Sabtu, 17 Oktober 2015

Permasalahan Dalam Hubungan Intim (1)

Dibawah ini adalah permasalahan-permasalahan berkaitan hubungan intim yang sering ditanyakan.

1.     Bolehkah menyetubuhi wanita yang sudah selesai haidh tapi belum mandi?

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadats haidh yang terdapat pada wanita haidh menyebabkan ia tidak boleh disetubuhi. Hadats haidh tersebut barulah hilang jika mandi (setelah darah berhenti). Hal ini berbeda dengan hadats pada orang yang junub. Orang yang junub tidaklah dilarang bersetubuh. Larangan tersebut sama sekali tidak ada pada orang yang junub.” (Badai’ul Fawaidh, dinukil dari Al Furuq Al Fiqhiyyah, 1: 425).

Apa dalilnya kenapa wanita haidh baru boleh disetubuhi setelah mandi?

Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. ” (QS. Al Baqarah: 222). “Apabila mereka telah suci” yang dimaksud adalah setelah mereka mandi. Demikianlah yang ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas.

Kesimpulannya, tidak boleh menyetubuhi wanita yang telah suci dari haidh sampai ia mandi.

2.     Apa hukum melakukan hubungan intim di kamar mandi?

Sebagian pasangan ternyata ada yang nekad melakukan seperti itu di kamar mandi karena alasan darurat atau tidak bisa menahan hasrat.

Yang jelas hubungan intim (jima’ atau hubungan seks) di kamar mandi akan membuat sulit membaca doa ketika hubungan intim seperti yang diajarkan berikut ini.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Jika salah seorang dari kalian (yaitu suami) ingin berhubungan intim dengan istrinya, lalu ia membaca do’a: [Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa], “Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya” (HR. Bukhari no. 6388 dan Muslim no. 1434).

Di kamar mandi terlarang (baca: makruh) untuk berdzikir.

Dalam hadits Zaid bin Arqam r.a. dan selainnya yang diriwayatkan oleh Ahmad (4/373), Ibnu Majah (296), Ibnu Hibban ( 1406), Al Hakim (1/187) dan selainnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda : “Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri (oleh para setan), maka jika salah seorang dari kalian hendak masuk kamar mandi (WC), ucapkanlah “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari setan laki-laki dan setan perempuan.”

Demikian banyak orang yang terkena gangguan jin adalah di tempat-tempat buang hajat.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّ رَجُلاً مَرَّ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ فَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ
Ada seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang kencing. Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak membalasnya.” (HR. Muslim no. 370).

Hadits di atas menunjukkan -kata Imam Nawawi rahimahullah- bahwa dimakruhkan bagi yang sedang buang hajat untuk membaca dzikir apa pun itu. Ia tidak boleh mengucapkan subhanallah, laa ilaha illallah, tidak menjawab salam dan tidak pula menjawab doa orang yang bersin. Begitu pula yang berada di kamar mandi tidak mengucapkan alhamdulillah ketika bersin. Ia pun tidak menjawab kumandang azan.

Perlu dicatat: Makruh adalah istilah ulama jaman dahulu untuk menyebut hal yang dibenci atau haram tetapi tidak ada dalil yang jelas tentang keharamannya. Bukan seperti orang sekarang dimaknai dengan perbuatan yang  dilakukan boleh, ditinggalkan lebih baik.

Imam Nawawi juga menegaskan bahwa membaca dzikir-dzikir semacam di atas (subhanallah, laa ilaha illallah, dll) tidak dibolehkan juga ketika jima (hubungan intim). Jika ada yang bersin dalam kondisi berada di kamar mandi atau saat berjima’, maka hendaklah ia menyebut alhamdulillah di batinnya, tanpa menggerakkan lisannya. Inilah yang dimakruhkan saat kencing dan jima’. Namun hukumnya adalah makruh (makruh tanzih), bukan haram. Jika dilakukan, tidaklah berdosa. Lihat Syarh Shahih Muslim, 4: 61.

Alasan lainnya, hubungan intim dikamar mandi baiknya tidak dilakukan karena akan semakin mudah terlihat aurat apalagi kamar mandi seringkali dipakai banyak orang dan banyak yang lalu lalang, ditambah bisa jadi pintu kamar mandi tidak tertutup rapat. Padahal aurat itu wajib ditutupi sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
Jagalah (tutuplah) auratmu kecuali pada istri atau budak yang engkau miliki.” (HR. Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi no. 2794. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Juga anak-anak bisa jadi akan melihat tingkah laku orang tuanya di kamar mandi dan bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan. Ini akan membuat hubungan intim yang sebenarnya privasi, menjadi bukan rahasia lagi.

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِى إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِى إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
Sesungguhnya termasuk manusia paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah laki-laki yang menggauli istrinya kemudian dia sebarkan rahasia ranjangnya.” (HR. Muslim no. 1437). Intinya, hubungan intim adalah hubungan rahasia, jangan sampai menjadi bukan rahasia kala anggota keluarga dan anak-anak menjadi tahu.

Dalam Fatwa Islamweb disebutkan mengenai hukum hubungan intim di kamar mandi, “Adapun jima’ (hubungan intim) di kamar mandi tidaklah terlarang. Jika ada yang melakukannya juga tidak ada kafarah yang mesti ditunaikan. Namun seperti itu menyelisihi adab (kesopanan). Masalah lainnya, ketika hubungan intim tidak bisa membaca sebelumnya dzikir yang masyru’ (doa hubungan intim).”

Kesimpulan, semua sepakat bahwa hubungan intim di ranjang dan di kamar sendiri lebih menyenangkan. Adapun di kamar mandi asalnya masih boleh, namun kurang menjaga adab dan meninggalkan ajaran-ajaran yang disunnahkan. Terutama bagi pengantin baru biasanya melakukan hal-hal nekad seperti ini, semoga Allah memberikan mereka kesabaran.
Hanya Allah yang memberi taufik.

3.     Mencumbu Kemaluan Istri (Oral Seks)

Ini adalah pertanyaan yang umum dilontarkan dari banyak kalangan yaitu menanyakan apakah hukum oral seks ? Hal itu bermakna : Menggunakan mulutnya untuk (mencumbui) organ pribadi (farji) dari istrinya, atau sebaliknya.

Diperbolehkan bagi masing-masing suami-istri untuk menikmati keindahan tubuh pasangannya. Allah berfirman,
هن لباس لكم وأنتم لباس لهن
Para istri kalian adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi istri kalian.” (Q.S. Al-Baqarah:187)

Allah juga berfirman,
نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم
Para istri kalian adalah ladang bagi kalian. Karena itu, datangilah ladang kalian, dengan cara yang kalian sukai.” (Q.S. Al-Baqarah:223)

Hanya saja, ada dua hal yang perlu diperhatikan: Menjauhi cara yang dilarang dalam syariat, di antaranya: (1) Menggauli istri di duburnya; (2) Melakukan hubungan badan ketika sang istri sedang “datang bulan”. Kedua perbuatan ini termasuk dosa besar. Dan hendaknya dalam koridor menjaga adab-adab Islam dan tidak menyimpang dari fitrah yang lurus.

Tentang mencium atau menjilati kemaluan pasangan, tidak terdapat dalil tegas yang melarangnya. Hanya saja, perbuatan ini bertentangan dengan fitrah yang lurus dan adab Islam. Betapa tidak, kemaluan, yang menjadi tempat keluarnya benda najis, bagaimana mungkin akan ditempelkan di lidah, yang merupakan bagian anggota badan yang mulia, yang digunakan untuk berzikir dan membaca Alquran?

Oleh karena itu, selayaknya tindakan tersebut ditinggalkan, dalam rangka:
·         Menjaga kelurusan fitrah yang suci dan adab yang mulia.
·         Menjaga agar tidak ada cairan najis yang masuk ke tubuh kita, seperti: madzi.

Ini semua merupakan bagian dari usaha menjaga kebersihan dan kesucian jiwa. Allah berfirman,
إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين
Sesungguhnya, Allah mencintai orang yang bertobat dan mencintai orang yang menjaga kebersihan.” (Q.S. Al-Baqarah:222)

Maksud ayat adalah Allah mencintai orang menjaga diri dari segala sesuatu yang kotor dan mengganggu. Termasuk sesuatu yang kotor adalah benda najis, seperti: madzi. Sementara, kita sadar bahwa, dalam kondisi semacam ini, tidak mungkin jika madzi tidak keluar. Padahal, benda-benda semacam ini tidak selayaknya disentuhkan ke bibir atau ke lidah. Allahu a’lam.  (Disarikan dari Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih)

Disisi lain Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salmaan hafidhahullah menjelaskan:

Pertama-tama aku tidak mengetahui bukti/keterangan adanya larangan mengenai perbuatan itu, walaupun perbuatan itu seperti perbuatan seekor anjing. Seekor anjing jantan melakukannya dengan anjing betina saat menginginkannya; dan dasar bagi seorang hamba (Allah) adalah memuliakan dirinya atas hal-hal seperti itu.

Allah telah mengkaruniakan nafsu kepada makhluk dalam rangka untuk menjaga kelestarian/keberlangsungan jenisnya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits : “Segala macam hiburan adalah baathil kecuali tiga macam : seorang laki-laki yang bermain dan bersendau-gurau dengan istrinya, melatih kudanya, dan berlatih memanah”.

Nabi telah mengatakan bahwa segala jenis hiburan adalah baathil kecuali tiga jenis ini dimana merupakan hal-hal penting yang dipertimbangkan (untuk dilakukan). Jadi, ketika seorang laki-laki bermain-main/mencumbui istrinya untuk menghasilkan anak yang shalih serta berlatih menunggang kuda dan memanah untuk memperkuat badannya atau mempersiapkan diri untuk berjihad di jalan Allah (maka ini tidak mengapa).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa segala jenis hiburan itu bathil kecuali hal-hal yang memang membawa faedah. Dan seorang laki-laki dalam hal ini hanya dapat memenuhi kebutuhan nafsunya dari istrinya melalui jalan jima’. Oleh karena itu, kita mengetahui dari hal tersebut ada satu faedah fiqhiyyah yang mengatakan : Jika perbuatan jima’ diperbolehkan, maka segala hal yang (tingkatnya) lebih rendah dari perbuatan tersebut adalah diperbolehkan. Dari sini didapatkan satu keterangan bahwa oral seks diperbolehkan.

Terdapat pula keterangan dari Al-Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya bahwa jika perbuatan jima’ diperbolehkan, maka segala sesuatu yang (tingkatnya) lebih rendah dari itu juga diperbolehkan, dan kemudian ia menyebutkan permasalahan ini (oral seks). Permasalahan ini beliau sebutkan dalam tafsir Surat Al-Ahzaab[1] dengan menyebutkan perkataan dari Al-Ashbagh, salah satu shahabat dari Al-Imam Malik., mengenai seorang laki-laki yang menjilat farji (vagina) istrinya. Ashbagh berkata : “Aku tidak memandang terdapat satu masalah mengenai hal itu”. Perkataan ini dapat ditemukan dalam Tafsir Al-Imam Al-Qurthubi.

[1] Yang benar adalah QS. Al-An-Nuur ayat 31. Al-Qurthubi menyebutkan :
قال ابن العربي. وقد قال أصبغ من علمائنا: يجوز له أن يلحسه بلسانه
“Telah berkata Ibnul-‘Arabiy : Berkata Ashbagh dari kalangan ulama kita (Malikiyyah) : ‘Diperbolehkan untuk menjilatnya (farji/vagina) dengan lidahnya” [Tafsir Al-Qurthubiy, 12/232]

Al-Imam Al-Qurthubi juga menyebutkan satu pertanyaan : ‘Apakah berbicara hal-hal yang porno dengan istri diperbolehkan?’. Al-Qurthubi menyatakan bahwa jika perbuatan jima’ diperbolehkan, maka hal yang lebih rendah dari itu juga diperbolehkan.[2] Wallaahu a’lam.

[2] ‘Alaudiin Al-Mardawiy Al-Hanbaliy rahimahullah dalam kitab Al-Inshaaf mengatakan :
قال القاضي في الجامع : يجوز تقبيل فرج المرأة قبل الجماع، ويكره بعده.
“Telah berkata Al-Qaadliy dalam Al-Jaami’ : ‘Diperbolehkan untuk mencium farji (vagina) istri sebelum melakukan jima’, namun dibenci jika melakukannya setelah jima’ [Al-Inshaaf, 8/33].

Adapun di antara ulama kontemporer yang membolehkan adalah Asy-Syaikh Asy-Syinqithiy rahimahullah. Beliau menyatakan hukumnya mubah secara mutlak, karena asal dari segala cara dalam hubungan seks adalah halal.

Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perilaku tersebut kurang bagus, namun hukumnya boleh-boleh saja. Adapun Asy-Syaikh As-Saami Ash-Shuqair (murid utama Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin) menjelaskan bila sampai menjilat najis, yaitu madzi, maka hukumnya haram. Tetapi bila tidak, maka hukumnya boleh [lihat selengkapnya penjelasan Al-Ustadz Abu ‘Umar Basyiir dalam buku Sutra Ungu hal. 143-148; Penerbit Rumah Dzikir]

4.     Bolehkah? Muslimah Merintih Saat 'Jima'

Dalam beberapa kitab klasik seperti ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain, berbicara atau bersuara pada saat jima’ adalah hal yang dilarang. Sebagian muslim dan muslimah juga berpegang pada pandangan ini sehingga tidak berani bersuara, termasuk mengeluarkan rintihan, saat bercinta. Benarkah demikian?

Salim A. Fillah dalam bukunya Barakallahu Laka... Bahagianya Merayakan Cinta -tanpa mengurangi penghargaan terhadap Syaikh Muhammad Umar An Nawawi Al Bantani yang telah menulis kitab tersebut- memaparkan bahwa larangan bersuara pada saat jima’ ternyata bertentangan dengan riwayat shahih yang menjelaskan praktik generasi sahabat.

Abd bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu Mundzir sebagaimana dikutip Imam As Suyuthi dalam Ad Durrul Mantsur bahwa sahabat sekaligus penulis wahyu yang mulia, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pernah suatu kali menjima’ istrinya. Tiba-tiba sang istri mengeluarkan desahan napas dan rintihan yang penuh gairah sehingga ia sendiri pun menjadi malu pada suaminya. Tetapi Muawiyah bin Abi Sufyan berkata, “Tidak apa-apa, tidak jadi masalah. Sungguh demi Allah, yang paling menarik pada diri kalian adalah desahan napas dan rintihan kalian.”

Senada dengan riwayat tersebut, faqihnya sahabat, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang hukum rintihan dan desahan saat berjima’. Beliau menjawab, “Apabila kamu menjima’ istrimu, berbuatlah sesukamu.”

Demikianlah praktek dan fatwa sahabat. Ternyata mereka membolehkan rintihan dan desahan saat bercinta. Meski demikian, suami istri perlu memastikan agar suara mereka saat bercinta itu tidak sampai terdengar orang lain, termasuk anak-anaknya.


Wallahu a’lam bish showwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar