Senin, 29 Agustus 2016

Bulan Dzulhijjah, Terlupakan?

Tidak seperti bulan Ramadhan, kebanyakan masyarakat kita belum banyak yang menyadari bahwa Dzulhijjah termasuk bulan yang istimewa. Padahal banyak dalil yang menunjukkan bahwa di bulan Dzulhijjah, amal soleh dilipat gandakan. Sebagaimana pahala yang dijanjikan ketika ramadhan. Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
شَهْرَانِ لاَ يَنْقُصَانِ، شَهْرَا عِيدٍ: رَمَضَانُ، وَذُو الحَجَّةِ
”Ada dua bulan yang pahala amalnya tidak akan berkurang. Keduanya dua bulan hari raya: bulan Ramadlan dan bulan Dzulhijjah.” (HR. Bukhari 1912 dan Muslim 1089).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan bulan Dzulhijjah dengan Ramadhan. Sebagai motivasi beliau menyebutkan bahwa pahala amal di dua bulan ini tidak berkurang.

Rentang waktu yang paling mulia ketika Dzulhijjah adalah 10 hari pertama. Di surat al-Fajr, Allah berfirman:
وَ الْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ
Demi fajar, dan demi malam yang sepuluh. (QS. Al Fajr: 1 – 2)

Ibn Rajab menjelaskan, malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Inilah tafsir yang benar dan tafsir yang dipilih mayoritas ahli tafsir dari kalangan sahabat dan ulama setelahnya. Dan tafsir inilah yang sesuai dengan riwayat dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma…” (Lathaiful Ma’arif, hal. 469)

Allah bersumpah dengan menuebut sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Yang ini menunjukkan keutamaan sepuluh hari tersebut. Karena semua makhluk yang Allah jadikan sebagai sumpah, adalah makhluk istimewa, yang menjadi bukti kebesaran dan keagungan Allah.

Karena itulah, amalan yang dilakukan selama 10 hari pertama Dzulhijjah menjadi amal yang sangat dicintai Allah. Melebihi amal soleh yang dilakukan di luar batas waktu itu. Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tidak ada hari dimana suatu amal salih lebih dicintai Allah melebihi amal salih yang dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah.).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh).” (HR. Ahmad 1968, Bukhari 969, dan Turmudzi 757).

Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada amalan yang lebih suci di sisi Allah dan tidak ada yang lebih besar pahalanya dari pada kebaikan yang dia kerjakan pada sepuluh hari al-Adha.” (HR. Ad-Daruquthni, dan dihasankan oleh al-Albani)

Al-Hafidz Ibn Rajab mengatakan, Hadis ini menunjukkan bahwa beramal pada sepuluh hari bulan Dzulhijjah lebih dicintai di sisi Allah dari pada beramal pada hari-hari yang lain, tanpa pengecualian. Sementara jika suatu amal itu lebih dicintai Allah, artinya amal itu lebih utama di sisiNya. (Lathaiful Ma’arif, hal. 456).

Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib wa At Tarhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid senior Ibn Abbas), ketika memasuki tanggal satu Dzulhijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, sampai hampir tidak mampu melakukannya.

Saatnya Membangun Kesadaran Masyarakat

Memahami hal ini, saatnya kita menyadarkan masyarakat. Kita ajak mereka untuk bersama-sama menyemarakkan 10 hari pertama Dzulhijjah dengan berbagai amal soleh dan ibadah, sebagaimana ketika mereka menyemarakkan bulan ramadhan. Jadikan kesempatan 10 hari pertama sebagai ladang untuk mendulang jutaan pahala.

Lebih dari itu, ada beberapa amal soleh yang dianjurkan untuk dikerjakan selama 10 hari pertama Dzulhijjah, diantaranya:

Pertama, Memperbanyak puasa di sembilan hari pertama.

Dianjurkan memperbanyak puasa di sembilan hari bulan Dzulhijjah. Dan ditekankan puasa hari arafah, tanggal 9 Dzulhijjah.

Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

Dalil yang mendukung anjuran puasa di 10 hari pertama Dzulhijjah adalah hadits dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْر.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya (hijriyah), …” (HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Ummul Mukminin, Hafshah radliallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa asyura, sembilan hari pertama Dzulhijjah, dan tiga hari tiap bulan. (HR. An Nasa’i, Abu Daud, Ahmad, dan disahihkan Al-Albani).

Kedua, Memperbanyak takbiran.


Lafadz takbiran, sama seperti umumnya takbiran yang kita kenal.
Takbiran pada bulan Dzulhijjah ada dua macam:

A.  Takbiran yang bersifat mutlak (tidak terikat waktu)

Takbiran mutlak adalah takbiran yang dilakukan kapan saja dan dimana saja, selama masih dalam rentang waktu yang dibolehkan.

Takbir mutlak menjelang Idul Adha dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah dan berakhir hingga waktu asar tanggal 13 Dzulhijjah. Selama tanggal 1 – 13 Dzulhijjah ini, kaum muslimin disyariatkan memperbanyak ucapan takbir di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Boleh sambil berjalan, di kendaraan, bekerja, berdiri, duduk, ataupun berbaring. demikian pula, takbiran ini bisa dilakukan di rumah, jalan, kantor, sawah, pasar, lapangan, masjid, dst.

Anjuran takbiran selama tanggal 1 sampai 13 Zulhijah ini berdasarkan beberapa dalil berikut,

1. Firman Allah,
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“…supaya mereka berzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan…” (QS. Al-Hajj: 28).

Kemudian di ayat lain, Allah juga berfirman,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
“….Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang…” (QS. Al-Baqarah: 203).

Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan mengatakan,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ
“Yang dimaksud “hari yang telah ditentukan” adalah tanggal 1 – 10 Dzulhijjah, sedangkan maksud ”beberapa hari yang berbilang” adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. (Al-Bukhari secara Mua’alaq, Bab: Keutamaan beramal di hari tasyriq).

2. Hadis dari Abdullah bin Umar , bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما من أيام أعظم عند الله ولا أحب إليه من العمل فيهن من هذه الأيام العشر فاكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد
“Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad dan Sanadnya dishahihkan Syekh Ahmad Syakir).

3. Praktek beberapa sahabat,
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا
“Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan kalimat takbir kemudian orang-orang pun bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Bukhari secara muallaq, Bab: Keutamaan beramal di hari tasyriq).

B. Takbiran yang terikat waktu (Takbir Muqayyad)

Takbiran yang terikat waktu adalah takbiran yang dilaksanakan setiap selesai melaksanakan salat wajib. Takbiran ini dimulai sejak setelah shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat asar tanggal 13 Dzulhijjah. Berikut beberapa dalil yang menunjukkan anjuran takbiran ini,

1. Riwayat dari Umar bin Khattab radliallahu ‘anhu,
أنه كان يكبر من صلاة الغداة يوم عرفة إلى صلاة الظهر من آخر أيام التشريق
Bahwa Umar dulu bertakbir setelah salat subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah zuhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi dan sanadnya disahihkan al-Albani).

2. Riwayat dari Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu,
أنه كان يكبر من صلاة الفجر يوم عرفة إلى صلاة العصر من آخر أيام التشريق، ويكبر بعد العصر
Bahwa Ali bertakbir setelah salat subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai asar tanggal 13 Dzulhijjah. Ali juga bertakbir setelah asar. (HR Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi. Al-Albani mengatakan: Sahih dari Ali).

3. Keterangan dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhu,
أنه كان يكبر من صلاة الفجر يوم عرفة إلى آخر أيام التشريق، لا يكبر في المغرب
Bahwa Ibnu Abbas bertakbir setelah salat subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Ia tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Dzluhijjah). (HR Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi. Al-Albani mengatakan, “Sanadnya sahih”).

4. Riwayat dari Ibn Mas’ud radliallahu ‘anhu,
يكبر من صلاة الصبح يوم عرفة إلى صلاة العصر من آخر أيام التشريق
Bahwa Ibnu Mas’ud bertakbir setelah salat subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai asar tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Al-Hakim dan disahihkan An-Nawawi dalam Al-Majmu’).

Ketiga, Memperbanyak amal salih


Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tidak ada hari dimana suatu amal salih lebih dicintai Allah melebihi amal salih yang dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah, pen.).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh, pen.).” (HR. Bukhari, Ahmad, dan At-Turmudzi).

Hadis ini menunjukkan kita dianjurkan memperbanyak amal soleh selama 10 hari pertama dzulhijjah. Apapun bentuk amalnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan amal ibadah khusus selain takbiran dan puasa arafah.

Keempat, Shalat Idul Adha


Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
قدم رسول الله -صلى الله عليه وسلم- المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال « ما هذان اليومان ». قالوا كنا نلعب فيهما فى الجاهلية. فقال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- « إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى ويوم الفطر ».
Bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, masyarakat Madinah memiliki dua hari yang mereka rayakan dengan bermain. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dua hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Kami merayakannya dengan bermain di dua hari ini ketika zaman jahiliyah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memberikan ganti kepada kalian dengan dua hari yang lebih baik: Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ahmad, dan disahihkan al-Albani).

Kelima, Menyembelih Hewan Qurban


Allah berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Laksanakanlah salat untuk Rab-mu dan sembelihlah kurban.” (QS. Al-Kautsar: 2).

Ibadah qurban memiliki nilai sangat penting, sehingga bagi yang mampu, agar jangan sampai meninggalkannya. Anda bisa perhatikan hadis ini,

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا
“Siapa yang memililki kelapangan namun dia tidak berkurban maka jangan mendekat ke masjid kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah. Dihasankan Al-Albani).

Catatan: Bagi orang yang hendak berkurban, dilarang memotong kuku dan juga rambutnya (bukan kuku dan bulu hewannya) ketika sudah masuk tanggal 1 Dzulhijjah sampai dia memotong hewan kurbannya.

Dari Umu salamah radliallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
مَن كانَ لَهُ ذِبحٌ يَذبَـحُه فَإِذَا أَهَلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
“Barangsiapa yang memiliki hewan yang hendak dia sembelih (di hari raya), jika sudah masuk tanggal 1 Dzulhijjah maka janganlah dia memotong rambutnya dan kukunya sedikitpun, sampai dia menyembelih hewan kurbannya.” (HR. Muslim).


Allahu a’lam

Sabtu, 27 Agustus 2016

Ketika Imam Duduk Tawaruk, Makmum Masbuk Bagaimana?

Soal:

Bagaimana pendapat kalian –semoga Allah memberikan ganjaran kepada kalian-, tentang seorang makmum yang hendak shalat maghrib bersama imam, ia telah tertinggal 1 raka’at. Apakah jika imam duduk tawarruk pada tasyahud akhir, makmum mengikuti duduk sang imam dalam keadaan tawarruk, ataukah iftirasy? karena duduk tasyahud akhirnya imam adalah tasyahud awal bagi si makmum.

Jawab:

Yang ditegaskan oleh para ulama fikih kita, jika seorang makmum shalat bersama imam yang jumlah raka’atnya 4 atau 3, imam telah mendahuluinya dalam sebagian raka’at, maka makmum duduk tasyahud akhir bersama imam dalam keadaan tawarruk, bukan iftirasy. Alasan mengikuti imam dalam rangka menjaga agar tidak terjadi perselisihan, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah,’Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk semuanya”. [Muttafaqun ‘alaihi].

An Nawawi berkata dalam kitabnya Al Majmu’, “Yang dimaksud mengikuti imam adalah dengan melakukan gerakan sebagaimana imam, yakni memulai setiap gerakan dalam posisi terakhir setelah imam memulainya, dan makmum melakukan gerakan setelah imam sudah pada posisinya.”

Dikatakan dalam Al-Iqna’ dan syarahnya Kasyful Qina’ : “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam ketika imam tawarruk. Karena bagi imam, itu merupakan akhir dari shalat, walaupun bagi si makmum, itu bukan akhir shalat. Dalam kondisi ini si masbuk duduk tawarruknya sebagaimana ketika ia sedang tasyahud kedua. Maka, seandainya makmum  mendapatkan 2 raka’at dari ruba’iyyah (shalat yang jumlahnya 4 raka’at), duduklah bersama imam dalam keadaan tawarruk, dalam rangka mengikuti imam, ketika ia (makmum) tasyahud awal. Kemudian duduk tawarruk lagi setelah menyelesaikan sisa 2 raka’at lainnya, karena itu duduk tasyahud yang diakhiri salam”.

Disebutkan dalam Al-Muntaha dan syarahnya: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam pada saat tasyahud akhir dalam shalat yang jumlah raka’atnya 4 dan shalat maghrib”.

Ar-Ruhaibani dalam Mathalib Ulin Nuhaa fi Syarhi Ghayatil Muntaha: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam dalam duduk tasyahud yang ia dapatkan bersama imam disebabkan karena itu akhir shalat bagi si imam, walaupun bukan bagi si makmum. Sebagaimana ia juga duduk tawarruk pada tasyahud ke-2 yang setelah ia menyelesaikan rakaat sisanya. Maka, seandainya makmum  mendapatkan 2 raka’at dari ruba’iyyah (shalat yang jumlahnya 4 raka’at), duduklah bersama imam dalam keadaan tawarruk dalam rangka mengikuti imam, walaupun ia (makmum) masih tasyahud awal. Kemudian duduk tawarruk lagi setelah menyelesaikan sisa 2 raka’at lainnya, karena itu duduk tasyahud yang diakhiri salam”.

Wallahu A’lam.


Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Aqil

Minggu, 21 Agustus 2016

Harta Anak Itu Milik Orang Tua

Jika orang tua mengambil harta anak maka tidak boleh bagi anak untuk menuntut orang tuanya agar mengembalikannya. Jika ternyata orang tua mengembalikannya maka alhamdulillah. Namun jika tidak mengembalikan harta tersebut, maka itulah hak orang tua.

عن عائشة عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال ” ولد الرجل من كسبه من أطيب كسبه فكلوا من أموالهم “
Dari Aisyah dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Anak seseorang itu termasuk jerih payah orang tersebut bahkan termasuk jerih payahnya yang paling bernilai, maka makanlah sebagian harta anak.” (HR. Abu Daud, no.3529 dan dinilai sahih oleh Al-Albani)

إن من أطيب ما أكل الرجل من كسبه وولده من كسبه
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seenak-enak makanan yang dimakan oleh seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri dan anak seseorang adalah termasuk jerih payahnya.” (HR. Abu Daud, no. 3528 dan dinilai sahih oleh Al-Albani)

عن جابر بن عبد الله أن رجلا قال يا رسول الله إن لي مالا وولدا. وإن أبي يريد أن يجتاح مالي. فقال: ( أنت ومالك لأبيك )
Dari Jabir bin Abdillah, ada seorang berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak namun ayahku ingin mengambil habis hartaku.” Rasulullah bersabda, “Engkau dan semua hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Ibnu Majah, no. 2291, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Hadis ini menunjukkan bahwa sang anak dalam hal ini sudah berkeluarga bahkan sudah memiliki anak meski demikian Nabi tetap mengatakan “Semua hartamu adalah milik ayahmu.”
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال إن أبي اجتاح مالي. فقال:( أنت ومالك لأبيك ) وقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( إن أولادكم من أطيب كسبكم . فكلوا من أموالهم )
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakek ayahnya yaitu Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash, ada seorang yang menemui Nabi lalu mengatakan, “Sesungguhnya ayahku itu mengambil semua hartaku.” Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau dan semua hartamu adalah milik ayahmu.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya anak-anak kalian adalah termasuk jerih payah kalian yang paling berharga. Makanlah sebagian harta mereka.” (HR. Ibnu Majah, no. 2292, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Perlu diketahui bahwa kebolehan orang tua untuk mengambil harta milik anak baik dalam jumlah sedikit ataupun banyak itu memiliki beberapa syarat, yaitu:

1.   Tidak memberikan mudharat bagi sang anak dan tidak mengambil harta yang berkaitan dengan kebutuhan sang anak.
2.       Tidak mengambil harta anaknya kemudian diberikan kepada anaknya yang lain.
3.  Orang tua tidak menghambur-hamburkan harta tersebut dan tidak berbuat mubadzir (mubadzir adalah membelanjakan harta dalam hal yang tidak jelas manfaatnya dari sisi dunia atau pun dari sisi agama).
4.       Orang tua membutuhkan atau berhajat dengan harta anaknya yang dia ambil.

عن عائشة-رضي الله عنها- قالت :قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنّ أولادكم هبة الله لكم “يهب لمن يشاء إناثا ويهب لمن يشاء الذكور”فهم وأموالهم لكم إذا احتجتم إليها
Dari Aisyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya anak-anak kalian adalah pemberian Allah kepada kalian sebagaimana firman Allah yang artinya, ‘Dia memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki anak perempuan dan Dia memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki anak laki-laki.” (QS. Asy-Syura: 49). Oleh karena itu, maka mereka dan harta mereka adalah hak kalian jika kalian membutuhkannya.” (Shahih, Silsilah Shahihah, no.2564).

Ketika menjelaskan hadis di atas Al-Albani mengatakan, “Hadis di atas memuat hukum fikih yang penting yang boleh jadi tidak Anda jumpai dalam hadis yang lain. Hadis ini adalah penjelasan untuk hadis yang terkenal, ‘Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu‘ –sebuah hadis yang terdapat dalam Irwaul Ghalil, no.838- tidaklah berlaku mutlak sehingga orang tua boleh mengambil harta anaknya semaunya. Ini tidak benar. Orang tua hanya boleh mengambil harta anaknya yang memang dia butuhkan.”

Perlu juga diketahui bahwa bahwa orang tua diperkenankan untuk meralat alias tidak jadi memberikan apa yang dia janjikan untuk dia berikan kepada anaknya sebagaimana dalam hadis berikut ini,
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي طَاوُسٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ يَرْفَعَانِ الْحَدِيثَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ يُعْطِي عَطِيَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا إِلَّا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِي يُعْطِي عَطِيَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ أَكَلَ حَتَّى إِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Thawus dari Ibnu Abbas, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah halal bagi seseorang yang memberikan pemberian kepada orang lain untuk menarik kembali pemberiannya kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Permisalan orang yang memberi pemberian kemudian menarik kembali pemberiannya adalah bagaikan seekor anjing yang makan sampai kenyang lalu muntah kemudian menjilat kembali muntahannya.” (HR. Nasai, no. 3690 dan dinilai sahih oleh Al-Albani)

Hadis di atas menunjukkan bahwa “Pemberian yang haram untuk ditarik kembali adalah pemberian kepada selain anak.” (Bahjah an Nazhirin, karya Salim al Hilali jilid:3 Hal.123, terbitan Dar Ibnul Jauzi cet kedelapan 1425 H).

Jika pemberian yang sudah diserahkan orang tua kepada anaknya boleh diralat alias ditarik kembali, maka terlebih lagi jika pemberian tersebut baru sekedar janji. Tentu lebih boleh lagi untuk diralat.


Wallahu a'lam.

Rabu, 17 Agustus 2016

Nikah Beda Agama : Menikahi Perempuan Atheis

Pertanyaan:
Saya seorang muslim yang bekerja di Inggris. Aku telah menikah dengan seorang perempuan atheis selama tiga tahun. Apakah pernikahan demikian ini dibolehkan atau dilarang?

Jawaban:

Alhamdulillah

Tidak halal bagi seorang muslim menikah dengan seorang wanita kafir yang tidak beriman kepada Allah, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan Alquran, berdasarkan firman Allah
وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
“Janganlah kalian nikah perempuan-perempuan musyrik sampai mereka beriman.” (QS. Al-Baqarah: 221).
وَلاَتُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (Al-Mumtahanah: 10).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا جَآءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَهُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلاَهُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al-Mumtahanah: 10).

Allah tidak mengecualikan wanita kafir kecuali dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani pen.) saja, maka seorang muslim dibolehkan untuk menikahi wanita Yahudi atau Nasrani. Adapun selain keduanya, maka tidak dibolehkan, dari agama apa pun wanita tersebut. Allah berfirman,
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatandiantara wanita-“Wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab.” (QS. Al-Maidah: 5).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Firman Allah ‘Jangan kalian nikahi perempuan-perempuan musyrik sampai mereka beriman’ karena sejelek-jelek wanita muslimah, dia memiliki kebaikan yang tidak bisa ditandingi oleh wanita musyrik dengan kebaikan yang ada padanya (cantik, baik hati, berdarah biru, dsb.). Hal ini berlaku secara umum bagi wanita musyrik kecuali yang ada pada surat Al-Maidah di atas.” (Tafsir As-Sa’di, Hal. 19).

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Diperkenankan pernikahan tersebut untuk wanita ahli kitab. Adapun selain mereka, tergolong keumuman hukum larangan tersebut… Semua orang kafir selain dari ahli kitab seperti pengagung patung, pohon, hewan, dll, maka tidak ada perselisihan di kalangan para ulama tentang haramnya menikahi wanita-wanita mereka dan memakan sembelihannya.” (Al-Mughni, 9:548).

Menurut Syaikh Ibnu Baz, “Menikahi perempuan kafir selain dari golongan ahli kitab tidak dibolehkan, Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Mereka (wanita muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir (laki-laki dan wanita kafir) itu tiada halal pula bagi mereka.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 21:76).

Lajnah Daimah Lilifta memfatwakan, “Boleh bagi seorang muslim untuk menikahi wanita muslimah atau wanita ahli kitab dan tidak diperkenankan menikahi wanita-wanita dari agama apa pun selain keduanya.” (Fatwa Lajnah Daimah, 18:275).

Ulama-ulama di Lajnah Daimah juga mengatakan, “Tidak boleh dan tidaklah sah bagi seorang laki-laki muslim menikahi seorang wanita musyrik selain dari Yahudi dan Nasrani, walaupun wanita musyrik tersebut ridha dengan pernikahan itu, tidak pandang dia mengetahui laki-laki itu seorang muslim atau tidak. Hal ini berdasarkan firman Allah, “Janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman.” Namun apabila ia bertaubat dari kemusyrikannya, maka dibolehkan untuk menikahinya.” (Fatwa Lajnah Daimah, 18: 311).

Dalam hal ini perlu kami ingatkan, yang dimaksud dengan wanita ahli kitab adalah wanita-wanita yang memegangi ajaran agamanya walaupun setelah agama tersebut berubah dan menjadi permainan di kalangan tokoh agama mereka. Adapun wanita yang semulanya ahli kitab (berpegang dengan ajaran agama pen.), kemudian keluar dari ajaran agamanya menjadi seorang atheis dan tidak beriman kepada agama, tidak diperkenankan menikahinya.

Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah memberi catatan pada tafsir Ibnu Katsir berkaitan dengan ayat :

‘Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab.” (QS. Al-Maidah: 5)’,

beliau mengatakan, “Ini berlaku pada makanan ahli kitab, jika memang benar mereka ahli kitab. Adapun orang-orang yang berafiliasi (menisbatkan diri) kepada Agama Nasrani dan Yahudi di Eropa, Amerika, dan selainnya, maka kami berpendapat mereka bukanlah ahli kitab, karena mereka mengingkari (tidak menaati aturan pen.) agama mereka sendiri yang tampak pada mereka hanya sebatas simbol-simbol (keagamaan) semata. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang atheis yang tidak beriman kepada Allah dan para nabi. Buku-buku mereka dan kabar yang demikian ini masyhur bagi kita. Mereka telah keluar dari batas-batas agama manapun. Mereka beragama dengan cara liberal, serba boleh dan serba halal dalam permasalahan pergaulan dan kehormatan diri. Dengan demikian tidak boleh menikah dengan wanita-wanita tersebut, dengan alasan tidak adanya sifat ahli kitab secara hakiki. Tidak boleh juga memakan sembelihan mereka dengan alasan serupa. Tersiar berita yang terpercaya bahwasanya mereka tidak melakukan penyembelihan sama sekali. Kabar yang tersebar adalah cara mereka membunuh hewan dengan penyiksaan terhadap hewan. Mereka membunuh hewan dengan cara lain (selain menyembelih), di sisi lain mereka mengklaim mereka adalah orang yang paling sayang dengan hewan-hewan. Setiap daging yang ada pada mereka statusnya adalah bangkai, tidak boleh bagi seorang muslim untuk memakannya.” (‘Umdatu Tafsir, 1:636).

Atas dasar inilah, pernikahanmu dengan wanita tersebut tidak dibolehkan dan juga tidak sah. Jawaban atas pertanyaanmu adalah hendaknya engkau lekas menceraikannya dan bertaubat kepada Allah atas perbuatan tersebut dengan menyesali apa yang telah engkau perbuat. Andaikata perempuan tersebut masuk Islam, maka engkau dibolehkan untuk menjalin ikatan pernikahan, dengan akad yang baru. 


Wallahu a’lam.