Jumat, 30 September 2016

Keringanan Ketika Hujan, Boleh Meninggalkan Shalat Jama’ah.

Shalat jama’ah adalah suatu kewajiban (fardhu ‘ain) –bagi kaum pria– sebagaimana pendapat ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Abu ‘Amr Al Awza’i, Abu Tsaur, Al Imam Ahmad (yang nampak dari pendapatnya) dan pendapat Imam Asy Syafi’i dalam Mukhtashor Al Muzanniy. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” (Lihat Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnu Qayyim Al Jauziyah)

Di antara dalil wajibnya shalat jama’ah bagi setiap pria, yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ يُحْتَطَبُ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”. [HR. Bukhari no. 644 dan Muslim no. 651] 

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memperingatkan keras pria yang meninggalkan shalat jama’ah yaitu ingin membakar rumah mereka. Hal ini tentu menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalah wajib.

Namun ada beberapa udzur yang membolehkan seseorang meninggalkan shalat jama’ah, di antaranya apabila terjadi hujan. Hujan yang membuat seseorang mendapatkan keringanan adalah hujan yang membuat kesulitan untuk ke masjid. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/511)

An Nawawi dalam Shohih Muslim membawakan bab ’Shalat di Rumah Ketika Hujan’, lalu beliau membawakan beberapa hadits berikut.

[Hadits pertama]

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ فَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ « أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ ».
Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar pernah beradzan ketika shalat di waktu malam yang dingin dan berangin. Kemudian beliau mengatakan “Alaa shollu fir rihaal” [hendaklah kalian shalat di rumah kalian]. Kemudian beliau mengatakan, ”Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mu’adzin ketika keadaan malam itu dingin dan berhujan, untuk mengucapkan “Alaa shollu fir rihaal” [hendaklah kalian shalat di rumah kalian].” [HR. Muslim no. 697]

[Hadits kedua]

حَدَّثَنِى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ.
Dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwasanya dia pernah beradzan untuk shalat di malam yang dingin, berangin kencang dan hujan, kemudian dia mengatakan di akhir adzan, “Alaa shollu fi rihaalikum, alaa shollu fir rihaal” [Hendaklah shalat di rumah kalian, hendaklah shalat di rumah kalian]’. Kemudian beliau mengatakan, ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam biasa menyuruh muadzin, apabila cuaca malam dingin dan berhujan ketika beliau bersafar (perjalanan jauh) agar mengumandangkan, “Alaa shollu fi rihaalikum” [Hendaklah shalat di kendaraan kalian masing-masing]’. [HR. Muslim no. 697]

[Hadits ketiga]

عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ بِضَجْنَانَ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِهِ وَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ. وَلَمْ يُعِدْ ثَانِيَةً أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ.
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwasanya beliau pernah mengumandangkan adzan di Dhojnan, -kemudian perawi menyebutkan redaksi hadits sebagaimana di atas hanya bedanya dalam riwayat ini disebutkan bahwa Ibnu Umar mengatakan, “Alaa shollu fii rihaalikum [Hendaklah shalat di kendaraan kalian masing-masing]” hanya sekali-’. [HR. Muslim no. 697]

[Hadits keempat]

عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَمُطِرْنَا فَقَالَ « لِيُصَلِّ مَنْ شَاءَ مِنْكُمْ فِى رَحْلِهِ ».
Dari Jabir, beliau berkata, ”Kami keluar untuk bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ketika hujan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau, silakan mengerjakan shalat di rihal [kendaraannya masing-masing]”. [HR. Muslim no. 698]

[Hadits kelima]

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِى يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ قَالَ – فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِى الطِّينِ وَالدَّحْضِ.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengatakan, ”Orang yang lebih baik dariku telah melakukan hal ini yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” [HR. Muslim no. 699]

An Nawawi -semoga Allah merahmati beliau- menjelaskan,
”Dari hadits di atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat jama’ah ketika turun hujan dan ini termasuk udzur (halangan) untuk meninggalkan shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah -sebagaimana yang dipilih oleh ulama Syafi’iyyah- adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul ditekankan) apabila tidak ada udzur. Dan tidak mengikuti shalat jama’ah dalam kondisi seperti ini adalah suatu hal yang disyari’atkan (diperbolehkan) bagi orang yang susah dan sulit melakukannya. Hal ini berdasarkan riwayat lainnya, ”Siapa yang mau, silahkan mengerjakan shalat di rihal [kendaraannya masing-masing.” (Syarh Muslim, 5/207)

Sayid Sabiq -semoga Allah merahmati beliau- dalam Fiqh Sunnah menyebutkan salah satu sebab yang membolehkan tidak ikut shalat berjama’ah adalah cuaca yang dingin dan hujan. Lalu beliau membawakan perkataan Ibnu Baththol yang menyatakan bahwa ini adalah ijma’ (kesepakatan para ulama). (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq)

Ibnu Baththol mengatakan,
أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ التَّخَلُّفَ عَنِ الجَمَاعَةِ فِي شِدَّةِ المَطَرِ وَالظُّلُمَةِ وَالرِّيْحِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، مُبَاحٌ.
”Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa meninggalkan shalat berjama’ah ketika hujan deras, malam yang gelap dan berangin kencang dan udzur (halangan) lainnya adalah boleh.” (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/364)

Apa Saja Lafadz Tambahan Adzan Ketika Hujan?

Dari hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim di atas dapat kita simpulkan, ada beberapa lafadz tambahan adzan ketika kondisi hujan, dingin, berangin kencang, dan tanah yang penuh lumpur baik ketika mukim maupun safar :

1.       أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ  (Alaa shollu fir rihaal artinya Hendaklah shalat di rumah (kalian))
2.       أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ  (Alaa shollu fir rihaal artinya Hendaklah shalat di rumah kalian)
3.       صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ  (Sholluu fii buyutikum artinya Sholatlah di rumah kalian)

Lalu Di Manakah Letak Lafadz “Ala Shollu Fii Buyutikum”?

Letak ketiga lafadz di atas bisa di tengah adzan (menggantikan lafadz ‘hayya ‘alash sholah’) atau pun di akhir adzan.  Lafadz tersebut dapat terletak di akhir adzan sebagaimana terdapat dalam hadits kedua, dari Ibnu ‘Umar. Dan lafadz tersebut dapat juga terletak di tengah adzan dan mengganti lafadz “hayya ‘alash sholah” sebagaimana terdapat dalam hadits kelima, dari Ibnu ‘Abbas.

An Nawawi rahimahullah menjelaskan,
”Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau mengucapkan “Alaa shollu fii rihalikum” di tengah adzan. Dan dalam hadits Ibnu Umar, beliau mengucapkan lafadz ini di akhir adzannya. Dan dua cara seperti ini dibolehkan, sebagaimana perkataan Imam Syafi’i –rahimahullah– dalam kitab Al Umm pada Bab Adzan, begitu juga pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama Syafi’iyyah. Lafadz ini boleh diucapkan setelah adzan maupun di tengah-tengah adzan karena terdapat dalil mengenai dua model ini. Akan tetapi, sesudah adzan lebih baik agar lafadz adzan yang biasa diucapkan tetap ada. Di antara ulama syafi’iyyah yang mengatakan bahwa lafadz ini tidak boleh diucapkan kecuali setelah adzan. Pendapat seperti ini lemah karena bertentangan dengan hadits Ibnu ’Abbas yang jelas-jelas tegas. Dan tidak ada pertentangan antara hadits Ibnu ’Abbas dan hadits Ibnu ’Umar. Karena hadits yang satu dilakukan pada satu waktu dan hadits lain pada waktu lainnya. Kesimpulannya kedua cara ini benar.” (Syarh Muslim, 5/207)

Ketika Hujan yang Menyulitkan Boleh Untuk Tidak Shalat Jum’at

Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas yang telah disebutkan dalam hadits kelima di atas. Beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” [HR. Muslim no. 699]

Dari hadits Ibnu Abbas ini terdapat dalil mengenai gugurnya kewajiban shalat Jum’at ketika hujan. An Nawawi menjelaskan,
وَفِي هَذَا الْحَدِيث دَلِيل عَلَى سُقُوط الْجُمُعَة بِعُذْرِ الْمَطَر وَنَحْوه ، وَهُوَ مَذْهَبنَا وَمَذْهَب آخَرِينَ ، وَعَنْ مَالِك رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى خِلَافه . وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
”Dalam hadits ini terdapat dalil mengenai gugurnya kewajiban shalat Jum’at karena udzur (halangan) hujan dan semacamnya. Dan inilah pendapat madzhab kami (Syafi’iyyah) dan  madzhab lainnya. Dan yang menyelisihi pendapat ini adalah Imam Malik rahimahullahWallahu Ta’ala a’lam bish showab. (Syarh Muslim, 5/208)

Akan Tetapi, Jika Pergi Ke Masjid untuk Berjama’ah itu Lebih Afdhol

Syaikh Abu Malik –penulis Shahih Fiqh Sunnah– mengatakan, ”Akan tetapi yang lebih afdhol (lebih utama) adalah pergi ke masjid untuk berjama’ah. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri. Beliau berkata,
جَاءَتْ سَحَابَةٌ فَمَطَرَتْ حَتَّى سَالَ السَّقْفُ ، وَكَانَ مِنْ جَرِيدِ النَّخْلِ ، فَأُقِيمَتِ الصَّلاَةُ ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَسْجُدُ فِى الْمَاءِ وَالطِّينِ ، حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّينِ فِى جَبْهَتِهِ
Tatkala awan muncul, turunlah hujan hingga membasahi genteng (atap) –genteng tersebut terbuat dari pelepah kurma- kemudian shalat ditegakkan. Lalu saya melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sujud di atas air dan lumpur sehingga saya melihat bekas lumpur di dahinya.” [HR. Bukhari no. 669 dan Muslim no. 1167]


Maka dari hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam masih tetap melaksanakan shalat berjama’ah di masjid meskipun harus bersujud di atas lumpur dan air.

Wallahua'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar