Senin, 30 November 2015

Hukum Mengirim Pahala kepada Mayit

Permasalahan tentang sampainya pahala yang dilakukan orang yang masih hidup kepada mayit telah menjadi satu bahasan yang mu’tabar sejak berabad-abad silam. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, bahwa mereka (para ulama) sepakat akan sampainya pahala yang dilakukan oleh orang yang masih hidup kepada si mayit sebatas yang disebutkan secara khusus oleh dalil. Yang menjadi khilaf di antara mereka adalah amal-amal selain yang disebutkan khusus oleh dalil. Apakah amal-amal tersebut bisa diqiyaskan secara mutlak atau tidak sehingga memberikan konsekuensi sampainya pahala kepada si mayit ? Sebagian ulama berpendapat bisa diqiyaskan, sebagian lain berpendapat tidak bisa diqiyaskan. Dari sinilah kemudian khilaf muncul.

Adapun khilaf tersebut bisa diterangkan sebagai berikut :

1. Bahwasannya setiap amal ibadah yang dilakukan oleh manusia yang diperuntukkan pahalanya kepada seorang muslim yang telah meninggal dunia adalah boleh secara mutlak dan pahalanya akan bermanfaat bagi orang yang telah meninggal tersebut. Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan sebagian shahabat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang menyebutkan bahwa ini merupakan pendapat jumhur.

2.   Bahwasannya tidak sampai kepada mayit kecuali apa yang diterangkan oleh dalil tentang pengesahan (untuk) memberikan amalan/pahala kepada mayit, yaitu doa, shadaqah, haji, dan ’umrah. Adapun di luar hal tersebut, maka tidak disyari’atkan dan amalan/pahala yang diniatkan oleh orang yang masih hidup tidak akan sampai pada orang yang telah meninggal dunia. Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Malik dan Imam Syafi’i.]

Lihat selengkapnya di Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 15/522 dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyaholeh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy (tahqiq At-Turky dan takhrij Al-Arna’uth) hal. 664

Dalil yang Dipergunakan oleh Kelompok Pertama

1.    Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa bahwasannya ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan berkata :
يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
”Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya kira, jika ia sempat berbicara niscaya ia akan bershadaqah. Adakah baginya pahala jika saya bershadaqah untuknya ?”. Maka beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Ya” [HR. Bukhari no. 1322 dan Muslim no. 1004].

2.   Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda :
من مات وعليه صيام صام عنه وليه
”Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya” [HR. Bukhari no. 1851, Muslim no. 1147, Abu Dawud no. 2400, dan yang lainnya].

3.    Hadits Abu Qatadah radliyallaahu ‘anhu dimana ia pernah menanggung (melunasi) hutang sebesar dua dinar dari si mayit yang kemudian dengan itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الآن حين بردت عليه جلده
“Sekarang, menjadi dinginlah kulitnya” [HR. Al-Hakim 2/74 bersama At-Tattabu’ no. 2401. Ia berkata : “Isnadnya shahih namun tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim].

4.      Dan lain-lain.

Dalil-dalil di atas dan yang semisal diqiyaskan secara mutlak terhadap amal-amal lain yang dengan itu dapat bermanfaat bagi si mayit. Contoh dalam hal ini adalah kirim pahala amalan dzikir dan bacaan Al-Qur’an.

Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang pembacaan Al-Qur’an dan beberapa dzikir yang dilakukan oleh ahli mayit yang kemudian dihadiahkan kepada si mayit, maka beliau menjawab :
يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه‏.‏ والله أعلم‏.‏
”Sampai kepada mayit (pahala) bacaan-bacaan dari keluarganya dan tasbih-tasbihnya, takbir-takbirnya, serta dzikirnya kepada Allah ta’ala; apabila ia berniat untuk menghadiahkan pahalanya (kepada si mayit), maka sampai kepadanya. Wallaahu a’lam” [Majmu’ Fataawaa 24/324].

Dalil-Dalil yang Dipakai oleh Kelompok Kedua

Pada dasarnya dalil yang dipakai oleh kelompok pertama dipakai pula oleh kelompok kedua. Namun, kelompok kedua ini hanya mengkhususkan amalan-amalan yang sampai adalah sebatas yang disebutkan oleh dalil saja. Tidak diqiyaskan kepada yang lain. Dalil yang dipergunakan untuk membangun pendapat tersebut antara lain :

1.      Firman Allah ta’ala :
وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى
“Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang diusahakannya” [QS. An-Najm : 39].

Ayat ini mengandung pengertian : ”Dan tidaklah seseorang yang berbuat itu dibalas melainkan dari perbuatannya itu sendiri”.

2.  Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
”Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal : shadaqah jaariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya” [HR. Muslim no. 1631].

An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan :

”Adapun bacaan Al-Qur’an (yang pahalanya dikirmkan kepada si mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa perbuatan tersebut tidak akan sampai pahalanya kepada mayit yang dikirimi...... Adapun dalil Imam Syafi’i dan para pengikutnya adalah firman Allah (yang artinya) :”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm : 39); dan juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (yang artinya) : ”Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal : shadaqah jaariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya” [Lihat Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi 1/90].

Al-Haitsami dalam Al-Fatawaa Al-Kubra Al-Fiqhiyyah telah berkata :

“Mayit, tidak boleh dibacakan apapun berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama’mutaqaddimiin (terdahulu); bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak sampai kepadanya. Sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak bisa dipindahkan dari ’aamil (orang yang mengamalkan) perbuatan tersebut, berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm : 39) [Lihat Al-Fatawaa Al-Kubraa Al-Fiqhiyyah oleh Al-Haitsami 2/9].

Ibnu Katsiir dalam Tafsir-nya ketika menafsirkan Surat An-Najm ayat 39 berkata :
”Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain. Demikian juga manusia tidak memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 QS. An-Najm), Imam Asy-Syafi’i dan ulama-ulama lain yang mengikutinya mengambil kesimpulan bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkannya (pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang shahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalaupun amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan pendekatan diri kepada Allah tersebut hanya terbatas pada nash-nash (yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat” [Lihat Tafsir Al-Qur’aanil-’Adhiim li-Bni Katsiir].

Tarjih

Melihat keseluruhan dalil yang disebutkan (baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis dalam artikel ini), maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan tidak sampainya pahala yang dilakukan oleh orang yang masih hidup kepada si mayit kecuali yang disebutkan secara khusus oleh dalil. QS. An-Najm ayat 39 merupakan nash yang sangat tegas bahwa seseorang itu hanyalah akan mendapat balasan (baik pahala ataupun siksa) dari apa yang ia perbuat sendiri. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu juga menjelaskan bahwa setelah seseorang itu meninggal, maka terputuslah segala amal yang dapat bermanfaat baginya. Adapun beberapa dalil yang menjelaskan tentang sampainya amal dan pahala – yang sama-sama disebutkan oleh kelompok pertama maupun kedua – merupakan kasus-kasus tertentu sebagai pengkhususan (takhshish) atas keumuman ayat. Oleh karena itu, tidak bisa ia diqiyaskan dengan kasus-kasus (amal-amal) lain secara mutlak. Apalagi telah shahih perkataan Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma yang menguatkan tarjih ini :
لا يصلي أحد عن أحد ولا يصوم أحد عن أحد ولكن يطعم عنه مكان كل يوم مدا من حنطة
”Seseorang tidak boleh shalat untuk menggantikan shalat orang lain, dan tidak pula puasa untuk menggantikan puasa orang lain. Akan tetapi memberikan makanan darinya setiap hari sebanyak satu mud biji gandum” [HR. An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 2918 dan Ath-Thahawi dalam Musykilul-Aatsaar 3/141; shahih].

Pemahamannya adalah, kita tidak diperkenankan untuk melakukan shalat (baik shalat wajib atau sunnah) bagi orang lain (baik yang masih hidup, apalagi yang telah meninggal). Begitu pula dengan amalan puasa.

Yaitu hadits : ”Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya” ; terdapat perbedaan pendapat mengenai jenis puasa yang dimaksud. Apakah ia merupakan jenis puasa Ramadlan, puasa qadla’, puasa nadzar, atau puasa yang lainnya ? Yang rajih, puasa yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah puasa nadzar. Penunjukan tersebut dijelaskan dalam hadits yang lain :

عن بن عباس : أن امرأة ركبت البحر فنذرت إن نجاها الله أن تصوم شهرا فنجاها الله فلم تصم حتى ماتت فجاءت ابنتها أو أختها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرها أن تصوم عنها
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : “Bahwasannya ada seorang wanita yang naik kapal lalu ia bernadzar jika Allah menyelematkan ia (sampai ke daratan) ia akan berpuasa selama sebulan. Allah pun kemudian menyelamatkannya. Wanita tersebut belum berpuasa (memenuhi nadzarnya) hingga ia meninggal dunia. Maka datanglah anak perempuannya atau saudara perempuannya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau memerintahkannya untuk berpuasa untuknya” [HR. Abu Dawud no. 3308; shahih].

Selain itu alasan yang menjadi latar belakang tarjih ini adalah :

·      Prinsip dasar dalam ibadah yaitu tawaquf (diam) sampai terdapat dalil yang menunjukkan disyari’atkannya. Sedangkan di sini hanya terdapat dalil yang menunjukkan pensyariatan sebagian saja, sehingga diharuskan meninggalkan selain itu.

·      Tidak pernah terdengar pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan juga masa para shahabatnya bahwa ada seseorang yang membaca Al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahalanya kepada si mayit. Kalaupun itu merupakan kebaikan, pastilah mereka telah mendahului kita untuk mengerjakannya, karena mereka adalah orang yang paling mengetahui agama Allah dan Rasul-Nya.

·      Pemberlakuan qiyas terhadap ibadah-ibadah yang diterangkan oleh dalil dapat membukakan pintu buat ahli bid’ah untuk memasukkan apa saja yang mereka sukai ke dalam agama Allah.

·       Bahwa para ahli bid’ah di masa sekarang telah mengada-adakan hal-hal yang bathil, seperti mengupah para qaari’ untuk membaca Al-Qur’an dan sebagainya, yang seringkali dilakukan terhadap jenazah beberapa waktu setelah kematiannya. Oleh karena itu, menutup pintu ini berarti tidak memberikan peluang kepada mereka untuk berbuat sesukanya.

·      Kebanyakan manusia pada masa sekarang (kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah) telah melupakan ibadah-ibadah yang disyariatkan, yang terdapat dalil shahih tentang bolehnya menghadiahkan pahala kepada mayit; sebaliknya, mereka berpegang kepada apa-apa yang tidak terdapat dalil padanya.

Semoga tulisan ringkas ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua. Amien.


allaahu a’lam bish-shawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar