Rabu, 21 Oktober 2015

Berhias

Berhias disukai dan diminati oleh manusia karena berhias berarti keindahan dan jiwa manusia cenderung kepada keindahan, kecenderungan kepada keindahan ini dimiliki oleh laki-laki, di samping ia juga dimiliki oleh wanita. Suami berharap istrinya tetap menarik, membahagiakan jika dipandang, istri berharap suaminya berpenampilan baik sesuai dengan kelaki-lakiannya, hanya saja kecenderungan wanita lebih kepada menghiasi diri, sementara kecenderungan laki-laki lebih kepada menikmati perhiasan, dari sini maka tulisan ini lebih fokus kepada berhias dari sisi wanita atau istri.

Dalam lingkup rumah tangga berhiasnya seorang istri untuk suami merupakan perkara yang tidak patut disepelekan, hal ini karena tabiat suami sebagai laki-laki menyukai kecantikan dan keindahan, kalau dia tidak mendapatkan ini dari istri, lalu dari mana dia mendapatkannya. Dalam konteks membahagiakan suami dengan cara-cara yang tidak melanggar batas-batas agama bisa bernilai sebagai sebuah ibadah yang mulia, karena hal tersebut sebagai wujud kecintaan dan kataatan istri kepada suami.

Hukum berhias

Pada dasarnya berhias atau perhiasan dibolehkan, tidak dilarang kecuali apa yang dilarang oleh dalil, ia termasuk salah satu nikmat Allah kepada hamba-hambaNya, Allah telah mengingkari siapa pun yang mengharamkan perhiasan yang Dia sediakan untuk hamba-hambaNya.

Firman Allah, “Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hambaNya dan (siapa pula yang mengharamkan) rizki yang baik?’ Katakanlah, ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di Hari Kiamat." (Al-A’raf: 32).

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Aku menyaksikan shalat Id bersama Nabi saw, beliau shalat sebelum khutbah… lalu Nabi saw mendatangi para wanita, beliau memerintahkan mereka bersedekah, maka mereka melemparkan cincin dan kalung dan Bilal menadahinya dengan kainnya.”

Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/330 menyebutkan bahwa al-Bukhari meriwayatkan secara muallaq bahwa Aisyah mempunyai beberapa cincin emas, Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa riwayat ini diriwayatkan secara maushul oleh Ibnu Saad.

Demi siapa seorang istri berhias

Ladang ibadah seorang istri adalah suami, dari sini maka hendaknya apa yang dia lakukan pada dirinya adalah semata-mata demi suami termasuk berhias dan mempercantik diri, jika niat istri dalam berhias adalah demi suami maka hal tersebut bernilai ibadah, di samping itu istri tidak akan memperlihatkan perhiasan dirinya kepada orang lain, karena dia memang berhias hanya untuk suami semata bukan untuk orang lain.

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah berkata, Rasulullah saw datang kepadaku sementara di tanganku terpasang gelang dari perak, beliau bertanya kepadaku, “Ini apa wahai Aisyah?” Aku menjawab, “Aku melakukannya dengan maksud berhias untukmu.” Nabi saw bertanya, “Kamu menzakatinya?” Aku berkata, “Tidak, masya Allah.” Nabi saw bersabda, “Ia adalah bagianmu dari neraka.”

Kita melihat dalam hadits ini apa yang dilakukan oleh Aisyah dengan memakai gelang dari perak dalam rangka berhias demi suaminya yaitu Rasulullah saw dan beliau tidak mengingkarinya, yang beliau persoalkan dalam hadits di atas adalah sisi yang tidak berkait dengan pembicaraan kita yaitu zakat perhiasan.

Yang terjadi saat ini dan pada zaman ini adalah kebalikannya, seorang istri tidak hanya berhias untuk suaminya semata, akan tetapi di samping untuk suaminya, dia juga berhias untuk selain suami, bahkan sebagian istri tidak berhias untuk suami, tetapi justru berhias untuk orang lain, bukti dari hal ini adalah berhiasnya sebagian istri pada saat dia keluar rumah, sementara di dalam rumah, istri tidak memperhatikan dirinya, pakaiannya ala kadarnya dan rambutnya tidak tertata rapi, tidak masalah kalau suami sedang tidak di rumah, tetapi yang sering hal itu terjadi pada saat suami sedang berada di rumah, namun begitu ada acara di luar rumah, maka dia akan berdandan habis, untuk siapa? Jadi suami tidak meraih yang khusus dari istrinya, sebagian jatahnya diberikan kepada orang lain.

Kepada siapa wanita menampakkan perhiasannya

Kepada orang-orang yang disebutkan oleh Allah dalam firmanNya, “Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara lelaki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (An-Nur: 31).

Dalam ayat ini Allah menjelaskan siapa-siapa yang boleh melihat perhiasan seorang wanita, di samping suami yang memang berhak mendapatkan bagian terbesar dan terkhusus, ada pula para mahram dan orang-orang di mana terlihatnya perhiasan wanita kepada mereka tidak menimbulkan fitnah dan kerusakan.

Macam-macam perhiasan

Pada dasarnya berhias dan perhiasan terbagi menjadi dua; perhiasaan bawaan atau pemberian dan perhiasan buatan. Yang pertama berarti perhiasan yang sudah dibawa atau dimiliki oleh seorang wanita sebagai pemberian dari Allah seperti kecantikan wajah dan keindahan tubuh. Yang kedua berarti perhiasan yang dihasilkan dan dilakukan oleh seorang wanita dalam upaya menjaga dan menambah perhiasan yang pertama seperti pakaian, make up, perlengkapan perhiasan, emas, perak dan sebagainya.

Perhiasan pertama yang merupakan karunia ilahi, seorang wanita tidak memiliki upaya dalam bagian ini, karena ia merupakan jatah dari ‘sana’, maka dia harus menerimanya dengan rela, tidak perlu menggerutu dan meratapi jatah, lebih-lebih melakukan usaha-usaha merubah ciptaan Allah, tidak perlu, karena pada dasarnya Allah menciptakan kaum hawa ini dengan kecantikan dan keindahan, masing-masing memiliki porsi darinya yang sudah ditakar oleh sang Pemberi, di lain pihak penilaian terhadap kecantikan bersifat relatif dan yang penting bagi seorang wanita adalah suami, jika suami sendiri ma fi musykilah dan menerima bahkan memandangnya yang terbaik dan tercantik, maka hendaknya dia bersyukur, karena dia memang demikian walaupun hanya di mata suami, tetapi itu lebih dari cukup. Mau penilaian dari siapa? Orang lain? Tidak perlu, memang dia itu siapa?

Barangkali yang perlu dan bisa dilakukan adalah menjaga, banyak hal yang bisa dilakukan demi menjaga ini, misalnya menjaga makanan, makan makanan yang berimbang sehingga tubuh tetap langsing dan tidak melebar, makan sayur dan buah-buahan sehingga tubuh terlihat segar, minum jamu atau ramuan-ramuan tertentu, beristirahat yang cukup sehingga kesehatan terjaga, berolah raga sebatas yang diizinkan dan mungkin dilakukan, dan masih banyak lagi perkara-perkara yang bisa dilakukan demi menjaga perhiasan bawaan dan pemberian ilahi ini, tidak masalah selama motivasi istri dalam melakukannya adalah hanya untuk suami seorang.

Dari sisi penciptaan wanita sudah merupakan perhiasan, karena Allah menciptakan kaum Hawa dengan ciptaan yang berbeda dengan kaum Adam, jika kaum Adam diciptakan dengan kecenderungan kepada kekuatan dan kejantanan, maka kaum Hawa diciptakan dengan kelembutan dan kecantikan, perhiasan berarti keindahan dan kecantikan, jadi dari sisi penciptaan kaum Hawa sudah merupakan perhiasan. Namum demikian seorang wanita bisa dan boleh mempercantik dan memperindah diri dengan menggunakan sarana-sarana yang diizinkan secara syar’i dan dorongan melakukannya hanya demi suami seorang tidak lain.

Beberapa hal yang bisa dijadikan oleh seorang wanita untuk berhias

1- Kecerdikan dan kepintaran, manusia bukan sekedar tongkrongan atau penampilan jasmani semata, tanpa akal yang cerdik, manusia hanyalah kumpulan dari daging, darah dan tulang, tidak berharga, kecerdikan dan kepintaran menghiasi diri manusia, mengangkat derajatnya, meningkatkan daya tawarnya, demikian pula dengan wanita, seorang laki-laki tidak memilih wanita sebatas pertimbangan jasad atau tubuh semata, walaupun di antara laki-laki ada yang seperti itu, tetapi itu tidak umum di samping keliru, hukum umum berlaku bahwa ada pertimbangan lain selain jasad yang membuat seorang laki-laki memutuskan memilih sorang wanita, pertimbangan tersebut adalah kecerdikan dan kepintaran, penulis yakin tidak sedikit kaum Adam lebih memilih wanita yang mungkin, dari sisi kecantikan dalam penilaian umum, biasa-biasa saja, padahal penilaian ini sering bersifat subyektif, tetapi dia memiliki nilai kepintaran dan kecerdikan lebih dibanding dengan wanita yang mungkin cantik mempesona tetapi dongok atau tulalit, akalnya pas-pasan, yang kalau diajak berbicara atau berkomunikasi atau diminta mengerjakan sesuatu selalu ‘capek deh’.

Istri sebagai garda rumah tangga memikul tugas dan tanggung jawab yang tidak sepele atau remeh, tugasnya besar dan berat, tanggung jawabnya memerlukan akal dan kepandaian, kepandaian mengatur rumah tangga secara umum yang meliputi keuangan, suami, anak-anak dan lain-lainnya. Dalam perkara keuangan atau ekonomi misalnya, bisa jadi tiang rumah tangga tidak begitu besar dan kokoh, tetapi dengan kecerdikannya istri mampu mengolah tiang yang tidak seberapa besar ini sehingga ia mampu menopang pasak, rumah tangga pun aman dari sisi finansial. Dalam perkara hubungan antara dirinya sendiri dengan suami misalnya, terkadang atau bahkan sering terjadi kesalapahaman dan ketidakselarasan yang memicu konflik dan percekcokan, istri yang pandai bisa dan mampu keluar atau memberi solusi baik lagi bijak sehingga konflik tersebut berakhir dengan happy ending. Dalam hubungannya dengan anak-anak, sebagai sekolah pertama dan pendidik vital bagi mereka, ibu mutlak harus memiliki ilmu alias kepandaian, orang-orang Arab berkata, faqidus syai` la yu’thi, orang yang tidak memiliki tidak memberi, lha apa yang mau dia berikan sementara dia sendiri tidak memiliki.

Jika wanita-wanita tumbuh dalam kebodohan
Maka anak-anak menyusu kebodohan dan kedunguan

Istri-istri Rasulullah saw adalah wanita-wanita yang pandai lagi cerdik, Khadijah yang mendampingi beliau di awal-awal perjuangan dakwah, dukungannya memberikan ketenangan bagi beliau, kepandaiannya menghadirkan keteguhan bagi beliau, perkataannya yang cerdas merupakan suntikan moral dan dukungan spiritual yang memantapkan langkah beliau, ketika beliau berkeluh kesah kepadanya, “Aku takut terhadap diriku.” Khadijah menjawab, “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu, engkau berbicara benar, menyambung ikatan rahim, menunaikan amanat, memuliakan tamu dan membantu kesulitan dalam kebenaran.” Tidak heran manakala Khadijah wafat, Rasulullah saw sangat kehilangan dan bersedih.

Setelah itu hadir Aisyah yang kepandaian dan ilmunya tidak diragukan, dia sebagai rujukan dan tempat bertannya orang-orang berilmu dari para sahabat dan tabiin pada masanya, ilmunya dari Rasulullah saw telah dinikmati oleh umat dalam skala yang besar, mustahil semua itu terwujud tanpa kecerdikan dan kecerdasan.

Hal sama pada istri-istri Rasulullah saw lainnya kemudian para wanita sahabat, salah satu contohnya adalah Asma` binti Umais, istri Ja’far bin Abu Thalib kemudian Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian Ali bin Abu Thalib, Asma` ini wanita cerdik, buktinya dia bersuamikan tiga orang mulia dari umat ini, salah satu bukti kecerdikannya adalah ketika Ali bin Abu Thalib menikahinya, kedua putranya Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin Abu Bakar saling membanggakan diri. Masing-masing berkata, “Aku lebih mulia darimu, bapakku lebih baik daripada bapakmu.” Ali berkata kepada Asma’, “Wahai Asma’ kamu yang menjadi pengadil di antara mereka berdua.” Asma’ berkata, “Aku tidak melihat pemuda Arab yang lebih baik daripada Ja’far, dan aku tidak melihat orang tua yang lebih baik daripada Abu Bakar.” Ali berkata, “Kamu tidak menyisakan sedikit pun bagi kami. Seandainya kamu berkata lain niscaya aku akan memarahimu.” Asma’ berkata, “Sesungguhnya tiga orang di mana kamu adalah yang paling muda adalah orang-orang terpilih.”

Jadi, diri Anda, wahai istri, adalah perhiasan bagi suami, Anda akan lebih menawan baginya jika Anda didukung dengan kepintaran dan kecerdikan.

2- Akhlak mulia

Akhlak mulia, perilaku baik dan perangai berbudi merupakan perhiasan bagi seseorang, betapapun tampan atau cantiknya seseorang secara fisik, jika yang bersangkutan tidak didukung dengan perkara yang satu ini, ketampanan atau kecantikannya tidaklah berarti, orang-orang cenderung menghindari seseorang yang berakhlak buruk meskipun dari sisi casing dia menawan dan menarik, mereka lebih melihat kepada perilaku dan pembawaan daripada melihat kepada tongkrongan, di samping itu pada saat ketampanan atau kecantikan ini sedikit demi sedikit memudar seiring dengan bertambahnya umur dan pada akhirnya hanya bekas yang tertinggal, pada saat itu kemuliaan akhlak dan keluhuran budi tetap eksis menghiasi pemiliknya.

Dalam konteks rumah tangga, berhiasnya anggota rumah tangga dengan perkara yang satu ini merupakan harga mati, tidak perlu ditawar, nilai positif dan input baiknya memberi dampak mulia dan berharga bagi rumah tangga, rumah menjadi tenang dan tenteram, yang terdengar adalah kata-kata baik, yang terlihat adalah sikap bijak, yang nampak adalah perlakuan luhur, semua ini membuat hubungan dan interksi di antara anggota keluarga berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya Anda sebagai istri misalnya, silakan membayangkan jika suami berperilaku buruk, berkata-kata tidak sopan, bertindak kasar kepada Anda atau kepada anak-anak, intinya dari sisi akhlak suami buruk, bayangkan bagaimana rumah tangga Anda? Atau sebaliknya sebagai suami, istri Anda demikian, Anda tidak melihat darinya selain sikap dan perilaku yang buruk, Anda tidak mendengar darinya selain kata-kata sampah, bagaimana interaksi Anda dengan dia? Bagaimana suasana dan kondisi yang ada di dalam rumah Anda? Penulis yakin walaupun rumah Anda lapang dan luas seluas lapangan bola atau bahkan lapangan golf, Anda pasti akan merasa sumpek dan sempit, penyebabnya tidak lain adalah keburukan akhlak penghuninya.

لِعَمْرِي مَا ضَاقَت البِلاَدُ بِأَهْلِهَا
وَلَكِنَّ أَخْلاَقَ الرِّجَالِ تَضِيْقُ
Aku bersumpah, suatu negeri tidak menjadi sempit oleh penghuninya
Akan tetapi yang menjadi sempit itu adalah akhlak manusianya.

Jika sebaik-baik orang beriman adalah orang dengan akhlak yang baik, maka orang yang paling berhak memperoleh kebaikan akhlak dari seorang mukmin dan mukminah adalah orang terdekatnya yaitu keluarganya.

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah orang terbaik bagi keluarga mereka.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, at-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”diriwayatkan pula oleh Ahmad dengan sanad hasan seperti yang dikatakan oleh Syaikh al-Arnauth dalam tahqiq Riyadhus Shalihin).

إِنَّ مِنْ أَكْمَلِ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِهِ
Sesungguhnya orang mukmin yang terbaik akhlaknya dan terlembut bagi keluarganya termasuk ke dalam golongan orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya.” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad dari Aisyah).

3- Pakaian

Pakaian tidak sebatas menutup apa yang tidak pantas untuk terlihat dari tubuh, tidak sebatas melindungi tubuh dari panas dan dingin, tidak sebatas membedakan manusia dengan hewan, tidak sebatas menunjukkan tingkat peradaban manusia, akan tetapi lebih dari itu pakaian bisa menjadi hiasan bagi pemakainya sebagaimana yang difirmankan oleh Allah, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al-A’raf: 31). Allah menamakan pakaian dengan ziinah yang berarti perhiasan, jadi berpakaian berarti berhias.

Dalam lingkup rumah tangga berhiasnya seorang istri dengan pakaian yang baik, bersih dan harum bisa menenangkan pandangan suami, membetahkan suami untuk selalu berada di dekat istri, tetapi justru hal ini sering dilalaikan oleh kebanyakan istri, pada saat suami pulang atau pada saat suami berada di rumah, bukannya istri memperhatikan pakaian dan penampilannya, justru pakaian yang dipakainya tidak mengundang selera suami untuk memandang atau menikmatinya, ini tidak pada tempatnya, semestinya pada saat suami pulang atau pada saat dia berada di rumah, istri berhias dan salah satunya adalah dengan berpakaian yang bisa menjadikannya lebih menarik bagi suaminya.

Dari sisi syariat, pakaian istri di depan suami lebih longgar daripada pakaiannya di depan umum, di depan suami seorang istri bisa berpakaian semenarik mungkin dengan catatan tidak meniru pakaian orang-orang kafir dan fasik, bahan pakaiannya pun lebih longgar dibandingkan dengan laki-laki, pada saat laki-laki dilarang memakai sutera, wanita diizinkan memakainya, ini merupakan peluang yang patut dimanfaatkan oleh para istri demi membahagiakan dan menenangkan suami.

4- Bersih diri

Bersih diri merupakan sarana berhias yang tidak kalah penting karena berhias identik dengan kebaikan dan keindahan yang tidak akan terwujud tanpa bersih diri, bersih diri mutlak dibutuhkan, sebaik dan seindah apapun sesuatu tidak akan menarik kalau ia kotor, secantik apapun Anda sebagai istri tidak akan menarik suami jika Anda tidak bersih diri.

Perhiasan

Perhiasan adalah barang-barang yang biasa digunakan oleh para wanita pada tubuhnya untuk menambah kecantikannya seperti emas, perak, batu-batu mulia, aksesoris-aksesoris, pernak-pernik dan sebagainya.

Wanita boleh dengan kesepakatan para ulama berhias dengan perhiasan walaupun ia bernilai mahal dari perak, mutiara, permata yakut, marjan, batu akik, batu safir dan batu-batu mulia lainnya. Adapun perhaisan dari emas untuk wanita maka masalah ini diperdebatkan oleh para ulama, penjelasannya akan hadir insya Allah.

Allah swt menyebutkan perhiasan dalam konteks menjelaskan nikmatNya. Allah berfirman, “Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya.” (Fathir: 12).

Ayat ini menetapkan dibolehkannya berhias dengan mutiara dan batu marjan yang dikeluarkan oleh Allah dari laut, ia adalah perhiasan untuk berhias, sebagaimana Allah berfirman, “Katakanlah, ‘siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?" (Al-A’raf: 32).

Hukum wanita memakai perhiasan emas

Ada beberapa hadits yang membolehkan wanita memakai emas, ada pula beberapa hadits yang mengharamkan wanita memakai emas. Dari sini para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, sebagian dari mereka cenderung kepada hadits-hadits yang membolehkan, sementara yang lain cenderung kepada hadits-hadits yang melarang.

Hadits-hadits yang membolehkan berhias dengan emas

1- Dari Ali bin Abu Thalib berkata, Nabi saw mengambil sutera dan meletakkannya di tangan kanannya dan beliau mengambil emas dan meletakkannya di tangan kirinya, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya dua barang ini haram atas laki-laki dari umatku dan halal untuk wanitanya.” (HR. Muslim).

2- Dari Thawus dari Ibnu Abbas ra berkata, “Aku menghadiri shalat Id bersama Nabi saw, beliau shalat sebelum khutbah… Lalu beliau mendatangi kaum wanita, beliau memerintahkan mereka bersedekah, maka mereka melemparkan cincin-cincin di kain Bilal, dalam sebuah riwayat, maka seorang wanita dari mereka bersedekah dengan gelang dan kalungnya, dalam riwayat yang lain, maka seorang wanita dari mereka melemparkan anting-antingnya. (HR. al-Bukhari).

3- Aisyah ra memiliki beberapa cincin emas, ini disebutkan oleh al-Bukhari secara muallaq dalam shahihnya, diriwayatkan secara maushul oleh Ibnu Saad dari jalan Umar bin Amru maula al-Mutthalib, dia berkata, aku bertanya kepada al-Qasim bin Muhammad, dia berkata, “Sungguh, demi Allah aku telah melihat Aisyah memakai pakaian yang dicelup dengan usfur dan memakai cincin emas.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 10/330)

Hadits-hadits yang mengharamkan berhias dengan emas

1- Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa ingin memberi cincin kepada kekasihnya dari api neraka, maka hendaknya dia memberinya cincin dari emas. Barangsiapa ingin memberi kalung kepada kekasihnya dari api neraka, maka hendaknya dia memberinya kalung dari emas. Barangsiapa ingin memberi gelang kepada kekasihnya dari api neraka, maka hendaknya dia memberinya gelang dari emas. Akan tetapi hendaknya kalian menggunakan perak, bermain-mainlah dengannya, bermain-mainlah dengannya, bermain-mainlah dengannya.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 772/19).

2- Dari Tsauban ra berkata, Binti Hubairah datang kepada Nabi saw, sementara di tangannya terdapat cincin emas –yakni cincin-cincin berukuran besar- maka Nabi saw memukul tangannya dengan tongkat yang beliau bawa sambil bersabda, “Apakah kamu berbahagia kalau Allah kelak menggantikannya di tanganmu dengan cincin dari api neraka?” Lalu dia datang kepada Fatimah mengadukan apa yang dilakukan Rasulullah saw kepadanya. Tsauban berkata, lalu Nabi saw datang kepada Fatimah dan aku menyertai beliau sementara Fatimah telah mengambil sebuah kalung emas dari lehernya, Fatimah berkata, “Ini hadiah dari Abu al-Hasan kepadaku.” Maksudnya adalah Ali suaminya- sambil menunjukkan kalung itu di tangannya. Maka Nabi saw bersabda, “Wahai Fatimah, apakah kamu berbahagia kalau orang-orang berkata, Fatimah binti Muhammad, di tangannya terdapat kalung dari api neraka?” Lalu Rasulullah saw memintanya dengan sangat, beliau keluar tanpa duduk, maka Fatimah menjual kalung itu dan membelikannya hamba sahaya dan memerdekakannya, hal ini didengar oleh Nabi saw maka beliau bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fatimah dari api neraka.” (HR. an-Nasa`i, sanadnya dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 771/18).

Yang membolehkan wanita berhias dengan emas adalah jumhur ulama, beberapa imam menukil ijma’ dalam masalah ini, seperti Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari, Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa dan lainnya. An-Nawawi berkata, “Kaum muslimin telah berijma’ bahwa wanita boleh memakai bermacam-macam perhiasan dari emas dan perak semuanya, seperti kalung, gelang tangan, gelang kaki, gelang bahu, cincin, dan semua yang dipakai di leher dan lainya serta semua yang biasa dipakai oleh wanita, tidak ada perbedaan dalam sesuatu dari hal ini.”

Syaikh al-Albani mempunyai pendapat dalam masalah ini, beliau membolehkan wanita berhias dengan emas dengan syarat bukan melingkar akan tetapi terpotong, alasan beliau karena hal itulah yang dipahami dari hadits Abu Hurairah dan Binti Hubairah di atas, beliau berkata dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib 2/193, penerbit Pustaka Shahifah Jakarta, “Hadits-hadits dalam masalah ini –yakni masalah larangan berhias dengan emas bagi wanita- ada yang shahih dan ada yang tidak shahih, dan yang shahih darinya khusus untuk emas yang melingkar sebagaimana yang Anda lihat seperti kalung, gelang dan cincin.” Lanjut Syaikh, “Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa semua emas halal bagi wanita kecuali yang melingkar, dengan ini semua dalil-dalil bisa diakomodasi.”

Kemudian Syaikh menghadirkan hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa`i dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw melarang memakai emas kecuali yang terpotong. Setalah itu Syaikh berkata, “Yang benar adalah bahwa hadits Ibnu Umar ini merupakan dalil yang kuat dalam membedakan antara emas yang melingkar dengan emas yang terpotong bagi wanita.” Wallahu a'lam.

Hukum berhias dengan penggalan emas dan perak yang tertulis di atasnya ayat al-Qur`an

Tidak ragu bahwa al-Qur`an al-Karim termasuk ayat-ayatnya mengandung tasyri’, hukum-hukum dan adab-adab, ayat-ayat ini berisi jalan kehidupan seorang muslim, kebahagiaannya dan dunia dan akhirat, maka tidak pantas bagi seorang muslim memakainya atau mengizinkan memakainya karena hal itu berarti menghina kalam Allah Ta’ala, walaupun maksudnya mungkin mengagungkan, tetapi hukum tidak sekedar berpijak kepada maksud.

Sangat disayangkan ketika kita melihat banyak akhawat muslimat menggantungkannya di leher anak-anak mereka atau mereka sendiri memakai potongan-potongan emas atau perak yang tertulis di atasnya ayat-ayat al-Qur`an, seperti ayat Kursi, al-Muawwidzatain dan lainnya dengan keyakinan bahwa ia melindungi dari setan atau roh jahat, ini termasuk tamimah yang diharamkan menurut pendapat yang shahih di kalangan para ulama.

Ada respon positif dari pemerintah Arab Saudi melalui kementrian perdagangan yang melarang memperdagangkan potongan-potongan seperti ini, karena melarangnya berarti melindungi ayat-ayat al-Qur`an al-Karim dari penghinaan. Wallahu a'lam.

Berhias dengan alat kecantikan

Pada zaman ini telah beredar berbagai macam alat-alat perlengkapan kecantikan di pasar-pasar, make up dan kosmetika menjadi salah satu barang laris di berbagai kalangan, tentu saja sasarannya adalah para wanita termasuk muslimah. Ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan dalam menggunakan alat-alat kecantikan ini:

Pertama: Memastikan bahwa alat kecantikan ini terbuat dari bahan yang suci, karena tubuh seorang muslimah tidak patut dihias dengan sesuatu yang najis.

Kedua: Memastikan aman dan tidak berdampak negatif bagi kulit dan tubuh, baik cepat maupun lambat, apa pun kalau ia membahayakan maka haram dilakukan karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (An-Nisa`: 29). Dia juga berfirman, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195). Kaidah fikih menetapkan, menolak dampak negatif didahulukan di atas mendatangkan kemaslahatan.

Ketiga: Hendaknya bahan-bahan ini tidak berasal dari bahan-bahan yang menghalangi air dari kulit pada waktu berwudhu atau mandi junub atau haid atau nifas.

Keempat: Hendaknya tujuan berhias bukan untuk menampakkannya kepada laki-laki asing, menonjolkan kecantikan yang dapat menimbulkan fitnah dan menebarkan kerusakan di masyarakat muslim, jadi seorang muslimah hanya berhias khusus bagi suaminya semata tidak orang lain.

Syarat yang keempat ini dilalaikan oleh banyak muslimah pada masa kini, maka kita melihat mereka justru berdandan dan berhias habis jika keluar rumah, sebaliknya ketika di dalam rumah sama sekali tidak berhias.

Kelima: Tidak berlebih-lebihan sehingga menjadikannya nomor satu.

CARA BERHIAS YANG HARUS DIHINDARI

Operasi kecantikan

Operasi kecantikan yang dikenal pada zaman ini, yang diiklankan oleh budaya tubuh dan syahwat, misalnya membesarkan pinggul, memancungkan hidung, memperbesar payudara dan sebagainya adalah haram, karena pertama, perbuatan ini merubah ciptaan Allah tanpa alasan. Kedua, perbuatan ini menunjukkan bahwa pelakunya mendewa-dewakan penampilan, maka yang sering melakukannya adalah orang-orang yang menjual penampilan tubuhnya. Dan ketiga, perbuatan ini termasuk tabdzir, membelanjakan harta di jalan yang salah.

Hanya saja –wallahu a'lam- penulis berpendapat, jika pada diri seseorang terdapat aib yang jelas atau kelainan yang menarik perhatian seperti bibir sumbing, noda-noda karena kebakaran atau kecelakaan, maka tidak mengapa ia dilakukan, selama tujuannya sebatas mengangkat kesulitan karena Allah tidak menjadikan dalam agama sesuatu yang menyulitkan

Menyambung rambut

Maksudnya adalah menyambung rambut dengan selainnya agar dikira ia lebat atau bagus atau keduanya sekaligus, perbuatan ini bisa dilakukan oleh wanita dengan cara menambahkan rambut lain kepada rambutnya, baik rambut alami dari wanita lain atau rambut buatan untuk tujuan ini.

Dalil-dalil yang mengharamkan

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf bahwa dia mendengar Muawiyah bin Abu Sufyan berkhutbah di atas mimbar pada tahun haji sambil dia mengambil sejumput rambut yang ada di tangan pengawalnya, Muawiyah berkata, “Di mana ulama kalian, aku mendengar Rasulullah saw melarang perbuatan seperti ini, beliau bersabda, ‘Bani Israil binasa manakala wanita-wanita mereka melakukan ini.”

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda, “Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang memintanya, wanita yang mentato dan wanita yang memintanya…”

Mencabut bulu wajah atau mengerik alis

Dari Alqamah dari Abdullah bin Mas'ud berkata, “Allah melaknat wanita yang mentato dan wanita yang meminta ditato, wanita yang mencabut bulu wajah dan wanita yang meminta mencabut bulu wajah, wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan yang merubah ciptaan Allah.” Hal ini sampai ke telinga seorang wanita dari Bani Asad bernama Ummu Ya’qub, dia ini membaca al-Qur`an, dia mendatangi Ibnu Mas’ud dan berkata, “ Ucapan apa yang aku dengar darimu, aku mendengarmu melaknat wanita yang mentato dan wanita yang meminta ditato, wanita yang mencabut bulu wajah dan wanita yang meminta mencabut bulu wajah, wanita yang merenggangkan giginya yang merubah ciptaan Allah.” Ibnu Mas’ud berkata, “Mengapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah saw dan ia tercantum di dalam kitab Allah?” Dia berkata, “Aku telah membaca di antara kedua sampulnya tetapi aku tidak menemukannya.” Ibnu Mas’ud berkata, “Kalau kamu benar membacanya niscaya kamu menemukannya, Allah Ta’ala berfirman, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7).

Wanita itu berkata, “Aku melihat sesuatu dari hal ini pada istrimu sekarang.” Ibnu Mas’ud berkata, “Pergilah dan lihatlah.” Maka wanita ini datang kepada istri Abdullah dan dia tidak melihat apa pun, dia datang lagi kepada Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Aku tidak melihat apa pun.” Ibnu Mas’ud berkata. “Kalau kamu sampai melihat niscaya kami tidak berkumpul dengannya.” Yakni tidak hidup dengannya. (Muttafaq alaihi).

Illat (alasan) pengharaman

1- Penipuan dan kecurangan, dua perkara ini haram dalam syariat Allah Ta’ala.
2- Merubah ciptaan Allah Ta’ala, ini juga haram.

Menipiskan atau merenggangkan gigi

Dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas,
لَعَنَ اللهُ ... وَالمُتَفَلِّجَاتِ للْحُسْنِ المُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ
“Allah melaknat …wanita yang merenggangkan giginya yang merubah ciptaan Allah.”

Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, المتفلجة adalah wanita yang mencari atau melakukan الفلج yaitu kerenggangan di antara gigi depan, dan التفلج merenggangkan di antara dua gigi yang berdampingan dengan kikir dan sejenisnya, biasanya ia dilakukan khusus untuk gigi depan dan gigi seri, ia dianggap baik untuk wanita, terkadang seorang wanita melakukannya terhadap gigi-giginya yang berdempetan agar renggang, terkadang dilakukan oleh wanita berumur agar dikira masih muda, karena biasanya gadis muda giginya baru dan renggang, hal ini akan hilang pada saat tua. (Fathul Bari juz 10 kitab al-Libas bab al-Mutanammishat).

Ini disebut pula dengan al-wasyru, an-Nawawi berkata, الوشرdilakukan oleh wanita tua dan wanita paruh baya untuk menampakkan kemudaan dan keindahan gigi, karena kerenggangan yang tipis di antara gigi dimiliki oleh anak gadis, jika seorang wanita mencapai usia tua maka ia mengeras, maka dia mengikirnya dengan kikir agar ia halus, indah dipandang, agar dikira bahwa dia berumur muda. (Shahih Muslim Syarah an-Nawawi 14/107).

Suami berhias untuk istri

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :  "Dan mereka (para istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka dengan cara yang ma'ruf." (Q.S Al Baqarah : 228)

Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini :

"Mereka (para istri) mempunyai hak dari suaminya sama dengan hak yang diperoleh para suami dari mereka. Maka hendaklah masing-masing dari keduanya menunaikan kewajiban atau menunaikan hak pihak yang lain dengan cara yang ma'ruf."

Kemudian beliau mengatakan, Berkata Waki' dari Basyir bin Sulaiman dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dia berkata, "Aku suka berhias untuk istriku sebagaimana aku suka istriku berhias untukku, karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: Sesungguhnya berhiasnya suami dihadapan istrinya akan membantu istri menundukkan pandangannya dari melihat laki-laki selain suaminya dan mendukung dekatnya hati.

Namun kenyataannya ada diantara suami yang mendatangi istrinya dalam keadaan rambutnya kusut masai, berdebu dan beraroma tidak sedap. Apabila dia mandi dan memakai wangi-wangian, dia malah keluar menemui teman-temannya dan tidak kembali kerumahnya (ke istri-istrinya) kecuali pada bentuk yang pertama, yang membuat hati itu lari dan membuat jiwa itu bergidik.

Sebagaimana engkau menuntut istrimu untuk tampil di depanmu dengan penampilan yang bagus dan aroma yang sedap, bau yang wangi, maka demikian pula dia menuntut yang demikian darimu, karena dia memiliki perasaan seperti perasaanmu dan dia memiliki indra sebagaimana indramu.


Karena itu, hendaklah para suami bertakwa kepada Allah pada diri-diri mereka dan dalam urusan istri-istri mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar