Rabu, 29 April 2020

Kapankah Zakat Fitrah Dibayarkan?


Zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap muslim yang memiliki sisa bahan makanan sebanyak satu sha’ (sekitar 2,5 – 2,7 kg) untuk dirinya dan keluarganya selama sehari semalam ketika hari raya.

Perintah untuk mengeluarkannya adalah :

1. Dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma, beliau berkata:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum, kepada setiap budak atau orang merdeka, laki-laki atau wanita, anak maupun dewasa, dari kalangan kaum muslimin. Beliau memerintahkan untuk ditunaikan sebelum masyarakat berangkat shalat id. (HR. Bukhari)

2. Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah, sebagai pembersih bagi orang yang puasa dari segala perbuatan sia-sia dan ucapan jorok serta sebagai makanan bagi orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum shalat id maka zakatnya diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah shalat id maka hanya menjadi sedekah biasa. (HR. Abu Daud, Ad Daruquthni dan dishahihkan Al Albani)

3. Sebagaimana dalam hadits.

ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ – ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ – ﻳُﻌْﻄِﻴﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻘْﺒَﻠُﻮﻧَﻬَﺎ ، ﻭَﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳُﻌْﻄُﻮﻥَ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﺑِﻴَﻮْﻡٍ ﺃَﻭْ ﻳَﻮْﻣَﻴْﻦِ

“Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya ‘Idul Fithri .” (HR. Bukhari no. 1511).

4. Dari Nafi’ berkata,

ﺃَﻥَّ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦَ ﻋُﻤَﺮَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺒْﻌَﺚُ ﺑِﺰَﻛَﺎﺓِ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺗُﺠْﻤَﻊُ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﺑِﻴَﻮْﻣَﻴْﻦِ ﺃَﻭْ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ

“Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fithri .” (Muwatha’no. 629, 1: 285).

Disimpulkan bahwa zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan karena kaum muslimin tidak lagi berpuasa. Itulah mengapa zakat fitrah disebut dengan kata fithri karena ada kaitannya dengan perayaan Idul Fithri. Lalu kapankah waktunya kita untuk menunaikan zakat fitrah?

Ada 4 pendapat ulama mulai kapan zakat fitrah boleh ditunaikan,

Pertama, zakat fitrah tidak boleh ditunaikan kecuali setelah masuk waktu subuh di tanggal 1 syawal.

Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm. Bahkan beliau menilai, jika ada orang yang menunaikan zakat fitrah sebelum waktu itu, zakatnya fitrahnya tidak sah, dan harus diulang. Beliau mengatakan,

وقت زكاة الفطر الذي لا تجب قبله, إنما تجب بدخوله, ثم لا تجب بخروجه: فهو إثر طلوع الفجر الثاني من يوم الفطر
Waktu zakat fitrah yang menjadi batas wajibnya seseorang menunaikan zakat fitrah adalah setelah terbit fajar subuh di hari idul fitri.

Selanjutnya, beliau menegaskan,

أنه لم يجز تقديمها قبل وقتها، ولا يجزئ
Tidak boleh menunaikan zakat fitri sebelum waktunya dan tidak sah. (al-Muhalla, 6/143).

Sanggahan:

Pendapat ini lemah. Karena para sahabat menunaikan zakat fitrah dua hari sebelum hari raya. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,

وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

Para sahabat membayar zakat fitri sehari atau dua hari sebelum hari raya. (HR. Bukhari 1511).

Kedua, zakat fitrah boleh ditunaikan sebelum ramadhan

Sebagaimana umumnya zakat, boleh didahulukan jauh sebelum waktunya.

Ini merupakan pendapat hanafiyah. Al-Kasani – ulama hanafi –  menukil riwayat dari Abu Hanifah,

وروى الحسن عن أبي حنيفة أنه يجوز التعجيل سنة وسنتين
Al-Hasan meriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa boleh menyegerahkan pembayaran zakat fitrah setahun atau dua tahun sebelumnya. (Bada’i al-Fawaid, 2/74).

Komentar:

Ini pendapat yang lemah. Karena zakat fitrah sebabnya adalah puasa ramadhan dan hari raya. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang puasa dari segala tindakan sia-sia dan ucapan jorok, dan bekal makanan bagi orang miskin. (HR. Abu Daud 1611 dan dihasankan al-Albani).

Dan fungsi ini, membersihkan orang puasa dari kesalahan selama puasa, serta bekal makanan bagi orang miskin ketika hari raya, tidak akan terwujud jika zakat itu ditunaikan jauh sebelum ramadhan.

Ketiga, zakat fitri boleh ditunaikan sejak awal ramadhan

Zakat fitrah boleh ditunaikan di awal ramadhan, namun dianjurkan untuk ditunaikan sebelum berangkat shalat id.

Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Syafiiyah. An-Nawawi mengatakan,

ويجوز تقديم الفطرة من أول رمضان لانها تجب بسببين بصوم رمضان والفطر منه فإذا وجد أحدهما جاز تقديمها علي الآخر كزكاة المال بعد ملك النصاب وقبل الحول
“Boleh mendahulukan pembayaran zakat fitrah dari awal ramadhan. Karena zakat fitrah merupakan kewajiban dengan dua sebab: puasa ramadhan dan idul fitri. Jika salah satu dari dua sebab ini sudah ada, boleh didahulukan zakat fitrah. Sebagaimana zakat mal, boleh dibayar setelah nishab, meskipun belum haul.”

Selanjutnya an-Nawawi menegaskan,

والمستحب أن تخرج قبل صلاة العيد
Dan dianjurkan untuk membayar zakat fitrah sebelum shalat id. (al-Majmu’, 6/126).

Kemudian beliau menyebutan keteranan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat untuk membayar zakat fitrah sebelum shalat id.

Keempat, zakat fitrah boleh ditunaikan sehari atau dua hari sebelum id

Ini merupakan pendapat Malikiyah dan Hambali.

Dan pendapat terakhir ini yang paling mendekati kebenaran. Dengan beberapa alasan berikut,

Pertama, nama ‘zakat fitri’adalah penamaan berdasarkan waktu. Artinya, zakat yang dikeluarkan di waktu fitri. Seperti kata shalat dzuhur, berarti shalat yang dikerjakan di waktu dzuhur.

Sehingga adanya waktu fitri, merupakan sebab disyariatkannya zakat fitri. Dan waktu fitri dimulai ketika masuk malam idul fitri.

Sebagaimana diriwayatkan dari Al Juzajani, ia berkata, telah menceritakan pada kami Yazid bin Harun, ia berkata, telah mengabarkan pada kami Abu Ma’syar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memerintahkan pada hari Idul Fithri (kata Yazid) di mana beliau bersabda,

أَغْنَوْهُمْ عَنْ الطَّوَافِ فِي هَذَا الْيَوْمِ

“Cukupilah mereka (fakir miskin) dari meminta-minta pada hari ini (Idul Fithri).” (HR. Ad Daruquthniy dalam sunannya dan Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubro).

Perintah mencukupi fakir miskin di sini bermakna wajib. Jika zakat fithri tersebut diajukan jauh-jauh hari, maka tentu maksud untuk mencukupi orang miskin pada hari raya Idul Fithri tidak terpenuhi. Karena sebab wajibnya zakat fithri karena adanya Idul Fithri. Itulah mengapa zakat fithri disandarkan pada kata fithri.

Ibnu Qudamah mengatakan,

سبب وجوبها الفطر ، بدليل إضافتها إليه ، والمقصود منها الإغناء في وقت مخصوص ، فلم يجز تقديمها قبل الوقت
Sebab wajibnya zakat fitri adalah masuknya waktu fitri. Dengan dalil, penamaannya ‘Zakat fitri’. Dan tujuannya adalah al-Ighna’ (mencukupi kebutuhan orang tidak mampu) di waktu hari raya. Sehingga tidak boleh didahulukan sebelum waktunya. (al-Mughni, 2/676).

Kedua, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat agar menunaikan zakat fitrah sebelum shalat.

Ibnu Umar menceritakan,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri satu sha’ kurma, atau gandum, bagi seluruh kaum muslimin, baik budak atau orang merdeka, lelaki atau wanita, anak-anak maupun orang dewasa. Beliau perintahkan untuk ditunaikan sebelum masyarakat keluar menuju lapangan. (HR. Bukhari 1503 dan Muslim 2329).

Ketiga, berdasarkan keterangan di atas, pada asalnya zakat fitrah hanya ditunaikan ketika masuk tanggal 1 syawal. Namun mengingat ada riwayat dari para sahabat bahwa mereka telah mengumpulkan zakat 2 hari sebelum idul fitri, ini menjadi pengecualian bahwa zakat boleh dibayarkan di waktu itu.

Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,

وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

Para sahabat membayar zakat fitri sehari atau dua hari sebelum hari raya. (HR. Bukhari 1511).

Karena itu, dalam rangka kehati-hatian, kita tidak membayar zakat fitrah kecuali mendekati syawal. Sehingga kita bisa memastikan telah bayar zakat fitrah tepat waktu.

Allahu a’lam.

Jumat, 24 April 2020

Hukum Menghiasi Masjid Ketika Hari Raya


Pada saat hari raya Idul Fitri dan pada hari besar lainnya, di beberapa tempat terdapat kebiasaan menghiasi masjid dengan berbagai macam bentuk dan warna lampu, serta bunga. Apakah hal ini diperbolehkan oleh Islam, ataukah tidak? Manakah dalil yang memperbolehkan atau dalil yang melarang?

Untuk menjawah hal-hal diatas, dibawah ini kami bawakan fatwa dari Lajnah ad Daimah Saudi Arabia.

Masjid merupakan baitullah (rumah Allah), tempat yang paling baik. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan agar kaum muslimin menghargai dan mengagungkan masjid dengan dzikrullah (berdzikir kepada Allah), mendirikan shalat, mengajarkan berbagai masalah agama pada manusia, membimbing mereka menuju kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan di akhirat. Juga dengan cara membersihkannya dari najis, patung, berbagai perbuatan syirik, bid’ah dan khurafat (menyimpang) dan menjaga masjid dari kotoran.

Termasuk mengagungkan masjid yaitu dengan memeliharanya dari permainan sia-sia dan teriakan-teriakan. Meskipun untuk mencari barang hilang atau yang semisalnya, yang bisa menimbulkan kesan masjid seperti jalan umum atau pasar. Termasuk menghargai masjid yaitu dengan melarang penguburan mayit di dalamnya, juga dilarang membangun masjid di atas kuburan.

Menjaga masjid, juga dengan tidak menggantungkan lukisan ataupun melukis atau yang lainnya di tembok yang bisa menjadi jalan mengantarkan pada kesyirikan, atau yang dapat mengganggu konsentrasi orang beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, serta bertolak belakang dengan motivasi utama pembangunan masjid.

Semua masalah di atas sudah dijaga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dalam sirah (kisah perjalanan hidup) dan dalam amaliyah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah telah menerangkan hal ini kepada umatnya, agar umatnya bisa meniti jalan yang pernah mereka tempuh, dan menjadikan petunjuk mereka sebagai pedoman dalam menghormati dan memakmurkan masjid dengan segala hal yang bisa mengangkat nilai masjid, yaitu tegaknya syariah Allah dan untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Belum ada riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengagungkan masjid dengan memberikan penerangan warna-warni dan meletakkan karangan bunga pada saat hari raya ataupun pada saat momen tertentu. Cara pengagungan dengan memberikan lampu warna-warni, tidak dikenal pada masa Khulafaur Rasyidin serta para imam dari generasi pertama yang dijadikan panutan yaitu (generasi yang dijelaskan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, bahwa mereka merupakan generasi terbaik) padahal pada masa itu masyarakat sudah mengalami kemajuan, memiliki banyak harta, berbudaya tinggi, dan berbagai macam bentuk serta warna perhiasan bisa didapatkan. Dan kebaikan terbaik adalah terletak pada ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, petunjuk Khulafaur Rasyidin, serta para ulama yang meniti jalan mereka.

Kemudian menyalakan lilin di masjid, memasang berbagai lampu listrik di atas atau di sekitar, memasang bendera bendera di menara, serta meletakkan karangan bunga pada hari raya atau momen tertentu dengan maksud menghiasi dan mengagungkan masjid, merupakan perbuatan tasyabbuh (meniru) pada perbuatan yang dilakukan orang-orang kafir terhadap tempat ibadah mereka. Padahal Nabi shallallahu ’alahi wasallam telah melarang tasyabbuh pada hari-hari raya dan cara ibadah mereka.

Wabillahit taufiq wa shallallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin wa ‘alaihi wa shahbihi wa sallam.

Lajnatu Ad Da-imatu Lil Buhuts Al Ilmiyati wal Ifta’: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (Ketua), Syaikh Abdurrazaq Al Afifi (Wakil Ketua), Syaikh Abdullah bin Qu’ud (Anggota).

(Fatawa Ramadhan Fi Ash Shiyam wa Al Qiyam wa Al Itikaf wa Zakat Al Fithri, II/949-950)

Diketik ulang dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus Tahun.IX/1426 H/2005 M

Selasa, 21 April 2020

Hadits Shahih & Dha’if Ketika Ada Wabah


Dalam keadaan yang genting seperti saat ini ketika Pandemi Corona Virus Diseases 2019 (Covid-19) telah menjadi wabah yang mengglobal. Covid-19 telah menginfeksi warga dunia di berbagai negara tak terkecuali Indonesia sebagai negeri dengan mayoritas muslim

Maka para ulama dan ahli agama supaya berhati-hati dalam berfatwa dan hanya menggunakan dalil dalil yang otoritatif dalam membimbing ummat. Diantaranya, hendaknya hanya menggunakan hadits-hadits yang shahih dan meninggalkan hadits dha’if dalam berhujjah

Hadits-hadits shahih yang bisa dijadikan sebagai hujjah dlm membimbing ummat untuk menghadapi wabah penyakit antara lain sebagai berikut:

Hadis Shahih 1

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ نَاسًا مِنْ عِبَادِهِ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَفِرُّوا مِنْهُ

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid)

Hadis Shahih 2

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Hadis Shahih 3

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh berbuat madlarat dan hal yang menimbulkan madlarat” (HR Ibn Majah dan Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn Abbas)

Hadis Shahih 4

Tentang Anjuran Sholat di rumah ketika hujan pada siang hari Jum’at
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ
قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ قَالَ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُخْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ
dari Abdullah bin Abbas dia mengatakan kepada muadzinnya ketika turun hujan (pada siang hari Jum’at), jika engkau telah mengucapkan “Asyhadu an laa ilaaha illallaah, asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, ” maka janganlah kamu mengucapkan “Hayya alash shalaah, ” namun ucapkanlah shalluu fii buyuutikum (Shalatlah kalian di persinggahan kalian)” Abdullah bin Abbas berkata ; “Ternyata orang-orang sepertinya tidak menyetujui hal ini, lalu ia berkata ; “Apakah kalian merasa heran terhadap ini kesemua? Padahal yang demikian pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (maksudnya Rasulullah saw). Shalat jumat memang wajib, namun aku tidak suka jika harus membuat kalian keluar sehingga kalian berjalan di lumpur dan comberan” (HR. Bukhori Muslim dari Abdullah ibn Abbas)

Hadis Shahih 5

Hadis panjang riwayat Bukhari Muslim yang artinya sbb

Pada suatu ketika Umar bin Khaththab pergi ke Syam. Setelah sampai di Saragh, pimpinan tentaranya di Syam datang menyambutnya. Antara lain terdapat Abu “Ubaidah bin Jarrah dan para sahabat yang lain. Mereka mengabarkan kepada ‘Umar bahwa wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Umar kemudian bermusyawarah dengan para tokoh Muhajirin, Anshor dan pemimpin Quraish

Lalu Umar menyerukan kepada rombongannya ; Besok pagi-pagi aku akan kembali pulang. Karena itu bersiap-siaplah kalian! Abu Ubaidah bin Jarrah bertanya ; Apakah kita hendak lari dari takdir Allah? Jawab Umar ; Mengapa kamu bertanya demikian hai Abu Ubaidah? Agaknya Umar tidak mau berdebat dengannya. Dia menjawab; Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah. Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau mempunyai seekor unta, lalu engkau turun ke lembah yang mempunyai dua sisi. Yang satu subur dan yang lain tandus. Bukanlah jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, engkau menggembala dengan takdir Allah juga, dan jika engkau menggembala di tempat tandus engkau menggembala dengan takdir Allah?

Tiba-tiba datang Abdurrahman bin Auf yang sejak tadi belum hadir karena suatu urusan. Lalu dia berkata ; Aku mengerti masalah ini. Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri. Ibnu Abbas berkata ; Umar bin Khaththab lalu mengucapkan puji syukur kepada Allah, setelah itu dia pergi (HR Bukhari dan Muslim)

Adapun Diantara hadis hadis dhaif yg sering digunakan adalah :

Hadis Dhaif 1

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَنْزَلَ عَاهَةً مِنَ السَّمَاءِ عَلَى أَهْلِ الأرْضِ صُرِفَتْ عَنْ عُمَّارِ الْمَسَاجِدِ.

Sesungguhnya apabila Allah taala menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk bumi maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang2 yg meramaikan masjid

Hadits riwayat Ibnu Asakir (juz 17 hlm 11) dan Ibnu Adi (juz 3 hlm 232)

Hadis ini dinyatakan sebagai hadis dhaif oleh Nashir al-Din al Albani dalam kitab Silsilat al-ahadits al-Dhoifat wa al-Maudhu’at, juz IV, hal. 222, hadis no 1851

Hadis Dhaif 2

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullah bersabda:

إِذا أرَادَ الله بِقَوْمٍ عاهةً نَظَرَ إِلَى أهْلِ المَساجِدِ فَصَرَفَ عَنْهُمْ

Apabila Allah menghendaki penyakit pada suatu kaum, maka Allah melihat ahli masjid, lalu menjauhkan penyakit itu dari mereka

Riwayat Ibnu Adi (juz 3 hlm 233); al-Dailami (al-Ghumari, al-Mudawi juz 1 hlm 292 [220]); Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (juz 1 hlm 159); dan al-Daraquthni dalam al-Afrad (Tafsir Ibn Katsir juz 2 hlm 341)

Hadis ini adalah hadis dhaif (lihat Nashiruddin al-Albani, Shahih wa Dha’if al-Jami al-Shoghir, juz IV, hal 380, hadis no 1358)

Hadis Dhaif 3

Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda:

يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ” إِنِّي لَأَهُمُّ بِأَهْلِ الْأَرْضِ عَذَابًا فَإِذَا نَظَرْتُ إِلَى عُمَّارِ بُيُوتِي والْمُتَحَابِّينَ فِيَّ والْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ صَرَفْتُ عَنْهُمْ

Allah عز وجل berfirman: “Sesungguhnya Aku bermaksud menurunkan azab kepada penduduk bumi, maka apabila Aku melihat orang-orang yang meramaikan rumah-rumah-Ku, yang saling mencintai karena Aku, dan orang-orang yang memohon ampunan pada waktu sahur, maka Aku jauhkan azab itu dari mereka

Riwayat al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman [2946]

Hadis ini dhoif Jiddan (Lihat Nashiruddin al-Albani, Kitab Shahih wa Dha’if al-Jami’ al-Shaghir, juz 9, hal. 121, hadis no. 3674)

Hadis Dhaif 4

Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah bersabda:

إِذَا عَاهَةٌ مِنَ السَّمَاءِ أُنْزِلَتْ صُرِفَتْ عَنْ عُمَّارِ الْمَسَاجِدِ

Apabila penyakit diturunkan dari langit, maka dijauhkan dari orang-orang yang meramaikan masjid

Riwayat al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman [2947]; dan Ibnu Adi (juz 3 hlm 232). Al-Baihaqi berkata: “Beberapa jalur dari Anas bin Malik dalam arti yang sama, apabila digabung, maka memberikan kekuatan (untuk diamalkan)”

Hadis ini Dhaif (Lihat Nashiruddin al-Albani, al-Silsilah al-Dha’ifah, juz IV, hal. 350, hadis no 1851)

Hadits Dhaif : Bintang Tsurayya Pertanda Hilangnya Wabah

Akhir-akhir ini beredar di sosmed bahwa berakhirnya virus corona dengan munculnya bintang Tsurayya. Hal ini dilandasi dengan Hadist Nabi yang berbunyi:

إِذَا طَلَعَ النَّجْمُ ذَا صَبَاحٍ رُفِعَتِ الْعَاهَةُ

“Apabila terbit bintang (Tsurayya) pada suatu pagi, maka diangkatlah penyakit.”

Maka penjelasannya adalah Wabah Corona itu merupakan ujian keimanan. Dengan corona akan terlihat siapa hamba Alloh yang bertawakal hanya kepada Alloh dan siapa yang justru menggantungkan harapannya kepada makhluk.

Ibarat kekeringan dan kemarau panjang, semua manusia menanti turunnya hujan, saat ini manusia menanti kapan wabah Corona akan dihilangkan ? Bulan ramadhan kah ? Di musim haji kah ?

Ketika datang nikmat Alloh dengan diangkatnya satu musibah, saat itu pula datang lembaran baru sebuah cobaan, ada diantara hamba Alloh yang bersyukur kepada-Nya, namun kebanyakan manusia kufur terhadap nikmat Alloh.

Kondisi manusia di atas sama seperti apa yang dikisahkan shahabat Zaid bin Khalid radhiallahu ‘anhu dalam hadits berikut:

صَلىَّ بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلاَةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَّةِ فِيْ إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلىَ النَّاسِ فَقَالَ: هَلْ تَدْرُوْنَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِيْ وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْناَ بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ؛ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوَاكِبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا؛ فَذَلِكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوَاكِبِ

Suatu pagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat subuh bersama kami, setelah pada malam harinya turun hujan. Usai shalat, Rasululloh menghadap para shahabat dan berkata, “Tahukah kalian apa yang dikatakan oleh Rabb kalian?”

Mereka berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: “Pada pagi hari ini ada di antara hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir.

Barang siapa (di pagi ini setelah turun hujan-pent) mengatakan: Kami diberikan hujan dengan fadhilah (keutamaan) dari Allah dan rahmat-Nya maka dia beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang.

Adapun orang yang (setelah hujan justru) mengatakan: “Kita mendapat hujan karena bintang ini dan itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’” (HR. al-Bukhari, 2/433—434 dan Muslim, no. 71)

Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al-Qar’awi: “Hadits ini menunjukkan bahwa menyandarkan / menisbatkan (nikmat) turunnya hujan kepada bintang-bintang adalah kekufuran.” (Al Jadid hal. 273)

Syirik dan Kufur Nikmat yang tersebut dalam hadits ini bukanlah kekufuran atau Kesyirikan yang mengeluarkan dari Islam, apabila sang pelaku meyakini bahwa penyandaran hujan kepada bintang hanyalah penyandaran akibat kepada sebabnya (yakni meyakini bahwa bintang hanyalah sebab), dan tetap meyakini bahwa pemberi nikmat hanyalah Alloh. Ini kufur asghor, tetapi jika ia meyakini bahwa yang memunculkan nikmat adalah makhluk (misal bintang), dan makhluk-makhluk itulah yg menciptakan nikmat maka ini adalah kufur Akbar mengeluarkan dari agama (I’anatul Mustafid (2/151))

Dari hadits ini sudah seharusnya kita mengambil pelajaran untuk hanya bergantung kepada Alloh dalam menghadapi ujian wabah corona dan senantiasa meminta kepada Alloh agar wabah Corona ini diangkat atas kaum muslimin secara khusus dan manusia secara umum, karena Dia sajalah Dzat yang mampu menyingkap segala kesulitan.

Bukan justru menyandarkan usainya wabah kepada bintang Tsurayya, atau bintang bintang yang lain. Alloh ciptakan bintang bintang bukan sebagai sebab turunnya hujan atau sebab hilangnya penyakit, Alloh ciptakan bintang untuk menghiasai langit dunia, sebagai alat penunjuk arah, bukan sebagai sebab hilangnya musibah-musibah.

Apabila dikatakan: “Kami punya dalil yaitu hadits

إِذَا طَلَعَ النَّجْمُ ذَا صَبَاحٍ رُفِعَتِ الْعَاهَةُ

“Apabila terbit bintang (Tsurayya) pada suatu pagi, maka diangkatlah penyakit.”

Maka ketahuilah bahwa hadits ini lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Berikut ini pembahasannya.

Derajat Hadits Bintang Tsuroyya

Hadits di atas yang dijadikan sandaran untuk menetapkan bahwa wabah Corona akan berakhir ketika terbit bintang Tsurayya, maka hadits ini tidak sah dari Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad (2/341,388), Ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar (3/92) dan ‘Uqoili dalam Adh-Dhu’afa hal. 347.

Dalam sanad hadits ini ada seorang bernama: ‘isl bin Sufyan, berkata ‘Uqoili:

في حديثه وهم قال البخاري فيه نظر

Pada hadits ‘Isl ada kerancuan, Al Bukhori berkata tentangnya: Padanya ada catatan.

Syaikh Al Albani melemahkan hadits ini dalam Silsilah Dhoifah (1/573).

Disamping kelemahan padanya, hadits dhoif ini juga membuka jalan yang mengantarkan manusia untuk bergantung kepada bintang Tsurayya, dan ini menyelisihi tauhid dan merusak tauhid.

Jika seorang meyakini bahwa bintang Tsuroyya lah yang mengangkat Corona maka ini adalah syirik Akbar, mengeluarkan dari Islam, karena dia telah meyakini ada Robb lain yang mengatur dan mengangkat penyakit selain Alloh.

Apabila hanya meyakini bahwa keluarnya bintang Tsuroyya adalah sebab terangkatnya Corona, maka ini tergolong syirik asghor.

Semoga Alloh segera mengangkat wabah ini, dan melimpahkan kepada kita semua keamanan serta memudahkan kita untuk kembali melangkahkan kaki ke masjid masjid Alloh, memenuhi majelis majelis ilmu, baik di negeri ini atau negeri negeri lainnya.

Demikian sedikit yang bisa disampaikan dalam jawaban pertanyaan Semoga kita diselamatkan dari kesyirikan yang menjauhkan kita dari keridhoan-Nya. Amin