Senin, 25 Juni 2018

Hukum Golput dalam Pemilu


Al Ustadz Abdullah bin Taslim bertanya:

Sehubungan dengan Pemilu untuk memilih presiden yang sebentar lagi akan diadakan di Indonesia, dimana Majelis Ulama Indonesia mewajibkan masyarakat Indonesia untuk memilih dan mengharamkan golput, bagaimana sikap kaum muslimin dalam menghadapi masalah ini?

Jawaban dari Syaikh Abdul Malik:

Segala puji bagi Allah, serta salawat, salam dan keberkahan semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang setia mengikuti jalannya, amma ba’du:

Saat ini mayoritas negara-negara Islam menghadapi cobaan (berat) dalam memilih pemimpin (kepala negara) mereka melalui cara pemilihan umum, yang ini merupakan (penerapan) sistem demokrasi yang sudah dikenal. Padahal terdapat perbedaan yang sangat jauh antara sistem demokrasi dan (syariat) Islam (dalam memilih pemimpin), yang ini dijelaskan oleh banyak ulama (ahlus sunnah wal jama’ah). Untuk penjelasan masalah ini, saudara-saudaraku (sesama ahlus sunnah) bisa merujuk kepada sebuah kitab ringkas yang ditulis oleh seorang ulama besar dan mulia, yaitu kitab “al-’Adlu fil Islaam wa laisa fi dimokratiyyah al maz’uumah” (Keadilan yang hakiki ada pada syariat Islam dan bukan pada sistem demokrasi yang dielu-elukan), tulisan guru kami syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-’Abbaad al-Badr –semoga Allah menjaga beliau dan memanjangkan umur beliau dalam ketaatan kepada-Nya –.

‘Ala kulli hal, pemilihan umum dalam sistem demokrasi telah diketahui, yaitu dilakukan dengan cara seorang muslim atau kafir memilih seseorang atau beberapa orang tertentu (sebagai calon presiden). Semua perempuan dan laki-laki juga ikut memilih, tanpa mempertimbangkan/membedakan orang yang banyak berbuat maksiat atau orang shaleh yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semua ini (jelas) merupakan pelanggaran terhadap (syariat) Islam. Sesungguhnya para sahabat yang membai’at (memilih) Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu (sebagai khalifah/pemimpin kaum muslimin sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di saqiifah (ruangan besar beratap tempat pertemuan) milik (suku) Bani Saa’idah, tidak ada seorang perempuan pun yang ikut serta dalam pemilihan tersebut. Karena urusan siyasah (politik) tidak sesuai dengan tabiat (fitrah) kaum perempuan, sehingga mereka tidak boleh ikut berkecimpung di dalamnya. Dan ini termasuk pelanggaran (syariat Islam), padahal Allah Ta’ala berfirman:

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
“Dan laki-laki tidaklah seperti perempuan.” (Qs. Ali ‘Imraan: 36)

Maka bagaimana kalian (wahai para penganut sistem demorasi) menyamakan antara laki-laki dan perempuan, padahal Allah yang menciptakan dua jenis manusia ini membedakan antara keduanya?! Allah Ta’ala berfirman:

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya, sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (Qs. al-Qashash: 68)

Di sisi lain Allah Ta’ala berfirman:

أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian); bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Qs. al-Qalam: 35 – 36)

Sementara kalian (wahai para penganut sistem demokrasi) menyamakan antara orang muslim dan orang kafir?! Maka ini tidak mungkin untuk… (kalimat yang kurang jelas). Masalah ini (butuh) penjelasan yang panjang lebar.

Akan tetapi (bersamaan dengan itu), sebagian dari para ulama zaman sekarang berpendapat bolehnya ikut serta dalam pemilihan umum dalam rangka untuk memperkecil kerusakan (dalam keadaan terpaksa). Meskipun mereka mengatakan bahwa (hukum) asal (ikut dalam pemilihan umum) adalah tidak boleh (haram). Mereka mengatakan: Kalau seandainya semua orang diharuskan ikut serta dalam pemilu, maka apakah anda ikut memilih atau tidak? Mereka berkata: anda ikut memilih dan pilihlah orang yang paling sedikit keburukannya di antara mereka (para kandidat yang ada). Karena umumnya mereka yang akan dipilih adalah orang-orang yang memasukkkan (mencalonkan) diri mereka dalam pemilihan tersebut. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu:

“Janganlah engkau (berambisi) mencari kepemimpinan, karena sesungguhnya hal itu adalah kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat nanti.” (Gabungan dua hadits shahih riwayat imam al-Bukhari (no. 6248) dan Muslim (no. 1652), dan riwayat Muslim (no. 1825))

Maka orang yang terpilih dalam pemilu adalah orang yang (berambisi) mencari kepemimpinan, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang (berambisi) mencari kepemimpinan maka dia akan diserahkan kepada dirinya sendiri (tidak ditolong oleh Allah dalam menjalankan kepemimpinannya).” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain, dinyatakan lemah oleh syaikh al-Albani dalam “adh-Dha’iifah” (no. 1154). Lafazh hadits yang shahih Riwayat al-Bukhari dan Muslim: “Jika engkau menjadi pemimpin karena (berambisi) mencarinya maka engkau akan diserahkan kepadanya (tidak akan ditolong oleh Allah).”

Allah akan meninggalkannya (tidak menolongnya), dan barangsiapa yang diserahkan kepada dirinya sendiri maka berarti dia telah diserahkan kepada kelemahan, ketidakmampuan dan kesia-siaan, sebagaimana yang dinyatakan oleh salah seorang ulama salaf – semoga Allah meridhai mereka–.

‘Ala kulli hal, mereka berpendapat seperti ini dalam rangka menghindari atau memperkecil kerusakan (yang lebih besar). Ini kalau keadaannya memaksa kita terjeremus ke dalam dua keburukan (jika kita tidak memilih). Adapun jika ada dua orang calon (pemimpin yang baik), maka kita memilih yang paling berhak di antara keduanya.

Akan tetapi jika seseorang tidak mengatahui siapa yang lebih baik (agamanya) di antara para kandidat yang ada, maka bagaimana mungkin kita mewajibkan dia untuk memilih, padahal dia sendiri mengatakan: aku tidak mengetahui siapa yang paling baik (agamanya) di antara mereka. Karena Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya.” (Qs. al-Israa’: 36)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang menipu/mengkhianati kami maka dia bukan termasuk golongan kami.” (HR Muslim no. 101). Jika anda memilih orang yang anda tidak ketahui keadaannya maka ini adalah penipuan/pengkhianatan.

Demikian pula, jika ada seorang yang tidak merasa puas dengan kondisi pemilu (tidak memandang bolehnya ikut serta dalam pemilu) secara mutlak, baik dalam keadaan terpaksa maupun tidak, maka bagaimana mungkin kita mewajibkan dia melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam?!

Maka ‘ala kulli hal, kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Dialah yang memilih untuk umat ini pemimpin-pemimpin mereka. Kalau umat ini baik maka Allah akan memilih untuk mereka pemimpin-pemimpin yang baik pula, (sabaliknya) kalau mereka buruk maka Allah akan memilih untuk mereka pemimpin-pemimpin yang buruk pula. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Qs. al-An’aam: 129)

Maka orang yang zhalim akan menjadi pemimpin bagi masyarakat yang zhalim, demikianlah keadaannya.

Kalau demikian, upayakanlah untuk menghilangkan kezhaliman dari umat ini, dengan mendidik mereka mengamalkan ajaran Islam (yang benar), agar Allah memberikan untuk kalian pemimpin yang kalian idam-idamkan, yaitu seorang pemimpin yang shaleh. Karena Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Dalam ayat ini) Allah tidak mengatakan “…sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada pemimpin-pemimpin mereka”, akan tetapi (yang Allah katakan): “…sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Aku telah menulis sebuah kitab tentang masalah ini, yang sebenarnya kitab ini khusus untuk para juru dakwah, yang mengajak (manusia) ke jalan Allah Ta’ala, yang aku beri judul “Kamaa takuunuu yuwallaa ‘alaikum” (sebagaimana keadaanmu maka begitupulalah keadaan orang yang menjadi pemimpinmu). Aku jelaskan dalam kitab ini bahwa watak para penguasa selalu berasal dari watak masyarakatnya, maka jika masyarakatnya (berwatak) baik penguasanya pun akan (berwatak) baik, dan sebaliknya.

Maka orang-orang yang menyangka bahwa (yang terpenting dalam) masalah ini adalah bersegera untuk merebut kekuasaan, sungguh mereka telah melakukan kesalahan yang fatal dalam hal ini, dan mereka tidak mungkin mencapai hasil apapun (dengan cara-cara seperti ini). Allah Ta’ala ketika melihat kerusakan pada Bani Israil disebabkan (perbuatan) Fir’aun, maka Allah membinasakan Fir’aun dan memberikan kepada Bani Israil apa yang mereka inginkan, dengan Allah menjadikan Nabi Musa ‘alaihissalam sebagai pemimpin mereka. (Akan tetapi) bersamaan dengan itu, kondisi (akhlak dan perbuatan) mereka tidak menjadi baik, sebagaimana yang Allah kisahkan dalam al-Qur’an. Mereka tidak menjadi baik meskipun pemimpin mereka adalah kaliimullah (orang yang langsung berbicara dengan Allah Ta’ala), yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam, sebagaimana yang sudah kita ketahui. Bahkan sewaktu Allah berfirman (menghukum) sebagian dari Bani Israil:

كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Jadilah kamu kera yang hina.” (Qs. al-Baqarah: 65)

Kejadian ini bukanlah di zaman kekuasaan Fir’aun. Akan tetapi hukuman Allah ini (menimpa) sebagian mereka (karena mereka melanggar perintah Allah) ketika mereka di bawah kepemimpinan Nabi Musa ‘alaihissalam dan para Nabi Bani Israil ‘alaihimussalam sepeninggal Nabi Musa ‘alaihissalam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi ‘alaihimussalam, setiap seorang Nabi wafat maka akan digantikan oleh Nabi berikutnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dan hanya Allah-lah yang mampu memberikan taufik (kepada manusia).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Madinah Nabawiyyah, 15 Rabi’ul awal 1430 H / 11 Maret 2009 M

Talak Tiga Sekaligus Serta Cara Rujuknya

Dewasa ini permasalahan yang sering kita temukan di masyarakat kita yaitu talak tiga kali dalam sekali ucap. Seperti contohnya seseorang mengucapkan, “Kamu kutalak, kamu kutalak, kamu kutalak!” Atau ucapan, “Saya talak kamu tiga kali.” Benarkah seperti ini jatuh talak tiga sekaligus? Atau masih dianggap satu kali talak? Padahal kesempatan talak bagi seorang suami adalah sampai tiga kali. Jika sudah terucap tiga kali talak, maka istri tidak halal lagi bagi si suami sampai ia menikah dengan laki-laki lain, lalu disetubuhi, kemudian berpisah secara wajar.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ  … فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (QS. Al Baqarah: 229-230).

Begitu beratnya efek dari sebuah talak tiga, lalu bagaimana jika seseorang mentalak istrinya dalam sekali ucap langsung dengan tiga kali talak? semisal dengan ucapan, “Saya talak kamu tiga kali.” Atau ia berkata, “Saya talak kamu, saya talak kamu, saya talak kamu.”

Masalah ini terdapat perselisihan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa talak seperti ini hukumnya mubah dan dianggap talak tiga.

Imam Malik,  Imam Abu Hanifah dan pendapat terakhir dari Imam Ahmad menyatakan bahwa talak ini dihukumi haram dan tetap dianggap talak tiga.

Sedangkan ulama Zhohiri, Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim berpendapat bahwa talak tiga dalam sekali ucap dihukumi haram dan dianggap hanya satu talak (bukan tiga kali talak). Pendapat ini juga menjadi pendapat kebanyakan tabi’in. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat dengan alasan sebagai berikut:

1. Kita dapat berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
“Talak (yang dapat kembali rujuk) dua kali” (QS. Al Baqarah: 229). Yang dimaksud di sini adalah talak itu ada dua, artinya talak itu tidak sekali ucap. Jika jatuh talak, lalu dirujuk, setelah itu ditalak lagi, ini baru disebut dua kali. Artinya ada kesempatan untuk rujuk. Sedangkan talak tiga dalam sekali ucap tidak berlaku demikian dan berseberangan dengan aturan yang telah  Allah tetapkan.

Kita dapat ambil permisalah dengan seseorang berdzikir “subhanallah”. Jika diperintahkan bertasbih sebanyak 100 kali, maka kita ucapkan subhanallah berulang sampai 100 kali. Jika hanya disebut, “Subhanallah 100x”, maka ini sama saja dengan sekali ucap dan belum dianggap 100 kali ucapan yang berulang.

2. Ada riwayat yang mendukung bahwa talak tiga sekali ucap dianggap satu.

Rukanah bin Abdullah mentalak istrinya tiga sekaligus dalam satu waktu. Lalu ia merasa sangat sedih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Bagaimana kamu mentalaknya?” Dia menjawab, “Aku mentalaknya tiga kali.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dalam satu waktu?” Dia menjawab, “Ya.”

قَالَ: إِنَّمَا تِلْكَ وَاحِدَةٌ فَأَرْجِعْهَا إِنْ شِئْتَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang demikian itu adalah talak satu, maka kembalilah jika kamu mau.”

Lalu, dia kembali kepadanya.

Imam Ahmad berkata, “Said bin Ibrahim telah meriwayatkan kepada kami, ayahku telah menceritakan kepadaku dari Muhammad bin Ishar, Daud bin Husain menceritakan kepadaku dari Ikrimah -maula (mantan budak) Ibnu Abbas- dia berkata, “Setiap talak itu harus dalam keadaan suci.” (HR. Ahmad).

Imam Ahmad mengatakan,  “Hadits ini shahih, dan dapat dijadikan hujjah.”  Imam At-Tirmidzi juga berpendapat demikian.

Abdur Razaq berkata, “Ibnu Juraih telah mengabarkan kepadaku, dia berkata, ‘Sebagian Bani Rafi (maula Rasulullah) telah mengabarkan kepadaku dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dia berkata, ‘Abu Rukanah telah menceraikan istrinya Ummu Rukanah, dan menikah dengan perempuan dari Madinah.”‘

Lalu, ia (istri baru Abu Rukanah) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Dia tidaklah cukup bagiku seperti halnya sehelai rambut yang kuambil dari kepalanya. Oleh karena itu, pisahkan aku dengannya.’

Maka, Rasulullah memanggil Abu Rukanah dan istrinya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Tahukah kamu bahwa si fulan dari Abdi Yazid seperti ini dan itu?’ Mereka menjawab, ‘Benar, wahai Rasulullah.’ Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdi Yazid, ‘Ceraikan dia.’ Maka ia pun menceraikannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, ‘Rujuklah istrimu atau Rukanah.’ Dia menjawab,  ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mentalaknya dengan talak tiga.’

قَالَ: قَدْ عَلِمْتُ، رَاجِعْهَا، وَتَلاَ: يَآ أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya, aku tahu itu. Kembalilah kepadanya.’ Lalu beliau membacakan ayat, ‘Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.’”

Abu Daud meriwayatkan dengan jalan lain dari Ahmad bin Shalih, Abdur Razaq telah menceritakan kepadanya. Sanad ini tidak melalui Ibnu Ishaq yang dikhawatirkan sebagai perawi mudallis.

Itulah beberapa hadits shahih menyatakan bahwa di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, talak tiga dalam satu waktu dianggap sebagai talak satu. Begitu juga pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Dari Thowus, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

كَانَ الطَّلاَقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ طَلاَقُ الثَّلاَثِ وَاحِدَةً فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِنَّ النَّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِى أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ. فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ.
“Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, lalu dua tahun di masa khilafah ‘Umar muncul ucapan talak tiga dalam sekali ucap. ‘Umar pun berkata, “Manusia sekarang ini sungguh tergesa-gesa dalam mengucapkan talak tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah berlaku, yaitu talak itu masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena ketergesa-gesaan ini, aku berharap bisa mensahkan talak tiga sekali ucap.” Akhirnya ‘Umar pun mensahkan talak tiga sekali ucap dianggap telah jatuh tiga kali talak. [HR. Muslim no.1472]

Hadits ini menunjukkan bahwa talak itu masih ada kesempatan untuk rujuk, tidak bisa langsung menjatuhkan tiga kali talak dan tidak ada rujuk sama sekali. Dan karena merajalelanya kebiasaan mentalak tiga sekaligus dalam sekali ucap, maka ‘Umar memutuskan dianggap tiga kali talak. Hal ini dilakukan ‘Umar agar orang tidak bermudah-mudahan dalam menjatuhkan talak tiga sekaligus.*

Sekali lagi masalah ini adalah masalah ijtihadiyah (masih ada ruang ijtihad). Dari hadits Ibnu ‘Abbas di atas menunjukkan bahwa talak tiga dalam sekali ucap dianggap hanya jatuh talak satu. Dan inilah hukum asal dari talak.

Namun seandainya hakim melihat maslahat yaitu agar orang tidak mudah-mudahan menjatuhkan talak tiga sekaligus dalam sekali ucap, maka bisa dianggap talak tersebut talak tiga sebagaimana yang terjadi di masa khalifah ‘Umar. Itu adalah sebagai hukuman dan pelajaran agar talak tiga dalam satu waktu tidak dilakukan oleh orang banyak. Ini juga merupakan ijtihad pribadi Umar, yang bertujuan demi kemaslahatan bersama. Adapun hukum sebenarnya adalah sebagaimana yang difatwakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mentalak istrinya dengan talak tiga sekaligus.

فَقَامَ غَضْبَانَ، ثُمَّ قَالَ: أَيَلْعَبُ بِكِتَابِ اللهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟ حَتَّى قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلاَ أَقْتُلُهُ؟
“Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dalam keadaan marah, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apakah dia hendak mempermainkan Kitab Allah (Al-Quran), sedangkan aku masih berada di tengah-tengah kalian?’ Sampai-sampai ada seorang laki-laki yang berdiri, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku boleh membunuhnya?’” (HR. An-Nasa’i).

Cara rujuk kembali setelah talak tiga

Apabila talak tiga telah jatuh maka suami tidak bisa kembali kepada istri baik pada masa ‘iddahnya ataupun setelah masa ‘iddah kecuali dengan akad dan mahar baru, dan setelah mantan istri menikah dengan laki-laki lain.

Allah berfirman,

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Jika dia mentalak istrinya (talak tiga) maka tidak halal baginya setelah itu, sampai dia menikah dengan lelaki yang lain ….” (QS. Al-Baqarah:230)

Pernikahan wanita ini dengan lelaki kedua bisa menjadi syarat agar bisa rujuk kepada suami pertama, dengan syarat:

Pertama: Dalam pernikahan yang dilakukan harus terjadi hubungan badan, antara sang wanita dengan suami kedua.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah,

أَنَّ امْرَأَةَ رِفَاعَةَ الْقُرَظِىِّ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِى فَبَتَّ طَلاَقِى ، وَإِنِّى نَكَحْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ الْقُرَظِىَّ ، وَإِنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ ، لاَ ، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ »
“Suatu ketika istri Rifaa’ah Al Qurozhiy menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata,  “Aku adalah istri Rifaa’ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair Al Qurozhiy. Akan tetapi sesuatu yang ada padanya seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain)”.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : “Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa’ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu.” [HR. Bukhari no. 5260 dan Muslim no. 1433]

Maksud hudbatuts-tsaub (ujung kain) maknanya adalah kemaluan suami lembek/lunak seperti ujung kain, sehingga tidak bisa memuaskan [An-Nihaayah].

‘Usailah (madu) yang dimaksud dalam hadits di atas menurut jumhur (mayoritas ulama) adalah kelezatan ketika hubungan intim, yaitu ketika ujung kemaluan suami telah tenggelam pada kemaluan istri walau tidak keluar mani nantinya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang berucap: “Jika wanita yang dicerai telah disetubuhi seseorang (yang menikahinya) pada duburnya, maka dia halal untuk suaminya; apakah ini benar ataukah tidak?”

Beliau menjawab: “Ini adalah ucapan bathil, menyelisihi pendapat para Imam kaum muslimin yang masyhur dan para Imam kaum muslimin lainnya. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita yang ditalak tiga (kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama.):
لاَ حَتَّى تَذُوْقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوْقَ عُسَيْلَتَكِ.
‘Tidak, hingga engkau merasakan madunya dan dia merasakan madumu.’

Ini adalah nash (teks) tentang keharusan merasakan madu masing-masing dan ini tidak terjadi dengan (cara menyetubuhi) dubur. Tidak diketahui adanya pendapat yang menyelisihi hal ini. Pendapat tersebut adalah pendapat aneh yang diselisihi oleh Sunnah yang shahih, lagi pula telah ada ijma’ sebelumnya dan sesudahnya.” [Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/109)]

Kedua: Pernikahan ini dilakukan secara alami, tanpa ada rekayasa dari mantan suami maupun suami kedua. Jika ada rekayasa maka pernikahan semacam ini disebut sebagai “nikah tahlil“; lelaki kedua yang menikahi sang wanita, karena rekayasa, disebut “muhallil“; suami pertama disebut “muhallal lahu“. Hukum nikah tahlil adalah haram, dan pernikahannya dianggap batal.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Nikah muhallil adalah haram, batal, menurut pendapat umumnya ulama. Di antaranya: Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, Qatadah, Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, dan Imam Asy-Syafi’i.” (Al-Mughni, 7:574)

Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Pernikahan muhallil, yang diriwayatkan bahwa Rasulullah melaknatnya, bagi kami -wallaahu a’lam- sama halnya dengan nikah mut’ah, karena pernikahan ini tidak mutlak, jika disyaratkan agar menikahinya hingga melakukan persetubuhan. Pada dasarnya, dia melakukan akad nikah terhadapnya hingga dia menyetubuhinya. Jika dia telah menyetubuhinya, maka selesailah status pernikahannya dengan wanita tersebut.” [Al-Umm (V/117)]

Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang menjadi muhallil dan muhallal lahu. Dari Ali bin Abi Thalib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.” (HR. Abu Daud; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan orang yang melakukan perbuatan ini dengan rusa yang dipinjamkan. Sebagaimana Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang rusa yang dipinjamkan?” Mereka menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Ia adalah muhallil, semoga Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.” [HR. Ibnu Majah no. 1936, dihasankan oleh Syaikh al-Albani]

Bahkan, termasuk dalam melakukan tindakan “merekayasa” ketika ada seorang lelaki yang menikahi wanita yang dicerai dengan talak tiga, dengan niat untuk dicerai agar bisa kembali kepada suami pertama, meskipun suami pertama tidak mengetahui.

Ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa ada seseorang datang kepada beliau dan bertanya tentang seseorang yang menikahi seorang wanita. Kemudian, lelaki tersebut menceraikan istrinya sebanyak tiga kali. Lalu, saudara lelaki tersebut menikahi sang wanita, tanpa diketahui suami pertama, agar sang wanita bisa kembali kepada saudaranya yang menjadi suami pertama. Apakah setelah dicerai maka wanita ini halal bagi suami pertama? Ibnu Umar memberi jawaban, “Tidak halal. Kecuali nikah karena cinta (bukan karena niat tahlil). Dahulu, kami menganggap perbuatan semacam ini sebagai perbuatan zina di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Hakim dan Al-Baihaqi; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Nafi’ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa seorang pria bertanya kepadanya: “Aku menikahi seorang wanita untuk menghalalkannya bagi (mantan) suaminya, sedangkan dia tidak menyuruhku dan dia tidak tahu.” Ia menjawab: “Tidak boleh, kecuali pernikahan karena keinginan (yang wajar); jika mengagumkanmu, pertahankanlah dan jika kamu tidak suka, ceraikanlah. Sesungguhnya kami menganggapnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai perzinaan.” [Al-Mughni (VII/570)]

Kemudian sebagai catatan adalah ketika mantan istri telah menikah dengan pria lain dan terjadi perceraian lalu kembali pada suami yang dulu, maka talak tiga yang dulu sudah kembali nihil. Jika terjadi talak, maka dihitung mulai dari nol lagi. Demikian ijma’ para ulama.

Wallahu a’lam.

Minggu, 24 Juni 2018

Menjatuhkan Talak Karena Dipaksa


Kasus pertama

Bagaimana hukumnya seorang suami mengatakan cerai sebanyak 3X beturut – turut kepada istrinya dalam keadaan sadar namun terpaksa, karena harus bertanggung jawab telah menzinahi wanita lain sampai hamil, sang suami diberi persyaratan harus menikahi wanita yang dizinahinya ini dan harus menceraikan istrinya karena kalau tidak menikahi wanita tersebut maka dia akan dilaporkan ke pihak yang berwajib?.

Kasus kedua

Seorang suami menikah siri tanpa setahu dan seijin istri pertama. Seiring berjalannya waktu, hal itu diketahui istri pertama dan keluarganya, kemudian si suami dipaksa untuk menceraikan istri kedua yang dinikahi siri tersebut. Si suami bahkan dipaksa harus talak 3, padahal si suami masih mencintai si istri keduanya. Seiring berjalannya waktu, si suami akhirnya bercerai dengan istri pertamanya. Bisakah si suami menikahi lagi mantan istri keduanya tadi, sedangkan si mantan istri kedua belum pernah menikah lagi setelah di talak 3 tadi. Apakah mantan istri kedua harus menikah dengan orang lain dulu baru boleh menikah dengan mantan suami yang mentalak 3 atas kemauan istri pertamanya tadi.

Kasus ketiga

Suami saya telah menjatuhkan talak kepada saya di depan hakim saja untuk mengakhiri pernikahan secara undang-undang, agar dia dibolehkan menikah dengan istri kedua, namun sebenarnya dia masih menjadi suami saya yang sah, akan tetapi hakim menekan dan memaksanya untuk menceraikan saya di bawah al Qur’an, kalau tidak maka penjara menanti kita berdua, dia pun menuruti perintah hakim. Tentu suami saya tidak bermaksud untuk menceraikan saya, hanya saja undang-undang telah mengakhiri pernikahan dengan istri pertama selamanya begitu seorang suami ingin menikah lagi dengan istri kedua. Inilah yang diinginkan oleh hakim dengan paksa, apalagi saya sedang hamil ketika proses tersebut berlangsung.  Apakah talak karena undang-undang tersebut dianggap jatuh talak?, apakah kami wajib membayar denda (kaffarat)?, kami ingin terbebas dari setiap dosa; karena banyak masalah yang mengitari kami dari semua sisi, besar perkiraan kami karena keburukan maksiat.

Pembahasan

Melihat ketiga kasus diatas, inti permasalahannya adalah seseorang yang dipaksa untuk menjatuhkan talak, apakah talak tersebut sah sehingga suami dan istri tersebut menjadi bercerai?.

Jika seorang suami dipaksa untuk menceraikan istrinya dengan diancam akan disakiti fisik dan hartanya atau diancam dengan penjara, dari seseorang yang dianggap mampu untuk melaksanakan ancamannya tersebut, maka dalam kondisi seperti itu tidak dianggap jatuh talak. Karena hukum talak yang dilakukan karena dipaksa adalah tidak sah, demikian yang disampaikan oleh para ulama diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, para ulama yang tergabung dalam Lajnah Daaimah. Imam Ibnu Utsaimin berkata :

إنما يقع الطلاق إذا أراده الإنسان إرادةً حقيقية وكتبه بيده أو نطقه بلسانه مريداً له غير ملجأ إليه ولا مغلقٍ عليه ولا مكره ، فهذا الذي يقع طلاقه
“Talak yang sah itu talak yang dilakukan dengan keinginan yang hakiki, atau ditulis dengan tangan sendiri atau diucapkan dengan lisannya sendiri karena menginginkan cerai, bukan dalam rangka mencari pelarian, atau ga ada pilihan atau karena dipaksa, ini semua adalah talak yang tidak sah.” (Fatawa Nurun Alad Darb : 10/359).

Diantar dalil yang melandasi ucapan para ulama ini adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah memaafkan umatnya jika mereka melakukan kesalahan karena tidak sengaja, lupa dan karena dipaksa.” (HR Ibnu Majah : 2043 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan :

لَيْسَ لِمُكْرَهٍ طَلاَقٌ
“Orang yang dipaksa itu tidak berlaku talak baginya.” (HR Baihaqi dalam Sunan Al Kubra : 15499 dishahihkan oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’in : 3/38).

Atas dasar itulah maka meskipun suami telah mengucapkan kata talak, maka perceraian itu tidak terjadi; karena dia dalam kondisi terpaksa.

Dan jika lafadz talak tidak di ucapkan, tapi ditulis atau terjadi hanya di atas dokumen tertentu tanpa ada niat untuk menjatuhkan talak; maka talak lebih tidak terjadi; karena perceraian melalui tulisan tidak terjadi kecuali dengan disertai niat talak.

Dalam kasus ketiga, menikah dengan istri kedua hukumnya mubah dalam syari`at, bisa jadi sunnah dan bisa jadi wajib, dan tidak seorang pun boleh melarangnya atau memaksanya untuk menceraikan istri pertamanya terlebih dahulu.

Dan sebaiknya istri pertama menguatkan apa saja yang menjadi hak-nya dari sang suami, seperti; mas kawin yang belum dibayarkan atau yang lainnya; karena dia setelah proses perceraian menurut pengadilan tidak dianggap istri yang sah di hadapan undang-undang.

Dalam kasus pertama dan kedua terjadi talak 3 sekaligus. Disini kami menguatkan pendapat tentang haramnya talak 3 sekaligus, sebagaimana yang telah ditentukan oleh Rasulullah dalam hadits-hadits beliau bahwa talak 3 sekaligus, jatuhnya tetap pada talak 1.

Rukanah bin Abdullah mentalak istrinya tiga sekaligus dalam satu waktu. Lalu ia merasa sangat sedih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Bagaimana kamu mentalaknya?” Dia menjawab, “Aku mentalaknya tiga kali.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dalam satu waktu?” Dia menjawab, “Ya.”

قَالَ: إِنَّمَا تِلْكَ وَاحِدَةٌ فَأَرْجِعْهَا إِنْ شِئْتَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang demikian itu adalah talak satu, maka kembalilah jika kamu mau.”

Lalu, dia kembali kepadanya.

Imam Ahmad berkata, “Said bin Ibrahim telah meriwayatkan kepada kami, ayahku telah menceritakan kepadaku dari Muhammad bin Ishar, Daud bin Husain menceritakan kepadaku dari Ikrimah -maula (mantan budak) Ibnu Abbas- dia berkata, “Setiap talak itu harus dalam keadaan suci.” (HR. Ahmad).

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mentalak istrinya dengan talak tiga sekaligus.

فَقَامَ غَضْبَانَ، ثُمَّ قَالَ: أَيَلْعَبُ بِكِتَابِ اللهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟ حَتَّى قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلاَ أَقْتُلُهُ؟
“Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dalam keadaan marah, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apakah dia hendak mempermainkan Kitab Allah (Al-Quran), sedangkan aku masih berada di tengah-tengah kalian?’ Sampai-sampai ada seorang laki-laki yang berdiri, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku boleh membunuhnya?’” (HR. An-Nasa’i).

Semoga Allah memberikan taufiq dan petunjuk-Nya.

Wallahu a’lam.