Kamis, 05 Juli 2018

Bolehkah Tidur Tanpa Busana


Kita hidup di daerah yang dilewati garis khatulistiwa yang beriklim dan bersuhu udara panas. Tentunya kondisi alam ini mempengaruhi pola hidup dan kehidupan masyarakat yang tinggal didalamnya. Salah satunya adalah terbiasa memakai pakaian yang tipis, bahkan para pekerja kasar terbiasa bertelanjang dada dalam bekerja.

Demikian juga disaat hari panas dan udara terasa sangat gerah, banyak manusia yang melepaskan baju-baju mereka ketika tidur. Tentunya, kita tahu bahwa seorang muslim/muslimah yang sudah baligh wajib untuk menutup auratnya. Lalu bagaimanakah pandangan syariat dalam masalah ini? Apakah ada larangan khusus  atau dalil tentang seseorang (apalagi kalau dia seorang wanita) yang tidur tanpa pakaian?

Tidur telanjang secara umum hukum asalnya boleh.

Coba renungkan ayat berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur: 58)

Tiga keadaan yang disebutkan dalam ayat di atas adalah waktu untuk meminta izin bagi keluarga dekat ketika masuk ke dalam kamar kerabat lainnya. Kalau yang disebutkan dalam awal surat adalah permintaan izin bagi yang bukan mahram satu dan lainnya. Sedangkan ayat ini, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman supaya budak mereka dan anak-anak mereka yang belum baligh (dewasa) meminta izin dalam tiga keadaan:

1. Sebelum shalat Shubuh karena ketika itu masih berada di ranjang.
2. Di waktu qoilulah saat pakaian ditanggalkan karena sedang berduaan dengan pasangannya.
3. Setelah shalat Isya yang merupakan waktu untuk tidur.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa hendaknya dalam tiga waktu tersebut seorang hamba sahaya atau pun anak kecil tidaklah masuk ke kamar tanpa izin. Demikian keterangan dari Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 565.

Lihat pada keterangan Ibnu Katsir di atas, beliau berkata,

فِي وَقْتِ اْلقَيْلُوْلَةِ؛ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ قَدْ يَضَعُ ثِيَابَهُ فِي تِلْكَ الحَالِ مَعَ أَهْلِهِ
“Di waktu qoilulah (tidur di siang hari) biasa pakaian itu dilepas karena tidur dengan istrinya.”

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa seorang muslim boleh melepas pakaiannya dan tidur dalam keadaan telanjang jika ia berada dalam kamar tidurnya secara khusus. Selama tidak khawatir kalau auratnya terlihat oleh orang lain yang tidak dihalalkan melihat auratnya, maka dibolehkan dalam keadaan seperti itu.

Yang jelas, tidak boleh melihat aurat kecuali pasangan suami istri. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Bahz bin Hakim, dari bapaknya, dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
“Jagalah auratmu kecuali pada istri atau pada hamba sahaya wanitamu.” (HR. Abu Daud no.4017 dan Tirmidzi no. 2794. Al-Hafiz Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Tidurnya wanita dengan bertelanjang.

Namun yang jadi pertanyaan, ini wanita dewasa yang tidur bersama suami atau hanya sekedar tidur telanjang sendirian saja?

Jika ia wanita bersuami dan tidur telanjangnya adalah untuk suaminya, tidak mengapa. Allah Azza Wajalla berfirman:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.” (QS Al-Mukminun: 5-6)

Imam Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Alloh memerintahkan untuk menjaga kemaluan kecuali terhadap istri dan budak yang dimilikinya. Maka tidak ada celaan hal itu. Keumuman ini mencakup dalam hal melihat, memegang dan berbaur.” (Al-Muhalla 9/165).

Yang jelas, tidak boleh melihat aurat kecuali pasangan suami istri. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
“Jagalah auratmu kecuali pada istri atau pada hamba sahaya wanitamu.” [HR Abu Daud no.4017 dan Tirmidzi no.2794]

Bahkan dalam dalil lain disebutkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melepas bajunya ketika tidur saat tidur di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam Shahih Muslim, ‘Aisyah berkata,

لَمَّا كَانَتْ لَيْلَتِىَ الَّتِى كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِيهَا عِنْدِى انْقَلَبَ فَوَضَعَ رِدَاءَهُ وَخَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عِنْدَ رِجْلَيْهِ وَبَسَطَ طَرَفَ إِزَارِهِ عَلَى فِرَاشِهِ فَاضْطَجَعَ فَلَمْ يَلْبَثْ إِلاَّ رَيْثَمَا ظَنَّ أَنْ قَدْ رَقَدْتُ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ رُوَيْدًا وَانْتَعَلَ رُوَيْدًا وَفَتَحَ الْبَابَ فَخَرَجَ ثُمَّ أَجَافَهُ رُوَيْدًا فَجَعَلْتُ دِرْعِى فِى رَأْسِى وَاخْتَمَرْتُ وَتَقَنَّعْتُ إِزَارِى ثُمَّ انْطَلَقْتُ عَلَى إِثْرِهِ حَتَّى جَاءَ الْبَقِيعَ
“Suatu malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam itu di rumahku, beliau berbalik lalu beliau meletakkan rida’nya (pakaian bagian atasnya). Beliau juga melepaskan dua sandalnya lalu meletakkan keduanya di samping kedua kakinya. Kemudian beliau menggelar ujung sarungnya di atas kasurnya, lalu beliau berbaring. Beliau seperti itu karena mengira aku telah tertidur. Lalu beliau mengambil rida’nya (pakaian bagian atasnya) dengan pelan-pelan. Beliau juga memakai sandalnya dengan pelan-pelan, lalu membuka pintu dan keluar, lalu menutupnya juga dengan pelan-pelan. Maka aku pun meletakkan pakaianku di atas kepalaku dan aku berkerudung. Lalu aku memakai pakaianku kemudian aku membuntuti di belakang beliau, sehingga beliau sampai di pekuburan Baqi’.” (HR. Muslim no. 974)

Yang dimaksud dengan,
وَتَقَنَّعْتُ إِزَارِى
adalah: “aku memakai pakaianku.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 41). Kata para ulama, ini berarti ‘Aisyah ketika itu tidur dalam keadaan tidak berbusana atau berpakaian.

Dan bukan tidur bersama tanpa sehelai kain saja, mandi bersama pun juga bagian dari amalan suami istri yang dicontohkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Terdapat hadits shahih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengatakan:

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم منْ إِنَاءٍ بَيْني وَبَيْنَهُ وَاحِدٍ، فَيُبَادِرَني حَتَّى أَقُولَ : دَعْ لي ، دَعْ لي
Dahulu saya dan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mandi dari bejana yang sama, antara beliau dan diriku hanya satu wadah (tidak terpisahkan). Beliau mendahuluiku sampai saya mengatakan, “Sisakan (airnya) untukku, sisakan (airnya) untukku.” [HR Bukhari 258 dan Muslim 321].

Sekali lagi, jika telanjangnya sang istri itu untuk suaminya, entah tidur atau mandi bersama, hukum asalnya mubah, bahkan bisa menjadi sunnah jika niatnya menyenangkan suami.

Sebagai catatan, hendaknya berhati-hati dari pandangan anggota keluarga yang lain, misal anak. Jangan sampai itu membuat sang anak jadi berpikir yang tidak-tidak, atau berpikir yang belum waktunya. Yang lebih baik ketika tidur adalah tidak sampai telanjang bulat.

Adapun jika tidur telanjangnya sendirian tanpa suami, bukan untuk membahagiakan suami, apalagi yang belum menikah, maka pertanyaan terbesarnya…. untuk apa?

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar