Minggu, 30 Desember 2018

Hasil Tes DNA Dalam Kasus Perzinahan


Sering kita mendengar tes DNA untuk memastikan siapkah orang tua (bapak) dari anak yang dikandung oleh seorang wanita. Tes ini diklaim cukup valid, sehingga sering dipakai dalam berbagai kasus bahkan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam pengadilan. Terlepas dari permasalahan validitas, kita melihat bagaimana kacamata syariat melihat hal ini.

Membedakan Nasab biologis dan nasab syar’i

Dua hal ini berbeda, sebagai contoh kasus anak yang  lahir dari hasil perzinahan. Maka anak tersebut tidak dinasabkan kepada bapaknya secara syariat. Anak tersebut memang adalah anak biologis dari bapaknya (lahir dari benih sperma bapaknya), akan tetapi bukan anak bapak tersebut secara syariat.

Berikut penjelasan yang lebih rinci:

Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,

قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka, tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya.” [HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

“Anak yang lahir adalah bagi pemilik kasur (dinasabkan kepada suami yang sah), dan seorang pezina tidak punya hak (pada anak hasil perzinaannya).” [Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

فمعناه أنه إذا كان للرجل زوجة أو مملوكة صارت فراشا له فأتت بولد لمدة الإمكان منه لحقه الولد وصار ولدا يجري بينهما التوارث وغيره من أحكام الولادة سواء

“Jika seorang laki-laki memiliki istri atau seorang budak wanita, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi suaminya (anak yang dikandung dinasabkan kepada suaminya atau pemilik budak). Selama sang wanita menjadi firasy lelaki maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. [Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10:37, Darul Ihya’ AT-Turast, Beirut, cet.II, 1392 H, syamilah]

Jadi, anak tersebut tetap dinasabkan (nasab syar’i) kepada pemilik kasur (suaminya yang sah) walaupun misalnya istrinya selingkuh dan anak tersebut lahir bukan dari benih suaminya, maka anak tersebut tetap anak suaminya secara syariat (walaupun nasab biologisnya bukan anak suaminya)

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

حتى لو أن امرأة أتت بولد وزوجها غائب عنها منذ عشرين سنة لحقه ولدها

“walaupun hingga seorang istri melahirkan anak suaminya yang sedang pergi (tidak ada) selama 20 tahun, maka anak tersebut dinasabkan (nasab syariat) kepada suaminya.” [Al-Mughni  6/420, Darul Fikr, Beirut, cet. I, 1405 H, syamilah]

Dan laki-laki yang berzina tidak berhak atas anak zinanya tersebut, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

بمعنى أنه لو كانت المزني بها لا فراش لها، وادعى الزاني أن الولد ولده فهل يلحق به؟ الجمهور على أنه عام، وأنه لا حق للزاني في الولد الذي خلق من مائه

“Maknanya jika seorang berzina dengan bukan firasy-nya (bukan istri sah), kemudian ia mengklaim anak tersebut adalah anaknya, apakah anak tersebut dinisbatkan kepadanya? Pendapat jumhur ulama bahwa lafadz (hadits) umum, tidak ada hak bagi pezina pada anak tersebut yang (walaupun) diciptakan dari maninya.” [Syarhul Mumti’ 12/17, Dar Ibnul Jauzi, cet. I, 1422 H, syamilah]

Dengan demikian, seluruh hukum nasab antara anak zina dengan bapaknya tidak berlaku, yaitu:

1. Bapak dan anak zinanya tidak saling mewarisi.

2. bapaknya tidak wajib memberi nafkah kepada anak zinanya.

3. Bapaknya bukan mahram bagi anak zinanya (jika dia wanita),

kecuali jika bapaknya menikah dengan ibu anak tersebut dan telah melakukan hubungan jimak suami-istri (keduanya bertaubat dari zina dan menikah sah)  maka anak zina tersebut statusnya adalah rabibah (anak perempuan istri dari suami sebelumnya, yang menjadi asuhannya dan anak perempuan yang dibawa oleh istrinya adalah mahram baginya)

Sebagimana dalam ayat,

وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ

“ (diharamkan bagimu) anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu/pengasuhanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.” (An-Nisa’ :23)

4. Bapaknya tidak bisa menjadi wali, menikahkan anak zinanya itu dalam pernikahan.

Yang menikahkan adalah qhadi (hakim pemerintah, dalam hal ini adalah KUA), sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ

“Penguasa adalah wali nikah bagi perempuan yang tidak memiliki wali nikah” [HR Abu Daud no 2083 dan dinilai shahih oleh Al-Albani]

Jangan sampai bapaknya menikahkan anak zinanya (perempuan), maka status pernikahan tidak sah, maka anak yang lahir dari pernikahan tersebut juga statusnya anak zina secara syariat.

Hasil tes DNA untuk menetapkan nasab biologis tidak untuk nasab syar’i

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya mengenai anak hasil zina kemudian bapaknya ditentukan dengan pemeriksaan DNA, beliau menjawab:

والحاصل أن الولد لأبيه وإن أظهرت التحاليل أنه ليس منه.

“kesimpulannya, anak tersebut dinasabkan (nasab syar’i) kepada bapaknya (pemilik kasur), walaupun hasil tes pemeriksaan (DNA) menunjukkan bahwa anak tersebut bukan anaknya.” [Al-Irsyad lii Thabibil Muslim pertanyaan no.19, syamilah]

Kesimpulannya:

-Jika sepasang pemuda-pemudi berzina

Kemudian lahir anak zina, maka anak tersebut dinasabkan (secara syar’i) kepada Ibunya tidak kepada bapaknya. Dan tidak berlaku hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum bapak-anak sebagaimana telah dijelaskan.

-Jika suami tidak mengakui anak yang dikandung istrinya

Misalnya suami menuduh istrinya berzina. Maka hukum asalnya anak dalam kandungan istrinya itu adalah anaknya secara syariat, meskipun suaminya tidak mengakui anak tersebut anaknya, akan tetapi secara syariat anak dalam kandungan istrinya adalah anaknya secara syar’i (nasab syar’i), meskipun ia bukan bapak biologis dari anak tersebut. Meskipun dengan pemeriksaan tes DNA anak tersebut bukan anaknya.

Jika ia (suami) ingin tidak mengakui anak tersebut secara syar’i dan biologis, maka ia menuduh istrinya berzina dan wajib mendatangkan bukti, jika tidak ada bukti maka sang suami akan dijatuhi hukuman hadd cambuk. Jika ingin tidak dicambuk, maka ia akan melakukan li’an (saling melaknat).

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُن لَّهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ ۙ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَن تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ ۙ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِن كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan Nama Allah, sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas Nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atas-nya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” [An-Nuur: 6-9]

Alhamdulillah, Semoga bermanfaat.

wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar