Minggu, 22 November 2015

Risalah Talak (3) Talak waktu Mabuk, Kafir, Bergurau, Was-was dan Melalui eMail

@ Mentalak Dalam Keadaan Mabuk

Di antara syarat talak adalah suami yang mengucapkan talak itu berakal. Ini berarti orang yang dalam keadaan tidak sadar, tidak sah talaknya. Contohnya adalah orang yang dalam keadaan mabuk. Masalah ini seringkali kita lihat, yaitu ada suami yang sebelumnya memiliki masalah dengan istrinya menjatuhkan talak dalam keadaan ia mabuk karena memang ia pecandu miras. Dan kita tahu bahwa mabuk jelas haram. Mengenai status talak orang yang dalam kondisi mabuk, itulah yang akan penulis lanjutkan dalam bahasan kali ini.

Perlu diketahui bahwa orang yang mabuk itu ada dalam dua keadaan:

·         Orang yang mabuk dalam keadaan tidak sengaja. Misalnya karena mengkonsumsi suatu makanan malah jadi mabuk padahal tidak disengaja untuk mabuk, lalu dalam keadaan seperti itu ia mentalak istrinya. Misal lainnya adalah seperti mabuk dalam keadaan dipaksa. Kondisi seperti ini tidaklah jatuh talak berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.

·         Orang yang mabuk dalam keadaan sengaja. Seperti seseorang yang meminum miras dalam keadaan tahu dan atas pilihannya sendiri, lalu dalam kondisi semacam itu ia mentalak istrinya. Hukum talak dalam kondisi kedua ini diperselisihkan oleh para ulama.

Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa talaknya itu jatuh. Sedangkan ulama lainnya seperti pendapat lama dari Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh Al Muzani (murid Imam Asy Syafi’i), pendapat Ath Thohawi (salah seorang ulama besar Hanafiyah) dan pendapat lain dari Imam Ahmad, menyatakan bahwa talak dalam keadaan mabuk sama sekali tidaklah sah entah mabuknya disengaja ataukah tidak. Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah sebagaimana perkataan yang akan kami nukil.

Pendapat yang tepat dalam hal ini adalah yang menyatakan tidak sahnya talak dalam keadaan mabuk meski mabuknya dengan sengaja atas pilihan sendiri. Alasannya adalah sebagai berikut:

Pertama, Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An Nisa: 43). Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa perkataan orang yang mabuk tidak teranggap karena ia sendiri tidak mengetahui apa yang ia ucap. Shalat dan ibadahnya tidaklah sah karena saat itu ia tidak berakal. Begitu pula kita lebih pantas lagi katakan dalam hal akad seperti talak, yaitu talaknya tidak sah karena ia semisal orang yang tidur dan orang yang gila (sama-sama tidak memiliki niat).

Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907). Orang yang mabuk tentu saja tidak memiliki niat dan tidak memiliki maksud. Padahal berbagai macam akad (termasuk talak) disyaratkan dengan adanya niat.

Ketiga, riwayat shahih dari ‘Utsman radhiyallahu ’anhu, ia berkata,
كُلُّ الطَّلاَقِ جَائِزٌ إِلاَّ طَلاَقُ النَّشْوَانِ وَ طَلاَقُ المجْنُوْنَ
“Setiap talak itu boleh (sah) selain talak yang dilakukan oleh orang yang mabuk atau orang yang gila.” (HR. Sa’id bin Manshur 1112, ‘Abdur Rozaq 12308, Ibnu Abi Syaibah 5/39, Al Baihaqi 7/359. Syaikh Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَلَمْ يَثْبُتْ عَنْ الصَّحَابَةِ خِلَافُهُ فِيمَا أَعْلَمُ
“Selama yang kami ketahui tidak didapati dari para sahabat yang menyelisihi perkataan ‘Utsman.” (Majmu’ Al Fatawa, 33/102)

Keempat, riwayat dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz bahwasanya beliau didatangkan seseorang yang telah mentalak istrinya sedangkan ia dalam keadaan mabuk. Ia pun bersumpah pada Allah yang tidak ilah yang berhak disembah selain Dia bahwa ia benar-benar melakukan talak namun dalam keadaan tidak sadar. Ia bersumpah. Namun istrinya dikembalikan padanya. Dan laki-laki tersebut terkena hukuman had. (HR. Sa’id bin Manshur 1110 dan Ibnu Abi Syaibah 5/39. Syaikh Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Kelima, Ibnu Taimiyah memberi penjelasan, “Orang yang mabuk sudah jelas bahwa ia memang bermaksiat ketika mabuk. Saat dalam keadaan mabuk, ia tidak mengetahui apa yang ia katakan. Jika ia tidak tahu ucapan yang ia keluarkan, maka tentu ia berkata tanpa niat. Padahal dalam hadits disebutkan, “Sesungguhnya amalan tergantung pada niatnya”. Hal ini sama halnya dengan seseorang yang bisa gila karena mengkonsumsi sesuatu. Jika ia gila walaupun asalnya karena maksiat yang ia lakukan, maka tetap talaknya tidak sah. Begitu pula perkataan yang lain yang muncul darinya juga tidak sah. Jika setiap orang memperhatikan tujuan dan maksud syari’at, jelaslah baginya bahwa pendapat yang benar adalah yang menyatakan talak orang yang mabuk tidaklah sah. Pendapat yang menyatakan bahwa talak dari orang yang mabuk itu sah, bukanlah pendapat yang dibangun di atas argumen yang kuat. … Yang benar dalam hal ini, talak dalam keadaan mabuk itu tidaklah jatuh kecuali jika orang tersebut menyadari apa yang ia ucap. Sebagaimana pula shalat orang yang mabuk tidaklah sah. Jika shalatnya tidak sah, maka demikian pula dalam hal talak. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 33/103)

Dari bahasan ringkas di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa orang yang mabuk dalam keadaan tidak sengaja atau bahkan sengaja, talaknya tidak sah karena saat mabuk tidak memiliki akal sehingga tidak ada niat.

@  Talak Ketika Dahulu Kafir

Seperti kita tahu bersama bahwa dalam Islam ada tiga kali kesempatan talak. Talak pertama dan kedua, masih boleh rujuk. Sedangkan talak ketiga membuat suami tidak bisa langsung menikahi istrinya yang dulu, sampai mantan istri menikah lagi dengan pria lain dan cerai dengan cara yang wajar, baru setelah itu boleh menikah lagi. Masalah yang kita bahas saat ini adalah mengenai talak yang terjadi ketika dahulu kafir dan saat ini telah masuk Islam.

Hal ini bisa saja terjadi, semisal pada suami yang kafir atau musyrik yang telah mentalak istrinya dua kali –dulu di masa kekafirannya-, lalu ia masuk Islam. Apakah talak yang dahulu terhitung? Atau ketika masuk Islam, yang dahulu tidak teranggap lagi, jadi ia masih tetap punya kesempatan tiga kali talak?

Masalah ini terdapat beda pendapat di antara para ulama.

Pendapat pertama, talak orang kafir di masa kafirnya, tetap sah. Menurut mayoritas ulama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan sahnya nikah orang musyrik, begitu pula talaknya. Dalil-dalil yang mendukung hal ini adalah :

1.      Firman Allah Ta’ala,
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Dan (begitu pula) istri Abu Lahab, pembawa kayu bakar” (QS. Al Lahab: 4).  Dalam ayat ini istri Abu Lahab masih disebut istri, padahal keduanya sama-sama kafir. Artinya, pernikahan mereka adalah pernikahan yang sah. Maka hal ini pun berlaku dalam masalah talak.

2.      Firman Allah Ta’ala,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ
Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir” (QS. At Tahrim: 10). Padahal istri kedua nabi tersebut kafir, namun masih disebut istri.

3.      Firman Allah Ta’ala,
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آَمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ
Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman” (QS. At Tahrim: 11). Begitu pula istri Fir’aun itu beriman, namun masih disebut istri. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan mengenai ayat ini, “Hakikat penyandaran kata istri pada Fir’aun menunjukkan teranggapnya pernikahan keduanya”. [Al Mughni, 10: 37]

Alasan lain, orang kafir dibebani cabang-cabang syari’at menurut pendapat yang rojih (yang lebih kuat).

Pendapat kedua, menurut Imam Malik, Daud Azh Zhohiri, dan Ibnu Hazm serta pendapat Al Hasan Al Bashri, Qotadah, Robi’ah, talak orang kafir di masa ia kafir tidaklah teranggap. Alasan mereka adalah sebagai berikut:

1.      Firman Allah Ta’ala,
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu” (QS. Al Anfal: 38).

2.      Hadits ‘Amr bin Al ‘Ash, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَّ الإِسْلاَمَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ
Sesungguhnya Islam menghapus dosa yang telah lalu” (HR. Muslim no. 121).

3.      Ketika ada yang masuk Islam di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak menanyakan kepada mereka berapa talak yang telah dilakukan terhadap istrinya sebelum ia masuk Islam.

4.      Hukum asal bagi setiap perbuatan orang kafir adalah tidak teranggap kecuali nikah karena ada penetapan akan teranggapnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan talak (cerai) masih tetap seperti hukum asal, yaitu tidak teranggap ketika talak tersebut terjadi di masa kekafiran.

Pendapat terkuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama.

Sebagaimana nikah orang kafir itu sah di masa ia kafir, maka demikian pula talaknya. Oleh karenanya, jika seorang Nashrani dahulu pernah mentalak istrinya sebanyak dua kali, berarti ia masih punya satu kali kesempatan lagi untuk mentalak.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jika orang kafir telah mentalak istrinya sebanyak tiga kali, lalu ia menikahi istrinya lagi sebelum disela pernikahan dengan pria lain, lalu ia menyetubuhi istrinya, kemudian ia masuk Islam, maka nikah setelah tiga talak tadi tidak teranggap. Namun jika seseorang mentalak istrinya kurang dari tiga kali, lalu ia masuk Islam, maka ia masih punya kesempatan talak yang tersisa”. [Al Mughni, 10: 37]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Menurut pendapat yang shahih (dan perselisihannya tidak terlalu kuat dalam madzhab Syafi’i), jika seseorang  telah mentalak istrinya sebanyak tiga kali, lalu ia masuk Islam, maka ia tidak boleh menikahi istrinya yang dulu sampai istrinya menikah lagi dengan pria lain lalu cerai”. [Minhajuth Tholibin, Yahya bin Syarf An Nawawi]

@  Talak Namun Hanya Bergurau

Orang yang serius (jaad) adalah orang yang mengucapkan talak dengan ucapan dan benar-benar memaksudkan (meniatkan) untuk mentalak. Sedangkan orang yang bercanda (hazil) memaksudkan ucapan talaknya dengan ucapan, namun tidak benar-benar meniatkan untuk mentalak. Seperti ucapan ketika bercanda dengan istri, “Saya talak (ceraikan) kamu”. Padahal ucapan itu hanya bercanda atau main-main. Apakah talak dari orang yang bercanda sama dengan orang yang serius?

Menurut mayoritas ulama, siapa yang mengucapkan kata “talak” (cerai) walau dalam keadaan bercanda atau main-main asalkan lafazh talak tersebut keluar shorih (tegas), maka talak tersebut jatuh jika yang mengucapkan talak tersebut baligh (dewasa) dan berakal. Sehingga tidak ada alasan jika ada yang berucap, “Saya kan hanya bergurau”, atau “Saya kan hanya main-main”. Meskipun ketika itu ia juga tidak berniat untuk mentalak istrinya.

Dalil yang mendukung pernyataan di atas adalah sebagai berikut:

Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلَا تَتَّخِذُوا آَيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah)” (QS. Al Baqarah: 231).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk”. [HR. Abu Daud no. 2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039]

Bahkan para ulama sepakat akan sahnya talak dari orang yang bercanda, bergurau atau sekedar main-main, asalkan ia memaksudkan tegas dengan lafazh talak. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, 29: 16)

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Para ulama dari yang saya ketahui berijma’ (sepakat) bahwa talak yang diucapkan serius maupun bercanda adalah sama saja (tetap jatuh talak)”. (Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Orang yang mentalak dalam keadaan ridho, marah, serius maupun bercanda, talaknya teranggap”. (Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi)

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Talak dengan ucapan tegas tidak diperlukan adanya niat. Bahkan talak tersebut jatuh walau tanpa disertai niat. Tidak ada beda pendapat dalam masalah ini. Karena yang teranggap di sini adalah ucapan dan itu sudah cukup walau tak ada niat sedikit pun selama lafazh talaknya tegas (shorih) seperti dalam jual beli, baik ucapan tadi hanyalah gurauan atau serius”. (Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi)

Talak dalam keadaan bercanda dikatakan jatuh talak disebabkan karena talak adalah suatu perkara yang besar berkaitan dengan kehormatan wanita dan ia adalah manusia yang merupakan semulia-mulianya makhluk di sisi Allah. Sehingga tidak pantas seorang melanggar harga diri orang lain dengan bergurau. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, 29: 16.)

Bahasan ini menunjukkan pula bagaimana kita harus menjaga lisan dengan baik. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah”. [HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47]

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pendapat yang mengatakan jatuhnya talak bagi orang bergurau ada manfaat di dalamnya. Hal ini akan meredam tingkah laku orang yang sering bercanda. Jika seseorang tahu bahwa bermain-main dengan talak dan semacamnya bisa teranggap, tentu ia tidak akan nekat bergurau seperti itu selamanya. Sebagian ulama ada yang berpendapat tidak teranggapnya talak dari orang yang bercanda. Pendapat ini lebih akan mengantarkan seseorang untuk bermain-main dengan ayat-ayat Allah”. (Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin)

Semoga dengan mengetahui hal ini kita lebih hati-hati lagi dalam berucap, walau hanya sekedar bercanda atau bersandiwara dengan istri, maka tetap jatuh talak, meskipun itu hanya bercanda atau bergurau.

@ Talak dalam Kondisi Was-was

Apakah sah talak yang terucapkan dalam keadaan was-was? Seseorang yang menderita was-was, ketika kepikiran masalah cerai atau sedang membaca topik tentang cerai, kadang berkomat-kamit sendiri melafadzkan ucapan cerai tanpa diinginkan sebelumnya. Dan ini sering kali terjadi.  Padahal tidak pernah ada niat sedikit pun untuk menceraikan isterinya, karena dia sangat mencintainya.

Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,
Orang yang mengidap penyakit was-was, talaknya tidak sah, meskipun kalimat talak itu dia ucapkan dengan lisannya, ini jika dia tidak berniat untuk melakukan talak. Karena ucapan talak ini, keluar dari orang yang memiliki penyakit was-was, tanpa ada maksud dan keinginan untuk talak. Keadaan orang ini mughlaq (tertutupi akalnya) dan terpaksa, karena kuatnya dorongan was-was, sementara kesadaran untuk menahan sangat kecil. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
لا طلاق في إغلاق
Tidak ada talak ketika pikiran tertutup.

Karena itu, talaknya tidak sah, jika dia tidak menginginkan terjadinya talak dengan keinginan yang sebenar-benarnya. Untuk kasus ini, yang terjadi di luar kesengajaan dan pilihannya, maka talaknya tidak sah (Fatawa Islam, 3:277).

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, ketika ditanya tentang maksud ucapan Syaikh Utsaimin di atas, mereka mengatakan,
أن سبب إيقاعه الطلاق هو اعتقاده أن العقد منفسخ وأن المرأة لا تحل له، فهذا لا يخلو من أحد الاحتمالين:  الأول: أن يكون هذا الاعتقاد أثر من آثار الوسوسة، فهذا هو الذي تقدم أن طلاقه لا يقع.  والثاني: أن يكون هذا الاعتقاد بسبب الجهل ولا علاقة له بالوسوسة، فهذا قد بينا في فتاوى سابقة أن طلاقه يقع
Bahwa sebab jatuhnya talak untuk orang yang memiliki penyakit was-was adalah keyakinannya, bahwa akad nikah telah batal, dan sang istri menjadi tidak halal baginya. Namun keyakinan semacam ini tidak lepas dari dua keadaan:

Keyakinan ini merupakan pengaruh dari was-wasnya. Ini sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa talaknya tidak jatuh.

Keyakinan ini muncul karena ketidaktahuannya, namun sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyakit was-wasnya. Untuk keadaan ini, sebagaimana yang telah kami jelaskan pada fatwa sebelumnya, bahwa talaknya jatuh (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 142465).

Kesimpulannya, talak orang yang mengidap penyakit was-was dikembalikan kepada niatnya. Jika dia sama sekali tidak menginginkan talak, bahkan sebaliknya dia masih mencintai istrinya maka talaknya tidak jatuh.

@ Talak Lewat Sms Email Surat

Satu hal tentang masalah talak yang perlu dikaji secara khusus adalah talak lewat tulisan baik lewat SMS, email, atau surat karena seringnya talak seperti ini terjadi. Semisal suami mengirim SMS, “Sekarang, kamu saya talak.” Kata-kata seperti ini tegas menunjukkan cerai, tetapi masalahnya hanya lewat SMS. Apakah sah talak semacam itu?

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa talak itu sah dengan ucapan, tulisan maupun isyarat ketika tidak mampu dengan lisan. Maka, jika suami menuliskan pada istrinya, “Kamu saya ceraikan”, maka itu dinilai jatuh talak.

Yang menjadi masalah adalah tentang kevalidan tulisan tersebut, apakah itu benar dari si suami. Jika memang benar tulisan tersebut dari suami atau orang yang suami wakilkan, maka sah talak tersebut.  Jika ternyata tidak benar dari suami, suami tidak mengetahuinya, atau rekayasa orang lain, maka tulisan tersebut tidak teranggap. Saat itu tidak jatuh talak. Jadi intinya, perlu ada pengecekan, apakah benar tulisan berupa SMS, email atau surat benar-benar valid dari suami. Jika benar dari suami dan ia mengakuinya, maka jatuhlah talak dan berlakulah masa ‘iddah mulai dari waktu dijatuhkannya talak.

Az Zuhri berkata, “Jika seseorang menuliskan pada istrinya kata-kata talak, maka jatuhlah talak. Jika suami mengingkari, maka ia harus dimintai sumpah”.

Ibrahim An Nakho’i berkata, “Jika seseorang menuliskan dengan tangannya kata-kata talak pada istrinya, maka jatuhlah talak”.


Alasan lain bahwa tulisan terdiri dari huruf-huruf yang mudah dipahami maknanya. Jika demikian dilakukan oleh seorang pria ketika ia menuliskan kata-kata talak pada istrinya dan ia berniat mentalak, maka jatuhlah talak sebagaimana ucapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar