Selasa, 29 September 2015

Batasan Safar

Batasan Jarak Safar

Para ulama berbeda pendapat tentang jarak perjalanan yang telah dianggap sebagai safar. Al-Imam Ash-Shan’ani menyebutkan ada sekitar 20 pendapat dalam permasalahan ini sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir. (Subulus Salam, 3/109)

Di sini akan kita sebutkan beberapa pendapat.

1.      Jarak minimal suatu perjalanan dianggap/disebut safar adalah 4 barid = 16 farsakh = 48 mil = 85 km.
Ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Malik, Ahmad, dan Asy-Syafi’i. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas:
كَانَا يُصَلِّيَانِ رَكْعَتَيْنِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةٍ بُرُدٍ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ
“Adalah beliau berdua (Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas) shalat dua rakaat (qashar) dan tidak berpuasa dalam perjalanan 4 barid atau lebih dari itu.” (Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih, dan Al-Bukhari dalam Shahih-nya secara mu’allaq)

Mereka juga berdalil dengan sabda Nabi:
يَا أَهْلَ مَكَّةَ، لاَ تَقْصُرُوا الصَّلَاةَ فِي أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عَسْفَانَ
“Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat (dalam perjalanan) kurang dari 4 barid dari Makkah ke ‘Asfan.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi. Hadits ini dhaif sekali karena ada dua perawi yang dhaif: Abdulwahhab bin Mujadid bin Jabr dan Isma’il bin ‘Iyyasy. Lihat Al-Irwa’ no. 565)

2.      Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap/disebut safar adalah sejauh perjalanan 3 hari 3 malam (berjalan kaki atau naik unta).
Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Suwaid bin Ghafalah, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar:
لاَ تُسَافِرُ الْـمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.”1 (HR. Al-Bukhari, Kitabul Jum’ah, Bab Fi Kam Yaqshuru Ash-Shalah no. 1034)

3.      Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap safar adalah sejauh perjalanan sehari penuh.
Pendapat ini dipilih oleh Al-Auza’i dan Ibnul Mundzir.

Dan masih ada beberapa pendapat yang lain.

Sedangkan riwayat yang paling kuat dalam permasalahan ini adalah hadits Anas:
كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Adalah Rasulullah apabila beliau keluar sejauh 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat 2 rakaat (yakni mengqashar shalat).” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha, Bab Shalatul Musafirin wa Qashruha, no. 1116)

Dalam riwayat di atas tidak dipastikan apakah Rasulullah n mengqashar shalat pada jarak 3 mil atau 3 farsakh. Sehingga riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah dalam membatasi jarak safar.

Ibnu Qudamah berkata: “Tidak ada dasar yang jelas untuk menentukan batasan jarak safar. Karena menetapkan batasan jarak safar membutuhkan nash (dalil) yang datang dari Allah atau Rasul-Nya.”

Sedangkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, safar disebutkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan batasan tertentu.

Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan: “Sesuatu yang mutlak tetap berada di atas kemutlakannya sampai datang sesuatu yang memberi batasan atasnya.”

Ketika tidak ada pembatasan jarak safar dalam syariat (nash), demikian pula tidak ada pembatasannya dalam bahasa Arab, maka pembatasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Selama masyarakat setempat menganggap/ menyatakan perjalanan tersebut adalah safar, maka perjalanan itu adalah safar yang disyariatkan untuk mengqashar shalat dan berbuka puasa di dalamnya.

Pendapat yang paling kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat Ibnu Qudamah dan yang lainnya, bahwa batasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Al-’Allamah Ibnul Qayyim. Demikian pula dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahumullah. (lihat Al-Mughni 2/542-543, Al-Majmu’ 4/150, Majmu’Al-Fatawa 24/21, Asy-Syarhul Mumti’ 4/497, Al-Jam’u baina Ash-Shalataini fis Safar hal. 122)

Batasan Waktu Safar.

Apabila seorang Muslim yang telah sampai di tempat atau daerah tujuan, lalu ia bermaksud untuk menetap di sana dalam jangka waktu tertentu, apakah ia keluar dari batasan safar dari sejak ia sampai hingga selesai menetapnya? Dan bagaimana jika seorang Muslim musafir sampai di daerah yang menjadi tujuannya, namun ia tidak berencana menetap di sana, dan ia masih bimbang dan belum tahu kapan akan pulang.

Pada kasus pertama, sebagian ulama mengatakan: ia berstatus musafir jika berencana tinggal selama 4 hari atau kurang dari itu. Dan ia berstatus sebagai muqim sejak sampai di daerah tujuan jika ia berencana tinggal lebih dari 4 hari.

Mereka bersandar pada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam ketika datang ke Mekkah untuk haji beliau tidak menetap di Mekkah kecuali selama 4 hari beliau meng-qashar shalat. Kemudian beliau keluar menuju Mina. Selain itu Rasulullah melarang kaum Muhajirin menetap di Mekkah lebih dari 3 hari agar hijrah mereka tidak batal. Ini menunjukkan bahwa menetap lebih dari 4 hari mengeluarkan seorang Muslim dari batasan safar menjadi iqamah (menetap).

Pada kasus kedua, sebagian ulama mengatakan: ia berstatus musafir selama 19 hari, namun setelahnya ia berstatus muqim. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al Bukhari (1080), dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, ia berkata:
أَقَامَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ، فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا، وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menetap selama 19 hari dengan meng-qashar shalat. Dan kami jika menetap selama 19 hari kami meng-qashar shalat, jika lebih dari itu kami menyempurnakan shalat

Dan itulah pendapat Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali rahimahumullah yaitu bahwa ada batasan waktu tertentu.

Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa status sebagai musafir itu batasnya sampai ia kembali ke daerah tempat tinggalnya. Berapapun lamanya ia menetap di daerah tujuan, walaupun ia berada di situ selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini.

Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak tentang mengqashar (meringkas) shalat, diantaranya:

Sahabat Jabir radhiallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat. [HR. Ahmad]

Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat.[HR. Bukhari]

Nafi' rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma tinggal di Azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat. [HR Al-Baihaqi]

Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut. [Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa'ul Ghalil Syaikh Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312.]

Sedangkan dalam shalat jum’at, kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat jum'at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. [Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370]

Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar. [Hajjatun Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam Kama Rawaaha Anhu Jabir -radhiallahu anhu, Karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73.].

Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum'at dan menggantinya dengan Dhuhur. [Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216]

Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum'at"

Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum'at.

Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para ulama') yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan menyelisihinya. [Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216]

Qashar Dalam Safar

Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat. [Lihat Tafsir Ath-Thabari 4/244, Mu'jamul Washit hal 738.]

Dasar mengqashar shalat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para ulama). [Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/165]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir" [An-Nisaa'/4: 101]

Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab radhiallahu anhu tentang ayat ini seraya berkata: "Jika kamu takut di serang orang-orang kafir", padahal manusia telah aman ?!. Sahabat Umar radhiallahu anhu menjawab: Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab: (Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut. [HR. Muslim, Abu Dawud. Lihat Al-jami'li Ahkamil Qur'an, Al-Qurthubi 5/226-227]

"Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam empat raka'at apabila hadhar (mukim) dan dua raka'at apabila safar" [HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud]

"Dari Umar radhiallahu anhu berkata: Shalat safar (musafir) adalah dua raka'at, shalat Jum'at adalah dua raka'at dan shalatIed adalah dua raka'at" [HR. Ibnu Majah dan An-Nasa'i dll dengan sanad sahih. Lihat sahih Ibnu Majah 871 dan Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayim 1/467]

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata:Aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas duaraka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu." [Al-Ahzaab/33 : 21] [HR. Bukhari dan Muslim dll. Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnati wal Kitabil Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 138]

Berkata Anas bin Malik radhiallahu anhu: Kami pergi bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah” [HR. Bukhari dan Muslim]

Wallahua'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar