Senin, 29 Februari 2016

Sesuatu Yang Najis Adalah Sebuah Benda Yang Kotor, Bila Kotornya Hilang Maka Hilang Pula Hukumnya

Najis adalah setiap benda yang dianggap kotor oleh syar’i.

SYARAT NAJIS

Sesuatu itu dihukum najis bila memenuhi tiga syarat:

Pertama: merupakan sebuah benda

Sesuatu yang tidak ada wujudnya tidak mungkin dianggap sebagai najis. Oleh karena itu, angin kentut tidak najis meskipun keluar dari dubur sebab ia tanpa wujud.

Kedua: kotor atau menjijikan

Pada dasarnya, sesuatu yang najis adalah sesuatu yang kotor atau menjijikan. Namun demikan, tidak semua yang dianggap kotor dipastikan najis, hal ini dikarenakan cara pandang manusia terhadap benda tertentu kotor atau bukan bias berbeda.

Ketiga: yang menganggap kotor adalah syar’i

Yang dijadikan patokan untuk menganggap kotornya sebuah benda adalah syar’i. Tidak semua yang kotor dalam pandangan manusia mesti menjadi sesuatu yang najis.

Contoh: kotoran keringat, debu, atau lumpur sawah yang menempel di baju atau badan dianggap sesuatu yang kotor. Namun, itu semua  bukanlah sesuatu yang najis.

Oleh karena itu, tidak boleh menganggap najis sebuah benda meskipun kotor melainkan terdapat dalil yang shahih dari al Qur’an maupun as Sunnah yang menajiskannya. Karena, pada asalnya segala sesuatu itu suci sampai ada dalil yang menajiskannya.

MACAM NAJIS

Benda najis ada dua macam, yaitu:

Pertama: Zatnya memang najis, seperti: daging babi, air kencing, berak manusia, dan yang semisalnya. Najis jenis ini tidak bias disucikan dengan cara apa pun. Seandainya ada seorang yang berusaha mencuci daging babi dengan cara apa pun maka tidak mungkin bias menjadikannya suci. Kecuali, dengan satu cara yang juga masih diperselisihkan para ulama yaitu istihlah (perubahan wujud menjadi benda lainnya). Dan insya Allah aka kita bahas dalam kaidah lainnya.

Kedua : Zatnya suci namun terkena benda najis sehingga menjadi najis.
Najis kedua inilah yang menjadi letak pembahsan kaidah ini.

MAKNA KAIDAH

Jadi, makna kaidah ini adalah:
Setiap benda yang najis apabila telah hilang unsur kenajisannya dengan hilangnya bau, rasa dan warnanya, maka hilang pula hukum kenajisannya secara mutlak, baik itu menggunakan cara apa pun, dan dibersihkan berapa kali pun.

PERINCIAAN

Perinciannya adalah sebagai berikut:

Pertama: Jika ada sebuah benda najis yang dibersihkan menggunakan air sehingga hilang unsur kenajisannya, maka benda tersebut menjadi suci. Mencucinya bias dengan cara apa pun baik dikucek dengan tangan atau pun menggunakan mesin cuci. Mencucinya berap kali pun baik satu kali, dua kali, maupun tiga kali; ataupun lebih dari itu.

Tidak dikecualikan satu pun dari masalah ini kecuali anjing yang harus dicuci sebanyak tujuh kali, yang pertama menggunakan tanah.

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda,”Apabila ada anjing yang menjilat bejana satu dari kalian maka cucilah tujuh kali yang pertama dengan tanah.”(HR. Bukhari-Muslim)

Air adalah alat untuk bersuci baik dari najis maupun hadats. Bayak dalil dari al Qur’an dan as Sunnah yag menjelaskannya. Diantaranya adalah firman Allah:

Dan Kami menurunkan air hujan dari langit suci dan menyucikan. (Qs. Al furqan : 48)

Juga FirmanNya:
Dan Allah menurunkan air dari langit untuk menyucikan kalian dengannya. (Qs. Al Anfal : 11)

Dan Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda, ”Air itu suci menyucikan, tidak yang menajiskannya.” (HR. Abu Dawud, lihat al Irwa’ 14)

Kedua: sebuah benda najis khusus yang dibersihkan menggunakan selain air, dan itu disebutkan oleh sebua dalil khusus mengenainya, maka ia pun suci meskipun tidak menggunakan air.

Contoh:
Membersihkan ujung bagian bawah pakaian wanita yang terkena najis, bias disucikan hanya dengan dibuat berjalan ditempat yang suci. Sebagaimana hadits:

Dari Ummu Walad Ibrahim bin Abdirrahman bin Auf bahwsanya dia bertanya kepada Ummu Salamah Isteri Nabi, Dia berkata, ”Saya seorang wanita yang memanjangkan ujung bawah pakaian saya dan saya gunakan berjalan di tempat yang kotor (najis).” Maka Ummu Salamah berkata, ”Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Bisa disucikan oleh yang setelahnya”. (Shahih. HR. Ahmad)

Membersihkan  bagian bawah sandal atau sepatu yang terkena najis, maka cukup menggosokkannya dengan tanah, sebagaimana hadits:

Dari Abu sa’id Al Khudri bahwasanya Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam melepas kedua sandalnya, maka para sahabat melepas sandal mereka. Maka saat selesai shalat beliau berkata, ”Kenapa kalian melepas sandal kalian?” Para sahabat menjawab, ”Ya Rasulullah, kami meihat Anda melepas sandal, maka kami pun melepas sandal kami.” Maka Rasulullah shallahu’alahi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya jibril dating kepadaku dan memberitahukan kepadaku bahwa sandalku ada najisnya. Karena itu, apabila salah satu dari kalian dating ke masjid maka hendaknya dia balik sandalnya dan lihatlah, apabila ada benda najis maka usaplah dengan tanah dan silahkan gunakan unutk shalat,” (HR. Ahmad di takhrij dalam al Irwa’)

Semua ini, dan yang semisalnya, meskipun tidak menggunakan air, ada dalil khusus yang menerangkan bahwa cara tersebut bias digunakan untuk menyucikan benda najis, maka itu sudah cukup. Meskipun demikian, jika dicuci dengan air maka itu pun juga bias menyucikan najis tersebut bahkan lebih bersih.

Ketiga: Menyucikan benda najis dengan selain air, dan tidak ada dalil khusus yang menunjukkan akan hal tersebut, tetatpi dengan cara menyucikan semacam itu bias menghilangkan unsure kenajisannya baik bau, rasa, maupun warnanya.

Contoh: Baju terkena kencing orang dewasa, lalu dibersihkan menggunakan bensin sehingga unsur najisnya hilang. Apakah hal ini bisa dianggap telah suci ataukah belum?

Terdapat perselisihan di kalangan para ulama mengenai hal ini:

Sebagian ulama mengatakan bahwa selain yang disebutkan secara khusus oleh dalil shahih, maka menyucikan sesuatu yang najis menggunakan air. Selainnya tidak bias menyucikan. Maka Inilah madzhab Imam Malik, Ahmad, dan salah satu riwayat dari Imam Syafi’I dan dikuatkan oleh Imam Syaukani. Mereka berhujjah dengan dalil-dalil di atas yang mana Allah menyebutkan bahwa air adalah alat untuk menyucikan, dan praktik Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam yang menyucikan sesuatu dengan menggunakan air.

Imam Syaukani berkata,”Hukum asalnya menyucikan benda najis harus menggunakan air, karena Allah dan RasulNya menyebutnya sebagai benda yang suci dan menyucikan. Maka tidak boleh berpindah pada yang lainnya kecuali yang telah shahih dari syar’I, jika tidak ada dalil khusus maka tidak boleh, karena itu berarti berpindah dari sesuatu yang diketahui sebagai sesuatu yang menyucikan kepada yang tidak diketahui, dan itu berarti keluar dari cara-cara syar’i.” (lihat As Sailul Jarrar 1/49)

Namun sebagian ulama lainnya, diantaranya Imam Abu Hanifah, salah satu riwayat Imam Malik dan Ahmad, dan madzhab qadim dari Imam Syafi’i. ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lain-lainnya. Mereka berpendapat bahwa dengan cara apa pun baik menggunakan air ataukah bukan, baik dicuci atau bukan, yang penting bias menghilangkan unsur kenajisannya maka dianggap telah suci. Dan insya Allah pendapat ini yang lebih shahih dan lebih kuat, serta inilah yang ditunjukkan oleh kaidah di atas berdasarkan beberapa dalil berikut ini:

1.Bahwasanya syari’at islam membolehkan membersihkan benda najis dengan selain air, terkadang dengan batu waktu istinja’, kadang dengan tanah seperti najis pada sandal, terkadang disamak seperti pada kulit bangkai binatang, dan lainnya. Semua ini menunujukkan  bahwa yang diinginkan syari’at bukan alat pembersihnya, melainkan kesucian benda itu sendiri meski menggunakan alat apa pun.

2.Menghilangkan najis itu bukan menjalankan perintah, melainkan untuk menghindarkan dari perkara yang terlarang. Oleh karena itu, niat tidak dibutuhkan. Demikian juga, tidak ditentukan alat khusus untuk menyucikannya.

3.Meskipun air adalah alat yang disebutkan syari’at sebagai alat pembersih, bukan berarti syari’at mengkhususkan air saja. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hanya air saja yang bias digunakan sebagai alat pembersih. Bahkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa beberapa benda kimiawi modern terkadang bias membersihkan benda kotor atau najis lebih bersih dibanding dengan air.

Wallahu’alam.

CONTOH PENERAPAN KAIDAH

Berdasarkan pada pendapat yang rajih di atas dan yang sesuai dengan kaidah, banyak hal yang menjadi penerapannya. Di antaranya:

1.Tanah yang terkena air kencing lalu dibiarkan sampai kering dan hilang unsur kenajisan, maka tanah itu menjadi suci. Namun demikian, jika berkeinginan untuk mempercepat kesuciannya maka biaa diguyur menggunakan air sebagaimana perbuatan Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam terhadap kencing seorang arab baduwi di pojok masjid.

2.Mencuci dengan dry clean yang hampir tidak menggunakan air karena air yang dipakai sangat sedikit, maka itu pun dianggap telah suci, karena unsur kenajisannya telah hilang.
(Lihat Syarhul Mumti 1/423-426 oleh syaikh Ibnu Utsaimin)


Disalin dari majalah al Furqon edisi 7 tahun 8 penulisnya al Ustadz Ahmad Sabiq-hafidzallah-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar