Senin, 27 Maret 2017

Ensiklopedi : Amalan Bulan Rojab

Bulan Rojab


Memang benar, keutamaan bulan dalam kalender hijriyah itu bertingkat-tingkat, begitu juga hari-harinya. Misalnya, bulan Ramadhan lebih utama dari semua bulan, hari Jum’at lebih utama dari semua hari, malam Lailatul Qadar lebih utama dari semua malam, dan sebagainya. Namun, harus kita pahami bersama bahwa timbangan keutamaan tersebut hanyalah syari’at, yakni al-Qur’an dan hadits yang shahih, bukan hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu).

Di antara bulan Islam yang ditetapkan kemuliaannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah bulan Rajab. Namun sungguh sangat disesalkan beredarnya riwayat-riwayat yang dha’if dan palsu seputar bulan Rajab serta amalan-amalan khusus di bulan Rajab di tengah masyarakat kita. Hal ini dijadikan senjata oleh para pecandu bid’ah mempromosikan kebid’ahan-kebid’ahan ala jahiliyah di muka bumi ini.

Dari sinilah, terasa pentingnya penjelasan secara ringkas tentang pembahasan seputar bulan Rajab dan amalan-amalan manusia yang menodainya dengan riwayat-riwayat lemah dan palsu.

A. Rajab, Definisi dan Keutamaannya


“Rajab” secara bahasa diambil dari kata
« رَجَبَ الرَّجُلُ رَجَبًا »
artinya: mengagungkan dan memuliakan. Rajab adalah sebuah bulan. Dinamakan dengan “Rajab” dikarenakan mereka dahulu sangat mengagungkannya pada masa jahiliyah, yaitu dengan tidak menghalalkan perang di bulan tersebut. (Lisanul Arab 1/411, 422)

Tentang keutamaannya, Alloh telah berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّماَوَاتِ وَاْلأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ فَلاَتَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Alloh adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Alloh di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. (QS. at-Taubah: 36)

Imam Thabari berkata, “Bulan itu ada dua belas, empat di antaranya merupakan bulan haram (mulia), di mana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Hingga seandainya ada seseorang bertemu dengan pembunuh bapaknya, dia tidak akan menyerangnya. Bulan empat itu adalah Rajab Mudhar, dan tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Demikianlah dinyatakan dalam hadits-hadits Rasulullah.” (Jami’ul Bayan 10/124-125)

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya 4662 dari Abu Bakrah a/ bahwasanya Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِيْ بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya tatkala Alloh menciptakan langit dan bumi, setahun ada dua belas bulan di antaranya terdapat empat bulan haram, tiga bulan berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhar yang terletak antara Jumada (akhir) dan Sya’ban.

Diantara dalil yang menunjukkan bahwa bulan Rajab sangat diagungkan oleh manusia pada masa jahiliyah adalah riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2/345 dari Kharasyah bin Hurr, ia berkata, “Saya melihat Umar memukul tangan-tangan manusia pada bulan Rajab agar mereka meletakkan tangan mereka di piring, kemudian beliau (Umar) mengatakan, ‘Makanlah oleh kalian, karena sesungguhnya Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang jahiliyah.’”

B. Riwayat Seputar Rajab


Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah berkata: “Setiap hadits yang menyebutkan tentang puasa rojab, sholat sebagian malamnya, semuanya adalah dusta”. (Al-Manarul Munif hlm. 92)

Al-Fairuz Abadi berkata: “Bab puasa Rojab dan keutamaannya tidak ada yang shahih satu haditspun, bahkan telah datang hadits yang menunjukkan dibencinya hal itu”. (Safaru Sa’adah hlm. 150)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Tidak ada hadits shahih yang dapat dijadikan hujjah seputar amalan khusus di bulan Rajab, baik puasa maupun shalat malam dan sejenisnya. Dan dalam menegaskan hal ini, aku telah didahului oleh Imam Abu Ismail al-Harawi al-Hafizh, kami meriwayatkan darinya dengan sanad shahih, demikian pula kami meriwayatkan dari selainnya.” (Tabyin ‘Ajab bima Warada fi Rajab )

Al-Hafizh Ibnu Hajar juga berkata, “Hadits-hadits yang datang secara jelas seputar keutamaan Rajab atau puasa di bulan Rajab terbagi menjadi dua; dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu).”

Al-Hafizh telah mengumpulkan hadits-hadits seputar Rajab, maka beliau mendapatkan sebelas hadits berderajat dha’if dan dua puluh satu hadits berderajat maudhu’. Berikut ini kami nukilkan sebagian hadits dha’if dan maudhu’ tersebut:

Berikut ini beberapa hadits lemah dan palsu terkait bulan Rajab yang sudah tersebar di tengah-tengah umat. Sengaja kami sebutkan agar kita semua mengetahui hadits-hadits tersebut sehingga tidak menjadikannya sebagai sandaran dalam beramal, apalagi menisbatkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

- Hadits 1

كَانَ النّبِي صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ رَجَب قال : اللّهُمّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ.
“Adalah Nabi ketika memasuki bulan Rajab, beliau berdo’a:

اللّهُمّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
Allaahumma Baarik Lana Fii Rajabin Wa Sya’baana, Wa Ballighna Ramadhaana (“Ya Allah, limpahkanlah barakah pada kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.”) [hadits dha'if sebagaimana dinyatakan oleh An-Nawawi rahimahullah]

Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Zawaa’id al-Musnad (2346), al-Bazzar di dalam Musnadnya –sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astaar- (616), Ibn as-Sunny di dalam ‘Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658) ath-Thabarany di dalam (al-Mu’jam) al-Awsath (3939) dan kitab ad-Du’a’ (911), Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah (VI:269), al-Baihaqy di dalam Syu’ab (al-Iman) (3534), kitab Fadhaa’il al-Awqaat (14), al-Khathib al-Baghdady di dalam al-Muwadhdhih (II:473), Ibn ‘Asaakir di dalam Tarikh-nya (XL:57); dari jalur Za’idah bin Abu ar-Raqqad, dari Ziyad an-Numairy, dari Anas.

Kualitas sanad ini lemah :

Imam al-Bukhary dan an-Nasa’iy berkata, “Hadits yang diriwayatkannya (Za’idah) Munkar.”
Abu Daud berkata, “Aku tidak mengetahui khabarnya.”
Abu Hatim berkata, “Ia meriwayatkan dari Ziyad an-Numairy, dari Anas hadits-hadits Marfu’ tetapi Munkar. Kami tidak tahu apakah ia berasal dari dirinya atau dari Ziyad.”
Adz-Dzahaby berkata, “Ia seorang periwayat yang lemah.”
Al-Hafizh Ibn Hajar berkata, “Hadits yang diriwayatkannya Munkar.”

[Lihat juga: at-Taarikh al-Kabiir (III:433), al-Jarh (III:613), al-Majruuhiin (I:308), Miizaan al-I’tidaal (II:65), at-Tahdzib (III:305), at-Taqriib (I:256)]

Sedangkan mengenai Ziyad bin ‘Abdullah an-Numairy:

Ibn Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya dan dilemahkan oleh Abu Daud.”
Abu Hatim berkata, “Haditsnya ditulis namun tidak dijadikan hujjah.”
Ibn Hibban menyinggungnya di dalam kitabnya ats-Tsiqaat, ia berkata, “Sering salah.” Kemudian ia memuatnya di dalam kitabnya ‘al-Majruuhiin’ seraya berkata, “Hadits yang diriwayatkannya munkar. Ia meriwayatkan dari Anas sesuatu yang tidak serupa dengan hadits yang diriwayatkan para periwayat Tsiqaat (terpercaya). Tidak boleh berhujjah dengannya.”
Adz-Dzahaby berkata, “Ia seorang periwayat yang lemah.”

[lihat: Taariikh Ibn Ma’in (II:179), al-Jarh (III:536), al-Kaamil (III:1044), Miizaan al-I’tidaal (II:65) dan at-Tahdzib (III:378)]

Za’idah bin Abi ar-Raqqad sendirian meriwayatkan hadits ini dari Ziyad an-Numairy.

Ath-Thabarany di dalam (al-Mu’jam) al-Awsath berkata, “Hadits ini tidak diriwayatkan dari Rasulullah kecuali hanya melalui sanad ini saja. Za’idah bin Abi ar-Raqqad sendirian meriwayatkannya.”

Al-Baihaqy berkata, “an-Numairy meriwayatkan sendirian hadits ini, lalu Za’idah bin Abi ar-Raqqad meriwayatkan darinya pula.”

Al-Bukhari berkata, “Za’idah bin Abi ar-Raqqad dari Ziyad an-Numairy, haditsnya munkar.”

Tidak hanya satu ulama tetapi banyak ulama yang menyiratkan kelemahan sanad ini, di antara mereka adalah: an-Nawawy di dalam kitab al-Adzkaar (547), Ibnu Rajab di dalam Latha’if al-Ma’arif (hal.143), al-Haitsamy di dalam Majma’ az-Zawaa’id (II:165), adz-Dzahaby di dalam Miizaan al-I’tidaal (II:65), Ibnu Hajar di dalam Tabyiin al-‘Ujab (38).

- Hadits ke-2

فَضْلُ شَهْرِ رَجَبٍ عَلَى الشُّهُورِ كَفَضْلِ القُرآنِ عَلى سَائِرِ الكَلامِ، وَفَضْلُ شَهْرِ شَعْبانَ عَلَى الشّهُورِ كَفَضْلِي عَلَى سَائِرِ اْلأَنْبِياءِ، وَفَضْلُ شَهْرِ رَمَضانَ كَفَضلِ اللهِ عَلى سَائِرِ الْعِبَادِ.
“Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaan Al-Qur’an atas seluruh perkataan, keutamaan bulan Sya’ban atas bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaanku atas seluruh para nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan atas bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaan Allah atas seluruh hamba.” [hadits maudhu']

Kata al Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany: “Hadits ini palsu.”
Perawi dalam sanad hadis ini tsiqqah, selain as Saqathi. Dialah penyakit dan orang yang terkenal sebagai pemalsu hadis. (Tabyinul Ujbi, hlm. 17)

Lihat al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’ (no. 206, hal. 128), oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky (wafat th. 1014 H).


- Hadits ke-3

إِنّ فِي الْجنَةِ نَهْرًا يُقالُ لَه رَجَبٌ أَشَدُّ بَياضًا مِن اللّبَنِ وَأَحْلَى مِن الْعَسلِ، مَن صَامَ يَومًا مِن رَجَبٍ سَقاهُ اللهُ تَعالَى مِنْ ذَلكَ النّهرِ.
“Sesungguhnya di al-jannah (surga) itu ada sebuah sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu, dan rasanya lebih manis daripada madu, barangsiapa yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, Allah ta’ala akan memberi minum kepadanya dari sungai tersebut.” [hadits maudhu']

Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dailamy (I/2/281) dan al-Ashbahany di dalam kitab at-Targhib (I-II/224) dari jalan Mansyur bin Yazid al-Asadiy telah menceritakan kepada kami Musa bin ‘Imran, ia berkata: “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, …”

Imam adz-Dzahaby berkata: “Mansyur bin Yazid al-Asadiy meriwayatkan darinya, Muhammad al-Mughirah tentang keutamaan bulan Rajab. Mansyur bin Yazid adalah rawi yang tidak dikenal dan khabar (hadits) ini adalah bathil.” [Lihat Mizaanul I’tidal (IV/ 189)]

Ibnul Jauzi mengatakan dalam al Ilal al Mutanahiyah, “Dalam sanadnya terdapat banyak perawi yang tidak dikenal, sanadnya dhaif secara umum, namun tidak sampai untuk dihukumi palsu. (al Ilal al Mutanahiyah, 2/65)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Musa bin ‘Imraan adalah majhul dan aku tidak mengenalnya.”
Lihat Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 1898).

- Hadits ke-4

إنَّ فِي الْجنّةِ نَهْراً يُقالُ له رَجَبٌ مَاؤُهُ الرّحِيقُ، مَنْ شَرِبَ مِنه شُربةً لَمْ يَظْمَأْ بَعدَها أبَداً، أَعَدّهُ اللهُ لِصَوَّامِ رَجَبٍ.
“Sesungguhnya di al-jannah itu terdapat sebuah sungai yang dinamakan Rajab, airnya adalah ar-rahiq (sejenis minuman yang paling lezat rasanya), yang barangsiapa minum darinya seteguk saja, dia tidak akan merasakan haus selamanya. Sungai tersebut Allah sediakan untuk orang yang sering berpuasa Rajab.” [hadits bathil, serupa dengan maudhu']


- Hadits ke-5

رَجَبٌ شَهرُ اللهِ وَشَعبانُ شَهرِيْ وَرَمضانُ شَهرُ أُمّتِي.
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan ummatku.” [hadits maudhu']

Kata Syaikh ash-Shaghani (wafat th. 650 H): “Hadits ini maudhu’.” [Lihat Maudhu’atush Shaghani (I/61, no. 129)]

Hadits tersebut mempunyai matan yang panjang, lanjutan hadits itu ada lafazh:
لاَ تَغْفُلُوْا عَنْ أَوَّلِ جُمُعَةٍ مِنْ رَجَبٍ فَإِنَّهَا لَيْلَةٌ تُسَمِّيْهَا الْمَلاَئِكَةُ الرَّغَائِبَ
“Janganlah kalian lalai dari (beribadah) pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab, karena malam itu Malaikat menamakannya Raghaa-ib…”
Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) MAUDHU’

Kata Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H): “Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Mandah dari Ibnu Jahdham, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Muhammad bin Sa’id al-Bashry, telah menceritakan kepada kami Khalaf bin ‘Abdullah as-Shan’any, dari Humaid ath-Thawil dari Anas, secara marfu’. [Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if (no. 168-169)]

Kata Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H): “Hadits ini palsu dan yang tertuduh memalsukannya adalah Ibnu Jahdham, mereka menuduh sebagai pendusta. Aku telah mendengar Syaikhku Abdul Wahhab al-Hafizh berkata: “Rawi-rawi hadits tersebut adalah rawi-rawi yang majhul (tidak dikenal), aku sudah periksa semua kitab, tetapi aku tidak dapati biografi hidup mereka.” [Al-Maudhu’at (II/125), oleh Ibnul Jauzy]

Imam adz-Dzahaby berkata: “ ’Ali bin ‘Abdullah bin Jahdham az-Zahudi, Abul Hasan Syaikhush Shuufiyyah pengarang kitab Bahjatul Asraar dituduh memalsukan hadits.”

Kata para ulama lainnya: “Dia dituduh membuat hadits palsu tentang shalat ar-Raghaa-ib.”
Periksa: Mizaanul I’tidal (III/142-143, no. 5879).

- Hadits ke-6

خِيَرَةُ اللهِ مِن الشُّهورِ شَهرُ رجبٍ، وَهُوَ شَهرُ اللهِ، مَنْ عَظّمَ شَهرَ رَجب فَقَدْ عَظّم أمرَ اللهِ، وَمَن عَظّمَ أمرَ اللهِ أَدْخَلَهُ جَنّاتِ النّعِيمِ وَأَوجَبَ لَه.
“Pilihan Allah dari bulan-bulan yang ada adalah jatuh pada bulan Rajab, dia adalah bulan Allah, barangsiapa yang mengagungkan bulan Rajab, maka sungguh dia telah mengagungkan perintah Allah, dan barangsiapa yang mengagungkan perintah Allah, maka Allah akan masukkan dia ke dalam surga yang penuh kenikmatan, dan itu pasti buat dia.” [hadits maudhu']

- Hadits ke-7

مَنْ صَامَ ثلاثةَ أيّامٍ مِن شَهرٍ حَرامٍ كَتَبَ اللهُ عِبادةَ تِسْعِمِائَةِ سَنَةٍ.
“Barangsiapa yang berpuasa tiga hari pada bulan haram, Allah tulis baginya (pahala) ibadah selama 900 tahun.” [hadits dha'if]

- Hadits ke-8

مَنْ صَلّى بَعدَ الْمَغربِ أَوّلَ لَيْلَةٍ مِن رجبٍ عِشْرِينَ رَكْعَةً جَازَ عَلَى الصِّرَاطِ بِلاَ نَجَاسَةٍ.
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat setelah maghrib pada malam pertama bulan Rajab sebanyak 20 raka’at, maka dia akan melewati shirath dengan tanpa hisab.” [hadits maudhu']

مَنْ صَلَّى الْمَغْرِبَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا عِشْرِيْنَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدُ مَرَّةً، وَيُسَلِّمُ فِيْهِنَّ عَشْرَ تَسْلِيْمَاتٍ، أَتَدْرُوْنَ مَا ثَوَابُهُ ؟ فَإِنَّ الرُّوْحَ اْلأَمِيْنَ جِبْرِيْلُ عَلَّمَنِيْ ذَلِكَ. قُلْنَا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ: حَفِظَهُ اللَّهُ فِيْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَأُجِيْرَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَجَازَ عَلَى الصِّرَاطِ كَالْبَرْقِ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ.
“Barangsiapa shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab, kemudian shalat sesudahnya dua puluh raka’at, setiap raka’at membaca al-Fatihah dan al-Ikhlash serta salam sepuluh kali. Kalian tahu ganjarannya? Sesungguhnya Jibril mengajarkan kepadaku demikian.” Kami berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, dan berkata: ‘Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan anaknya serta diselamatkan dari adzab Qubur dan ia akan melewati as-Shirath seperti kilat tanpa dihisab, dan tidak disiksa.’”

Kata Ibnul Jauzi: “Hadits ini palsu dan kebanyakan rawi-rawinya adalah majhul (tidak dikenal biografinya).”

Lihat al-Maudhu’at Ibnul Jauzy (II/123), al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh as-Syaukany (no. 144) dan Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at (II/89), oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani (wafat th. 963 H).

- Hadits ke-9

مَنْ أَحْيَا لَيْلَةً مِن رجبٍ وصَامَ يوماً، أَطْعَمَهُ الله مِن ثِمارِ الْجَنّةِ، وَكَساهُ مِن حُلَلِ الْجَنّة وسَقاهُ مِن الرّحِيقِ الْمَخْتُومِ، إِلاّ مَنْ فَعَلَ ثَلاثاً : مَنْ قَتَلَ نَفْساً، أَوْ سَمِع مُسْتَغِيثاً يَسْتَغِيْثُ بِلَيْلٍ أو نَهارٍ فَلَم يُغِثْهُ ، أَو شَكَا إِليه أَخُوهُ حَاجَةً فَلَمْ يُفَرِّجْ عَنهُ.
“Barangsiapa yang menghidupkan satu malam di bulan Rajab dan berpuasa sehari di bulan tersebut, maka Allah akan memberikan dia makanan dari buah-buahan al-jannah, pakaian dari al-jannah, dan minuman dari ar-rahiqul makhtum, kecuali orang yang melakukan tiga perbuatan: (1) orang yang membunuh satu jiwa, atau (2) mendengar orang lain meminta minum, malam maupun siang tetapi dia tidak mau memberikannya, atau (3) ada saudaranya yang mengeluhkan kepadanya suatu kebutuhannya, namun dia tidak mau memberikan jalan keluar untuknya.” [hadits maudhu']

Diriwayatkan dalam kitab Allaalaiy dari jalan Al Husain bin `Ali Marfu`: Berkata pengarang kitab : Hadits ini Maudhu` (palsu).

- Hadits ke-10

خَمسُ لَيالٍ لاَ تُردُّ فِيهِنّ الدّعْوَةُ : أَوّلُ لَيلةٍ مِن رَجَبٍ، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِن شَعبانَ، وَلَيْلَةُ الْجُمُعةِ، وَليلةُ الْفِطْرِ، وَلَيلةُ النّحْرِ.
“Ada lima malam yang jika sebuah doa dipanjatkan padanya, maka tidak akan tertolak: (1) malam pertama bulan Rajab, (2) malam nishfu (pertengahan) Sya’ban, (3) malam Jum’at, (4) malam ‘idul fithri, (5) malam hari Nahr (malam 10 Dzulhijjah).” [hadits maudhu']

- Hadits ke-11

أَكْثِرُوا مِن الاسْتِغْفارِ فِي شهرِ رَجَبٍ، فَإِنّ لِلّهِ فِي كُلِّ سَاعةٍ مِنه عُتقاءَ مِن النّارِ، وَإِنّ لِلّهِ مَدَائِنَ لاَ يَدخُلُها إِلاّ مَن صامَ رَجَب.
“Perbanyaklah istighfar pada bulan Rajab, karena sesungguhnya pada setiap waktu Allah memiliki hamba-hamba-Nya yang akan dibebaskan dari neraka,dan seungguhnya Allah memiliki kota-kota yang tidaklah ada yang bisa memasukinya kecuali orang yang berpuasa Rajab.” [hadits bathil]

Dikatakan dalam “Adz dzail” : Dalam sanadnya ada rawi namanya Al Ashbagh : Tidak bisa dipercaya.

- Hadits ke-12
مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍ عَدَلَ صِيَامَ شَهْرٍ.
“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab (ganjarannya) sama dengan berpuasa satu bulan.”
Keterangan: Hadits Ini (ضَعِيْفٌ جِدًّا) Sangat Lemah

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh dari Abu Dzarr secara marfu’.
Dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama al-Furaat bin as-Saa-ib, dia adalah seorang rawi yang matruk. [Lihat al-Fawaa-id al-Majmu’ah (no. 290)]

Kata Imam an-Nasa-i: “Furaat bin as-Saa-ib Matrukul hadits.” Dan kata Imam al-Bukhari dalam Tarikhul Kabir: “Para Ahli Hadits meninggalkannya, karena dia seorang rawi munkarul hadits, serta dia termasuk rawi yang matruk kata Imam ad-Daraquthni.”

Lihat adh-Dhu’afa wa Matrukin oleh Imam an-Nasa-i (no. 512), al-Jarh wat Ta’dil (VII/80), Mizaanul I’tidal (III/341) dan Lisaanul Mizaan (IV/430).

Berkata Al Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya “Al Amaaliy” : sepakat diriwayatkan hadist ini dari jalan Al Furaat bin As Saaib- dia ini lemah- Rusydiin bin Sa`ad, dan Al Hakim bin Marwaan, kedua perawi ini lemah juga.

- Hadits ke-13

Sesungguhnya Al Baihaqiy juga meriwayatkan hadits ini di kitabnya : “Syu`abul Iman” dari hadits Anas,

مَن صامَ يوماً مِن رجب كانَ كَصِيامِ سَنةٍ، ومن صام سَبعةَ أيّامٍ غُلِّقَتْ عَنهُ أبوابُ جَهَنّمَ ومَن صامَ ثَمانِيةَ أيّامٍ فُتِحَتْ لَه ثَمَانِيةُ أبوابِ الْجَنّةِ وَمن صامَ عَشْرَةَ أيّامٍ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ شيئاً إلاّ أعطاهُ اللهُ ومَن صامَ خَمسةَ عَشَرَ يوماً نَادى مُنادٍ فِي السّماءِ قَدْ غُفِرَ لَكَ مَا سَلَفَ.
“Barangsiapa yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, maka dia akan mendapatkan pahala seperti berpuasa selama setahun, barangsiapa yang berpuasa selama tujuh hari, pintu-pintu jahannah akan tertutup darinya, barangsiapa yang berpuasa selama delapan hari, maka delapan pintu al-jannah akan terbuka untuknya, barangsiapa yang berpuasa selama sepuluh hari, maka tidaklah dia memohon sesuatu kepada Allah kecuali pasti Allah beri, dan barangsiapa yang berpuasa selama 15 hari, maka ada penyeru dari langit yang akan memanggil dia: sungguh dosa-dosamu yang telah lalu telah terampuni.” [hadits maudhu']

Dalam sanad hadits ini juga ada perawi ; `Abdul Ghafuur Abu As Shobaah Al Anshoriy, dia ini perawi yang ditinggalkan. Berkata Ibnu Hibbaan : “Dia ini termasuk orang orang yang memalsukan hadits”.

- Hadits ke-14

إنّ شَهرَ رجبٍ شهرٌ عظيمٌ مَنْ صامَ مِنهُ يَوماً كَتبَ اللهُ لَه صومَ أَلْفِ سَنَةٍ وَمَنْ صامَ يَومَيْنِ كَتَبَ الله له صيامَ أَلْفَيْ سَنَةٍ وَمَنْ صام ثلاثةَ أيّامٍ كَتب الله له صيامَ ثلاثةِ ألفِ سَنة ومَن صامَ مِن رجبٍ سَبعةَ أيّامٍ أُغْلِقَتْ عنه أبوابُ جهنّمَ وَمَن صامَ مِنهُ ثَمانِيَةَ أيّامٍ فُتِحَتْ له أبوابُ الْجَنّةِ الثّمانِيةُ يَدخُلُ مِن أَيِّها يَشَاءُ
“Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang agung, barangsiapa yang berpuasa sehari, Allah tuliskan baginya puasa seribu tahun, barangsiapa berpuasa dua hari, Allah tuliskan baginya puasa 2000 tahun, barangsiapa yang berpuasa tiga hari, Allah tuliskan baginya puasa 3000 tahun, barangsiapa berpuasa di bulan Rajab selama tujuh hari, maka pintu-pintu jahannam tertutup darinya, barangsiapa yang berpuasa delapan hari, pintu-pintu al-jannah yang delapan akan dibuka untuknya, dia dipersilakan masuk dari pintu mana saja yang dia kehendaki……” [hadits maudhu']

Diriwayatkan oleh Ibnu Syaahin dari `Ali secara Marfu`. Dan dijelaskan dalam kitab Allaalaiy : Hadits ini tidak Shohih, sedangkan Haruun bin `Antarah selalu meriwayatkan hadits-hadits yang munkar.

- Hadits ke-15

حديث : رجب شهر الله, وشعبان شهري, ورمضان شهر أمتى. فمن صام من رجب يومين. فله من الأجر ضعفان, ووزن كل ضعف مثل جبال الدنيا, ثم ذكر أجر من صام أربعة أيام, ومن صام ستة أيام, ثم سبعة أيام ثم ثمانية أيام, ثم هكذا: إلى خمسة عشر يوما منه.
Artinya : “Rajab adalah bulan Allah, Sya`ban bulan Saya (Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam), sedangkan Ramadhan bulan ummat Saya. Barang siapa berpuasa di bulan Rajab dua hari, baginya pahala dua kali lipat, timbangan setiap lipatan itu sama dengan gunung gunung yang ada di dunia, kemudian disebutkan pahala bagi orang yang berpuasa empat hari, enam hari, tujuah hari, delapan hari, dan seterusnya, sampai disebutkan ganjaran bagi orang berpuasa lima belas hari.

Hadits ini “Maudhu`” (Palsu). Dalam sanad hadits ini ada yang bernama Abu Bakar bin Al Hasan An Naqqaasy, dia perawi yang dituduh pendusta, Al Kasaaiy- rawi yang tidak dikenal (Majhul). Hadits ini juga diriwayatkan oleh pengarang Allaalaiy dari jalan Abi Sa`id Al Khudriy dengan sanad yang sama, juga Ibnu Al Jauziy nukilan dari kitab Allaalaiy.

- Hadits ke-16

صَومُ أَوّلِ يَومٍ مِن رَجَبٍ كَفّارَةُ ثَلاثِ سِنِيْنَ ، وَالثّانِي كَفّارةُ سَنَتَيْنِ ،والثّالِثُ كَفّارةُ سَنَة ثُمّ كُلّ يومٍ شهْراً.
“Berpuasa pada hari pertama bulan Rajab sebagai kaffarah (penebus dosa) selama tiga tahun, pada hari kedua sebagai kaffarah selama dua tahun, dan pada hari ketiga sebagai kaffarah selama setahun, kemudian setiap harinya sebagai kaffarah selama sebulan.” [hadits dha'if]

- Hadits ke-17

مَن صامَ يوماً مِن رَجَبٍ وصَلّى فِيهِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرَأُ فِي أوّلِ رَكْعَةٍ مِائَةَ مَرّةٍ آيةَ الْكُرسِي، وَفِي الرّكْعةِ الثّانِيَةِ قُل هُو الله أحَدٌ مِائَةَ مَرّةٍ لَمْ يَمُتْ حَتّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِن الْجَنّةِ أَوْ يُرَى لَهُ.
“Barangsiapa yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, dan shalat empat rakaat yang pada rakaat pertama membaca ayat kursi sebanyak seratus kali, kemudian pada rakaat kedua membaca ‘qul huwallahu ahad’ seratus kali, maka tidaklah dia meninggal sampai dia melihat tempat duduknya di al-jannah atau diperlihatkan kepadanya.” [hadits maudhu']

Kata Ibnul Jauzy: “Hadits ini palsu, dan rawi-rawinya majhul serta seorang perawi yang bernama ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah perawi matruk menurut para Ahli Hadits.” [Al-Maudhu’at (II/123-124)]

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah rawi yang lemah. [Lihat Taqriibut Tahdziib (I/663 no. 4518)]

- Hadits ke-18

مَن صامَ ثلاثةَ أيامٍ مِن رجب كَتَبَ اللهُ لَه صِيامَ شَهْرٍ ، وَمن صامَ سَبعةَ أيّامٍ مِن رَجَبٍ أَغْلَقَ الله سَبعةَ أبوابٍ مِن النّارِ ، وَمن صامَ ثَمانِيةَ أيّامٍ مِن رجبٍ فَتَحَ الله لَه ثَمانِيَةَ أبوابٍ مِن الْجَنّةِ، ومن صامَ نِصفَ رَجَبٍ كَتَبَ الله له رِضوانَه، وَمن كُتِب لَه رِضْوانُه لَم يُعَذِّبْه، ومَن صامَ رجب كُلَّه حَاسَبَه الله حِساباً يَسِيراً.
“Barangsiapa yang berpuasa tiga hari bulan Rajab, Allah akan menuliskan untuknya pahala puasa selama sebulan, barangsiapa yang berpuasa tujuh hari bulan Rajab, Allah akan tutup tujuh pintu neraka, barangsiapa yang berpuasa delapan hari bulan Rajab, Allah akan bukakan untuknya delapan pintu al-jannah, barangsiapa yang berpuasa pada pertengahan bulan Rajab, maka Allah akan menuliskan untuknya keridhaan-Nya, dan barangsiapa yang dituliskan baginya keridhaan-Nya, pasti Allah tidak akan mengadzabnya, dan barangsiapa yang berpuasa Rajab satu bulan penuh, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah.” [hadits maudhu']

Hadits ini termaktub dalam kitab al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits al-Maudhu’ah (no. 288). Setelah membawakan hadits ini asy-Syaukani berkata: “Suyuthi membawakan hadits ini dalam kitabnya, al-Laaliy al-Mashnu’ah, ia berkata: ‘Hadits ini diriwayatkan dari jalan Amr bin al-Azhar dari Abaan dari Anas secara marfu’.’”

Dalam sanad hadits tersebut ada dua perawi yang sangat lemah:

a- ‘Amr bin al-Azhar al-‘Ataky.
Imam an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits.” Sedangkan kata Imam al-Bukhari: “Dia dituduh sebagai pendusta.” Kata Imam Ahmad: “Dia sering memalsukan hadits.”
Periksa, adh-Dhu’afa wal Matrukin (no. 478) oleh Imam an-Nasa-i, Mizaanul I’tidal (III/245-246), al-Jarh wat Ta’dil (VI/221) dan Lisaanul Mizaan (IV/353).

b- Abaan bin Abi ‘Ayyasy, seorang Tabi’in shaghiir.
Imam Ahmad dan an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya).” Kata Yahya bin Ma’in: “Dia matruk.” Dan beliau pernah berkata: “Dia rawi yang lemah.”
Periksa: Adh Dhu’afa wal Matrukin (no. 21), Mizaanul I’tidal (I/10), al-Jarh wat Ta’dil (II/295), Taqriibut Tahdzib (I/51, no. 142).

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Syaikh dari jalan Ibnu ‘Ulwan dari Abaan. Kata Imam as-Suyuthi: “Ibnu ‘Ulwan adalah pemalsu hadits.” [Lihat al-Fawaaidul Majmu’ah (hal. 102, no. 288)]

- Hadits ke-19

بُعِثْتُ نَبِياً فِي السّابِع وَالْعِشْرِينَ مِن رجبٍ، فَمن صامَ ذلك اليومَ كانَ كَفّارَةُ سِتِّيْنَ شَهْراً.
“Aku diutus sebagai nabi pada 27 Rajab, barangsiapa yang berpuasa pada hari itu, maka itu sebagai kaffarah (penebus dosa) selama 60 bulan.” [hadits munkar]

- Hadits ke-20

أَنّ اللهَ أَمَرَ نُوحاً بِعَمَلِ السّفِينَةِ فِي رَجَبٍ وَأَمَرَ الْمُؤمِنِيْنَ الّذِينَ مَعَهُ بِصِيامِهِ.
“Sesungguhnya Allah memerintahkan nabi Nuh untuk membuat perahu pada bulan Rajab dan memerintahkan kaum mukminin yang bersama beliau untuk berpuasa.” [hadits maudhu']

- Hadits ke-21

مَن صامَ مِن كُلِّ شَهرٍ حَرامٍ : الْخَمِيس، والْجُمُعة، والسّبْت كُتِبتْ لَه عِبَادَةُ سَبْعِمِائةِ سَنَة.
“Barangsiapa yang berpuasa pada setiap bulan haram hari Kamis, Jum’at, dan Sabtu, maka akan dituliskan baginya pahala ibadah selama 700 tahun.” [hadits dha'if]

Beberapa hadits yang disebutkan di atas merupakan sebagiannya saja dari sekian banyak hadits lemah dan palsu terkait bulan Rajab. Sebenarnya masih banyak lagi hadits-hadits tentang keutamaan Rajab, shalat Raghaa-ib dan puasa Rajab, akan tetapi karena semuanya sangat lemah dan palsu.

C. Shalat Ragha’ib


Shalat Ragha’ib adalah shalat yang dilaksanakan pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, tepatnya antara shalat Maghrib dan Isya’ dengan didahului puasa hari Kamis, dikerjakan dengan dua belas raka’at. Pada setiap raka’at membacasuratal-Fatihah sekali,suratal-Qadar tiga kali dansuratal-Ikhlas dua belas kali … dan seterusnya.

Sifat shalat seperti di atas tadi didukung oleh sebuah riwayat dari sahabat Anas bin Malik a/ yang dibawakan secara panjang oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin 1/203 dan beliau menamainya ‘shalat Rajab’ seraya berkata, “Ini adalah shalat yang disunnahkan.”

Demikianlah perkataannya –semoga Alloh mengampuninya–, padahal para pakar hadits telah bersepakat dalam satu kata bahwa hadits-hadits tentang shalat Ragha’ib adalah maudhu’. Di bawah ini, penulis nukilkan sebagian komentar ulama ahli hadits tentangnya:

1.  Imam Ibnul Jauzi berkata: “Hadits shalat Ragha’ib adalah palsu, didustakan atas nama Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam. Para ulama mengatakan hadits ini dibuat-buat oleh seseorang yang bernama Ibnu Juhaim. Dan saya mendengar syaikh (guru) kami Abdul Wahhab al-Hafizh mengatakan, ‘Para perawinya majhul (tidak dikenal), saya telah memeriksa seluruhnya dalam setiap kitab, namun saya tidak mendapatkannya.’” (al-Maudhu’at 2/124-125)

2.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Shalat Ragha’ib adalah bid’ah menurut kesepakatan para imam agama, tidak disunnahkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam, tidak pula oleh seorang pun dari khalifahnya, serta tidak dianggap baik oleh para ulama panutan, seperti Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauri, Auza’i, Laits, dan sebagainya. Adapun hadits tentang shalat Ragha’ib tersebut adalah hadits dusta, menurut kesepakatan para pakar hadits.” (Majmu’ Fatawa 23/134)

3.  Imam Dzahabi berkata tatkala menceritakan biografi imam Ibnu Shalah: “Beliau (Ibnu Shalah) tergelincir di dalam masalah shalat Ragha’ib, beliau menguatkan dan mendukungnya padahal kebatilan hadits tersebut tidak diragukan lagi.” (Siyar A’lam Nubala 23/142-143)

4.  Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata: “Demikian pula hadits-hadits tentang shalat Ragha’ib pada awal malam Jum’at bulan Rajab, seluruhnya dusta, dibuat-buat atas nama Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam.” (al-Manar Munif 167)

5.  Al-Hafizh al-Iraqi berkata: “Hadits maudhu’.” (Takhrij Ihya’ 1/203)

6.  Al-Allamah asy-Syaukani berkata: “Maudhu’, para perawinya majhul. Dan inilah shalat Ragha’ib yang populer, para pakar telah bersepakat bahwa hadits tersebut maudhu’. Kepalsuannya tidak diragukan lagi, hingga oleh seorang yang baru belajar ilmu hadits sekalipun. Berkata al-Fairuz Abadi dalam al-Mukhtashar bahwa hadits tersebut maudhu’ menurut kesepakatan, demikian pula dikatakan oleh al-Maqdisi.” (Fawaidul Majmu’ah 47-48)

Apabila telah jelas derajat hadits Shalat Ragha’ib sebagaimana di atas, maka mengerjakannya merupakan kebid’ahan dalam agama, yang harus diwaspadai oleh setiap insan yang hendak meraih kebahagiaan. Untuk menguatkan kebid’ahan shalat Ragha’ib ini, penulis nukilkan perkataan dua imam masyhur di kalangan madzhab Syafi’i yaitu Imam Nawawi dan Imam Suyuthi –semoga Alloh merahmati keduanya–:

1.  Imam Nawawi berkata: “Shalat yang dikenal dengan shalat Ragha’ib dua belas raka’at antara Maghrib dan Isya’ awal malam Jum’at bulan Rajab serta shalat malam Nisfu Sya’ban seratus raka’at, termasuk bid’ah mungkar dan jelek. Janganlah tertipu dengan disebutnya kedua shalat tersebut dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin (oleh al-Ghazali) dan jangan tertipu pula oleh hadits yang termaktub pada kedua kitab tersebut. Sebab, seluruhnya merupakan kebatilan.” (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab 3/549)

2.  Imam Suyuthi berkata: “Ketahuilah –semoga Alloh merahmatimu–, mengagungkan hari dan malam ini (Rajab) merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam, yang bermula setelah 400 H. Memang ada riwayat yang mendukungnya, namun haditsnya maudhu’ menurut kesepakatan para ulama. Riwayat tersebut intinya tentang keutamaan puasa dan shalat pada bulan Rajab yang dinamai dengan shalat Ragha’ib. Menurut pendapat para pakar, dilarang mengkhususkan bulan ini (Rajab) dengan puasa dan shalat bid’ah (shalat Ragha’ib) serta segala jenis pengagungan terhadap bulan ini seperti membuat makanan, menampakkan perhiasan, dan sejenisnya. Supaya bulan ini tidak ada bedanya seperti bulan-bulan lainnya.” (al-Amru bil Ittiba’ )

Kesimpulannya, riwayat tentang shalat Ragha’ib adalah palsu, menurut kesepakatan ahli hadits. Oleh karena itu, beribadah dengan hadits palsu merupakan kebid’ahan dalam agama, apalagi shalat Ragha’ib ini baru dikenal mulai tahun 448 H.

D. Perayaan Isra’ Mi’raj


Setiap tanggal 27 Rajab, perayaan Isra’ Mi’raj sudah merupakan sesuatu yang tak dapat terlupakan di masyarakat kita sekarang. Bahkan, hari tersebut menjadi hari libur nasional. Oleh karena itu, mari kita mempelajari masalah ini dari dua tinjauan: tinjauan sejarah dan tinjauan syari’at untuk merayakannya.

1. Tinjauan Sejarah Munculnya Perayaan Isra’ Mi’raj


Dalam tinjauan sejarah waktu terjadinya Isra’ Mi’raj masih diperdebatkan oleh para ulama. Jangankan tanggalnya, bulannya saja masih diperselisihkan hingga kini. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani memaparkan perselisihan tersebut dalam Fathul Bari (7/203) hingga mencapai lebih dari sepuluh pendapat!!Ada yang berpendapat bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Ramadhan, Syawwal, Rabi’ul Awwal, Rabi’uts Tsani … dan seterusnya.

Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan dari az-Zuhri dan Urwah bahwa Isra’ Mi’raj terjadi setahun sebelum Nabi Shalallahu alaihi wasalam hijrah ke kotaMadinah, yaitu bulan Rabi’ul Awwal. Adapun pendapat as-Suddi, waktunya adalah enam belas bulan sebelum hijrah, yaitu bulan Dzulqa’dah. Al-Hafizh Abdul Ghani bin Surur al-Maqdisi membawakan dalam Sirahnya hadits yang tidak shahih sanadnya tentang waktu Isra’ Mi’raj pada tanggal 27 Rajab. Dan sebagian manusia menyangka bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, yaitu malam Ragha’ib, yang ditunaikan pada waktu tersebut sebuah shalat yang masyhur tetapi tidak ada asalnya. (al-Bidayah wan Nihayah )

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tidak ada dalil shahih yang menetapkan bulan maupun tanggalnya, seluruh nukilan tersebut munqathi’ (terputus) dan berbeda-beda.” (Zadul Ma’ad)

Bahkan Imam Abu Syamah menegaskan, “Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rajab. Hal itu menurut ahli hadits merupakan kedustaan yang amat nyata.” (al-Ba’its ala Inkar Bida’ wal Hawadits hal. 171)

Dari perkataan para ulama di atas, disimpulkan Isra’ Mi’raj merupakan malam yang agung, namun tidak diketahui waktunya. Agar pembaca memahami masalah ini dengan mudah, saya katakan: “Adasebagian ibadah yang berkaitan erat dengan waktu, kita tidak boleh melangkahinya, seperti shalat limawaktu. Sebagian ibadah lainnya, Alloh menyembunyikan waktunya dan memerintahkan kita berlomba-lomba mencarinya, seperti malam Lailatul Qadar. Dan ada sebagian waktu yang mulia derajatnya di sisi Alloh namun tidak ada ibadah khusus (seperti shalat dan puasa) untuknya. Oleh karena itu, Alloh menyembunyikan waktunya, seperti malam Isra’ Mi’raj.” 

2. Tinjauan Syari’at


Ditinjau dari segi syari’at, jika memang benar Isra’ Mi’raj terjadi pada 27 Rajab, bukan berarti waktu tersebut harus dijadikan sebagai malam perayaan dengan pembacaan kisah-kisah palsu tentang Isra’ Mi’raj. Bagi seseorang yang tidak mengikuti hawa nafsunya, tidak akan ragu bahwa hal tersebut termasuk perkara bid’ah dalam Islam. Sebab, perayaan tersebut tidaklah dikenal di masa sahabat, tabi’in, dan para pengikut setia mereka. Islam hanya memiliki tiga hari raya; Idul Fitri dan Idul Adha setiap satu tahun, dan hari Jum’at setiap satu minggu. Selain tiga ini, tidak termasuk agama Islam secuil pun. (at-Tamassuk bis Sunnah Nabawiyah )

Ibnu Hajj berkata, “Termasuk perkara bid’ah yang diada-adakan orang-orang pada malam 27 Rajab adalah….” Kemudian beliau menyebutkan beberapa contoh bid’ah pada malam tersebut seperti kumpul-kumpul di masjid, ikhtilath (campur-baur antara laki-laki dan perempuan), menyalakan lilin dan pelita. Beliau juga menyebutkan, perayaan malam Isra’ Mi’raj termasuk perayaan yang disandarkan kepada agama, padahal bukan darinya.” (al-Bida’ al-Hauliyah hal. 275-276)

Ibnu Nuhas berkata, “Sesungguhnya perayaan malam ini (Isra’ Mi’raj) merupakan kebidahan besar dalam agama yang diada-adakan oleh saudara-saudara setan.” (Tanbihul Ghafilin 379-380)

Muhammad bin Ahmad asy-Syafi’i  menegaskan, “Pembacaan kisah Mi’raj dan perayaan malam 27 Rajab merupakan perkara bid’ah …. Dan kisah Mi’raj yang disandarkan kepada Ibnu Abbas h/, seluruhnya merupakan kebatilan dan kesesatan. Tidak ada yang shahih, kecuali beberapa huruf saja. Demikian pula kisah Ibnu Sulthan, seorang penghambur yang tidak pernah shalat kecuali di bulan Rajab saja. Namun tatkala hendak meninggal dunia, terlihat padanya tanda-tanda kebaikan. Sehingga saat Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam ditanya perihalnya, beliau menjawab, “Sesungguhnya dia telah bersungguh-sungguh dan berdo’a pada bulan Rajab.” Semua ini merupakan kedustaan dan kebohongan. Haram hukumnya membacakan dan melariskan riwayatnya, kecuali untuk menjelaskan kedustaannya. Sungguh sangat mengherankan kami, tatkala para jebolan al-Azhar membacakan kisah-kisah palsu seperti ini kepada khalayak.” (as-Sunan wal Mubtada’at hal. 127)

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, “Malam Isra’ Mi’raj tidak diketahui waktu terjadinya. Karena seluruh riwayat tentangnya tidak ada yang shahih menurut para pakar ilmu hadits. Di sisi Alloh-lah hikmah di balik semua ini. Kalaulah memang diketahui waktunya, tetap tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah dan perayaan. Sebab hal itu tidak pernah dilakukan Nabi Shalallahu alaihi wasalam dan para sahabatnya. Seandainya disyari’atkan, pastilah Nabi Shalallahu alaihi wasalam menjelaskannya kepada umat, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan….”

Kemudian beliau berkata, “Dengan penjelasan para ulama beserta dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits di atas, sudah cukup bagi para pencari kebenaran mengingkari bid’ah malam Isra’ Mi’raj yang memang bukan dari Islam secuil pun …. Sungguh amat menyedihkan, bid’ah ini meruyak di segala penjuru negeri Islam sehingga diyakini sebagian orang bahwa perayaan tersebut merupakan agama. Kita berdo’a kepada Alloh Ta’ala agar memperbaiki keadaan kaum muslimin semuanya dan memberi karunia kepada mereka berupa ilmu agama dan taufiq serta istiqamah di atas kebenaran.” (at-Tahdzir minal Bida hal. 9)

E. Mengkhususkan Puasa di Bulan Rajab


Termasuk perkara bid’ah di bulan Rajab, mengkhususkan puasa bulan Rajab. Karena tidak ada hadits shahih yang mendukungnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan puasa di bulan Rajab, seluruh haditsnya lemah dan palsu. Ahli ilmu tidak menjadikannya sebagai sandaran sedikitpun.” (Majmu’ Fatawa 25/290)

Imam Suyuthi berkata, “Mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa, dibenci. Asy-Syafi’i berkata, ‘Aku membenci bila seseorang menyempurnakan puasa sebulan penuh seperti puasa Ramadhan. Demikian pula mengkhususkan suatu hari dari hari-hari lainnya….”

Dan Imam Abdullah al-Anshari –seorang ulama Khurasan– tidak berpuasa bulan Rajab bahkan melarangnya seraya berkata, “Tidak satu hadits pun yang shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam tentang keutamaan bulan Rajab dan puasa Rajab.”

Bila dikatakan, “Bukankah puasa termasuk ibadah dan kebaikan?” Jawabnya: “Benar. Tapi ibadah harus berdasarkan contoh dari Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam. Apabila kita ketahui haditsnya dusta, berarti tidak termasuk syari’at.”

Bulan Rajab diagung-agungkan oleh Bani Mudhar di masa jahiliyah sebagaimana dikatakan Umar bin Khaththab a/. Bahkan beliau memukul tangan orang-orang yang berpuasa Rajab. Demikian pula Ibnu Abbas h/ –yang berjuluk lautan ilmu umat– membenci puasa Rajab. Ibnu Umar h/ pun apabila melihat manusia berpuasa Rajab, beliau membencinya seraya berkata, “Berbukalah kalian, sesungguhnya Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh ahli jahiliyah.” (al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/346)

Imam Thurthusi mengatakan –setelah membawakan atsar-atsar di atas–, “Atsar-atsar ini menunjukkan pengagungan manusia terhadap Rajab sekarang ini merupakan sisa-sisa peninggalan zaman jahiliyah dahulu. Kesimpulannya, dibenci berpuasa di bulan Rajab. Apabila seorang berpuasa dalam keadaan yang aman, yaitu bila manusia telah mengetahui dan tidak menganggapnya wajib maupun sunnah, maka hukumnya tidak mengapa.” (al-Hawadits wal Bida’ hal. 141-142)

Kesimpulan perkataan para ulama di atas, “Tidak boleh mengkhususkan puasa di bulan Rajab sebagai pengagungan terhadapnya. Sedangkan apabila seseorang telah terbiasa (rutin) berpuasa sunnah (puasa Dawud atau Senin-Kamis misalnya, baik di bulan Rajab maupun bukan) dan tidak beranggapan sebagaimana anggapan salah masyarakat awam sekitarnya, maka diperbolehkan.

Para Sahabat Melarang Mengkhususkan Rajab untuk Puasa

Memang kebiasaan mengkhususkan puasa di bulan rajab telah ada di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Beberapa tabiin yang hidup di zaman Umar bahkan telah melakukannnya. Dengan demikian, kita bisa mengacu bagaimana sikap sahabat terhadap fenomena terkait kegiatan bulan rajab yang mereka jupai.

Berikut beberapa riwayat yang menyebutkan reaksi mereka terhadap puasa rajab.

Riwayat ini di ambil dari buku Lathaiful Ma’arif, satu buku khusus karya Ibnu Rajab, yang membahas tentang wadzifah (amalan sunah) sepanjang masa,

روي عن عمر رضي الله عنه : أنه كان يضرب أكف الرجال في صوم رجب حتى يضعوها في الطعام و يقول : ما رجب ؟ إن رجبا كان يعظمه أهل الجاهلية فلما كان الإسلام ترك
Diriwayatkan dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau memukul telapak tangan beberapa orang yang melakukan puasa rajab, sampai mereka meletakkan tangannya di makanan. Umar mengatakan, “Apa rajab? Sesungguhnnya rajab adalah bulan yang dulu diagungkan masyarakat jahiliyah. Setelah islam datang, ditinggalkan.”

Dalam riwayat yang lain,
كرِهَ أن يَكونَ صِيامُه سُنَّة
“Beliau benci ketika puasa rajab dijadikan sunah (kebiasaan).” (Lathaif Al-Ma’arif, 215).

Dalam riwayat yang lain, tentang sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu,

أنه رأى أهله قد اشتروا كيزانا للماء واستعدوا للصوم فقال : ما هذا ؟ فقالوا: رجب. فقال: أتريدون أن تشبهوه برمضان ؟ وكسر تلك الكيزان
Beliau melihat keluarganya telah membeli bejana untuk wadah air, yang mereka siapkan untuk puasa. Abu Bakrah bertanya: ‘Puasa apa ini?’ Mereka menjawab: ‘Puasa rajab’ Abu Bakrah menjawab, ‘Apakah kalian hendak menyamakan rajab dengan ramadhan?’ kemudian beliau memecah bejana-bejana itu. (Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 3/107, Ibn Rajab dalam Lathaif hlm. 215, Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 25/291, dan Al-Hafidz ibn Hajar dalam Tabyi Al-Ujb hlm. 35)

Ibnu Rajab juga menyebutkan beberapa riwayat lain dari beberapa sahabat lainnya, seperti Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, bahwa mereka membenci seseorang yang melakukan puasa rajab sebulan penuh.


Sikap mereka ini menunjukkan bahwa mereka memahami bulan rajab bukan bulan yang dianjurkan untuk dijadikan waktu berpuasa secara khusus. Karena kebiasaan itu sangat mungkin, tidak mereka alami di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

F. Sembelihan Rajab


Termasuk adat jahiliyah dahulu, menyembelih hewan di bulan Rajab sebagai pengagungan terhadapnya. Sebab, Rajab merupakan awal bulan haram –menurut mereka– sebagaimana dikatakan Imam Tirmidzi dalam Sunannya 4/96. Tatkala Islam datang, secara tegas telah membatalkan acara sembelihan Rajab serta mengharamkannya sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam. Di antaranya hadits dari Abu Hurairah a/ bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam bersabda:

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيْرَةَ
Tidak ada fara’ dan athirah (HR. Bukhari 5473, 5474 dan Muslim 1976)

Dalam riwayat lainnya dengan lafazh “larangan”:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ  عَنِ الْفَرَعَ وَالْعَتِيْرَةِ
Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam melarang fara’ dan athirah. (HR. Nasa’i 4220, Ahmad 2/409)

Dan riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/229 dengan lafazh:
لاَ عَتِيْرَةَ وَلاَ فَرَعَ فِي اْلإِسْلاَمِ
Tidak ada athirah dan fara’ dalam Islam.

Berkata Abu Ubaid –ulama pakar bahasa–, “Athirah adalah sembelihan yang biasa dilakukan di masa jahiliyah pada bulan Rajab untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada patung-patung mereka.” (Fathul Bari 8/598)

Abu Dawud berkata, “Fara’ adalah unta yang disembelih orang-orang jahiliyah dipersembahkan bagi tuhan-tuhan, kemudian mereka makan. Lalu kulitnya dilemparkan ke pohon. Adapun athirah adalah sembelihan pada sepuluh hari pertama bulan Rajab.” (Aunul Ma’bud 7/341)


Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar