Jumat, 18 Mei 2018

Kapankah Puasa Ramadhan Diwajibkan Kepada Umat Manusia?

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah [2]: 183).

Demikian pula beberapa ayat setelahnya, Allah Ta’ala menyebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa Dia telah mewajibkan puasa atas umat ini sebagaimana yang telah Allah Ta’alawajibkan atas umat-umat sebelumnya. Lafadz (كتب) dalam ayat di atas bermakna (فرض) [diwajibkan]. Puasa diwajibkan atas umat ini dan juga umat-umat sebelumnya.

Sebagian ulama berkata tentang tafsir ayat di atas, ”Ibadah puasa diwajibkan bagi para Nabi dan bagi umat mereka, sejak Adam hingga akhir zaman.” Allah menyebutkan yang demikian itu karena sesuatu yang berat untuk dikerjakan, akan terasa mudah dan lebih menenangkan jiwa manusia jika dikerjakan oleh banyak orang. Oleh karena itu, puasa diwajibkan atas seluruh umat manusia, meskipun berbeda tata cara dan waktu pelaksanaannya.

Sa’id bin Jubair berkata, “Dahulu, puasa yang diwajibkan atas umat sebelum kami adalah dari waktu ‘atamah (waktu shalat ‘Isya) sampai malam berikutnya, sebagaimana dalam awal-awal Islam.”

Al-Hasan berkata, “Puasa Ramadhan dulu diwajibkan atas orang-orang Yahudi. Akan tetapi, mereka meninggalkannya dan berpuasa pada satu hari dalam setahun dan menyangka bahwa hari itu adalah hari ditenggelamkannya Fir’aun. Padahal mereka berdusta dalam hal tersebut, karena hari (ditenggelamkannya Fir’aun) tersebut adalah hari ‘Asyura (tanggal 9 Dzulhijjah) (sehingga puasa yang mereka lakukan tidak dapat menggantikan kewajiban puasa yang Allah wajibkan bagi mereka, pen.). Puasa juga diwajibkan atas umat Nashrani, dan hal ini berlangsung lama. Sampai suatu ketika, Ramadhan ketika itu bertepatan dengan cuaca yang sangat terik. Puasa ketika itu menyebabkan mereka mendapatkan kesulitan saat bepergian atau pun saat mencari nafkah. Akhirnya, para ulama Nasrani bersepakat untuk mem-paten-kan bulan puasa antara musim dingin dan musim panas. Pilihan jatuh pada musim semi. Akhirnya, puasa di bulan Ramadhan dipindah ke musim semi sehingga waktunya paten dan tidak berpindah-pindah musim. Saat mereka menggeser bulan pelaksanaan puasa wajibnya, mereka mengatakan, ‘Tambahkan puasa selama sepuluh hari sebagai kaffarah atau penebus dosa karena telah menggeser bulan puasa’.”

Dan firman Allah Ta’ala (yang artinya), ”agar kamu bertakwa”, maksudnya adalah dengan sebab berpuasa. Puasa menyebabkan ketakwaan karena menundukkan hawa nafsu dan syahwat.

Pada awal-awal Islam, umat Islam boleh memilih antara berpuasa atau membayar fidyah, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah [2]: 184).

Adanya pilihan tersebut (antara berpuasa atau membayar fidyah) kemudian dihapus dengan mewajibkan puasa itu sendiri dengan adanya firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al Baqarah [2]: 185).

Hikmahnya adalah adanya tahapan-tahapan dalam perintah syari’at dan kelemah-lembutan terhadap umat manusia. Ketika mereka belum terbiasa berpuasa, jika langsung diwajibkan berpuasa dari awal, maka hal itu akan memberatkan mereka. Oleh karena itu, mereka boleh memilih terlebih dahulu antara berpuasa atau membayar fidyah. Kemudian ketika keyakinan mereka sudah menguat, jiwa-jiwa mereka sudah siap, dan sudah terbiasa berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa (tidak ada pilihan yang lain). Demikianlah syariat Islam lainnya yang berat semacam itu, akan disyariatkan secara bertahap (tadarruj).

Akan tetapi yang benar bahwa ayat tersebut (tentang pilihan untuk berpuasa atau membayar fidyah) hanya dihapus untuk orang yang mampu berpuasa. Adapun bagi orang yang tidak mampu berpuasa, karena tua renta atau sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, maka ayat tersebut masih berlaku (tidak dihapus) untuk mereka. Mereka boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari yang ditinggalkan. Dan mereka tidak wajib meng-qodho’ (membayar hutang) puasa.

Adapun selain mereka, maka wajib berpuasa. Barangsiapa yang tidak berpuasa karena sakit atau bepergian (safar),  maka wajib bagi mereka untuk meng-qodho’ puasa karena firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah [2]: 185).

Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun kedua hijriah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa selama sembilan kali Ramadhan. Sehingga jadilah puasa Ramadhan sebagai kewajiban dan salah satu rukun Islam. Barangsiapa yang mengingkari wajibnya puasa Ramadhan, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang tidak berpuasa tanpa udzur, dan dia mengakui kewajiban puasa, maka dia telah melakukan dosa yang sangat besar dan wajib mendapatkan hukuman. Wajib pula baginya untuk bertaubat dan meng-qodho’ hari yang ditinggalkan. 

Diterjemahkan dari: Ittihaaf Ahlil Imaan bi Duruusi Syahri Ramadhan, karya Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Daar ‘Ashimah Riyadh KSA, cetakan ke dua, tahun 1422, hal. 128-130.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar