Selasa, 02 Juli 2019

Dosa-Dosa Isteri kepada Suami


Waspada, Kebahagiaan Dapat Hilang Karena Kesalahan !

Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah berfirman,

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
 “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzariyat : 49).

Perempuan adalah pasangan laki-laki. Dijadikannya perempuan sebagai pasangan laki-laki -dalam sebuah ikatan pernikahan yang sah- adalah untuk suatu hikmah yang agung, sebagaimana Dia berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum : 21).

Namun, kecenderungan, ketentraman dan rasa kasih sayang terkadang pudar atau bahkan hilang kerena sebab tertentu. Dimungkinkan salah satu sebabnya adalah “dosa atau kesalahan”, baik kesalahan tersebut dilakukan oleh suami kepada istrinya ataupun sebaliknya istri kepada suaminya.

Di zaman kita sekarang, banyak kita saksikan peristiwa pudar atau hilangnya kebahagiaan yang ternyata sebabnya adalah kesalahan yang diperbuat oleh seorang istri kepada suaminya atau sebaliknya. Bahkan, kesalahan menjadi faktor utama hilangnya kebahagiaan sejak awal kehidupan manusia. Anda tentu tahu kisah bapak

dan ibunda kita Adam ‘alaihissalam dan Hawa istrinya yang dikeluarkan dari Surga, tempat yang penuh dengan kebahagiaan. Apa sebabnya? Kesalahan, itulah jawabnya. Dan, dari kisah itu pula kita dapat mengetahui bahwa “kesalahan“ sebagaimana dilakukan oleh seorang suami, juga dilakukan pula oleh seorang istri. Lalu, apa sajakah bentuk kesalahan istri kepada suami ? inilah bahasan utama kita kali ini.

Mudahan-mudahan bahasan ini dapat dijadikan sarana untuk saling menginstropeksi diri lalu memperbaiki kesalahan yang pernah dilakukan, sehingga kebahagiaan tidak tumbang diterpa angin dan badai problematika kehidupan.

Beberapa Bentuk Kesalahan Istri Kepada Suami

Di antara bentuk kesalahan istri kepada suami adalah sebagai berikut) :

1.     Berlebihan dalam Menuntut Kesempurnaan

Ada tipe istri yang tenggelam dalam khayalan dan berlebihan dalam menuntut kesempurnaan. Ia menduga bahwa pernikahan adalah surga Firdaus; tidak ada kesusahan, beban berat ataupun kesulitan. Ia membayangkan bahwa demikianlah seharusnya pernikahan; tidak ada tantangan, penghalang ataupun problematika. Ketika ia berbenturan dengan realita, ia tidak bisa menerima itu semua. Ia mengira dirinya telah salah dalam memilih pendamping hidup. Bahkan, bisa jadi ia cenderung kepada perceraian guna membebaskan diri dari berbagai ikatan-menurut persepsinya-.

2.     Kurang Memperhatikan Orang Tua Suami

Terkadang kondisi memaksa agar suami tinggal bersama kedua orangtuanya, atau kedua orang tua butuh tinggal satu rumah dengan suami. Sedangkan suami dituntut untuk berbakti kepada orang tua, dan juga berbuat baik kepada istri. Namun, sebagian istri tidak mau membantu suami mewujudkan sikap bakti tersebut.

Bahkan mungkin tidak cukup sampai disitu, istri justru melakukan tindakan yang menyakiti orangtua suami dengan berbagai bentuknya, seperti ; meninggikan suara di hadapan mereka, enggan melakukan perintahnya, kurang memperlihatkan sikap hormat, atau kurang memperhatikan perasaan. Meremehkan dan merendahkan mereka, sehingga menghina, berharap segera terbebas dari tinggal bersama mereka, atau bahkan merayu suami untuk mendurhakai orangtuanya. Mencari-cari kekeliruan, membesar-besarkan kesalahan, bahkan melakukan tuduhan secara dusta, dan lain sebagainya.

3.     Terlalu Apa Adanya, Kurang Mempercantik Diri di Hadapan Suami

Banyak istri yang kurang memperhatikan penampilan di hadapan suami; tidak mengenakan pakaian yang baik, tidak menjaga kebersihan badan, tidak memakai wangi-wangian untuk suami, tidak memperhatikan aroma yang disenangi suami. Bila menyambut suami ia menyambutnya dengan pakaian kusam dan rambut acak-acakan.

Namun, bila ia hendak keluar mengunjungi kerabat atau temannya, ia berubah 180 derajat. Ia tidak keluar kecuali dengan pakaian terindah dan wewangian terharum, sampai-sampai orang yang melihatnya menyangka dirinya tengah menyambut malam pengantin. Lihat saja, ada perhiasan gemerlapan, mata berhias celak dan lain sebagainya. Bagian suami dari semua itu hanyalah melihatnya ketika hendak keluar untuk beranjang sana.

4.     Banyak Berkeluh Kesah dan Kurang Berterima Kasih

Ada tipe istri yang suka berkeluh kesah, jarang memuji Allah dan berterima kasih kepada suaminya, kehilangan sifat merasa cukup, dan tidak puas terhadap kebaikan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Beberapa istri tipe ini mendapat perlakukan sangat baik dari suami, namun bila ia menjumpai satu kesalahan atau kealpaan suami, atau marah karena suatu sebab, ia melupakan perlakuan baik yang selama ini ia terima.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mensinyalir hal ini dalam sabdanya, “Aku melihat Neraka dan aku melihat sebagian besar penduduknya adalah kaum wanita.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Mengapa, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Mereka mendurhakai suami dan mendurhakai kebaikan. Sekiranya seorang dari mereka engkau perlakukan dengan baik sepanjang masa, lalu ia melihat sesuatu (kesalahan) darimu, ia akan berkata, aku tidak pernah melihat satu pun kebaikan darimu selama ini.” (HR. al-Bukhari, no. 29 dan Muslim, no. 907).

5.     Mengungkit-ungkit Kebaikan kepada Suami

Ada tipe istri yang melayani suami dan memperhatikan suami, juga memperhatikan kedua orang tuanya. Akan tetapi, ia memiliki sikap egois dan suka mengungkit-ungkit. Mengungkit-ungkit adalah sikap tercela. Seharusnya istri menjauhkan diri darinya. Bila mengungkit-ungkit adalah perangai yang tidak baik dilakukan oleh siapa pun, maka lebih tidak baik lagi bila itu dilakukan oleh seorang istri terhadap suaminya. Sikap mengungkit-ungkit akan menghancurkan amal kebaikan dan menjatuhkan harga diri. Allah Ta’ala melarang sikap mengungkit-ungkit ini di dalam firman-Nya,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) (Qs. Al-Baqarah : 264).

6.     Menyebarkan Problematika Rumah Tangga kepada Orang Lain

Ada tipe istri yang kurang pandai bersabar; sedikit saja ada konflik atau permasalahan dengan suami, ia memberitahukannya kepada ayah, ibu, saudara dan bahkan teman-teman perempuannya. Tindakan tersebut termasuk sikap kurang setia dan sikap tergesa-gesa yang tercela. Ia juga menjadi pertanda kebodohan, sebab sangat mungkin ia menjadi sebab runtuhnya mahligai pernikahan.

Seharusnya seorang istri berusaha dengan sungguh-sungguh agar tidak ada seorang pun yang menjadi pihak ketiga antara dirinya dan suami, siapapun orang itu. Maka, seorang istri yang cerdas tentu menyembunyikan apa yang terjadi antara dirinya dan suami, bahkan kepada orang tua sekalipun, apalagi kepada pihak-pihak yang lain. Terkecuali bila konflik telah menumpuk dan sulit dicari solusinya, maka ia meminta pendapat yang bijak sebagai solusi. Atau, penunjukkan perantara untuk mendamaikan suami istri telah menjadi solusi terakhir.

7.     Kurang Membantu Suami dalam Kebajikan dan Takwa

Ada tipe istri yang menjadi fitnah bagi suami, di mana ia menghalangi suami untuk mengupayakan nilai-nilai luhur. Jika suami hendak berinfak, ia menolaknya. Tidak ada keinginan dirinya dari suami, kecuali agar suami memuaskan segala kesenangannya dan memenuhi berbagai tuntutannya meski harus mengorbankan sebagian kewajiban suami.

Karenanya, tidak pantas bila seorang istri muslimah menjadi batu penghalang di jalan suami, menghalangi langkahnya untuk taat kepada Allah, bersegera dalam menunaikan kebaikan atau berlomba untuk menuju pintu kemuliaan. Bahkan, seharusnya ia membantu suami mewujudkan semua itu, sebagai pemenuhan perintah Allah Ta’ala,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2).

8.     Membebani Suami dengan Banyak Tuntutan

Ada tipe istri yang senang membebani suami dengan banyak tuntutan, tanpa memperhatikan kondisi keuangannya. Semestinya istri memperhatikan kemampuan suami. Ia tidak boleh membebani suami dengan berbagai kesulitan. Tidak sepantasnya ia meneror suami dengan banyak tuntutan, terlebih untuk sesuatu yang tidak penting. Hal tersebut akan memberatkan dan menyakiti suami, sebab ia tidak mampu memenuhi permintaan istri.

9.     Bersikap Nuzuz terhadap Suami

Yaitu, menempatkan diri lebih tinggi dari suami, membatah perintahnya, keluar dari ketaatan kepadanya, tidak ridha terhadap posisi yang ditetapkan Allah untuknya. Ia tidak menerima kepemimpinan suami atasnya. Termasuk pula nuzuz yaitu, menolak ajakan suami untuk berhubungan intim (tanpa alasan syar’i), menjalin hubungan haram dengan laki-laki lain, memasukkan orang lain ke dalam rumah yang mana suami tidak suka bila orang itu masuk ke dalam rumahnya baik ketika suami ada maupun tidak ada, lalai dalam melayani suami, menghambur-hamburkan harta suami dan membelanjakannya untuk sesuatu yang tidak pantas, menyakiti suami dengan perkataan buruk, mencelanya atau mencacinya, dan keluar rumah tanpa izin suami.

10.  Menaati Suami dalam Kemaksiatan kepada Allah

Sudah barang tentu menaati suami merupakan kewajiban seorang istri. Namun, tidak berarti seorang istri harus memberikan ketaatan mutlak kepada suami. Ia menaati seluruh perintah suami, meskipun dalam wilayah kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Melainkan ketaatan itu hanya untuk perkara ma’ruf. Kaedah dalam masalah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

 َلَا طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam tindakan mendurhakai sang Khaliq (yaitu, Allah Aazza wa Jalla).” (HR. ath-Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Kabir).

11.  Lalai dalam Mendidik Anak-anak

Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Namun, peran ini seringkali dilalaikan. Di antara bentuk pelalaian terhadap pendidikan anak adalah seorang ibu rumah tangga (istri) yang bekerja di luar rumah dan menghabiskan sebagian besar waktunya jauh dari anak-anak dan suami, dengan tidak menyeimbangkan antara pekerjaannya dan tugasnya di rumah. Ini adalah sikap cerobah, terlebih bila ia sebenarnya tidak membutuhkan pekerjaan di luar rumah, atau bila dipastikan suami dan anak-anak akan terlantar sama sekali.

12.  Kurang Perhatian terhadap Kondisi dan Perasaan Suami

Ada tipe istri yang kurang memperhatikan kondisi dan perasaan suami. Acapkali ia mengejutkan suami dengan berita-berita buruk, atau banyak mengajukan permintaan ketika suami pulang kerja dalam puncak lelahnya. Terkadang suami sedang berbicara kepadanya, tetapi ia acuh dan bahkan memalingkan mukanya. Atau, ia sengaja memicu kemarahan suami dan menyulut emosinya. Yang dianjurkan olah agama adalah agar istri memperhatikan kondisi dan perasaan suami, agar sebisa mungkin ia menciptakan kegembiraan untuk suami dan menghilangkan keresahan serta kegelisahan dari dalam hatinya. Ia bergembira bersama kegembiraan suami, ia bersedih seiring kesedihannya.

13.  Menyebarluaskan Rahasia Tempat Tidur

Sebagaimana kaum laki-laki kerap melakukan kesalahan ini, begitupun dengan kaum perempuan. Diriwayatkan dari Asma’ binti Yazid, bahwasanya ia pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika kaum laki-laki dan kaum perempuan duduk di sisi beliau. Beliau bersabda, “Barangkali ada seorang laki-laki yang mengatakan apa yang dilakukan terhadap istrinya, dan barangkali ada seorang perempuan yang memberitahukan apa yang dikerjakan bersama suaminya?” Orang-orang terdiam tidak menjawab. Asma’ berkata, “Benar wahai Rasulullah, kaum perempuan itu mengatakannya dan kaum laki-laki itu juga mengatakannya. Beliau pun bersabda,

فَلاَ تَفْعَلُوا فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ
“Janganlah kalian melakukannya, sebab perumpamaan tindakan itu seperti setan laki-laki yang bertemu setan perempuan di jalan, lalu setan laki-laki menggauli setan perempuan dan orang-orang melihatnya.” (HR. Ahmad).

14.  Menggugat Kepemimpinan Suami

Ada tipe istri yang menggugat kepemimpinan suami atas dirinya. Ia ingin sejajar dengan suami dalam segala aktivitasnya. Yang mungkin mendorong istri untuk bersikap demikian adalah kebanggaan akan harta, status sosial, kecantikan, kehormatan, atau tingkat pendidikan. Atau, ia terpengaruh propaganda yang menyerukan emansipasi wanita dan kebebasannya dari kekuasaan laki-laki, agar posisi wanita terhadap laki-laki layaknya lawan yang seimbang.

Itulah 14 poin kesalahan istri kepada suami yang ingin kami sebutkan. Maka, jika Anda –wahai para istri – tengah jatuh ke dalamnya atau pernah melakukannya, segeralah Anda tinggalkan, dan bertaubatlah kepada Allah ta’ala serta perbaikilah diri Anda. Anda sebagaimana halnya ibunda Anda Hawa, pernah melakukan kesalahan sebagaimana halnya bani Adam. Namun, ketahuilah bahwa sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah orang yang bertaubat kepada Allah Ta’ala.

* Disarikan dengan sedikit gubahan oleh Amar Abdullah dari buku, “Min Akhtha’ az-Zaujat”, edisi terjemah, “26 Dosa Istri yang Meresahkan Hati Suami”, Kiswah Media, Solo, Cetakan IV, Juni 2010.

Qurban : Berqurban di Daerah Domisili atau Daerah Lain?


Related image

Terkadang di saat mendekati bulan Dzulhijjah, bagi kita yang tinggal didaerah yang tergolong penduduknya mampu, terpikir agar disaat ber qurban nanti daging hewan qurban kita bisa menjadi lebih berguna bagi masyarakat sekitar tempat hewan itu di sembelih. Misalnya daerah tempat saudara kita yang tinggal di daerah yang miskin, atau malahan ke daerah yang sekarang ini sedang terjadi konflik peperangan yang menyebabkan penduduknya kekurangan bahan makanan.

Apalagi sekarang ini banyak lembaga sosial yang memberikan kemudahan untuk berqurban didaerah lain, dengan cara: orang yang hendak berqurban mentransfer sejumlah uang sesuai dengan yang ditetapkan lembaga sosial itu, yang lalu dibelikan hewan qurban dan disembelih di tempat yang ditentukan lembaga tersebut.

Dalam hal ini, ada yang membolehkan dan ada yang melarang untuk mengirimkan hewan qurban ke daerah lain.

Alasan mereka yang membolehkan adalah pertimbangan mana yang lebih besar maslahatnya. Di antaranya, dengan melihat masyarakat mana yang lebih fakir dan butuh daging qurban. Karena sasaran yang dimaksudkan dalam penetapan hukum syar’i ini adalah kemaslahatan. Mana yang maslahatnya lebih besar, itulah yang kita pilih.

Terlebih, tidak ditemukannya dalil eksplisit (nash) yang membatasi qurban harus di daerah domisili.

Dalam Mandzumah Qawaid Fiqhiyyah karya Syaikh As-Sa’di dikatakan,

الدين مبنىّ على المصالح ** في جلبها والدرء للقبائح
فإن تزاحم عدد المصالح ** يقدم الأعلى من المصالح

“Agama ini dibangun di atas maslahat. Baik dalam rangka mendatangkan maslahat atau mencegah mudharat.”

Bila terjadi pertemuan antara sejumlah maslahat. Maka dahulukan mana yang lebih besar maslahatnya.

Maka menimbang hal tersebut di atas, apabila daerah lain dipandang lebih miskin dan lebih butuh, atau karena alasan lain di sana ada kerabat kita (dalam rangka silaturahim), maka boleh berqurban di daerah tersebut. Karena apabila zakat saja yang hukumnya wajib, berdasarkan kesepakatan ulama (ijma’), boleh dioper ke daerah lain yang lebih membutuhkan, terlebih sembelihan qurban yang hukumnya sunah.

Di samping itu, amal kebaikan apabila semakin banyak manfaatnya, akan semakin besar pula pahalanya. Menyalurkan qurban ke daerah lain yang dipandang lebih butuh akan lebih besar manfaatnya dari pada daerah domisili, yang masyarakatnya kaya. Manfaat akan benar-benar dirasakan oleh kaum miskin dan juga untuk orang yang berqurban, berupa pahala dan keberkahan, karena harta yang ia dermakan benar-benar dirasakan manfaat dan maslahatnya.

Dalam hal amal shalih, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyimpulkan, setelah beliau mempelajari dalil-dalil qur`an dan hadits,

ولكنَّ خيرَ الأعمال ما كان لله أطوع، ولصاحبه أنفع
“Sebaik-baik amal shalih, adalah yang paling besar unsur ketaatannya kepada Allah dan yang paling besar manfaatnya bagi pelakunya" (Majmu’ Fatawa 22/313).

Namun, bila bukan karena alasan di atas, artinya di daerah lain masyarakatnya sudah berkecukupan dan bukan karena motivasi menyambung silaturahim (kerabat atau keluarga), tentu lebih utama berqurban di daerah domisili. Karena berqurban di tempat kita domisili, lebih memudahkan dalam menjalankan sunah-sunah qurban. Seperti menyembelih hewan qurbannya sendiri, menghadiri penyembelihan, memakan 1/3 dari daging qurban, dan dapat berbagi kepada tetangga dan kerabat kita yang dekat. Hal-hal seperti ini akan sulit dilakukan bila berqurban dilakukan di daerah lain.

Syaikh Abdullah Jibrin rahimahullah menjelaskan dalam salah satu fatwa beliau,

يفضل ذبحها في البلد الذي أنت فيه ، لتحضر الذبح وتسمي عليها وتأكل وتهدي وتتصدق أثلاثًا، لكن إن كان البلد غنيًا ولا يوجد فيه فقراء ، وإذا أعطيت بعضهم خزنه أيامًا ولديهم اللحوم متوفرة طوال السنة ، جاز إرسالها لمن يحتاجها من البلاد الفقيرة الذين يعوزهم اللحم ، ولا يوجد عندهم إلا نادرًا، ولابد من تحقق ذبحه في أيام الذبح، وتحقق ذبح السن المجزئة السالمة من العيوب ، وتحقق أمانة من يتولى ذلك ، والله أعلم

“Yang lebih utama, berqurban di daerah domisili Anda. Supaya Anda dapat menghadiri prosesi penyembelihan, menyebut nama Allah saat menyembelih, kemudian memakan 1/3 nya, menghadiahkan 1/3 dan menyedekahkan 1/3.”

Namun, apabila di daerah tersebut penduduknya berkecukupan, tidak ditemui kaum fakir, sehingga apabila anda berqurban disitu justru masyarakat setempat akan menyimpannya beberapa hari kedepan, karena mereka memiliki stok daging yang sangat cukup sepanjang tahun, maka boleh mengirimkan qurban ke daerah miskin yang kurang suplai daging, atau ada persediaan daging namun jarang.

Asal dipastikan, penyembelihan dilakukan di hari raya atau tiga hari tasyrik. Kemudian hewan qurbannya juga dipastikan yang sah untuk berqurban; bebas dari cacat, serta orang yang dijadikan wakil penyembelihan haruslah orang yang amanah.”

(http://cms.ibn-jebreen.com/fatwa/home/section/1261).

Demikian pula dinyatakan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah no. 43778,

إن كانت هنالك مصلحة راجحة تقتضي إرسالها إلى بلد آخر جاز ذلك، وكانت أضحية تجزيء عنه ما دام قد نوى بها الأضحية

“Apabila di daerah lain terdapat maslahat yang kuat, yang menuntut untuk mengirimkan hewan qurban ke daerah tersebut, maka boleh-boleh saja berqurban di daerah lain. Sembelihan qurban tersebut dihukumi sah selama seorang mendermakan hewan qurbannya dengan meniatkan sebagai sembelihan qurban."

Sedangkan alasan dari mereka yang melarang adalah bahwa pada asalnya, tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena demikianlah yang dipraktekkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.

Bahkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah sangat memotivasi masyarakat agar berqurban di daerah di mana dia berada. Meskipun, masyarakat setempat sudah mampu atau tergolong kaya. Karena tujuan utama berqurban, bukan semata-mata mendapatkan dagingnya, tapi lebih pada menerapkan sunah dan syiar kaum muslimin. Allah berfirman,

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Dagingnya maupun darahnya tidak akan sampai kepada Allah, namun yang sampai kepada-Nya adalah takwa kalian.” (QS. Al-Haj: 37)

Bagian dari bertakwa kepada Allah ketika berqurban adalah menjaga sunah dan syiar dalam berqurban. Sementara ketika mengirim hewan qurban ke luar daerah, dipastikan akan ada beberapa sunah yang hilang. Diantara sunah yang tidak terlaksana ketika seseorang mengirim hewan qurban ke luar daerah adalah:

Pertama, Dzikir kepada Allah ketika penyembelihan hewan qurban. Allah berfirman, ketika menjelaskan tentang berqurban,

فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا
“Sebutlah nama Allah ketika menyembelihnya.” (QS. Al-Haj: 36)

Sahibul qurban tidak bisa melakukan ajaran ini, jika hewan qurbannya di sembelih di tempat lain.

Kedua, menyembelih hewan qurban sendiri atau turut menyaksikan penyembelihan hewan qurbannya, jika diwakilkan kepada orang lain. Menyerahkan hewan qurban ke daerah lain, tidak akan mendapatkan keutamaan ini.

Ketiga, makan daging qurban dianjurkan bagi sahibul qurban untuk memakan bagian hewan qurbannya. Allah berfirman,

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Makanlah bagian hewan qurban tersebut dan sedekahkan kepada orang yang membutuhkan,” (QS. Al-Haj: 28)

Keempat, Sahibul qurban tidak mengetahui kapan hewannya disembelih. Sementara sahibul qurban disyariatkan untuk tidak potong kuku maupun rambut, sampai hewan qurbannya disembelih.

Berdasarkan alasan ini, beliau melarang mengirim hewan qurban dalam keadaan hidup maupun mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban dan disembelih di tempat lain. (Liqa’at Bab al-Maftuh, volume 92, no. 4)

Solusi yang bisa dilakukan adalah menyembelih di tempat sendiri, selanjutnya sohibul qurban bisa mendistribusikan daging qurban kemanapun, sesuai kehendaknya.

Dengan melihat alasan mereka diatas, maka saya pribadi lebih memilih pendapat yang melarang karena lebih mencococki sunnah Rasulullah dan apabila ingin membantu saudara atau tempat miskin lainnya bisa dengan mengirimkan dagingnya setelah disembelih atau dengan jalan lain semisal sedekah atau bantuan dilain waktu.

Allahu a’lam.

Sabtu, 13 April 2019

Dosa-dosa Suami Kepada Istri


Terjadi konflik dalam kehidupan berumah tangga adalah perkara yang wajar. Kekeliruan yang dilakukan suami terhadap isterinya atau isteri terhadap suaminya menunjukkan bahwa mereka berdua bukanlah makhluk sempurna, akan tetapi mereka adalah makhluk yang saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain.

Tidak diragukan lagi, seorang suami maupun isteri pasti pernah melakukan kekeliruan dan kesalahan terhadap pasangannya dalam rumah tangga yang mereka bina. Ini adalah perkara yang wajar dalam kehidupan berumah tangga. Yang tidak wajar dan tercela adalah tatkala kesalahan-kesalahan maupun kekeliruan itu tetap dipelihara dan tidak diperbaiki.

Pada kesempatan ini, kita akan menyoroti beberapa kekeliruan suami kepada isterinya. Pembahasan ini bukan berarti memberikan kesempatan kepada para isteri untuk larut dalam menuntut kesempurnaan. Lalu medorongnya untuk mendapatkan suami yang sama sekali tak bercela. Karena tidak ada seorang manusia pun yang sempurna, kesempurnaan hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Berikut ini adalah beberapa kekeliruan suami terhadap isterinya yang membawa benih-benih dosa baginya:

1. Curiga terhadap Isteri

Sebagian suami yang bertabiat goyah, jiwanya mudah tegang lagi gelisah, ia sering ragu-ragu, suka buruk sangka, dan menduga buruk segala sesuatu. Seringkali ia berburuk sangka terhadap isterinya soal uang belanja. Kadang pula ia menuduhnya telah mencuri uangnya.

Di lain situasi, sang suami terlalu sering menelpon ke rumah setiap kali bepergian. Tujuannya, untuk mengecek keberadaan isterinya di rumah. Dan ketika telepon sibuk, ia lantas curiga. Ataupun bentuk kecurigaan lainnya yang semua itu merupakan kecemburuan yang tak beralasan dan berlebihan. Sebuah bisikan setan pada jiwa yang bodoh agar cemburu melebihi apa yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Berbaik sangka kepada isteri bukan berarti menghilangkan kecemburuan dan membiarkannya berbuat semaunya. Akan tetapi, seorang suami harus bersikap lurus dalam cemburunya. Ia tidak boleh berlebihan dalam buruk sangka, apalagi sengaja mencari-cari kesalahan. Selama tidak nampak bukti-bukti yang tak terbantahkan, jangan hiraukan dugaan dan bayangan yang melintas dalam hatinya.

2. Miskin Cemburu terhadap Isteri

Ada sebagian suami yang tumpul perasaannya, kecemburuannya telah mati. Ketegasan dan keberaniannya hilang. Ia tidak peduli isterinya bergaul bebas dengan laki-laki yang bukan mahram, baik saudara iparnya maupun selainnya. Ia tak segan menyuruh istrinya melepas jilbab, bersikap cuek melihat isterinya tidak punya rasa malu, mempertontonkan keindahan tubuhnya, berjabat tangan, bergaul, berkelakar dan berbincang-bincang dengan pria yang bukan mahramnya. Tak terdengar kegeraman dan keluhannya dari sang suami.

Sikap ini adalah bentuk diyatsah (perasaan hilang cemburu), tidak punya keberanian dan mengabaikan hak wanita. Sebab, hak wanita yang paling ringan adalah kecemburuan suaminya terhadapnya.

Cemburu yang melampaui batas dan prasangka buruk yang hanya dilatari oleh rasa was-was yang dibisikan setan adalah jenis cemburu yang dibenci dan tercela.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّ اللَّهُ وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللَّهُ، فَأَمَّا الَّتِي يُحِبُّهَا اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ فِي الرِّيْبَةِ، وَأَمَّا الْغَيْرَةُ الَّتِي يُبْغِضُهَا اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ فِي غَيْرِ رِيْبَةٍ

“Ada kecemburuan yang disukai Allah dan ada kecemburuan yang dimurkai Allah. Kecemburuan yang disukai Allah adalah kecemburuan dalam sesuatu yang pantas dibimbangkan. Sedang kecemburuan yang dimurkai Allah ialah kecemburuan pada sesuatu yang tak layak dibimbangkan.” (HR. An-Nasa’i, no. 2339).

 3. Meremehkan Isteri

Sebagian suami sering meremehkan isterinya. Ia tak pernah menghiraukan ucapan isteri, tidak mengajaknya bermusyawarah dan berdialog dalam urusan apa pun. Jika sang isteri mengajukan suatu pendapat, ia mengabaikannya. Sebagai dalih atas sikap buruk ini, ia menegaskan hak kepemimpinan untuk kaum pria. Ia juga menyitir nash bahwa wanita kurang secara akal dan agama.

Salah satu bentuk sikap meremehkan isteri adalah menghina atau meyebut kekurangannya di hadapan anak-anaknya. Hinaan yang biasa diluncurkan adalah tidak becus mengurus rumah tangga, suami, anak-anak, lemah akal dan tidak mengerti metode pendidikan.

Sikap meremehkan isteri lainnya adalah mencela keluarganya di hadapannya, baik kedua orang tuanya, saudara, paman, maupun kerabat yang lain. Sang suami tak segan meremehkan dan mencela mereka karena kesalahan yang dilakukan sebagian kerabatnya.

4. Kurang Berterima Kasih Kepada Isteri

Pandai berterima kasih adalah pertanda budi pekerti yang baik. Orang yang pertama kali berhak mendapatkannya dari seorang suami adalah sang isteri. Namun tidak sedikit dari para suami yang ketika isterinya berbuat baik, mereka enggan untuk mengungkapkan kata terima kasih atas kebaikan yang telah diperbuatnya. Alih-alih terhadap kebaikannya yang kecil, terhadap kebaikan yang besar pun banyak dari mereka yang merasa berat untuk mengungkapkan ucapan terima kasihnya.

Sebagai contoh, sang isteri telah menyiapkan makanan yang disenangi suami, membuat kehormatannya terangkat ketika tamu datang, merawat anak-anak dengan sebaikbaiknya, menampilkan diri di hadapan suaminya dengan pakaian dan dandanan yang terbaik, dan seterusnya. Namun, ia tidak pernah menerima ucapan terima kasih, senyum kepuasan, atau pandangan lembut dan kasih sayang, apalagi hadiah dari suaminya. Sikap ini termasuk kebakhilan, kasar dan penghinaan.

5. Terlalu Sibuk Hingga Jarang Menemani Keluarga

Sebagian suami sibuk mencari uang. Ia bekerja keras dari pagi sampai malam. Ia pulang ke rumah dalam keadaan lelah, lemas dan loyo. Ia tak sempat untuk berbincang-bincang atau bermesraan dengan isterinya.

Ada pula suami yang lebih suka berada di luar rumah bersama kawan-kawannya untuk jalan-jalan begadang, berpesta dan lainnya. Tengah malam barulah ia pulang. Kadang ketika pulang, isterinya sudah tidur pulas, setelah begadang dan lama menunggu.

Di sisi lain, ada juga suami yang sibuk dengan hal-hal baik, sehingga melalaikan isterinya. Ia senantiasa beribadah, berdzikir, berdakwah, memberi nasihat, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, membaca, menulis, mengarang, dan lainnya. Tapi sebagian mereka melakukannya secara tidak seimbang, karena mengabaikan isterinya sama sekali.

6. Malas Berhias Untuk Isteri

Lihatlah sekeliling anda. Kaum pria tidak memperhatikan penampilan, kebersihan dan parfumnya, kecuali ketika hendak keluar rumah atau menghadiri acara. Isteri tidak dapat berbuat apa-apa. Sekadar melihat sambil mengurut dada. Sejurus bayangan terlintas seolah tak ada kewajiban apa pun pada suami atas isterinya. Namun ketika isterinya tidak berdandan untuknya, segera saja ia mempersoalkannya dengan sengit. Suami tidak peduli dirinya di rumah dalam keadaan kotor, berpakaian kerja, atau bau tidak sedap akibat keringat dan asap kendaraan.

Sikap seperti ini telah melalaikan hak isteri. Salah satu hak isteri atas suaminya adalah berhias untuknya sebagaimana isteri berhias untuk suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku senang berhias untuk isteri sebagaimana aku suka jika ia berhias untukku. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.”

 7. Buta terhadap Kondisi Kejiwaan Isteri

Banyak dari sebagian suami yang tidak tahu problem-problem alamiah wanita, baik ketika mengandung, haid, nifas dan lainnya. Ketika mengalaminya, kadang sang isteri merasakan kesulitan dan kegelisahan. Apalagi ketika mengandung dan mengidam. Pada saat itu, isteri menginginkan banyak hal.

Kadang pula ia tidak menyukai sesuatu, sehingga tidak tahan melihatnya atau menciumnya. Terkadang ia juga tidak menyukai rumahnya, suaminya atau hal-hal lain. Jika suaminya tidak mengerti hal itu, ia bisa saja beranggapan bahwa isterinya telah membencinya dan bosan dengannya. Kadang pula, suami lantas bersikap keras dengan menceraikannya. Oleh karena itu, seorang suami dituntut peka terhadap kondisi psikis sang isteri. Sehingga ia bisa bersikap arif dan bijak dalam menghadapi perilaku-perilaku isterinya ketika itu.

8. Menggauli Isteri Saat Haid atau Lewat Dubur

Perbuatan ini bukan hanya haram, tapi juga perbuatan keji. Sangat mirip dengan perilaku homoseksual.

Dalam Shahihnya, Imam Muslim meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, kaum Yahudi memperlakukan isteri mereka ketika haid dengan tidak makan bersamanya dan tidak membiarkannya tinggal serumah. Para sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.” (QS. Al-Baqarah: 222).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ

 “Lakukanlah segala sesuatu selain persetubuhan.” (HR. Muslim, no. 302).

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا

 “Terlaknat siapa yang mencampuri isterinya pada anusnya.” (HR. Abu Dawud, no. 2162).

 9. Terburu-buru Memutuskan Cerai

Pemandangan semacam ini tidak sedikit terjadi di masyarakat. Banyak suami yang menganggap remeh masalah perceraian. Ia membiarkan lidahnya mengucapkan kata cerai tanpa memikirkan akibatnya. Tak heran, perceraian sering terjadi karena sebab-sebab remeh. Kebahagiaan dan keutuhan keluarga pun hancur berantakan.

Bisa juga disebabkan oleh pengaruh teman-temannya yang buruk, yang memberikan nasihat secara buru-buru dan menyimpang, menawarkan solusi yang dilatari oleh motivasi kedengkian, makar, hasad dan cemburu. Yang perlu menjadi pertimbangan bagi seorang suami bahwa tidak semua sifat seorang isteri itu disukainya. Mungkin ada beberapa segi kepribadiannya yang tidak membuat suaminya nyaman. Namun di sisi lain, begitu banyak akhlak dan budi pekerti isteri yang menyenangkan hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah lelaki mukmin membenci wanita mukminah; jika ia tidak menyukai suatu akhlak darinya, maka ia menyukai akhlak yang lainnya.” (HR. Muslim, no. 1469).

Demikianlah beberapa kekeliruan yang dilakukan oleh sebagian suami. Semoga bahasan singkat ini menjadi bahan renungan yang sangat bermanfaat bagi para suami agar tetap tegar dan istiqamah dalam membina keluarga yang harmonis bersama pasangannya.

Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk dan taufik-Nya kepada kita dalam meniti jalan-jalan yang diridhai-Nya. Amiin.

Referensi:

Min Akhthail Azwaj, edisi Indonesia “Agar Suami Disayang Isteri” Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Pustaka at-Tazkia, Jakarta.