/41.
  
9.   Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab.

Dikeluarkan oleh Al-Hakim 1/629 no.1236. Dan dia berkata : “Ini adalah sanad yang shohih tidak ada kotoran di atasnya”.

Hukum Al-Hakim ini dikritik oleh Adz-Dzahaby dalam Talkhishnya bahwa dalam sanadnya ada Ahmad bin Daud bin ‘Abdul Goffar Al-Harrany, dia dinyatakan pendusta oleh Ad-Daraquthny. Lihat : Al-Alai Al-Mashnu’ah dan Mizanul I’tidal.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Ajwibahnya : “Dan dikeluarkan oleh Muhammad bin Fudhail dalam kitab Ad Du’a’ dari jalan yang lain dari Ibnu ‘Umar secara mauquf”. Lihat : Misykatul Mashobih 3/1781.

Saya tidak melihat riwayat tersebut dalam kitab Ad Du’a’. Akan tetapi riwayat tersebut dikeluarkan oleh Ad-Daraquthny dari jalan Muhammad bin Fudhail dari Aban bin Abi ‘Ayyasy dari Abu Al-Jauzai dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Dan Aban bin Abi ‘Ayyasy matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya) dan dia juga telah mudhthorib (goncang) dalam riwayatnya karena Ad-Daraquthny juga meriwayatkan dari jalan Sufyan dari Aban dan dia berkata dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Lihat : Al-Futuhat Ar-Robbaniyyah 4/306.
  
10. Hadits ‘Abdullah bin Ja’far.

Dikeluarkan oleh Ad-Daraquthny sebagaimana dalam Al-Alai Al-Mashnu’ah 2/42 dari dua jalan dari ‘Abdullah bin Ziyad bin Sam’an dan dia berkata pada salah satu jalannya dari Mu’awiyah dan Isma’il bin ‘Abdullah bin Ja’far. Dan dia berkata pada jalan lain dari ‘Aun pengganti Isma’il (yang terdapat di jalan pertama) dari ayah mereka berdua (Mu’awiyah dan Isma’il atau Mu’awiyah dan ‘Aun) dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepadaku : “Maukah engkau saya berikan …” kemudian dia menyebutkan hadtsnya.

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar : “Ibnu Sam’an adalah dho’if (lemah)”. Dan dia berkata dalam Taqrib At-Tahdzib: “Matruk (ditinggalkan haditsnya) dan muttaham bilkadzib (tertuduh berdusta)”.

Dan kegoncangan dalam sanad menambah lemah hadits ini. Wallahu A’lam.
  
11. Hadits Ummu Salamah Al-Anshoriyyah.

Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Qurban Al-Muttaqin dari Sa’id bin Jubair dari Ummu Salamah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Al-‘Abbas : “Wahai pamanku ….” Kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar : “Hadits ini ghorib (aneh) dan ‘Amr bin Jumai’ salah seorang rawi hadits ini adalah lemah dan mendengarnya Sa’id bin Jubair dari Ummu Salamah masih perlu dilihat (yaitu tidak mendengar). Wallahu a’lam.

’Amr bin Jumai’ disebutkan dalam Mizanul I’tidal, dan dia matruk (ditinggalkan haditsnya). Bahkan dinyatakan berdusta oleh Ibnu Ma’in dan dicurigai memalsukan hadits.

Ulama yang Melemahkan Hadits Shalat Tasbih

Sebagian ulama melemahkan hadits shalat tasbih. Di bawah ini di antara ulama yang melemahkan tersebut:

1.       Ketika mengomentari hadits shalat tasbih yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, Abu Bakar Ibnul A’rabi berkata, “Hadits Abu Rafi’ ini dha’if, tidak memiliki asal di dalam (hadits) yang shahih dan yang hasan. Imam Tirmidzi menyebutkannya hanyalah untuk memberitahukannya agar orang tidak terpedaya dengannya.” (Tuhfzatul Ahwadzi Syarh Tirmidzi, al-Adzkar karya an-Nawawi, hal. 168).

2.       Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan hadits-hadits shalat tasbih dan jalan-jalannya, di dalam kitab beliau al-Maudhu’at, kemudian men-dha’if-kan semuanya dan menjelaskan kelemahannya.

3.       Imam adz-Dzahabi rahimahullah menganggapnya termasuk hadits munkar (Mizanul I’tidal, 4/213. Dinukil dari Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 32, tahqiq Syaikh Abdullah al-Laitsi al-Anshari).

Ulama Yang Menshohihkan Hadits Shalat Tasbih

Namun, sejumlah ulama besar Ahli Hadits telah menguatkan menshahihkan hadits shalat tasbih, di antaranya:

1.       Ar-Ruyani rahimahullah berkata dalam kitab al-Bahr, di akhir kitab al-Janaiz, “Ketahuilah, bahwa shalat tasbih dianjurkan, disukai untuk dilakukan dengan rutin setiap waktu, dan janganlah seseorang lalai darinya.”

2.       Ibnul Mubarak. Beliau ditanya, “Jika seseorang lupa dalam shalat tasbih, apakah dia bertasbih dalam dua sujud sahwi 10, 10 (sepuluh, sepuluh)?” Beliau menjawab, “Tidak, Shalat tasbih itu hanyalah 300 (tiga ratus) tasbih.” Dalam riwayat ini, Ibnul Mubarak tidak mengingkari shalat tasbih, yang menunjukkan bila beliau membenarkannya (Al-Adzkar, hal. 169). Imam Tirmidzi rahimahullah berkata, “Ibnul Mubarak dan banyak ulama berpendapat (disyariatkannya) shalat tasbih dan mereka menyebutkan kautamaannya.” (Al-Adzkar, hal. 167).

3.       Al-Hafizh al-Mundziri (wafat 656 H) berkata, “Hadits ini telah diriwayatkan dari banyak sahabat Nabi, dan yang paling baik ialah hadits Ikrimah ini. Dan telah dishahihkan oleh sekelompok ulama, di antaranya al-Hafizh Abu Bakar al-Aajuri, Syaikh kami al-Hafizh Abul Hasan al-Maqdisi, semoga Allah merahmati mereka. Abu Bakar bin Abu Dawud berkata, “Aku mendengar bapakku berkata, ‘Tidak ada hadits shahih dalam shalat tasbih, kecuali ini’.” Muslim bin al-Hajjaj berkata, “Tidaklah diriwayatkan di dalam hadits ini sanad yang lebih baik dari ini (yakni isnad hadits Ikrimah dari Ibnu Abbas).” (Shahih at-Targhib wat Targhib, 1/281, karya al-Mundziri, tahqiq al-Albani).

4.       Imam Nawawi rahimahullah (wafat 676 H), beliau membuat satu bab, Bab: Dzikir-dzikir Shalat Tasbih, di dalam kitabnya al-Adzkar, hal. 166. Beliau juga menyebutkan perselisihan para ulama tentang hadits-hadits shalat tasbih, dan beliau termasuk ulama yang menyatakan disyariatkannya shalat tasbih.

5.       Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 689 H) berkata, “Disukai untuk melakukan shalat tasbih.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 47, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan).

6.       Syaikh as-Sindi (wafat 1138 H) berkata, “Hadits ini (shalat tasbih) telah dibicarakan oleh huffazh (para ulama ahli hadits). Yang benar, bahwa hadits ini hadits tsabit (kuat). Sepantasnya orang-orang mengamalkannya. Orang-orang telah menyebutkannya panjang lebar, dan aku telah menyebutkan sebagian darinya dalam catatan pinggir kitab (Sunan) Abu Dawud dan catatan pinggir kitab al-Adzkar karya an-Nawawi.” (Ta’liq dalam Sunan Ibnu Majah, 1/442).

7.       Syaikh al-Albani rahimahullah menshahihkan hadits shalat tasbih ini dalam kitab Shahih at-Targhib Wat Targhib, 1/281.

8.       Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari berkata mengomentari perkataan Ibnu Qudamah di atas, “Banyak ulama telah menshahihkan isnad hadits shalat tasbih, dan lihatlah (kitab al-Atsar al-Marfu’ah Fil Akhbar al-Maudhu’ah, hal. 123-143, karya al-Laknawi rahimahullah. Beliau telah mengumpulkan hal itu dengan sangat banyak.” (Catatan kaki Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 47, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan).

9.       Syaikh Salim al-Hilali menshahihkan hadits shalat tasbih dalam kitab beliau Mukaffiratudz Dzunub.

10.   Syaikh Abu Ashim Abdullah ‘Athaullah berkata, “Riwayat Abu Dawud; Timidzi; Ibnu Majah; Abdur Razzaq di dalam al-Mushannaf; al-Baihaqi dalam as-Sunan; dan al-Hakim di dalam al-Mustadrak; (derajat hadits) shahih li ghairihi.” (I’lamul Baraya Bi Mukaffiratil Khathaya., hal. 40, taqdim: Syaikh Mushthafa al-Adawi).

11.   al-Khathib al-Baghdadi,

12.   Abu Daud As-Sijistany. Beliau berkata : “Tidak ada dalam masalah sholat Tasbih hadits yang lebih shohih dari hadits ini”.
13.   Ad-Daraquthny. Beliau berkata : “Hadits yang paling shohih dalam masalah keutamaan Al-Qur’an adalah (hadits tentang keutamaan) Qul  Huwa Allahu Ahad dan yang paling shohih dalam masalah keutamaan sholat adalah hadits tentang sholat Tasbih”.
14.   Al-Ajurry.
15.   Ibnu Mandah.
16.   Al-Baihaqy.
17.   Ibnu As-Sakan.
18.   Abu Sa’ad As-Sam’any.
19.   Abu Musa Al-Madiny.
20.   Abu Al-Hasan bin Al-Mufadhdhal Al-Maqdasy.
21.   Abu Muhammad ‘Abdurrahim Al-Mishry.
22.   Ibnush Sholah. Dia berkata : “Sholat Tasbih adalah sunnah bukan bid’ah, hadits-haditsnya dipakai beramal dengannya”.
23.   Abu Manshur Ad Dailamy, dalam Musnad Al-Firdaus.
24.   Sholahuddin Al-‘Alai. Dia berkata : “Hadits sholat Tasbih shohih atau hasan dan harus (tidak boleh dho’if)”.
25.   Sirajuddin Al-Bilqiny. Dia berkata : “Hadits sholat tasbih shohih dan ia mempunyai jalan-jalan yang sebagian darinya menguatkan sebagian yang lainnya maka ia adalah sunnah dan sepantasnya diamalkan”.
26.   Az-Zarkasyi. Beliau berkata : “Hadits sholat tasbih adalah shohih dan bukan dho’if apalagi maudhu’  (palsu)”.
27.   As-Subki.
28.   Az-Zubaidy dalam Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin.3/473.
29.   Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasqy.
30.   Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Khishal Al-Mukaffirah Lidzdzunub Al-Mutaqoddimah Wal Mutaakhkhirah dan Nataijul Afkar Fi Amalil Adzkar dan Al-Ajwibah ‘Ala Ahadits Al-Mashobih.
31.   As-Suyuthy.
32.   Al-Laknawy.
33.   Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwadzy.
34.   Al-‘Allamah Al-Muhaddits Ahmad Syakir -rahimahullahu-.
35.   Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hady Al-Wadi’y -rahimahullahu- dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.

Kesimpulan

Derajat hadits shalat tasbih adalah shahih li ghairihi, sehingga dapat diamalkan. Adapun para ulama men-dha’if-kannya atau menyatakan bahwa hadits shalat tasbih adalah palsu, karena tidak mendapatkan hadits yang kuat sanadnya. Tetapi, hal ini bukan berarti seluruh sanad hadits shalat tasbih tidak shahih. Karena sebagiannya yang berderajat hasan, kemudian dikuatkan jalan lainnya, sehingga meningkat menjadi shahih li ghairihi. Wallahu a’lam.

Tata Cara Sholat

Secara umum sholat tasbih sama dengan tata cara yag lain, hanya ada tambahan bacaan tasbih yaitu :

 سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
Subhaanallahu walhamdulillahi wa laa ilaha ilaa Allah wallahu akbar

Lafadz ini diucapkan sebanyak 75 kali tiap raka’at dengan perincian sbb:
 
1.       Sesudah membaca Al-Fatihah dan surah sebelum ruku sebanyak 15 kali
2.       Ketika ruku’ sesudah membaca do’a ruku’ dibaca lagi sebanyak 10 kali
3.       Ketika bangun dari ruku’ sesudah bacaan I’tidal dibaca 10 kali
4.       Ketika sujud pertama sesudah membaca do’a sujud dibaca 10 kali
5.       Ketika duduk diantara dua sujud sesudah membaca bacaan antara dua sujud dibaca 10 kali
6.       Ketika sujud yang kedua sesudah membaca do’a sujud dibaca lagi sebanyak 10 kali
7.       Ketika bangun dari sujud yang kedua sebelum bangkit (duduk istirahat) dibaca lagi sebanyak 10 kali.
 
Demikianlah dilakukan sebanyak 4 raka’at dengan sekali tasyahud yaitu pada raka’at yang  ke empat lalu salam. Dan boleh juga dilakukan dua raka’at dua raka’at dan setiap dua raka’at membaca tasyahud kemudian salam.

Sedangkan untuk bacaan surat nya, Rasulullah tidaklah mengkhususkan dengan surat tertentu. Demikianlah penjelasan kami, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Jumlah Raka’at

Semua riwayat menunjukkan 4 raka’at dengan tasbih sebanyak 75 kali tiap raka’at, jadi keseluruhannya 300 kali tasbih.

Waktu Sholat

Yang paling utama waktu sholat tasbih adalah sesudah tenggelamnya matahari sebagaimana dalam riwayat ‘Abdullah bin Amr. Tapi dalam riwayat Ikrimah yang Mursal diterangkan boleh malam dan boleh siang.

Sholat ini ada  pilihan : boleh tiap hari, kalau tidak bisa boleh tiap pekan kalau tidak bisa boleh tiap bulan, kalau tidak bisa boleh tiap tahun dan kalau tidak bisa boleh sekali seumur hidup, karena itu hendaklah kita memilih mana yang paling sesuai dengan kondisi kita masing-masing.

Penutup
 
Untuk melengkapi pembahasan yang singkat ini, maka kami juga sertakan penyimpangan-penyimpangan (bid’ah–bid’ah) yang banyak terjadi sekitar pelaksanaan sholat tasbih, diantaranya :
 
1.       Mengkhususkan pada malam Jum’at saja.
2.       Dilakukan secara berjama’ah terus menerus.
3.       Diiringi dengan bacaan-bacaan tertentu sebelum sholat ataupun sesudah sholat.
4.       Tidak mau sholat kecuali bersama Imamnya atau Jama’ahnya atau tariqatnya.
5.       Tidak mau sholat kecuali dimesjid tertentu.
6.       Keyakinan sebagian yang melakukannya bahwa rezekinya akan bertambah dengan sholat tasbih.

7.       Membawa binatang-binatang tertentu untuk disembelih sebelum atau sesudah sholat tasbih disertai dengan keyakinan-keyakinan tertentu