Jumat, 30 September 2016

Keringanan Ketika Hujan, Boleh Meninggalkan Shalat Jama’ah.

Shalat jama’ah adalah suatu kewajiban (fardhu ‘ain) –bagi kaum pria– sebagaimana pendapat ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Abu ‘Amr Al Awza’i, Abu Tsaur, Al Imam Ahmad (yang nampak dari pendapatnya) dan pendapat Imam Asy Syafi’i dalam Mukhtashor Al Muzanniy. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” (Lihat Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnu Qayyim Al Jauziyah)

Di antara dalil wajibnya shalat jama’ah bagi setiap pria, yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ يُحْتَطَبُ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”. [HR. Bukhari no. 644 dan Muslim no. 651] 

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memperingatkan keras pria yang meninggalkan shalat jama’ah yaitu ingin membakar rumah mereka. Hal ini tentu menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalah wajib.

Namun ada beberapa udzur yang membolehkan seseorang meninggalkan shalat jama’ah, di antaranya apabila terjadi hujan. Hujan yang membuat seseorang mendapatkan keringanan adalah hujan yang membuat kesulitan untuk ke masjid. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/511)

An Nawawi dalam Shohih Muslim membawakan bab ’Shalat di Rumah Ketika Hujan’, lalu beliau membawakan beberapa hadits berikut.

[Hadits pertama]

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ فَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ « أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ ».
Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar pernah beradzan ketika shalat di waktu malam yang dingin dan berangin. Kemudian beliau mengatakan “Alaa shollu fir rihaal” [hendaklah kalian shalat di rumah kalian]. Kemudian beliau mengatakan, ”Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mu’adzin ketika keadaan malam itu dingin dan berhujan, untuk mengucapkan “Alaa shollu fir rihaal” [hendaklah kalian shalat di rumah kalian].” [HR. Muslim no. 697]

[Hadits kedua]

حَدَّثَنِى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ.
Dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwasanya dia pernah beradzan untuk shalat di malam yang dingin, berangin kencang dan hujan, kemudian dia mengatakan di akhir adzan, “Alaa shollu fi rihaalikum, alaa shollu fir rihaal” [Hendaklah shalat di rumah kalian, hendaklah shalat di rumah kalian]’. Kemudian beliau mengatakan, ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam biasa menyuruh muadzin, apabila cuaca malam dingin dan berhujan ketika beliau bersafar (perjalanan jauh) agar mengumandangkan, “Alaa shollu fi rihaalikum” [Hendaklah shalat di kendaraan kalian masing-masing]’. [HR. Muslim no. 697]

[Hadits ketiga]

عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ بِضَجْنَانَ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِهِ وَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ. وَلَمْ يُعِدْ ثَانِيَةً أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ.
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwasanya beliau pernah mengumandangkan adzan di Dhojnan, -kemudian perawi menyebutkan redaksi hadits sebagaimana di atas hanya bedanya dalam riwayat ini disebutkan bahwa Ibnu Umar mengatakan, “Alaa shollu fii rihaalikum [Hendaklah shalat di kendaraan kalian masing-masing]” hanya sekali-’. [HR. Muslim no. 697]

[Hadits keempat]

عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَمُطِرْنَا فَقَالَ « لِيُصَلِّ مَنْ شَاءَ مِنْكُمْ فِى رَحْلِهِ ».
Dari Jabir, beliau berkata, ”Kami keluar untuk bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ketika hujan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau, silakan mengerjakan shalat di rihal [kendaraannya masing-masing]”. [HR. Muslim no. 698]

[Hadits kelima]

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِى يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ قَالَ – فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِى الطِّينِ وَالدَّحْضِ.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengatakan, ”Orang yang lebih baik dariku telah melakukan hal ini yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” [HR. Muslim no. 699]

An Nawawi -semoga Allah merahmati beliau- menjelaskan,
”Dari hadits di atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat jama’ah ketika turun hujan dan ini termasuk udzur (halangan) untuk meninggalkan shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah -sebagaimana yang dipilih oleh ulama Syafi’iyyah- adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul ditekankan) apabila tidak ada udzur. Dan tidak mengikuti shalat jama’ah dalam kondisi seperti ini adalah suatu hal yang disyari’atkan (diperbolehkan) bagi orang yang susah dan sulit melakukannya. Hal ini berdasarkan riwayat lainnya, ”Siapa yang mau, silahkan mengerjakan shalat di rihal [kendaraannya masing-masing.” (Syarh Muslim, 5/207)

Sayid Sabiq -semoga Allah merahmati beliau- dalam Fiqh Sunnah menyebutkan salah satu sebab yang membolehkan tidak ikut shalat berjama’ah adalah cuaca yang dingin dan hujan. Lalu beliau membawakan perkataan Ibnu Baththol yang menyatakan bahwa ini adalah ijma’ (kesepakatan para ulama). (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq)

Ibnu Baththol mengatakan,
أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ التَّخَلُّفَ عَنِ الجَمَاعَةِ فِي شِدَّةِ المَطَرِ وَالظُّلُمَةِ وَالرِّيْحِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، مُبَاحٌ.
”Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa meninggalkan shalat berjama’ah ketika hujan deras, malam yang gelap dan berangin kencang dan udzur (halangan) lainnya adalah boleh.” (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/364)

Apa Saja Lafadz Tambahan Adzan Ketika Hujan?

Dari hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim di atas dapat kita simpulkan, ada beberapa lafadz tambahan adzan ketika kondisi hujan, dingin, berangin kencang, dan tanah yang penuh lumpur baik ketika mukim maupun safar :

1.       أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ  (Alaa shollu fir rihaal artinya Hendaklah shalat di rumah (kalian))
2.       أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ  (Alaa shollu fir rihaal artinya Hendaklah shalat di rumah kalian)
3.       صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ  (Sholluu fii buyutikum artinya Sholatlah di rumah kalian)

Lalu Di Manakah Letak Lafadz “Ala Shollu Fii Buyutikum”?

Letak ketiga lafadz di atas bisa di tengah adzan (menggantikan lafadz ‘hayya ‘alash sholah’) atau pun di akhir adzan.  Lafadz tersebut dapat terletak di akhir adzan sebagaimana terdapat dalam hadits kedua, dari Ibnu ‘Umar. Dan lafadz tersebut dapat juga terletak di tengah adzan dan mengganti lafadz “hayya ‘alash sholah” sebagaimana terdapat dalam hadits kelima, dari Ibnu ‘Abbas.

An Nawawi rahimahullah menjelaskan,
”Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau mengucapkan “Alaa shollu fii rihalikum” di tengah adzan. Dan dalam hadits Ibnu Umar, beliau mengucapkan lafadz ini di akhir adzannya. Dan dua cara seperti ini dibolehkan, sebagaimana perkataan Imam Syafi’i –rahimahullah– dalam kitab Al Umm pada Bab Adzan, begitu juga pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama Syafi’iyyah. Lafadz ini boleh diucapkan setelah adzan maupun di tengah-tengah adzan karena terdapat dalil mengenai dua model ini. Akan tetapi, sesudah adzan lebih baik agar lafadz adzan yang biasa diucapkan tetap ada. Di antara ulama syafi’iyyah yang mengatakan bahwa lafadz ini tidak boleh diucapkan kecuali setelah adzan. Pendapat seperti ini lemah karena bertentangan dengan hadits Ibnu ’Abbas yang jelas-jelas tegas. Dan tidak ada pertentangan antara hadits Ibnu ’Abbas dan hadits Ibnu ’Umar. Karena hadits yang satu dilakukan pada satu waktu dan hadits lain pada waktu lainnya. Kesimpulannya kedua cara ini benar.” (Syarh Muslim, 5/207)

Ketika Hujan yang Menyulitkan Boleh Untuk Tidak Shalat Jum’at

Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas yang telah disebutkan dalam hadits kelima di atas. Beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” [HR. Muslim no. 699]

Dari hadits Ibnu Abbas ini terdapat dalil mengenai gugurnya kewajiban shalat Jum’at ketika hujan. An Nawawi menjelaskan,
وَفِي هَذَا الْحَدِيث دَلِيل عَلَى سُقُوط الْجُمُعَة بِعُذْرِ الْمَطَر وَنَحْوه ، وَهُوَ مَذْهَبنَا وَمَذْهَب آخَرِينَ ، وَعَنْ مَالِك رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى خِلَافه . وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
”Dalam hadits ini terdapat dalil mengenai gugurnya kewajiban shalat Jum’at karena udzur (halangan) hujan dan semacamnya. Dan inilah pendapat madzhab kami (Syafi’iyyah) dan  madzhab lainnya. Dan yang menyelisihi pendapat ini adalah Imam Malik rahimahullahWallahu Ta’ala a’lam bish showab. (Syarh Muslim, 5/208)

Akan Tetapi, Jika Pergi Ke Masjid untuk Berjama’ah itu Lebih Afdhol

Syaikh Abu Malik –penulis Shahih Fiqh Sunnah– mengatakan, ”Akan tetapi yang lebih afdhol (lebih utama) adalah pergi ke masjid untuk berjama’ah. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri. Beliau berkata,
جَاءَتْ سَحَابَةٌ فَمَطَرَتْ حَتَّى سَالَ السَّقْفُ ، وَكَانَ مِنْ جَرِيدِ النَّخْلِ ، فَأُقِيمَتِ الصَّلاَةُ ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَسْجُدُ فِى الْمَاءِ وَالطِّينِ ، حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّينِ فِى جَبْهَتِهِ
Tatkala awan muncul, turunlah hujan hingga membasahi genteng (atap) –genteng tersebut terbuat dari pelepah kurma- kemudian shalat ditegakkan. Lalu saya melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sujud di atas air dan lumpur sehingga saya melihat bekas lumpur di dahinya.” [HR. Bukhari no. 669 dan Muslim no. 1167]


Maka dari hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam masih tetap melaksanakan shalat berjama’ah di masjid meskipun harus bersujud di atas lumpur dan air.

Wallahua'lam

Adzan ketika Memakamkan Jenazah

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Ustadz,

Di lingkungan masyarakat saya ada ritual mengadzani orang yang baru meninggal, apakah hal ini memang ada tuntunan dari Rasulullah Muhammad?

Syukron Ustadz, wassalamu’alaikum

Jawaban:

Wa’alaikumussalam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah

Terdapat sebuah hadis yang menyatakan,
لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ يَسْمَعُ الْأَذَانَ مَا لَمْ يُطَيَّنْ قَبْرُهُ
Mayit masih mendengar adzan selama kuburnya belum diplester dengan tanah.” (HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus no. 7587)

Namun hadis ini disepakati para ulama sebagai hadis yang lemah, bahkan palsu. Berikut keterangan para pakar hadis ketika menilai hadis di atas.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,
وَإِسْنَادُهُ بَاطِلٌ ، فَإِنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ الْقَاسِمِ الطَّايَكَانِيِّ وَقَدْ رَمَوْهُ بِالْوَضْعِ .
“Sanadnya batil, karena hadis ini termasuk riwayat Muhammad bin Al-Qasim Ath-Thayakani, di mana dia telah dicap sebagai pemalsu hadis.” (At-Talkhish Al-Habir, 2:389)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menuturkan,
هذا حديث موضوع على رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Ini adalah hadis palsu atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Maudhu’at, 3:238)

As-Suyuthi menilai, setelah menyebutkan hadis ini:
موضوع الحسن لم يسمع من ابن مسعود
“Palsu, hasan tidak mendengar dari Ibnu Mas’ud.” (Al-La`ali Al-Mashnu’ah, 2:365)

Imam Ad-Dzahabi mengatakan,
فيه محمد بن القاسم الطايكاني كذاب
“Dalam sanadnya terdapat perawi Muhammad bin Qasim At-Thayakani, pendusta. (Talkhis Al-Maudhu’at Ad-Dzahabi, 938)

Kesimpulannya, tidak ada dalil yang menganjurkan adzan ketika memakamkan jenazah.

Komentar ulama tentang adzan ketika memakamkan jenazah

Para ulama dari berbagai madzhab sepakat bahwa sama sekali tidak terdapat anjuran untuk melakukan adzan ketika memakamkan jenazah. Berikut beberapa keterangan mereka

Pertama, Madzhab Hanafi

Ibnu Abidin mengatakan,
أنه لا يسن الاذان عند إدخال الميت في قبره كما هو المعتاد الآن، وقد صرح ابن حجر في فتاويه بأنه بدعة.
“Tidak dianjurkan untuk adzan ketika memasukkan mayit ke dalam kuburnya sebagaimana yang biasa dilakukan sekarang. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan dalam kumpulan fatwanya bahwa itu bid’ah.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2:255)

Barangkali yang dimaksud Ibnu Hajar dalam keterangan Ibnu Abidin di atas adalah Ibnu Hajar Al-Haitami. Disebutkan dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra,
مَا حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ هُوَ بِدْعَةٌ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهِمَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ .
Tanya: Apa hukum adzan dan iqamah ketika menutup liang lahad?

Jawaban Ibnu Hajar Al-Haitami:

Itu bid’ah. Siapa yang meyakini itu disunahkan ketika menurunkan jenazah ke kubur, karena disamakan dengan anjuran adzan dan iqamah untuk bayi yang baru dilahirkan, menyamakan ujung akhir manusia sebagaimana ketika awal ia dilahirkan, adalah keyakinan yang salah. Apa yang bisa menyamakan dua hal ini. Semata-mata alasan, yang satu di awal dan yang satu di ujung, ini tidaklah menunjukkan adanya kesamaan. (Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra, 3:166).

Kedua, Madzhab Maliki

Disebutkan dalam kitab Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, penulis mengutip keterangan di Fatawa Al-Ashbahi:
هَلْ وَرَدَ فِي الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ إدْخَالِ الْمَيِّتِ الْقَبْرَ خَبَرٌ ؟ فَالْجَوَابُ : لَا أَعْلَمُ فِيهِ وُرُودَ خَبَرٍ وَلَا أَثَرٍ إلَّا مَا يُحْكَى عَنْ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَلَعَلَّهُ مَقِيسٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ فَإِنَّ الْوِلَادَةَ أَوَّلُ الْخُرُوجِ إلَى الدُّنْيَا وَهَذَا أَوَّلُ الْخُرُوجِ مِنْهَا وَهَذَا فِيهِ ضَعْفٌ فَإِنَّ مِثْلَ هَذَا لَا يَثْبُتُ إلَّا تَوْقِيفًا .
Apakah terdapat khabar (hadis) dalam masalah adzan dan iqamat saat memasukkan mayit ke kubur? Jawab: Saya tidak mengetahui adanya hadis maupun atsar dalam hal ini kecuali apa yang diceritakan dari sebagian ulama belakangan. Barangkali dianalogikan dengan anjuran adzan dan iqamat di telinga bayi yang baru lahir. Karena kelahiran adalah awal keluar ke dunia, sementara ini (kematian) adalah awal keluar dari dunia, namun ada yang lemah dalam hal ini. Karena kasus semacam ini (adzan ketika memakamkan jenazah), tidak bisa dijadikan pegangan kecuali karena dalil shaih.” (Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, 3:319)

Ketiga, Madzhab Syafi’i

Imam Abu Bakr Ad-Dimyathi menegaskan,
واعلم أنه لا يسن الأذان عند دخول القبر، خلافا لمن قال بنسبته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها .
“Ketahuilah, sesungguhnya tidak disunahkan adzan ketika (mayit) dimasukkan ke kubur. Tidak sebagaimana anggapan orang yang mengatakan demikian karena menyamakan keluarnya seseorang dari dunia (mati) dengan masuknya seseorang ke dunia (dilahirkan).” (I’anatuth Thalibin, 1:268)

Hal senada juga dinyatakan Al-Bajirami:
وَلَا يُنْدَبُ الْأَذَانُ عِنْدَ سَدِّهِ خِلَافًا لِبَعْضِهِمْ
“Tidak dianjurkan mengumandangkan adzan ketika menutup lahad, tidak sebagaimana pendapat sebagian mereka.” (Hasyiyah Al-Bajirami ‘ala Al-Manhaj, 5:38)

Keempat, Madzhab Hambali

Ibnu Qudamah berkata,
أجمعت الأمة على أن الأذان والإقامة مشروع للصلوات الخمس ولا يشرعان لغير الصلوات الخمس لأن المقصود منه الإعلام بوقت المفروضة على الأعيان وهذا لا يوجد في غيرها .
“Umat sepakat bahwa adzan dan iqamat disyariatkan untuk shalat lima waktu dan keduanya tidak disyariatkan untuk selain shalat lima waktu, karena maksudnya adalah untuk pemberitahuan (masuknya) waktu shalat fardhu kepada orang-orang. Dan ini tidak terdapat pada selainnya.” (Asy-Syarh Al-Kabir, I:388)

Semua keterangan di atas mengerucut pada satu kesimpulan bahwa mengumandangkan adzan ketika memakamkan jenazah adalah perbuatan yang bertentang dengan sunnah, atau dengan ungkapan yang lebih tegas, itu bid’ah yang terlarang.


Allahu a’lam

Selasa, 20 September 2016

Bedah Mayat Dalam Tinjauan Hukum Islam

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

مْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا ﴿٢٥﴾ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا
Bukankah Kami menjadikan bumi tempat berkumpul orang-orang hidup dan orang-orang mati? [al-Mursalat/77:25-26].

Di antara Ulama ahli tafsir, ada yang mengartikan ayat tersebut dengan menyebutkan, bahwa Allah Azza wa Jalla menjadikan bumi dua bagian, yaitu bagian atas untuk dihuni orang yang hidup dan bagian bawah dihuni oleh orang yang mati.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk segera dalam mengurus mayat manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ
Segerakanlah penyelenggaraan jenazah. Karena, apabila jenazah itu orang shalih maka kalian telah berbuat baik untuknya. Sedangkan jika jenazah itu bukan orang baik maka agar kalian segera meletakkan benda jelek dari pikulan kalian. [HR al-Bukhari, no. 1252].

Dalam prakteknya, adakalanya perintah ini tidak terlaksana. Mayat masih dibiarkan berhari-hari atau berminggu-minggu atau bahkan bertahun-tahun. Hal itu disebabkan beberapa alasan yang hendak dicapai. Salah satu dari sekian alasan yang ada, misalnya, untuk membedah mayat tersebut.

Tujuan dari pembedahan mayat, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua. Pertama, untuk otopsi. Kedua, untuk pembelajaran calon dokter.

Otopsi sendiri dilakukan untuk dua tujuan. Tujuan pertama, untuk hukum pidana, seperti, otopsi forensik yang dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian sehingga mungkin menjadi masalah pidana. Agar memungkinkan mencari tersangka pembunuhan tersebut dengan tujuan bisa menegakkan hukum Allah Azza wa Jalla secara benar dan tepat. Tujuan kedua, yang disebut otopsi klinis atau akademik. Ini dilakukan untuk mencari penyebab medis kematian. Digunakan dalam kasus kematian yang tidak diketahui atau tidak pasti. Otopsi ini biasanya dilakukan bila terjadi wabah penyakit baru yang menyebabkan kematian tanpa diketahui jenis penyakit yang membunuhnya, maka diperlukan usaha untuk mengetahui penyebab kematian secara pasti. Dan salah satu cara yang harus ditempuh adalah dengan cara membedah mayat.

Pembahasan ini sangat penting untuk diketahui hukumnya, karena pembedahan mayat tersebut sudah merupakan perlakuan yang biasa didengar, terlebih lagi bila pembedahan itu bertujuan untuk belajar bagi calon dokter. Banyak mayat yang jadi sasaran perlakuan ini, bahkan biasanya menjadi sarana untuk memperjualbelikannya.

Masalah yang timbul dari fenomena tersebut adalah mengenai perlakuan tidak wajar terhadap mayat manusia dengan cara mengutak-atik organ tubuhnya. Padahal, ini tidaklah selayaknya diperlakukan pada jasad manusia. Terlebih lagi bila ditinjau dari hukum Islam.

Berikut dalil-dalil dan pendapat para Ulama tentang hukum perlakuan pada mayat manusia.

Firman Allah Azza wa Jalla :

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. [al-Isra`/17:70]

Ayat ini menunjukkan bahwa jasad manusia itu mulia. Dan kemuliaan ini berlaku baik dalam keadaan ia hidup maupun sudah mati. Sedangkan dalam proses bedah mayat, terjadi perlakuan yang tidak mulia terhadap mayat, seperti dipotong daging atau tulangnya, diangkat organ tubuh, dan perlakuan lain yang semisalnya.

Disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan perang, beliau akan menasihati pemimpin pasukannya secara pribadi untuk teguh bertaqwa pada Allah Azza wa Jalla , serta menasihati seluruh pasukannya dengan pesan yang baik, seraya berkata :

اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا تَغْدِرُوا، وَلَا تَمْثُلُوا
Berangkatlah berperang di jalan Allah Azza wa Jalla dengan menyebut nama Allah Azza wa Jalla . Bunuhlah orang-orang kafir. Perangilah mereka. Janganlah kamu berbuat curang dan jangan melanggar perjanjian, dan jangan pula kalian memotong-motong mayat. [HR Muslim, no. 1731]

Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
Memecahkan tulang mayat hukumnya seperti memecahkan tulangnya ketika ia masih hidup. [HR Abu Dawud, no. 3209. Hadits ini dinyatakan shahîh oleh Albani dalam kitabnya, Irwaul Ghalîl, 3/213]

Dalam riwayat Imam Ahmad terdapat sedikit perbedaan teks, yaitu: “memecahkan tulang mayat orang Mukmin hukumnya seperti memecahkan tulangnya ketika ia masih hidup”.

Pendapat Para Ulama

Kami hanya akan membawakan ucapan mereka mengenai perlakuan sewajarnya terhadap mayat orang kafir. Sedangkan untuk mayat orang Muslim, kami rasa tidak perlu dibahas lagi. Karena, kita mengetahui bahwa mayat Muslim wajib diperlakukan dengan istimewa, dari awal dimandikan sampai proses pemakaman; semua wajib dijalankan sesuai dengan tata cara tertentu yang sudah diatur olah syariat.

Sedangkan perlakuan terhadap mayat orang kafir, berikut pendapat dari para Ulama.

Menurut madzhab Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, Hambaliyah dan Zhahiriyah, mereka sepakat, bila seorang kafir dzimmi meninggal di tengah-tengah kaum Muslimin, sedangkan di tempat itu tidak ada orang kafir dzimmi lain yang mengurus mayatnya, maka kaum Musliminlah yang menguburkannya, seperti ia diperlakukan dengan baik pada masa hidupnya. Hanya saja madzhab Hanafiyah menambahkan, walaupun ia dikuburkan namun tidak diperlakukan seperti mayat orang muslim; maksudnya, tidak dikafani dan tidak dibuatkan lahad, hanya dimasukkan begitu saja ke dalam kubur.

Adapun perlakuan terhadap mayat kafir harbi dan orang murtad, maka madzhab Syafi’iyah menyatakan tidak wajib bagi kaum Muslimin menguburkan mayat mereka. Namun, bila hendak dikuburkan juga tidak mengapa dengan tujuan agar kaum Muslimin tidak terganggu dengan bau busuk bangkai mereka.

Sedangkan madzhab lainnya (Hanafiyah, Malikiyah, Hambaliyah dan Zhahiriyah); bahwasanya pendapat mereka tetap sama dalam hal perlakuan terhadap mayat kafir harbi atau orang murtad, sebagaimana pendapat mereka dalam perlakuan terhadap mayat kafir dzimmi. [Ahkamul Maqabir fî Syari’ah Islamiyah, hlm. 232-233]

Demikian beberapa dalil yang menunjukkan perlakuan selayaknya pada mayat manusia.

Hukum Bedah Mayat

Dalam permasalahan ini, Majelis Ulama Besar di Saudi Arabia telah melakukan pembahasan mengenai hal ini dalam muktamar mereka ke sembilan tahun 1396 H / 1976 M. Pertemuan itu melahirkan keputusan sebagai berikut.

Untuk keperluan otopsi, baik otopsi forensik maupun otopsi medis, maka Majelis Ulama Besar memutuskan, boleh membedah mayat untuk keperluan tersebut. Dengan pertimbangan, adanya maslahat yang besar dibalik otopsi ini. Karena, otopsi forensik bertujuan untuk menegakkan hukum pidana sehingga terciptanya keamanan dalam masyarakat. Sedangkan otopsi medis, bertujuan terjaganya masyarat dari penyakit mewabah.

Menurut pertimbangan majelis, kedua maslahat ini lebih besar dibandingkan dengan mafsadat membedah mayat. Jadi, bedah mayat untuk tujuan ini dibolehkan walaupun mayat tersebut adalah mayat orang muslim ataupun mayat orang kafir ma’shum (yang dilindungi oleh hukum Islam, seperti kafir dzimmi).

Adapun jenis bedah mayat yang kedua, yaitu untuk belajar. Dalam hal ini majelis mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya:

• Bahwa syariat Islam datang dengan tujuan membawa maslahat serta memaksimalkannya; dan menolak mafsadat serta meminimalkannya.

• Bedah mayat untuk belajar medis ini ada maslahat yang besar, seperti yang sudah diketahui terkait dengan kemajuan dalam ilmu medis.

• Belum adanya hewan yang bisa menggantikan jasad manusia guna memenuhi kebutuhan pembelajaran ini.

• Syariat Islam menghormati kemuliaan jasad muslim, baik ketika masih hidup maupun ketika sudah mati. Sedangkan proses bedah mayat pasti memperlakukan jasad tidak sesuai dengan kehormatannya.

• Tidak adanya keperluan yang mendesak untuk membedah mayat orang muslim karena memungkinkan untuk memperoleh mayat orang kafir yang tidak ma’shum.

Dengan pertimbangan di atas, maka majelis memutuskan tidak boleh membedah mayat orang Muslim ataupun orang kafir yang ma’shum untuk pembelajaran ilmu kedokteran. Yang digunakan cukuplah mayat orang kafir tidak ma’shum, seperti kafir harbi atau orang yang murtad.

Demikian keputusan Majelis Ulama Besar Saudi Arabia tersebut.

Senada dengan pendapat majelis ini, Syaikh Abdul-Aziz bin Baz rahimahullah juga berfatwa yang sama mengenai hukum bedah mayat untuk keperluan pembelajaran ilmu kedokteran. Beliau hanya membolehkan pembedahan mayat kafir harbi dan mayat orang murtad saja. [Majmu’Fatawa, Syaikh Bin Baz, 22/349-350]

Akan tetapi, yang sangat penting untuk diperhatikan oleh dokter atau pelaksana bedah mayat lainnya, ialah landasan dibolehkannya membedah mayat karena faktor yang mendesak kebutuhan. Oleh karena itu, apabila suatu saat kebutuhan ini telah terpenuhi, maka kembali kepada hukum asal bahwa seluruh jasad manusia tidak boleh dipotong-potong. Pendapat ini disampaikan oleh Syaikh Dr. Muhammad bin Muhammad Mukhtar Syinqithi dalam disertasi doktoralnya, Ahkam Jirahah Thibbiyyah wal-Atsar Mutarattibah ‘Alaiha (hukum-hukum Islam seputar operasi medis), halaman ke-112.

Begitu pula kaidah ini seharusnya diterapkan dalam mengotopsi jenazah seorang Muslim; apabila sebab kematian dapat diketahui dengan mudah tanpa harus otopsi, atau hanya perlu pembedahan kecil, maka tidak boleh dibedah melebihi kebutuhan yang sebenarnya diperlukan.

Dalam keputusan Majelis Ulama Besar Saudi Arabia memuat beberapa alasan yang memperkuat maslahat untuk membolehkan membedah mayat. Di antara alasan tersebut sebagai berikut.

Pertama, Dibolehkan membedah mayat wanita hamil untuk mengeluarkan janin yang kemungkinan besar akan hidup. Memang permasalahan ini sudah diperdebatkan oleh Ulama dahulu, namun, menurut hemat kami, pendapat paling kuat adalah yang membolehkannya. [Ahkam Jirahah Thibbiyyah wal-Atsar Mutarattibah ‘Alaiha, hlm. 216]

Kedua, Dibolehkan memakan mayat manusia dalam keadaan kelaparan yang mendesak.

Dalam Raudhatuth-Thalibin (2/551) disebutkan, “Apabila orang kelaparan sedangkan ia tidak mendapatkan makanan kecuali mayat orang ma’shum, maka halal baginya untuk memakan mayat tersebut … walaupun boleh, namun hanya dimakan sebatas untuk menyambung hidup (tidak sampai kekenyangan) … daging mayat itu pun tidak boleh dimasak ataupun dipanggang, harus dimakan mentah-mentah. Karena, dimakan dengan cara itu sudah cukup untuk menyambung hidup…”.

Adapun masalah larangan memutilasi mayat yang disebutkan dalam hadits di atas, ternyata, ada kalanya dibolehkan kalau memang diperlukan. Seperti hukuman yang dijatuhkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kaum Uraniyyin, dipotong tangan dan kaki mereka, ditusuk mata mereka sampai buta dan dibiarkan sampai mati di bukit batu kota Madinah (HR Muslim, no. 1671).[Ahkam Jirahah Thibbiyyah wal-Atsar Mutarattibah ‘Alaiha, hlm. 118-119] Atau bisa juga dikatakan, bahwa larangan memutilasi mayat, kalau hanya untuk main-main, bukan untuk suatu kebutuhan mendesak, seperti memotong telinga untuk gantungan kunci dan lain-lain. Sedangkan dalam kasus ini, bedah dilakukan untuk suatu maslahat besar.


Wallahu ‘alam.