Rabu, 30 September 2015

Wanita Berdagang


Bolehkan Wanita Bekerja atau Berdagang?

Islam tidak melarang seorang wanita bekerja ataupun berdagang bahkan sebaliknya Allah Azza wa Jalla memerintahkan para hambaNya untuk beramal dan bekerja.

Allah Ta’ala berfirman,
وَقُلِ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.’”(QS. At-Taubah: 105)

Dan juga firmanNya,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Untuk menguji kalian siapakah diantara kalian yang paling baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2)

Ayat ini bersifat umum mencakup laki-laki dan perempuan. Allah Ta’ala membolehkan perdagangan juga untuk semua. Karena setiap manusia diperintahkan untuk berusaha, menempuh sebab serta beramal baik dia laki-laki ataupun perempuan.

Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil. Kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa: 29)

Ayat ini juga bersifat umum ditujukan untuk laki-laki dan perempuan.

Allah Ta’ala berfirman,
وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَاء إِذَا مَا دُعُواْ وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيرًا أَو كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا
“Dan persaksikanlahlah dengan dua orang saksi laki-laki diantara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki maka boleh satu orang laki-laki dan dua orang perempuan diantara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi yang ada, agar jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil atau besar. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu. Maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282)

Ayat ini ditujukan untuk laki-laki dan perempuan. Allah Ta’ala memerintahkan untuk mencatat ketika transaksi hutang piutang. Allah juga memerintahkan agar menghadirkan saksi saat transaksi tersebut. Kemudian Allah menjelaskan bahwa semua (peraturan) terkait dengan utang piutang ini berlaku umum (bagi laki-laki dan perempuan).

Kemudian Allah Ta’ala melanjutkan firmanNya,
إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا
“Kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu. Maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282)

Sementara isyhad (mempersaksikan), bentuknya adalah menghadirkan saksi. Karena itu Allah berfirman di ayat selanjutnya,
وَأَشْهِدُوْاْ إِذَا تَبَايَعْتُمْ
“Ambillah saksi jika kamu berjual beli.” (QS. Al Baqarah: 282)

Ayat-ayat diatas berlaku secara umum baik untuk laki-laki dan perempuan. (Perintah) mencatat hutang piutang ditujukan untuk laki-laki dan perempuan. Berdagang (jual-beli) dan menjadi saksi berlaku untuk lelaki dan perempuan. Mereka (laki-laki dan perempuan) boleh mengambil saksi untuk perdagangan serta pencatatan mereka. Hanya saja, jual beli secara tunai boleh tidak dicatat. [catatan: “حاضرة” artinya dilakukan secara tunai. Penjual dan pembelil hadir di tempat akad –ed] karena telah dibayar dengan tunai sehingga tidak menyisakan urusan. Semua peraturan ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan.

Demikian juga yang terdapat dalam dalil lainnya, semuanya berlaku bagi laki-laki dan perempuan, seperti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda,
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما وإن كتما وكذبا مُحِقت بركة بيعهما
“Dua orang yang melakukan transaksi jual beli itu punya hak khiyar (memilih) selama mereka belum berpisah. Bila keduanya jujur dan terus terang maka keduanya akan diberi barakah dalam jual belinya. Tetapi bila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat) maka akan dihilangkan keberkahan jual belinya itu.”(HR. Bukhari 2079 dan Muslim 1532)

Juga firman Allah Ta’ala,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Semuanya berlaku umum (bagi laki-laki dan perempuan).

Akan tetapi yang wajib diperhatikan ketika bekerja ataupun berdagang adalah hendaknya interaksi diantara mereka harus dalam bentuk interaksi yang jauh dan terbebas dari semua penyebab masalah dan yang menimbulkan perbuatan munkar.

Wanita bekerja (ditempat) yang tidak ada campur baur dengan laki-laki serta tidak memicu timbulnya fitnah. Demikian pula tatkala wanita berdagang, dalam keadaan yang bersih dari fitnah. Dengan tetap memperhatikan hijabnya, menutupi aurat, serta menjauhi sebab terjadinya fitnah.

Demikianlah yang sepatutnya diperhatikan dalam jual beli dan semua kegiatan wanita. Karena Allah berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap berada dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu.”(QS. Al-Ahzab: 33)

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepada mereka (istri-istri Nabi) maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzab: 53)

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ
“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,’Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” (QS. Al-Ahzab: 59)

Karena itu, jual beli para wanita hanya dilakukan diantara para wanita, sementara jual beli para laki-laki di tempat tersendiri, hukumnya dibolehkan.

Demikian pula untuk semua pekerjaan wanita. Seorang wanita menjadi dokter untuk pasien wanita, perawat wanita untuk pasien wanita, guru wanita mengajar wanita maka ini tidak masalah. Dokter laki-laki menangani pasien laki-laki, dan guru laki-laki mengajar laki-laki.

Adapun dokter wanita menangani pasien laki-laki atau dokter laki-laki menangani pasien wanita atau perawat wanita untuk laki-laki dan perawat laki-laki untuk pasien wanita maka inilah yang dilarang syariat, karena mengandung fitnah dan kerusakan.

Oleh karena itu, disamping adanya toleransi untuk bekerja dan berdagang bagi lelaki dan wanita, semua harus dilakukan dalam keadaan terbebas dari segala yang membahayakan agama dan kehormatan para wanita, serta tidak membahayakan bagi lelaki. Namun pekerjaan para wanita dilakukan dalam kondisi tidak memicu segala yang membahayakan agamanya, kehormatannya, dan tidak menimbulkan kerusakan dan godaan bagi lelaki. Demikian pula pekerjaan para lelaki yang terjadi diantara mereka, tidak boleh ada kehadiran wanita, yang bisa memicu godaan dan kerusakan.

Yang ini memiliki area pekerjaan sendiri, yang itu juga memiliki area pekerjaan sendiri, dengan meniti jalur selamat, yang tidak membahayakan kelompok pertama maupun kelompok kedua, serta tidak membahayakan masyarakat itu sendiri.

Akan tetapi menjadi pengecualian dari hal diatas bila dalam keadaan darurat. Jika keadaan mendesak dimana seorang lelaki harus bekerja menangani wanita, seperti melayani pasien wanita ketika tidak ada dokter laki-laki atau wanita melakukan pekerjaan laki-laki ketika tidak ada dokter lelaki yang menangani pasien lelaki, sementara wanita ini tahu penyakitnya dan bisa menanganinya, dengan tetap menjaga diri, menjauhi segala yang memicu godaan, dan menghindari kholwat (berdua-duaan), serta larangan semacamnya.

Karena itu, jika ada pekerjaan wanita yang dilakukan bersama lelaki atau sebaliknya karena kebutuhan yang mendesak atau darurat, dengan tetap menjaga sebab-sebab yang menimbulkan fitnah baik khalwat atau terbukanya (aurat) maka keadaan seperti ini dikecualikan (baca: diperbolehkan).

Tidaklah mengapa seorang wanita menolong laki-laki yang memerlukan bantuan. Begitu juga laki-laki menolong wanita yang perlu ditangani, dengan catatan tidak membahayakan keduanya. Seperti dokter wanita mengobati pasien laki-laki disaat tidak ada dokter laki-laki, sementara si wanita tahu penyakitnya dengan tetap menjaga diri dari fitnah dan khalwat. Demikian juga, yang dilakukan dokter laki-laki pada pasien wanita karena tidak dijumpai dokter wanita yang mengobatinya maka keadaan ini termasuk keadaan yang mendesak.

Demikian pula kegiatan di pasar, wanita melakukan jual beli yang mereka butuhkan, dengan tetap menutup aurat dengan benar dari pandangan laki-laki. Demikian juga tatkala wanita shalat berjama’ah dimasjid hendaknya tetap menjaga diri, menutup aurat, berada di belakang shaf laki-laki. Serta kegiatan serupa yang dilakukan wanita, yang tidak menimbulkan fitnah dan bahaya bagi kedua pihak (laki-laki dan perempuan).

Demikianlah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Terkadang beliau berbicara dengan wanita, para wanita berkumpul untuk mendengar kajian beliau lalu beliaupun memberi nasehat. Inilah yang boleh dilakukan laki-laki kepada wanita.

Ketika shalat Ied, seusai berkhutbah di hadapan lelaki beliau mendatangi jamaah wanita, mengingatkan mereka, menasehati mereka untuk beramal kebaikan.

Demikian juga di beberapa kesempatan, para wanita berkumpul dan beliau memberi peringatan, mengajari mereka (perkara agama) serta menjawab pertanyaan mereka. Semua aturan di atas termasuk dalam kasus ini.

Demikian pula generasi sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang laki-laki memberi peringatan kepada kaum wanita, menasehati mereka, mengajari mereka ketika berkumpul (disuatu tempat) dan dengan cara yang terpuji, menjaga hijab dan menjauhi sebab-sebab timbulnya fitnah.


Jika semua itu dibutuhkan, seorang laki-laki boleh melakukan hal penting yang mereka butuhkan (mengajar, memberi peringatan dan nasehat) (para wanita), dengan menjaga hijab, menutup (aurat) dan menjauhi semua bentuk fitnah bagi keduanya.


(Fatwa Syaikh Bin Baz rahimahullah )

Zakat Tabungan

Sudah menjadi fitroh manusia, dihiasi rasa cinta pada harta. Bukan sebuah sifat tercela bila mereka cinta harta yang dia miliki atau bersemangat untuk mencari penghasilan yang lebih. Yang menjadi masalah adalah cinta harta yang melampaui batas kewajaran secara syariat. Seperti, cinta harta yang diwarnai sikap tamak, rakus, serakah, kikir, dan berat untuk berinfak di jalan Allah.

Allah berfirman, yang artinya:
Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukan kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih.” (Q.S. At-Taubah: 34)

Ayat tersebut tidak mencela orang yang menyimpan hartanya atau memiliki tabungan. Akan tetapi, yang dilarang adalah bila tidak dikeluarkan sebagian harta tersebut, kewajiban zakat yang telah ditentukan Allah, seperti nafkah di jalan Allah.

Salah satu bentuk kewajiban yang harus ditunaikan terhadap harta simpanan adalah zakat, jika terpenuhi beberapa syarat tertentu, diantaranya:

1.      Harta simpanan berupa Emas, perak dan mata uang.
2.      Harta tersebut adalah harta milik pribadi dan dimiliki secara sempurna.
3.    Jumlahnya sudah mencapai nishob. Nishob emas: 85 gr emas murni, nishob perak: 595 gr perak murni, dan nishob mata uang: seharga 85 gram emas murni).
4.      Jumlah tersebut sudah tersimpan selama satu tahun Hijriyah. Masa ini disebut dengan haul.

Bila sudah terpenuhi beberapa persyaratan di atas maka wajib mengeluarkan zakat 2,5 % dari total harta setiap tahun Hijriyah.

Selanjutnya, dalam kajian kali ini, kami akan mengupas beberapa jenis tabungan dan aturan zakatnya. Namun sebelumnya, perlu kami sampaikan, bahwa bukanlah maksud kami dengan tulisan ini, menganjurkan para pembaca untuk beramai-ramai menjadi nasabah Bank. Apalagi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dari bunganya yang notabene adalah riba.

Pembahasan zakat tabungan di bank dilatar belakangi fenomena yang ada di masyarakat, bahwa untuk menyimpan dana dalam jumlah besar, hampir semua orang mempercayakannya ke bank. Sementara tabungan berupa celengan hanya dilakukan sebagai ajang latihan di usia dini, yang nantinya apabila terkumpul jumlah yang cukup besar, uang tabungan tersebut akan disimpan juga ke bank demi keamanan.

1. Tabungan di Bank.

Tabungan di Bank dapat berupa Giro, Tabungan biasa maupun deposito. Semua jenis tabungan ini wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah terpenuhi syarat dan ketentuan di atas.

Alasan wajibnya zakat untuk tabungan di Bank, karena Nasabah tetap mempunyai kepemilikan yang sempurna atas uang yang dia simpan dalam rekening tabungannya. Dalam arti, nasabah bebas melakukan penyetoran dan penarikan di rekeningnya.

Bagaimana dengan deposito, bukankah nasabah tidak bisa menarik uangnya sebelum jatuh tempo?

Memang benar demikian, tapi bukan berarti uang itu hilang. Nasabah sangat yakin uangnya akan kembali dengan lengkap pada waktu yang tepat setelah jatuh tempo.

Kalaupun ada yang menyamakan ‘deposito’ dengan piutang selama jangka waktu tertentu, maka bisa kita jawab:

Ulama telah membahas apakah piutang wajib dizakati atau tidak? Padahal uang tersebut tidak ada di tangan? Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini, bahwa piutang tersebut tetap wajib dizakati. Karena secara hukum, uang itu masih miliknya, meskipun secara fisik uang itu ada di tangan orang lain. Untuk itu, lebih diwajibkan lagi, jika piutang tersebut dipinjamkan pada orang yang dipastikan mampu melunasinya setelah berakhirnya jatuh tempo.

2.  Tabungan Haji

Tabungan Haji adalah salah satu fasilitas simpanan yang disediakan oleh hampir seluruh bank di Indonesia. Tabungan ini bertujuan untuk memudahkan para nasabah yang ingin menunaikan haji untuk pelunasan BPIH (Biaya Pelaksanaan Ibadah Haji). Bahkan, saat ini, Depag tidak menerima setoran BPIH kecuali dari tabungan haji bank yang telah ditunjuk oleh pemerintah.

Perbedaan tabungan haji dengan tabungan sebelumnya adalah pada tabungan haji, nasabah tidak boleh melakukan penarikan dana tabungannya. Karena, dana tersebut sejatinya digunakan untuk membiayai pelaksanaan ibadah haji. Bahkan, secara otomatis akan dipakai untuk membiayai setoran pokok (biaya pengambilan nomor kursi) yang nilainya kurang lebih 25 juta rupiah.

Apabila nasabah meninggal dunia, tabungan tersebut masih bisa berpindak ke tangan ahli waris, namun bukan dalam bentuk nominal, melainkan hak untuk mendapatkan nomor kursi calon haji.

Ditinjau dari perbedaan ini, maka dapat disimpulkan bahwa tabungan haji tidak terkena wajib zakat, walaupun tabungannya sudah mencapai nishob dan tersimpan selama bertahun-tahun selama masa penantian dipanggil menjadi calon jamaah haji. Hal ini dikarenakan, salah satu syarat wajib zakat, tidak ada. Yaitu: kepemilikan yang sempurna. Dengan bukti, tabungan haji tidak dapat ditarik tunai sesuai kehendak nasabah. Manfaat yang didapat nasabah hanyalah berupa jasa pelaksanaan ibadah haji, sehingga tabungannya pada hakikatnya untuk membeli jasa, bukan menyimpan dana tunai.

3. Tabungan Pensiun

Tabungan ini telah menjadi buah bibir kalangan PNS. Bahkan, tidak jarang orang termotivasi untuk menjadi PNS dengan tujuan memperoleh tabungan ini.

Hakikat dari tabungan ini adalah sejumlah dana yang diperoleh oleh seorang pegawai, dari instansinya ketika ia mengakhiri masa kerjanya. Tabungan tersebut sebenarnya bukan mutlak hadiah instansi kepada mantan pegawainya. Namun, merupakan hasil kumpulan potongan tertentu dari gaji bulanannya ditambah dengan konpensasi akhir masa kerja yang diberikan oleh instansinya. Seorang pegawai telah mengabdi selama 20 tahun, otomatis gaji bulanannya selama masa itu terpotong dalam jumlah tertentu sebagai tabungan pensiunnya kelak.

Fenomena ini meninggalkan satu pertanyaan, ketika seseorang telah pensiun  dan menerima tabungan pensiun dalam jumlah yang melebihi nishob, apakah dia wajib langsung mengeluarkan zakat, begitu pertama kali ia menerima tabungan pensiun tersebut?

Jawabannya adalah belum wajib, harus menunggu terpenuhinya haul (disimpan setahun). Karena, tabungan tersebut baru mutlak menjadi miliknya saat dia pensiun. Sedangkan sebelumnya, uang tersebut masih di bawah kepemilikan dan wewenang instansi. Pegawai tidak berhak memiliki uang tersebut apalagi mengambilnya.

Hanya saja, dia harus mulai menghitung haul sejak pertama dia terima tabungan tersebut. Selanjutnya, tahun depan baru dizakati. Begitu juga tahun-tahun berikutnya selama nominalnya masih mencapai nishob.

4.  Deposit box

Tabungan jenis ini beda dengan sebelumnya. Bila sebelumnya tabungan berupa uang tunai yang bisa digunakan oleh bank untuk dipinjamkan ke orang lain atau digunakan oleh bank untuk transaksi komersial, tabungan dalam deposit box biasanya berupa benda-benda berharga selain uang (walaupun terkadang ada yang menyimpan uang tunai). Manfaat yang didapat nasabah adalah untuk mendapat jaminan keamanan. Semua pihak, termasuk bank tidak diperkanankan mengutak-atik isi dari deposit box tersebut, karena kuncinya dipegang oleh nasabah. Sedangkan yang berhak mengambilnya hanya pihak nasabah.

Apakah benda yang dititipkan di deposit box wajib dizakati? Ini tergantung dari jenis barang yang disimpan. Apabila barang tersebut adalah benda yang wajib dizakati seperti emas, perak dan uang kertas, maka pemilik harus menunaikan zakatnya jika telah terpenuhi syarat-syaratnya.


Akan tetapi, bila barang simpanannya berupa benda yang tidak wajib dizakati seperti intan, permata, berlian dll, maka tidak dikeluarkan zakatnya sama sekali.

Selasa, 29 September 2015

Syi'ah dan Para Istri Rasulullah

Bara api kebencian terhadap para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memang telah tertanam kuat di dada kaum Syi'ah Rafidhah. Bara api tersebut terus menerus menyala sehingga satu demi satu orang-orang terdekat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi bahan gunjingan dan cercaan mereka. Setelah Ahlul Bait beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, kini mereka mengarahkan cercaan yang tidak kalah kejinya kepada para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka melontarkan tuduhan-tuduhan dusta kepada orang-orang yang telah mengorbankan waktu dan raganya untuk membela dakwah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, setia menemani dan menghibur beliau ketika ditimpa berbagai musibah di dalam mengemban amanah dakwah.

Kedudukan Para Istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

Alangkah mulianya kedudukan mereka tatkala Allah subhanahu wa ta'ala sendiri yang mengangkat derajat mereka di atas wanita lainnya. Allah jalla jalaaluhu berfirman :
يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ
"Wahai istri Nabi, (kedudukan) kalian bukanlah seperti wanita-wanita yang lainnya." (Al Ahzab: 32)

Allah 'azza wa jalla telah meridhai mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang termulia, sampai-sampai melarang beliau untuk menceraikan mereka. Allah berfirman :
لاَ يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ وَلاَ أَنْ تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ
"Tidak halal bagimu wahai Nabi, untuk mengawini wanita-wanita lain sesudahnya, dan tidak halal (pula) bagimu untuk mengganti mereka dengan wanita-wanita lain walaupun kecantikan mereka memikat hatimu." (Al Ahzab: 52)

Para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah ibu-ibu kaum mukminin yang tentu saja wajib untuk dimuliakan dan dihormati. Oleh karena itu para istri beliau mendapat gelar Ummahatul Mu`minin.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
"Nabi itu lebih berhak untuk dicintai kaum mukminin daripada diri mereka sendiri, sedangkan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka (kaum mukminin)." (Al Ahzab: 6)

Nama Para Istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

Telah tertulis di dalam buku-buku sejarah Islam nama-nama istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah mendampingi perjuangan beliau. Mereka itu adalah:
1. Khadijah binti Khuwailid
2. Saudah binti Zam'ah
3. Aisyah binti Abi Bakr Ash Shiddiq
4. Hafshah binti Umar Al Khaththab
5. Ummu Habibah yang bernama Ramlah binti Abi Sufyan
6. Ummu Salamah yang bernama Hindun binti Abi Umayyah
7. Zainab binti Jahsyin
8. Zainab binti Khuzaimah
9. Juwairiyah binti Al Harits
10. Shafiyah binti Huyai
11. Maimunah binti Al Harits

Masing-masing mereka ini memiliki keutamaan yang tidak dimiliki lainnya, hanya saja yang paling utama di antara mereka adalah Khadijah dan Aisyah.

Para Istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menurut Tinjauan Syi'ah Rafidhah

Tinjauan Syi'ah Rafidhah terhadap para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sangat sarat dengan kebencian dan kedengkian. Hal ini sebagaimana yang mereka terangkan dalam tulisan-tulisan yang luar biasa kekejiannya. Kalau seandainya kekejian tersebut mereka tuduhkan terhadap istri seorang muslim biasa tentu orang tersebut akan murka dan marah.

Di antara kekejian itu adalah:

1.     Jeleknya perangai dan akhlak para istri Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ali bin Ibrahim Al Qummi di dalam tafsirnya 2/192 ketika menerangkan sebab turunnya ayat ke 28 dari surat Al Ahzab, mengatakan: "Sebab turun ayat itu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pulang dari perang Khaibar. Beliau membawa harta keluarga Abul Haqiq. Maka mereka (para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata: "Berikan kepada kami apa yang engkau dapatkan!" Beliaupun berkata: "Aku akan bagikan kepada kaum muslimin sesuai perintah Allah." Marahlah mereka (mendengar itu) lalu berkata: "Sepertinya engkau menganggap kalau seandainya engkau menceraikan kami, maka kami tidak akan menemukan para pria berkecukupan yang akan menikahi kami." Maka Allah menentramkan hati Rasul-Nya dan memerintahkan untuk meninggalkan mereka. Maka akhirnya beliaupun meninggalkan mereka."

Sungguh tidak!! Tidak akan terlintas di benak seorang muslim pun bahwa istri seorang muslim yang taat akan mengucapkan kata-kata seperti itu kepada suaminya. Lalu bagaimana perbuatan itu dilakukan oleh istri seorang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah Allah puji di dalam Al Qur`an?! Demi Allah, tidaklah mereka tulis kecuali kedustaan belaka!!

2.     Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia karena diracun oleh sebagian mereka.

Di dalam Tafsirul Iyasy 1/200, karya Muhammad bin Mahmud bin Iyasy mengatakan -dengan dusta- bahwa Abu Abdillah Ja'far Ash Shidiq rahimahullah pernah berkata: "Tahukah kalian apakah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia atau dibunuh?" Sesungguhnya Allah telah berfirman yang artinya: "Apakah jika dia (Muhammad) mati atau dibunuh, kalian akan murtad?" (Ali Imran: 144). Beliau sebenarnya telah diberi racun sebelum meninggalnya. Sesungguhnya dua wanita itu (Aisyah dan Hafshah) telah meminumkan racun kepada beliau sebelum meninggalnya. Maka kami menyatakan: "Sesungguhnya dua wanita dan kedua bapaknya (Abu Bakar dan Umar) adalah sejelek-jelek makhluk Allah."

3.     Mereka menghukumi bahwasanya para istri Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pelacur.

Dinukilkan secara dusta di dalam kitab Ikhtiyar Ma'rifatur Rijal karya At Thusi hal. 57-60 bahwa Abdullah bin Abbas pernah berkata kepada Aisyah: "Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah..."

Di antara para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Aisyah radhiyallahu 'anha-lah yang paling dibenci kaum Syi'ah Rafidhah. Mereka merendahkan kehormatan istri yang paling dicintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut dengan kedustaan-kedustaan yang nyata. Celaan kepada beliau akan mengakibatkan dua ribu lebih hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan beberapa ayat Al Qur`an gugur. Beliaulah wanita yang paling banyak, menghafal dan meriwayatkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di antara para sahabat yang lainnya.

Beberapa celaan kaum Syi'ah Rafidhah terhadap kehormatan Aisyah:

  1. Aisyah telah keluar dari iman dan menjadi penghuni jahannam. (Tafsirul Iyasi 2/243 dan 269)
  2. Aisyah digelari Ummusy Syurur (ibunya kejelekan) dan Ummusy Syaithan (ibunya syaithan). [Al Bayadhi di dalam kitabnya Ash Shirathal Mustaqim 3/135 dan 161.]
  3. Riwayat-riwayat beliau bersama Abu Hurairah dan Anas bin Malik tertolak di sisi Syi'ah Rafidhah (Al Khishal 1/190 karya Ibnu Babuyah Al Qumi).
  4. Aisyah telah menggerakkan kaum muslimin untuk memerangi Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu (Minhajul Karamah hal. 112, karya Ibnu Muthahhar Al Hilali).
  5. Aisyah sangat memusuhi dan membenci Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu sampai meletuslah perang Jamal (An Nushrah hal. 229 karya Al Mufid).
  6. Aisyah tidak mau bertaubat dan terus menerus memerangi Ali sampai meninggal. (At Talkhishusy Syafi hal. 465-468).

Inna lillahi wa Inna ilaihi raji'un!! Kesesatan apa yang menghinggapi hati mereka? Sedemikian besarkah kedengkian dan kebencian mereka terhadap para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terutama Aisyah?

Tuduhan-tuduhan Dusta Syi'ah Rafidhah kepada Aisyah Berkaitan dengan Perang Jamal

1.      Aisyah tidak menerima dan dengki terhadap pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman bin Affan. (Siratul A`immah Itsna Asyar 1/4222)

2.      Pemberontakan Aisyah terhadap kekhilafahan Ali bin Abi Thalib dan keinginannya untuk saudara sepupunya yaitu Thalhah bin Ubaidillah menjadi khalifah. (Syarhu Nahjil Balaghah 2/460)

3.      Aisyah menolak tawaran Ali bin Abi Thalib untuk damai dan pulang ke Madinah. (Al Khishal 2/377)

4.      Aisyah-lah yang memulai perang Jamal melawan Ali bin Abi Thalib. (Siratul A`immah 1/456)

Jawaban terhadap Kedustaan Mereka

1. Aisyah menerima bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk berbai'at kepada Ali bin Abi Thalib. (Al Mushannaf 7/540)

2. Keluarnya Aisyah bersama Thalhah dan Az Zubair bin Al Awwam ke Bashrah dalam rangka mempersatukan kekuatan mereka bersama Ali bin Abi Thalib untuk menegakkan hukum qishash terhadap para pembunuh Utsman bin Affan. Hanya saja Ali bin Abi Thalib meminta penundaan untuk menunaikan permintaan qishash tersebut. Ini semua mereka lakukan berdasarkan ijtihad walaupun Ali bin Abi Thalib lebih mendekati kebenaran daripada mereka. (Daf'ul Kadzib 216-217)

3. Tawaran Ali bin Abi Thalib kepada Aisyah semata-mata untuk menyatukan cara pandang bahwa hukum qishash baru bisa ditegakkan setelah keadaan negara tenang. Beliaupun sangat mengetahui bahwa Aisyah bersama Thalhah dan Az Zubair tidaklah datang ke Bashrah dalam rangka memberontak kekhilafahannya. Akhirnya hampir terbentuk kesepakatan di antara mereka. (Tarikh Ath Thabari 5/158-159 dan 190-194)

4. Akan tetapi melihat keadaan seperti ini, beberapa kaum Saba'iyah (pengikut faham Abdullah bin Saba'-pendiri Syi'ah) mulai memancing konflik di antara pasukan Aisyah dan Ali. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa salah satu pasukan telah berkhianat. Maka terjadilah perang Jamal. (Tarikh Ath Thabari 5/195-220)

Pujian Ali bin Abi Thalib terhadap Aisyah radhiyallahu 'anha

Di dalam Tarikh Ath Thabari 5/225 diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata di saat perang Jamal: "Wahai kaum muslimin! Dia (Aisyah) adalah seorang yang jujur dan demi Allah dia seorang yang baik. Sesungguhnya tidak ada antara kami dengan dia kecuali yang demikian itu. Dan (ketahuilah -pen) dia adalah istri Nabi kalian di dunia dan di akhirat."


Amirul Mukminin

Siapa mereka yang di sebut dengan Amirul Mukminin?

Barangsiapa memegang tampuk kekuasaan, dan kondisi sosial menjadi stabil pada saat kekuasaannya, maka dia dinamakan Amirul Mukminin, baik berkuasanya itu dengan cara syar’i atau tidak. Yang dimaksud dengan syar’i adalah amir yang ditunjuk langsung oleh imam sebelumnya, seperti yang terjadi pada kekhilafahan ‘Umar bin al-Khaththab, atau dia terpilih melalui musyawarah ahlu halli wa al ‘aqdi, seperti ‘Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Adapun jalan yang tidak syar’i adalah dengan menggunakan kekuatan dan senjata sehingga kondisi sosial stabil di tangannya, maka dia juga dinamakan Amirul Mukminin yang wajib kita taati.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Barangsiapa yang menang atas peperangan dengan menggunakan pedang sehingga ia menjadi seorang khalifah (pemimpin) yang dinamakan Amirul Mukminin, maka haram bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk melewati malamnya dengan tidak mengang-gapnya sebagai seorang pemimpin, baik dia orang yang shalih maupun jahat.” (Al-Ahkam as-Sulthaniyah karya Abu Ya’la.)

Ahlu Sunnah wal Jamaah mempunyai prinsip-prinsip terhadap penguasa, di antaranya:

1.      Meyakini wajibnya baiat terhadap penguasa.

Ketahuilah bahwa orang yang menjadi khalifah secara suka-rela, di mana manusia sepakat dan ridha kepadanya, atau karena khalifah tersebut dapat menundukkan mereka dengan kekuatan sehingga ia menjadi khalifah, maka mereka wajib taat kepadanya dan haram keluar dari ketaatan kepadanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.
“Barangsiapa melepaskan ketaatan (dari penguasa) niscaya ia akan menjumpai Allah dalam kondisi tanpa memiliki hujjah. Dan barangsiapa meninggal tanpa ikatan baiat maka kematiannya seperti kematian jahiliyyah.” (HR. Muslim).

Hadits yang mulia ini menunjukkan wajibnya berbaiat kepada seorang penguasa yang telah mampu mengendalikan kondisi sosial di bawah kekuasaannya, dan haram untuk keluar dari ketaatan terhadap penguasa tersebut; baik dia shalih atau fajir.

Kewajiban bagi setiap muslim yang berada di bawah seorang penguasa muslim yang telah disepakati oleh kaum muslimin bahwa ia sebagai penguasa, atau dapat menundukkan dengan pedangnya, hendaknya berbaiat kepadanya dan meyakini wajibnya berbaiat kepadanya. Barangsiapa yang tidak mempunyai niatan untuk berbaiat kepadanya atau tidak meyakini kewajibannya, maka ketika dia mati, maka kematiannya sama dengan kematian orang-orang jahiliyah.

Satu hal yang perlu diperjelas di sini, adanya salah penafsiran terhadap hadits di atas dari beberapa kelompok pergerakan, yaitu baiat yang ditujukan kepada pemimpin para jamaah tersebut, dan mewajibkan kepada setiap individu untuk mengadakan jabat tangan secara langsung kepada pemimpin-pemimpin mereka, dan barangsiapa yang tidak melaksanakannya, maka dianggap kafir atau tidak layak untuk mendapatkan loyalitas. Ini merupakan pemahaman yang batil (keliru).

Baiat itu hanyalah kepada khalifah atau Amirul Mukminin, tidak kepada yang lainnya, dan tidak berarti setiap kaum muslimin harus mendatangi Amirul Mukminin atau wakilnya untuk berjabat tangan, tapi cukup untuk meniatkan dan meyakini kewajibannya. Sebab tidak pernah diceritakan bahwa ketika Abu Bakar, Umar, Utsman, atau Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, kaum Muslimin berbondong-bondong mendatangi mereka untuk berjabat tangan, tapi yang membaiat mereka secara langsung hanyalah ahlul halli wal ‘aqdi.

2.      Menaati mereka dalam perkara yang makruf

Termasuk dari prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka berpendapat bahwa wajib taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ.
“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada perkara yang ia sukai dan tidak ia sukai, kecuali jika diperintahkan berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” (HR. Al-Bukhari, no. 7144; dan Muslim, no. 1839).

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ.
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun (yang memerintah adalah) seorang budak Habasyi (yang hitam).” (HR. At-Tirmidzi no. 2676 dan lainnya, serta dishahihkan al-Albani).

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ وَمَنْ يَعْصِنِيْ فَقَدْ عَصَى اللّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ.
“Barangsiapa taat kepadaku berarti ia telah menaati Allah, dan barangsiapa bermaksiat kepadaku berarti ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan barangsiapa yang taat kepada amir (yang muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir, maka ia bermaksiat kepadaku.” (Muttafaq Alaih).

Dan tentang ini Ahlus Sunnah sepakat bahwasanya taat kepada penguasa (pemerintah) adalah wajib. Berikut ini adalah sejumlah kutipan dari ulama-ulama besar Ahlus Sunnah tentang wajib-nya taat kepada pemimpin dan akibat buruk dari membangkang:

Al-Imam al-Barbahari berkata, “Barangsiapa memegang kekuasaan dengan kesepakatan kaum Muslimin dan mereka ridha kepadanya, maka ia adalah Amirul Mukminin. Haram bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk melewati malam-nya dengan tidak menganggapnya sebagai seorang pemimpin, baik dia orang yang shalih maupun fajir.”

Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Para ulama telah sepakat atas wajibnya taat kepada pemimpin yang menang (dalam memperebutkan kekuasaan) dan wajib jihad bersamanya. Taat kepadanya lebih baik daripada membangkang kepadanya, karena hal tersebut akan mencegah pertumpahan darah dan menciptakan ketenangan rakyat.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang-orang yang memberontak kepada pemimpin, pasti akan menimbulkan keru-sakan yang lebih besar daripada kebaikannya.” (Minhaj as-Sunnah).

Akan tetapi kewajiban taat kepada penguasa tersebut diberi batasan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sabdanya,
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ.
“Tidak boleh taat terhadap perintah bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang makruf.” (Muttafaq Alaih)

3.      Memberi nasihat kepada mereka dengan cara yang baik.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
“Jihad yang paling utama adalah mengatakan ucapan yang haq di hadapan penguasa yang zhalim.”

Cara Menasihati Penguasa

Menasihati penguasa hendaklah dengan menggunakan adab dan retorika tersendiri, jangan sampai disamakan dengan menasihati rakyat biasa. Hendaklah lemah lembut, secara diam (tidak terang-terangan), tidak menyebut-nyebut keburukan dan kesalahan mereka di khalayak ramai dan di atas mimbar. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ.
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa dengan suatu perkara, maka janganlah dia menampakkannya secara terbuka, tapi hendaklah dia menggenggam tangannya dan mengajaknya berduaan dengannya, jika ia menerima darinya, maka itulah yang diharapkan, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan kewajibannya terhadapnya.” (HR. Ahmad no. 15333; dan Ibnu Ashim dalam as-Sunnah no. 1096-1098 dan berkata al-Albani dalam takhrij-nya, 2/523, “Hadits ini shahih dengan mengumpulkan jalan-jalan periwayatannya.”).

Syaikh asy-Syanqithi berkata, “Kaum muslimin terhadap penguasa yang zhalim ada tiga kelompok:

Pertama, mampu untuk memberikan nasihat kepadanya, beramar makruf nahi mungkar kepadanya dengan tidak mendatangkan kemungkaran yang lebih besar dari sebelumnya, maka nasihat dalam kondisi seperti ini adalah sebagai bentuk jihad dan menyelamatkan dia dari dosa walaupun nasihat itu tidak berpengaruh kepadanya. Dan wajib mengemukakan nasihatnya dengan cara yang baik dan lemah lembut.

Kedua, tidak mampu menegakkan nasihat dikarenakan kezhalimannya yang begitu parah, dan dapat menimbulkan mudharat yang lebih besar, maka dalam kondisi seperti ini pengingkarannya hanya dengan hati.

Ketiga, ridha (setuju) atas kemungkaran yang dilakukannya, dengan demikian orang bersangkutan berserikat dalam dosa dengannya.

Maka perlu diperhatikan oleh orang yang akan menyampaikan nasihat atau mengingkari kemungkaran seorang penguasa agar memahami kaidah-kaidah syar’i, maslahat, dan mafsadat yang akan timbul.

4.      Tidak Mengadakan Kudeta (Pemberontakan).

Ahlus Sunnah wal Jamaah mengharamkan keluar dan memberontak kepada pemimpin mereka jika pemimpin berbuat dosa selain kekufuran, hendaklah sabar jika hal tersebut terjadi, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar taat kepada mereka dalam segala hal selain maksiat, dan tidak boleh memeranginya selama tidak melakukan kekufuran yang nyata, mereka tidak boleh diperangi sehingga nampak kekufuran yang nyata dan kejelasan yang dapat dibuktikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ، وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لَا، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلَاةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ.
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. (Dan sebaliknya) Seburuk-buruk pemimpin kalian ada-lah yang kalian benci dan mereka benci kepada kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.’ Lalu para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kami harus memerangi mereka dengan pedang?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, selama ia menegakkan shalat di antara kalian. Dan Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak kalian sukai, maka bencilah amalnya dan janganlah kamu melepaskan (diri) dan ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855).

Ketahuilah bahwa kezhaliman penguasa berawal dari dosa yang kita perbuat, maka janganlah menolak keburukan dengan keburukan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura’: 30).
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Al-An’am: 129).

Imam al-Hasan al-Bashri berkata, “Ketahuilah -semoga Allah mengampuni Anda- bahwa kejahatan pemimpin itu merupakan salah satu bentuk murka Allah, dan murka itu tidak dapat dihadapi dengan pedang, akan tetapi dicegah dan ditolak dengan doa dan taubat, kembali ke jalan Allah dan menjauhkan diri dari segala dosa. Sesungguhnya murka Allah itu bila dihadapi dengan pedang, maka murka tersebut akan lebih parah.”

Diceritakan bahwa al-Hasan al-Bashri pernah mendengar seseorang mendoakan al-Hajjaj dengan keburukan, maka dia berkata, “Janganlah kamu berbuat demikian, -semoga Allah merahmati kamu- sesungguhnya apa yang menimpa diri kalian adalah disebabkan perbuatan diri kalian sendiri. Sesungguhnya kami khawatir seandainya Hajjaj dicopot dari jabatannya atau wafat, justru akan datang seorang pemimpin yang berwatak kera atau babi.” (Adab al-Hasan, karya Ibnu Jauzi: 119).

Maka jalan yang terbaik untuk menyelamatkan diri kita dari kezhaliman seorang penguasa adalah bertumpu pada tiga hal:

Pertama, hendaklah kaum muslimin bertaubat kepada Allah.
Kedua, hendaklah kaum muslimin memperbaiki akidah mereka.
Ketiga, hendaklah mereka mendidik diri dan keluarga di atas Islam yang benar, Islam yang telah ditempuh oleh nabi dan para sahabatnya. Hal ini bersandaran pada Firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’du: 11).

5.      Mendoakan Mereka dengan Kebaikan.

Mendoakan para pemimpin dengan kebaikan, hidayah dan istiqamah adalah termasuk cara yang ditempuh salafush shalih.

Al-Imam al-Barbahari berkata, “Jika Anda melihat orang yang mendoakan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk pengikut hawa nafsu, namun bila Anda melihat orang yang mendoakan kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk ahlu sunnah.”

Al-Imam al-Fudha`il bin ‘Iyad berkata, “Seandainya saya mem-punyai doa yang mustajab pasti tidak akan saya panjatkan kecuali hanya untuk pemimpin.” Kita diperintahkan agar mendoakan kebaikan bagi mereka, dan kita tidak diperintahkan mendoakan keburukan bagi mereka, walaupun mereka jahat dan zhalim, karena kezhaliman mereka akan berakibat fatal bagi dirinya sendiri, dan kebaikan mereka juga untuk dirinya sendiri dan untuk kaum muslimin.

6.      Tidak mudah dan sembrono dalam mengkafirkan mereka.

Takfir adalah merupakan hak Allah, maka tidak boleh dilontarkan kecuali kepada orang yang berhak dikafirkan. Karena meng-kafirkan seseorang dengan sembrono tanpa hujjah, maka kekufuran itu akan kembali kepada yang menuduh. Nabi bersabda,

مَنْ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرٌ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا.
“Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’, maka (tuduhan tersebut) akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (Muttafaq Alaih).

Adapun kaitannya dengan penguasa, maka mengkafirkan penguasa akan menimbulkan berbagai kerusakan dan dampak negatif yang timbul setelahnya. Maka Ahlus Sunnah wal Jamaah me-netapkan bahwa penguasa tidak boleh dikafirkan, kecuali terkumpul beberapa syarat:

a. Kita melihat kekufuran yang nyata, tidak ada kesamaran lagi.

b. Ada kejelasan bukti yang nyata dari al-Qur`an dan Sunnah serta ijma’ tentang kekufurannya. Dari Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata,
دَعَانَا النَّبِيُّ، فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا: عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendakwahi kami, maka kami berbaiat kepada beliau. Maka beliau menatakan tuntutan yang wajib kami penuhi apabila beliau membaiat kami, (ialah): mendengar dan taat (kepada pemimpin) dalam keadaan suka atau terpaksa, ketika dalam kemudahan ataupun sulit, dan (sekalipun) sewenang-wenang terhadap kami, dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, dan kamu mempunyai bukti yang nyata dari Allah dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

c. Pihak yang berhak memvonis kafir dan tidaknya adalah Allah.

Wallahua’lam.