Jumat, 24 Maret 2017

Memahami Surat Al Ikhlas, Sepertiga Al Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4
1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.

Surat ini dinamakan Al Ikhlas karena di dalamnya berisi pengajaran tentang tauhid. Oleh karena itu, surat ini dinamakan juga Surat Al Asas, Qul Huwallahu Ahad, At Tauhid, Al Iman, dan masih banyak nama lainnya.

Surat ini merupakan surat Makiyyah dan termasuk surat Mufashol. Surat Al Ikhlas ini terdiri dari 4 ayat, surat ke 112, diturunkan setelah surat An Naas. (At Ta’rif bi Suratil Qur’anil Karim)

Ada dua sebab kenapa surat ini dinamakan Al Ikhlash.Yang pertama, dinamakan Al Ikhlash karena surat ini berbicara tentang ikhlash. Yang kedua, dinamakan Al Ikhlash karena surat ini murni membicarakan tentang Allah. Perhatikan penjelasan berikut ini.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan bahwa Surat Al Ikhlas ini berasal dari ’mengikhlaskan sesuatu’ yaitu membersihkannya/memurnikannya. Dinamakan demikian karena di dalam surat ini berisi pembahasan mengenai ikhlas kepada Allah ’Azza wa Jalla. Oleh karena itu, barangsiapa mengimaninya, dia termasuk orang yang ikhlas kepada Allah.

Ada pula yang mengatakan bahwa surat ini dinamakan Al Ikhlash (di mana ikhlash berarti murni) karena surat ini murni membicarakan tentang Allah. Allah hanya mengkhususkan membicarakan diri-Nya, tidak membicarakan tentang hukum ataupun yang lainnya. Dua tafsiran ini sama-sama benar, tidak bertolak belakang satu dan lainnya. (Lihat Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, 97)

Asbabun Nuzul

Surat ini turun sebagai jawaban kepada orang musyrik yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, ’Sebutkan nasab atau sifat Rabbmu pada kami?’. Maka Allah berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam, ’Katakanlah kepada yang menanyakan tadi, … [lalu disebutkanlah surat ini]’(Aysarut Tafasir, 1502). Juga ada yang mengatakan bahwa surat ini turun sebagai jawaban pertanyaan dari orang-orang Yahudi (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, At Ta’rif bi Suratil Qur’anil Karim, Tafsir Juz ‘Amma 292). Namun, Syaikh Muqbil mengatakan bahwa asbabun nuzul yang disebutkan di atas berasal dari riwayat yang dho’if (lemah) sebagaimana disebutkan dalam Shohih Al Musnad min Asbab An Nuzul.

Tafsir Ayat Pertama
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.

Kata (قُلْ) –artinya katakanlah-. Perintah ini ditujukan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan juga umatnya.

Al Qurtubhi mengatakan bahwa (
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) maknanya adalah : Al Wahid Al Witr (Maha Esa), tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang sebanding dengan-Nya, tidak memiliki istri ataupun anak, dan tidak ada sekutu baginya.

Asal kata dari (أَحَدٌ) adalah (وَحْدٌ), sebelumnya diawali dengan huruf ‘waw’ kemudian diganti ‘hamzah’. (Al Jaami’ liahkamil Qur’an, Adhwaul Bayan)

Syaikh Al Utsaimin mengatakan bahwa kalimat (اللَّهُ أَحَدٌ) –artinya Allah Maha Esa-, maknanya bahwa Allah itu Esa dalam keagungan dan kebesarannya, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. (Tafsir Juz ‘Amma 292)

Tafsir Ayat Kedua
اللَّهُ الصَّمَدُ
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

Ibnul Jauziy dalam Zaadul Masiir mengatakan bahwa makna Ash Shomad ada empat pendapat:

Pertama, Ash Shomad bermakna: Allah adalah As Sayid (penghulu), tempat makhluk menyandarkan segala hajat pada-Nya.

Kedua, Ash Shomad bermakna: Allah tidak memiliki rongga (perut).

Ketiga, Ash Shomad bermakna: Allah itu Maha Kekal.

Keempat, Ash Shomad bermakna: Allah itu tetap kekal setelah para makhluk binasa.

Dalam Tafsir Al Qur’an Al Azhim (Tafsir Ibnu Katsir) disebutkan beberapa perkataan ahli tafsir yakni sebagai berikut.

Dari ‘Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah : Seluruh makhluk bersandar/bergantung kepada-Nya dalam segala kebutuhan maupun permasalahan.

Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas mengatakan mengenai (اللَّهُ الصَّمَدُ) : Dia-lah As Sayyid (Pemimpin) yang kekuasaan-Nya sempurna. Dia-lah Asy Syarif (Maha Mulia) yang kemuliaan-Nya sempurna. Dia-lah Al ‘Azhim (Maha Agung) yang keagungan-Nya sempurna. Dia-lah Al Halim (Maha Pemurah) yang kemurahan-Nya itu sempurna. Dia-lah Al ‘Alim (Maha Mengetahui) yang ilmu-Nya itu sempurna. Dia-lah Al Hakim (Maha Bijaksana) yang sempurna dalam hikmah (atau hukum-Nya). Allah-lah –Yang Maha Suci- yang Maha Sempurna dalam segala kemuliaan dan kekuasaan. Sifat-Nya ini tidak pantas kecuali bagi-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, tidak ada yang semisal dengan-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.

Al A’masy mengatakan dari Syaqiq dari Abi Wa’il bahwa Ash Shomad bermakna: ”Pemimpin yang paling tinggi kekuasaan-Nya”. Begitu juga diriwayatkan dari ’Ashim dari Abi Wa’il dari Ibnu Mas’ud semacam itu.

Malik mengatakan dari Zaid bin Aslam, ”Ash Shomad adalah As Sayyid (Pemimpin).”

Al Hasan dan Qotadah mengatakan bahwa Ash Shomad adalah (الباقي بعد خلقه) Yang Maha Kekal setelah makhluk-Nya (binasa).

Al Hasan juga mengatakan bahwa Ash Shomad adalah Yang Maha Hidup dan Quyyum (mengurusi dirinya dan makhlukNya) dan tidak mungkin binasa.

’Ikrimah mengatakan bahwa Ash Shomad adalah yang tidak mengeluarkan sesuatupun dari-Nya (semisal anak) dan tidak makan.

Ar Robi’ bin Anas mengatakan bahwa Ash Shomad adalah (الذي لم يلد ولم يولد) yaitu tidak beranak dan tidak diperanakkan. Beliau menafsirkan ayat ini dengan ayat sesudahnya dan ini tafsiran yang sangat bagus.

Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Sa’id bin Al Musayyib, Mujahid, Abdullah bin Buraidah, ’Ikrimah, Sa’id bin Jubair, ’Atho’ bin Abi Robbah, ’Athiyyah Al ’Awfiy, Adh Dhohak dan As Sudi mengatakan bahwa
Ash Shomad adalah (لا جوف له) yaitu tidak memiliki rongga (perut).

Al Hafizh Abul Qosim Ath Thobroni dalam kitab Sunnahnya -setelah menyebut berbagai pendapat di atas tentang tafsir Ash Shomad- berkata, ”Semua makna ini adalah shohih (benar). Sifat tersebut merupakan sifat Rabb kita ’Azza wa Jalla. Dia-lah tempat bersandar dan bergantung dalam segala kebutuhan. Dia-lah yang paling tinggi kekuasaan-Nya. Dia-lah Ash Shomad tidak ada yang berasal dari-Nya. Allah tidak butuh makan dan minum. Dia tetap kekal setelah para makhluk-Nya binasa. Baihaqi juga menjelaskan yang demikian.” (Diringkas dari Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim)

Tafsir Ayat Ketiga
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

Kalimat (لَمْ يَلِدْ) sebagaimana dikatakan Maqotil,

”Tidak beranak kemudian mendapat warisan.” Kalimat (وَلَمْ يُولَدْ) maksudnya adalah tidak disekutui. Demikian karena orang-orang musyrik Arab mengatakan bahwa Malaikat adalah anak perempuan Allah . Kaum Yahudi mengatakan bahwa ’Uzair adalah anak Allah. Sedangkan Nashoro mengatakan bahwa Al Masih (Isa, pen) adalah anak Allah. Dalam ayat ini, Allah meniadakan itu semua.” (Zadul Masiir)

Tafsir Ayat Keempat
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.

Maksudnya adalah tidak ada seorang pun sama dalam setiap sifat-sifat Allah. Jadi Allah meniadakan dari diri-Nya memiliki anak atau dilahirkan sehingga memiliki orang tua. Juga Allah meniadakan adanya yang semisal dengan-Nya. (Tafsir Juz ‘Amma 293)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan makna ayat: ”dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” yaitu tidak ada yang serupa (setara) dengan Allah dalam nama, sifat, dan perbuatan.

Ringkasnya, surat Al Ikhlash ini berisi penjelasan mengenai keesaan Allah serta kesempurnaan nama dan sifat-Nya.

Surat Al-Ikhlas, Sebanding Dengan Sepertiga Al-Qur’an

Disebutkan dalam hadist shahih:

أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلًا سَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ يُرَدِّدُهَا فَلَمَّا أَصْبَحَ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ وَكَأَنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
Dari Abi Sa’id al-Khudri, bahwasanya ada orang mendengar seseorang membaca “qul huwallahu Ahad”, dan diulang-ulang. Pada keesokan harinya, ia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkannya, seakan ia menganggap remeh. Maka Rasulullah bersabda: ”Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, ia sebanding dengan sepertiga Al-Qur`an”. [HR Bukhari, no. 5013 dan Ahmad 11612].

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ لِأَصْحَابِهِ أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ ثُلُثَ الْقُرْآنِ فِي لَيْلَةٍ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ وَقَالُوا أَيُّنَا يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ اللَّهُ الْوَاحِدُ الصَّمَدُ ثُلُثُ الْقُرْآنِ
Dari Abi Sa’id, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, ‘Apakah salah seorang dari kalian mampu untuk membaca sepertiga Al-Qur`an dalam satu malam?’ maka hal ini memberatkan mereka, dan (mereka) bertanya: ‘Siapakah di antara kami yang mampu, wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: ”Allahul-wahidu shamad adalah sepertiga Al-Qur`an”. [HR Bukhari no. 5015].

Dalam hadis lain, dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat,
أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِى لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
“Sanggupkah kalian membaca sepertiga al-Quran dalam semalam?”

Mereka bertanya, ‘Bagaimana caranya kita membaca sepertiga al-Quran?’

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
(قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) يَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
“Qul huwallahu ahad senilai sepertiga al-Quran.” (HR. Muslim 1922).

Makna al-Ikhlas Sepertiga al-Quran

Dalam al-Quran, ada 3 pembahasan pokok:

a)      Hukum, seperti ayat perintah, larangan, halal, haram, dst.
b)     Janji dan ancaman, seperti ayat yang mengupas tentang surga, neraka, balasan, termasuk kisah orang soleh dan kebahagiaan yang mereka dapatkan dan kisah orang jahat, berikut kesengsaraan yang mereka dapatkan.
c)      Berita tentang Allah, yaitu semua penjelasan mengenai nama dan sifat Allah.

Karena surat al-Ikhlas murni membahas masalah tauhid, bercerita tentang siapakah Allah Ta’ala, maka kandungan makna surat ini menyapu sepertiga bagian dari al-Quran.

Kita simak keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Senilai sepertiga al-Quran” dipahami sebagian ulama sesuai makna dzahirnya. Mereka menyatakan, bahwa surat al-Ikhlas senilai sepertiga dilihat dari kandungan makna al-Quran. Karena isi Quran adalah hukum, berita, dan tauhid. Sementara surat al-Ikhlas mencakup pembahasan tauhid, sehingga dinilai sepertiga berdasarkan tinjauan ini.  (Fathul Bari, 9/61)

Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Maksudnya, ialah, bahwa Al-Qur`an diturunkan menjadi tiga bagian. Sepertiga bagian adalah hukum-hukum, sepertiga berisi janji dan ancaman, dan sepertiga bagiannya terdiri nama dan sifat Allah; dan surat ini mengumpulkan antara nama dan sifat sifat (Allah)”. [Jawab ‘alil-Ilmi wal-Iman, hlm. 113].

Penjelasan kedua,

Bahwa isi quran secara umum bisa kita bagi menjadi 2:
1)     Kalimat Insya’ (non-berita): berisi perintah, larangan, halal-haram, janji dan ancaman, dst.
2)     Kalimat khabar (berita): dan berita dalam al-Quran ada 2:
a)      Berita tentang makhluk: kisah orang masa silam, baik orang soleh maupun orang jahat.
b)     Berita tentang khaliq: penjelasan tentang siapakah Allah, berikut semua nama dan sifat-Nya.

Mengingat surat al-Ikhlas hanya berisi berita tentang Allah, maka surat ini menyapu sepertiga makna al-Quran.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Surat al-Ikhlas senilai sepertiga al-Quran, karena isi al-Quran ada 2: khabar dan Insya’. Untuk Insya’ mencakup perintah, larangan, dan perkaran mubah. Sementara khabar, di sana ada khabar tentang kkhaliq dan khabar tentang ciptaan-Nya. Dan surat al-Ikhlas hanya murni membahas khabar tentang Allah.” (Fathul Bari, 9/61)

Pahalanya Senilai Membaca Sepertiga al-Quran

Allah dengan rahmat dan kasih sayang-Nya memberikan pahala ibadah kepada hamba-Nya dengan nilai yang beraneka ragam. Ada ibadah yang diberi nilai besar dan ada yang dinilai kecil. Sesuai dengan hikmah Allah. sehingga, umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang usianya relatif pendek, bisa mendapatkan pahala besar tanpa harus melakukan amal yang sangat banyak.

Umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi oleh Allah lailatul qadar, yang nilainya lebih baik dari pada 1000 bulan. Ada juga masjidil haram, siapa yang shalat di sana dinilai 100.000 kali shalat. Kemudian surat al-Ikhlas, siapa membacanya sekali, dinilai mendapatkan pahala membaca sepertiga al-Quran.

Dan Allah Maha Kaya untuk memberikan balasan apapun kepada hamba-Nya sesuai yang Dia kehendaki.

Senilai dalam Pahala BUKAN Senilai dalam Amal

Kami ingatkan agar kita membedakan antara al-Jaza’ dengan al-ijza’.
Al-jaza’ (الجزاء) artinya senilai dalam pahala yang dijanjikan
Al-Ijza’ (الإجزاء) artinya senilai dalam amal yang digantikan.

Membaca surat al-Ikhlas mendapat nilai seperti membaca sepertiga al-Quran maknanya adalah senilai dalam pahala (al-Jaza’). Bukan senilai dalam amal (al-Ijza’).

Sehingga, misalnya ada orang yang bernadzar untuk membaca satu al-Quran, maka dia tidak boleh hanya membaca surat al-Ikhlas 3 kali, karena keyakinan senilai dengan satu al-Quran. Semacam ini tidak boleh. Karena dia belum dianggap membaca seluruh al-Quran, meskipun dia mendapat pahala membaca satu al-Quran.

Sebagaimana ketika ada orang yang shalat 2 rakaat shalat wajib di masjidil haram. Bukan berarti setelah itu dia boleh tidak shalat selama 50 puluh tahun karena sudah memiliki pahala 100.000 kali shalat wajib.

Benar dia mendapatkan pahala senilai 100.000 kali shalat, tapi dia belum disebut telah melaksanakan shalat wajib selama puluhan tahun itu.

Berbeda dengan amal yang memenuhi al-Ijza’, seperti jumatan, yang dia menggantikan shalat dzuhur. Sehingga orang yang shalat jumatan tidak perlu shalat dzuhur. Atau orang yang tayammum karena udzur, dia tidak perlu untuk wudhu, karena tayammum senilai dengan amalan wudhu bagi orang yang punya udzur.

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Al-Quran, dibutuhkan manusia keterangan mengenai perintah, larangan, dan semua kisah yang ada, meskipun tauhid menjadi kajian paling penting dari semua itu. Ketika seseorang butuh untuk mengetahui perintah dan larangan dalam masalah perbuatan, dan butuh  untuk merenungi setiap kisah, janji dan ancaman, maka kajian lainnya tidak bisa menutupi  kebutuhan dia pada itu semua. Kajian tauhid tidak bisa menggantikan kajian perintah dan larangan, demikian pula masalah kisah, tidak bisa menggantika perintah dan larangan atau sebaliknya. Namun semua yang Allah turunkan bermanfaat bagi manusia dan dibutuhkan mereka semua.”

Lalu beliau mengatakan, “Jika seseorang membaca surat al-Ikhlas, dia mendapat pahala senilai pahala sepertiga al-Quran. Namun bukan berarti pahala yang dia dapatkan sepadan dengan bentuk pahala untuk ayat-ayat Quran yang lainnya. Bahkan bisa jadi dia butuh bentuk pahala dari memahami perintah, larangan, dan kisah al-Quran. Sehingga surat al-Ikhlas tidak bisa menggantikan semua itu.” (Majmu’ al-Fatawa, 17/138).

Syaikhul-Islam rahimahullah juga berkata: ”Apabila (qul huwallahu Ahad) sebanding dengan sepertiga Al-Qur`an, bukan berarti ia lebih utama dari al-Fatihah; dan tidak pula mencukupkan diri membaca Al-Qur`an dengan membacanya sebanyak tiga kali. Akan tetapi, apabila dibaca (qul huwallahu Ahad) terpisah sebanyak tiga kali atau lebih dari itu, maka pembacanya mendapatkan pahala yang sebanding dengan sepertiga Al-Qur`an, namun perbandingan sesuatu bukanlah dari jenisnya”. [Jawab ‘alil-Ilmi wal-Iman, hlm. 133, 134].


Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar