Sabtu, 14 November 2015

Menyentuh Mushaf Al Qur’an bagi Orang yang Berhadats (2)

Para ulama – dulu dan sekarang – berbeda pendapat dalam permasalahan menyentuh mushhaf Al-Quran dalam keadaan tidak suci. Pendapat mereka terbagi menjadi dua kelompok besar : melarangnya dan membolehkannya. Berikut akan dibahas secara ringkas permasalahan tersebut.

1.     Pendapat yang melarangnya.

Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala:
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” [QS. Al-Waaqi’ah : 79].

Juga dengan riwayat :
عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ، قَالَ: فِي كِتَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: " لا يُمَسُّ الْقُرْآنُ إِلا عَلَى طُهْرٍ "
Dari Abu Bakr bin Hazm, ia berkata : “Dalam kitab Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dituliskan untuk ‘Amru bin Hazm : ‘Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali dalam keadaan suci” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 1/341-342 no. 1328, Al-Faakihiy dalam Akhbaar Makkah no. 2923, dan Al-Qaasim bin Sallaam dalam Fadlaailul-Qur’aan 2/239 no. 918].

Juga beberapa riwayat yang ternukil dari salaf :
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، قَالَ: نَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ لَا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إِلَّا وَهُوَ طَاهِرٌ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia tidak pernah menyentuh mushhaf kecuali dalam keadaaan suci [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/361 (5/138) no. 7506; shahih].

Dalam riwayat Ibnul-Mundzir disebutkan dengan lafadh :
لا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إِلا مُتَوَضِّئٌ
“Tidaklah menyentuh mushhaf kecuali orang yang berwudlu” [Al-Ausath no. 629].

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ، نا الْحَسَّانِيُّ، نا وَكِيعٌ، نا الأَعْمَشُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: كُنَّا مَعَ  سَلْمَانَ  فَخَرَجَ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ جَاءَ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، لَوْ تَوَضَّأْتَ لَعَلَّنَا أَنْ نَسْأَلَكَ عَنْ آيَاتٍ، فَقَالَ: إِنِّي لَسْتُ أَمَسُّهُ إِنَّمَا لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ، فَقَرَأَ عَلَيْنَا مَا شئنا ".
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Wakii’ : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari ‘Abdurrahmaan bin Yaziid, ia berkata : Kami pernah bersama Salmaan (Al-Faarisiy). Lalu ia keluar untuk menunaikan hajatnya. Tidak lama kemudian ia kembali. Aku berkata : “Wahai Abu ‘Abdirrahmaan, seandainya engkau berwudlu, karena barangkali kami akan bertanya kepadamu tentang beberapa ayat Al-Quran”. Ia menjawab : “Sesungguhnya aku tidak menyentuhnya, karena tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali hamba-hamba yang disucikan”. Lalu ia membacakan kepada kami (beberapa ayat) sesuai yang kami inginkan [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 443; shahih].

عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ أُمْسِكُ الْمُصْحَفَ عَلَى سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ فَاحْتَكَكْتُ، فَقَالَ سَعْدٌ: " لَعَلَّكَ مَسَسْتَ ذَكَرَكَ "، قَالَ: فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَ: " قُمْ فَتَوَضَّأْ "، فَقُمْتُ فَتَوَضَّأْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ
Dari Ismaa’iil bin Muhammad bin Sa’d bin Abi Waqqaash, dari Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqaash, ia berkata : Aku pernah memegang mushhaf di hadapan Sa’d bin Abi Waqqaash, lalu aku menggaruk-garuk (badanku). Sa’d berkata : “Barangkali engkau telah menggaruk kemaluanmu ?”. Aku berkata : “Benar”. Ia berkata : “Berdiri dan ambillah wudlu”. Aku pun berdiri, setelah itu aku kembali kepadanya [Diriwayatkan oleh Maalik 1/297-298 no. 59, dan darinya Al-Mundziriy dalam Al-Ausath no. 86 dan Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif hal. 635 no. 733; shahih].

حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ، وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي الْخَصِيبِ، قَالا: قَالَ وَكِيعٌ: كَانَ سُفْيَانُ يَكْرَهُ أَنْ يَمَسَّ الْمُصْحَفَ وَهُوَ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ "
Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ishaaq dan ‘Aliy bin Muhammad bin Abil-Khashiib, mereka berdua berkata : Telah berkata Wakii’ : “Sufyaan (Ats-Tsauriy) membenci menyentuh mushhaf tanpa berwudlu” [Diriwayatkan Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif hal 639 no. 740; shahih].

Bahkan dihikayatkan ijmaa’ tentang larangan ini.

Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وَلَا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إلَّا طَاهِرٌ يَعْنِي طَاهِرًا مِنْ الْحَدَثَيْنِ جَمِيعًا .
رُوِيَ هَذَا عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَالْحَسَنِ وَعَطَاءٍ وَطَاوُسٍ وَالشَّعْبِيِّ وَالْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ ، وَلَا نَعْلَمُ مُخَالِفًا لَهُمْ إلَّا دَاوُد فَإِنَّهُ أَبَاحَ مَسَّهُ
“Tidak boleh menyentuh mushhaf kecuali orang yang suci, yaitu suci dari dua macam hadats secara bersamaan (hadats kecil dan besar). Telah diriwayatkan hal itu dari Ibnu ‘Umar, Al-Hasan, ‘Athaa’, Thaawuus, Asy-Sya’biy, dan Al-Qaasim bin Muhammad. Pendapat itulah yang dipegang oleh Maalik, Asy-Syaafi’iy, dan ashhaabur-ra’yi. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihi mereka kecuali Daawud (Adh-Dhaaahiriy), karena ia membolehkan menyentuhnya (meski berhadats)” [Al-Mughniy, 1/256].

Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
وأصل هَذهِ المسألة : منع المحدث مِن مس المصحف ، وسواء كانَ حدثه حدثاً أكبر ، وَهوَ مِن يجب عليهِ الغسل ، أو أصغر ، وَهوَ مِن يجب عليهِ الوضوء .
هَذا قول جماهير العلماء ، وروي ذَلِكَ عَن علي وسعد وابن عمر وسلمان ، ولا يعرف لَهُم مخالف مِن الصحابة ، وفيه أحاديث عَن النبي - صلى الله عليه وسلم - متصلة ومرسلة .وخالف في ذَلِكَ أهل الظاهر
“Pokok permasalahan ini adalah : Larangan bagi orang yang berhadats menyentuh mushhaf, sama saja apakah hadats-nya adalah hadats besar yang diwajibkan padanya mandi, ataukah hadats kecil yang hanya diwajibkan padanya wudlu. Ini adalah perkataan jumhur ulama. Dan diriwayatkan tentangnya dari ‘Aliy, Sa’d, Ibnu ‘Umar, dan Salmaan. Tidak diketahui bagi mereka adanya orang yang menyelisihi dari kalangan shahabat. Terdapat hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang muttashil dan mursal tentang hal tersebut. Dan kalangan Dhahiriyyah menyelisihi mereka dalam masalah tersebut” [Fathul-Baariy, 2/81].

2.     Membolehkannya.

Dalil mereka adalah kaedah al-baraa’atul-ashliyyah, karena tidak didapatkan dalil yang shahih lagi shariih larangan menyentuh mushhaf bagi orang yang tidak suci dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Terdapat beberapa riwayat dari salaf yang membolehkannya, antara lain :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، حَدَّثَنَا أَبُو الْوَرْقَاءِ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ خَرَجَ مِنْ غَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَمَسَحَ بِهِ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَأَخَذَ الْمُصْحَفَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Abul-Warqaa’, ia berkata : Aku mendengar Sa’iid bin Jubair keluar dari buang air besar atau buang air kecil. Ia meminta air, lalu ia mengusap muka dan kedua hastanya, dan ia memegang mushhaf” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif hal. 645-646 no. 760; shahih].

Sa’iid bin Jubair adalah salah seorang ulama taabi’iin generasi yang tsiqah, tsabt, lagi faqiih. Wafat tahun 95 H.

Ibnu Abi Daawud memasukkan riwayat di atas dalam Bab : Diberikan Keringanan Menyentuh Mushhaf dalam Keadaan Tidak Suci.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زَكَرِيَّا، حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي الْهُذَيْلِ، قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا رَزِينٍ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ فِي الْمُصْحَفِ وَقَدْ بُلْتُ فَأَبَيْتُ، فَلَقِيتُ إِبْرَاهِيمَ فَقُلْتُ لَهُ ذَلِكَ، فَقَالَ: أَحْسَنْتَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Zakariyyaa : Telah menceritakan kepada kami Abu Rajaa’ : Telah menceritakan kepada kami Israaiil, dari Abu Hudzail, ia berkata : Aku pernah mendatangi Abu Raziin, lalu ia menyuruhku membaca mushhaf, padahal aku telah kencing (dan belum berwudlu), sehingga aku menolaknya. Lalu aku menemui Ibraahiim dan aku katakan kepadanya perihal tersebut. Ia berkata : “Bagus” [Diriwayatkan Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif hal. 639-640 no. 741].

حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ، وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي الْخَصِيبِ، قَالا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ غَالِبٍ أَبِي الْهُذَيْلِ، قَالَ: أَمَرَنِي أَبُو رُزَيْنٍ أَنْ أَفْتَحَ الْمُصْحَفَ، وَأَنَا عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ، قَالَ: فَسَأَلْتُ إِبْرَاهِيمَ، فَكَرِهَهُ
Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ishaaq dan ‘Aliy bin Muhammad bin Abil-Khashiib, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii, dari ‘Aliy bin Shaalih, dari Ghaalib Abul-Hudzail, ia berkata : “Abu Raziin menyuruhku membuka mushhaf padahal aku tidak dalam keadaan mempunyai wudlu. Lalu aku bertanya kepada Ibraahiim (An-Nakhaa’iy) (tentang masalah tersebut), dan ia membencinya” [Diriwayatkan Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif hal. 640 no. 742; shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 2/361 (5/138) no. 7505].

Abu Raziin namanya adalah : Mas’uud bin Maalik, Abu Raziin Al-Asadiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah ke-2 (kibaarut-taabi’iin), dan wafat tahun 85 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 936 no. 6656].

حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ: " أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَرَى بَأْسًا أَنْ يَحولَ الرَّجُلُ الْمُصْحَفَ، وَهُوَ غَيْرُ طَاهِرٍ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari Hisyaam, dari Muhammad (bin Siiriin) : Bahwasannya ia berpendapat tidak mengapa bagi seorang laki-laki memindahkan mushhaf dalam keadaan tidak suci [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/361 (5/138) no. 7504; shahih].

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ أَشْعَثَ، عَنِ الْحَسَنِ: " أَنَّهُ كَانَ لَا يَرَى بِهِ بَأْسًا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi ‘Adiy, dari Asy’ats, dari Al-Hasan (Al-Bashriy) : Bahwasannya ia berpendapat tidak mengapa memegang mushhaf dalam keadaan tidak suci [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 7499; shahih. Diriwayatkan juga oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Fadlaailul-Qur’aan no. 922].

حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، أَنَّهُ أَرَادَ أَنْ يَتَّخِذَ مُصْحَفًا، قَالَ: فَأَعْطَاهُ نَصْرَانِيًّا فَكَتَبَهُ لَهُ
Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj, dari Syu’bah, dari Manshuur, dari Ibraahiim, dari ‘Alqamah : Bahwasanya ia ingin membuat mushhaf. Maka ia mengupah seorang Nashraaniy, lalu ia menuliskan untuknya [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Fadlaailul-Qur’aan no. 332 & 925; shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Daawud hal. 502 no. 388].
‘Alqamah bin Qais An-Nakhaa’iy; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih , lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-2 (kibaarut-taabi’iin), wafat tahun 60 H/70 H di Kuufah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 689 no. 4715].

Tarjih

Setelah melihat dalil dan pendapat yang ada, saya lebih condong pada pendapat kedua yang membolehkannya dengan alasan :

1.      Tentang ayat :
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” [QS. Al-Waaqi’ah : 79].

maka, tidak ada pendalilan dalam ayat ini untuk larangan menyentuh mushhaf (Al-Qur’an) bagi yang tidak suci (dari hadats). Konteks pendalilan mereka tidak tepat karena Al-Qur’an yang dimaksudkan adalah Al-Qur’an yang ada di Al-Lauhul-Mahfuudh, sedangkan hamba-hamba yang disucikan itu maksudnya adalah malaikat. Itu terlihat jelas dari ayat sebelumnya :
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ * فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ * لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (LauhMahfuudh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” [QS. Al-Waaqi’ah : 77-79].

Juga dalam ayat :
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ * فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuudh” [QS. Al-Buruuj : 21-22].

حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُوسَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ، عَنْ حَكِيمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ: " الْكِتَابُ الَّذِي فِي السَّمَاءِ
Telah menceritakan kepadaku Ismaa’iil bin Muusaa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Syariik, dari Hakiim, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman-Nya : ‘Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan’ (QS. Al-Waaqi’ah : 79), ia berkata : “(Yaitu) Kitaab yang ada di langit” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya 23/149].

حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ الْفَرَجِ، قَالَ: حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ عَدِيٍّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ عَاصِمٍ الْأَحْوَلِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّوَجَلَّ: لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ، قَالَ " الْمَلَائِكَةُ "
Telah menceritakan kepada kami Rauh bin Al-Faraj, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yuusuf bin ‘Adiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, dari ‘Aashim bin Al-Ahwal, dari Anas bin Maalik tentang firman-Nya : ‘Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan’ (QS. Al-Waaqi’ah : 79), ia berkata : “(Maksudnya) ia adalah para malaikat” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Ahkaamul-Qur’aan 1/117 no. 140; shahih].

Ath-Thahawiy rahimahullah menguatkan penafsiran Ibnu ‘Abbaas dan Anas radliyallaahu ‘anhum atas ayat tersebut, karena ayat tersebut merupakan pengkhabaran (dengan bentuk : laa yamassuhu – dengan rafa’) dari Allah ta’ala [Ahkaamul-Qur’aan, 1/118].
حَدَّثَنَا بِشْرٌ، قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، قَوْلَهُ: لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ: " ذَاكُمْ عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأَمَّا عِنْدَكُمْ فَيَمَسُّهُ الْمُشْرِكُ النَّجِسُ، وَالْمُنَافِقُ الرِّجِسُ "
Telah menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah tentang firman-Nya ta’ala : ‘Tidak menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali hamba-hamba yang disucikan” (QS. Al-Waaqi’ah : 79), ia berkata : “Itu yang ada di sisi Rabbul-‘Aalamiin. Adapun yang ada di sisi kalian (di dunia), maka ia disentuh oleh orang musyrik yang najis dan orang munafiq yang kotor” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya 23/152; shahih].

2.      Tentang hadits :
عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ، قَالَ: فِي كِتَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: " لا يُمَسُّ الْقُرْآنُ إِلا عَلَى طُهْرٍ "
Dari Abu Bakr bin Hazm, ia berkata : “Dalam kitab Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dituliskan untuk ‘Amru bin Hazm : ‘Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali dalam keadaan suci” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 1/341-342 no. 1328, Al-Faakihiy dalam Akhbaar Makkah no. 2923, dan Al-Qaasim bin Sallaam dalam Fadlaailul-Qur’aan 2/239 no. 918].

maka, yang ia adalah lemah karena mursal. Adapun yang muttashil hingga pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak shahih sanadnya [Sanal-Adlwaa' fii Hukmi Massil-Mushhaf, hal. 57-58].

Kalaupun dianggap shahih, maka musykil dipahami dari hadits tersebut larangan menyentuh mushhaf Al-Qur’an, karena di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam Al-Qur’an belum dibukukan/dikumpulkan dalam satu mushhaf.

3.      Tentang klaim ijmaa’, maka itu tidak benar karena sebagaimana yang Pembaca lihat, salaf telah berbeda pendapat dalam masalah ini.

Bahkan Asy-Sya’biy rahimahullah (ulama besar dari kalangan taabi’iin) membatasi larangan tersebut hanya pada orang yang berhadats besar.
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ، وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي الْخَصِيبِ، قَالا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ مُطَرِّفٍ، عَنْ عَامِرٍ، قَالَ: " مَسَّ الْمُصْحَفَ مَا لَمْ تَكُنْ جُنُبًا "
Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ishaaq dan ‘Aliy bin Muhammad bin Abil-Khashiib, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Al-Hasan bin Shaalih, dari Mutharrif, dari ‘Aamir, ia berkata : “Diperbolehkan menyentuh mushhaf selama tidak junub” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif hal. 646 no. 761; shahih].

‘Aamir Asy-Sya’biy hanya mengecualikan larangan menyentuh mushhaf bagi orang yang berhadats besar (junub) saja. Riwayat Asy-Sya’biy ini berkesesuaian dengan riwayat berikut :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: " سَأَلْتُ عَامِرًا عَنْ مَسِّ الْمُصْحَفِ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ؟ فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Israaill, dari Jaabir, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Aamir tentang menyentuh mushhaf tanpa berwudlu, lalu ia menjawab : “Tidak mengapa dengannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/361 (5/139) no. 7508; sanadnya dla’iif karena Jaabir Al-Ju’fiy].

Adapun beberapa perkataan shahabat, maka masih ada kemungkinan perkataan itu hanyalah merupakan ta’dhiim (pengagungan) terhadap Al-Qur’an, bukan larangan. Oleh karena itu, suci merupakan anjuran saja. Dan diketahui bahwa sebagian salaf sangat menyukai kesucian dalam berbagai keadaan, di antaranya sebagaimana riwayat :
عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ لا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ إِلا طَاهِرًا
Dari Maalik, dari Naafi’, ia berkata : “Ibnu ‘Umar tidak membaca Al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 1314; shahih].

أَخْبَرَنَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي نَافِعٌ، أَنَّهُ لَمْ يَرَ ابْنَ عُمَرَ قَطُّ جَالِسًا إِلا طَاهِرًا
Telah mengkhabarkan kepada kami Usaamah bin Zaid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Naafi’ : Bahwasannya ia tidak pernah sedikitpun melihat Ibnu ‘Umar duduk kecuali dalam keadaan suci [Diriwayatkan Ibnul-Mubaarak dalam Az-Zuhd no. 291; sanadnya hasan].
وَأَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ قَاسِمِ بْنِ عِيسَى الْمُقْرِئُ، ثنا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حُبَابَةَ الْبَغْدَادِيُّ، بِبَغْدَادَ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، ثنا شُعْبَةُ، قَالَ: " كَانَ قَتَادَةُ لا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا وَهُوَ عَلَى طَهَارَةٍ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Qaasim bin ‘Iisaa Al-Muqri’ : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Hubaabah Al-Baghdaadiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad Al-Baghawiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Ja’d : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, ia berkata : “Qataadah tidak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kecuali ia dalam keadaan suci” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadllihi no. 2393; shahih].

Dan yang lainnya.

4.      Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Dihyah Al-Kalbiy untuk menyampaikan surat beliau kepada Heraklius yang isinya (di antaranya memuat ayat Al-Qur’an) :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ، سَلَامٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ، وَيَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ، أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا، وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ، فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا: اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad seorang hamba Allah dan utusan-Nya, kepada Heraklius penguasa negeri Romawi. Keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Masuklah Islam, niscaya engkau akan selamat, dan Allah akan memberikan pahala kepadamu dua kali. Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa kaum Arisiyyiin. (("Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah) – QS. Aali ‘Imraan : 64))" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7].

Hiraklus yang notabene kafir (yang tentunya tidak pernah bersuci) boleh menyentuh surat yang diantara isinya adalah ayat Al-Qur’an, maka orang muslim yang mempunyai hadats lebih boleh lagi.

Jika ada yang berkata :
“Yang diharamkan adalah menyentuh mushhaf Al-Qur’an, bukan menyentuh kertas yang berisi sebagian ayat saja”.

Dijawab :
Tidak ada beda antara yang ini dan yang itu jika ‘illat larangannya adalah adanya hadats. Satu bendel kertas kosong tidak mempunyai hukum apa-apa, kecuali setelah di dalamnya ditulisi ayat Al-Qur’an. Jika ditulis semua ayat Al-Qur’an, maka satu bendel kertas tadi dinamakan mushhaf Al-Qur’an. Kalaulah seandainya satu bendel kertas semuanya telah selesai ditulis, kecuali dua ayat terakhir, apakah mereka berpendapat orang yang berhadats menjadi boleh menyentuh/memegangnya ?. Bagaimana halnya jika sepertiga atau separuh belum selesai, apakah setengah atau duapertiga Al-Qur’an yang telah selesai ditulis tersebut boleh disentuh/dipegang oleh orang yang berhadats ?. Lantas, bagaimana memegang kertas yang berisi satu juz dari ayat Al-Qur’an atau hanya satu surat ?. Bagaimana jika mushhaf  tersebut tercampuri tulisan-tulisan selain ayat Al-Qur’an ?. Sedikit ? Banyak ? atau separuhnya ? atau separuh lebih sedikit ?.

Para ulama yang melarang menyentuh/memegang mushhaf Al-Qur’an bagi orang yang berhadats/tidak suci telah berselisih pendapat tentang hukum menyentuh sebagian juz Al-Qur’an (tidak satu mushhaf penuh). Madzhab Maalikiyyah membolehkan menyentuh sebagian juz Al-Qur’an dalam rangka pengajaran

5.      Anak kecil boleh memegang mushhaf meski mempunyai hadats tanpa adanya pengingkaran dari mereka. Hal ini menunjukkan larangan menyentuh mushhaf Al-Qur’an bukan karena keberadaan hadats.


Wallaahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar