Sabtu, 08 April 2017

Bayarkan Upah Segera ...

Imam al-Bukhari dan yang lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ , وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأكَلَ ثَمَنَهُ , وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
“Tiga Jenis (manusia) yang Aku akan menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, yaitu:
seseorang yang memberi dengan nama-Ku, kemudian berkhianat;
seseorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak), kemudian memakan uangnya;
dan seseorang yang mempekerjakan pekerja dan telah diselesaikan pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya.”

Maka, bagi setiap majikan hendaklah ia tidak mengakhirkan gaji bawahannya dari waktu yang telah dijanjikan, saat pekerjaan itu sempurna atau di akhir pekerjaan sesuai kesepakatan. Jika disepakati, gaji diberikan setiap bulannya, maka wajib diberikan di akhir bulan. Jika diakhirkan tanpa ada udzur, maka termasuk bertindak dzalim.

Allah Ta’ala berfirman mengenai anak yang disusukan oleh istri yang telah diceraikan,
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath Tholaq: 6). Dalam ayat ini dikatakan bahwa pemberian upah itu segera setelah selesainya pekerjaan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan memberikan upah sebelum keringat si pekerja kering. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).  Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.

Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718)

Menunda penurunan gaji pada pegawai padahal mampu termasuk kedzaliman. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kedzaliman” (HR. Bukhari no. 2400 dan Muslim no. 1564)

Bahkan orang seperti ini halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
Orang yang menunda kewajiban, halal kehormatan dan pantas mendapatkan hukuman” (HR. Abu Daud no. 3628, An Nasa-i no. 4689, Ibnu Majah no. 2427, hasan).

Maksud halal kehormatannya, boleh saja kita katakan pada orang lain bahwa majikan ini biasa menunda kewajiban menunaikan gaji dan dzalim. Pantas mendapatkan hukuman adalah ia bisa saja ditahan karena kejahatannya tersebut.

Para ulama telah menganggap bahwa menunda pembayaran gaji pekerja atau tidak memberikannya setelah pekerjaan diselesaikan, termasuk dosa besar berdasarkan ancaman yang sangat dahsyat ini. Karena, penundaan pembayaran dari orang yang kaya merupakan bentuk kedzaliman. Di antara bentuk kedzalimannya adalah tidak memberikan sama sekali hak-hak pekerja, sedang para pekerja tidak memiliki bukti. Bahkan, terkadang membebaninya dengan pekerjaan atau menambah waktu kerja (lembur), tapi hanya memberikan gaji pokok saja tanpa membayar pekerjaan tambahan atau waktu lembur dengan memanfaatkan momentum minimnya lowongan pekerjaan dan kelemahan pihak pekerja. Terkadang pula, terjadi penundaan pembayaran gaji dan tidak memberikannya kecuali dengan usaha keras para pekerja dengan tujuan agar para pekerja melepaskan haknya dan tidak menuntuk haknya kembali. Atau, ada yang bermaksud menggunakan upah pekerja tersebut untuk usahanya dan mengelolanya, sedangkan si pekerja yang miskin tersebut tidak memiliki bahan makanan untuk diri dan keluarganya.

Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) pernah ditanya, “Ada seorang majikan yang tidak memberikan upah kepada para pekerjanya dan baru memberinya ketika mereka akan safar ke negeri mereka, yaitu setelah setahun atau dua tahun. Para pekerja pun ridho akan hal tersebut karena mereka memang tidak terlalu sangat butuh pada gaji mereka (setiap bulan).”

Jawab ulama Al Lajnah Ad Daimah, “Yang wajib adalah majikan memberikan gaji di akhir bulan sebagaimana yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi jika ada kesepakatan dan sudah saling ridho bahwa gaji akan diserahkan terakhir setelah satu atau dua tahun, maka seperti itu tidaklah mengapa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المسلمون على شروطهم
Kaum muslimin wajib mematuhi persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 14: 390).

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin pernah ditanya : Apa nasehat anda untuk para majikan yang menangguhkan upah para pekerjanya hingga tiga bulan atau lebih?

Beliau menjawab: Kami nasehatkan agar mereka tidak melakukan itu karena merugikan para pekerja itu, bahkan perbuatan ini merupakan kezhaliman yang besar dan perusakan terhadap hak-hak mereka. Sebagaimana para majikan itu tidak rela hal ini terjadi pada diri mereka, walaupun kebutuhannya sedikit, maka demikian juga para pekerja miskin itu, mereka sangat membutuhkan upah yang sedikit itu. Kami lihat para karyawan pemerintah, saat menjelang akhir bulan, mereka bersiap-siap untuk menerima gaji, jika terlambat, mereka marah dan bersikap kasar saat memintanya. Telah disebutkan dalam sebuah hadits sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah 2443).  
Yakni sebelum berlalu waktunya walaupun sedikit

Tidak diragukan lagi, bahwa menangguhkannya hingga dua bulan atau lebih akan menyulitkan orang-orang miskin itu, lebih-lebih lagi mereka megemban tanggung jawab nafkah untuk keluarga dan diri mereka sendiri. Penangguhan itu tentu mengantarkan mereka kepada kelaparan, kesulitan, tidak adanya pakaian, pinjaman dan utang. Sungguh ini merupakan kezhaliman yang besar. Maka hendaknya para majikan senantiasa mengingat hal itu dan membayangkan bila hal itu menimpa mereka. Jika hak mereka ditahan sementara mereka sangat membutuhkan, apa yang akan mereka lakukan. Hendaklah mereka takut akan doanya orang yang dizhalimi, karena tidak ada pembatas antara Allah dan doanya orang yang dizhalimi. Wallahu ‘alam

[Ad-Durr Ats-Tsamin fi Fatawa Al-Kufala wal Amilin, hal. 63 Syaikh Ibnu Jibrin]

Jangan Membebani Pekerjaan Diluar Kesepakatan

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin pernah ditanya : Bagaimana hukumnya majikan yang membebani pekerja dengan lebih dari satu pekerjaan, misalnya, tukang ukir dituntut untuk mengerjakan pekerjaan lainnya. Apakah ini dibolehkan? Padahal ia datang hanya untuk satu pekerjaan saja.

Beliau menjawab : Hal ini merujuk kepada kesepakat awal. Jika didatangkan untuk bekerja sebagai satpam, maka tidak boleh dipindah tugaskan sebagai sopir. Jika ia datang untuk bekerja sebagai teknisi listrik, maka tidak boleh ditugaskan menjahit. Jika ia datang untuk bekerja di lading tidak boleh dipekerjakan di pabrik. Jika ia datang untuk bekerja sebagai tukang bangunan, maka tidak boleh ditugasi pekerjaan tehnikal, dan sebagainya. Karena masing-masing mereka memiliki keahlian tersendiri, maka dari itu majikan harus menepati janjinya dan tidak membebani pekerja dengan tugas yang tidak mampu dikerjakannya atau tidak dikuasainya dan bukan bidangnya. Juga tidak boleh memberatkannya dengan panjangan waktu kerja. Biasanya , pekerja itu bekerja selama tujuh atau delapan jam per hari. Jika telah disepakati suatu pekerjaan tertentu dengan jam kerja tertentu serta masa kerja tertentu, maka tidak boleh dilanggar.

Tetapi jika sama-sama rela untuk merubah bidang pekerjaan, atau mengurangi atau menambah pekerjaan dengan konsekwensi menambah atau mengurangi upah, maka itu terserah kesepakatan antara keduanya. Jika tidak ada kesepakatan baru, maka pekerja itu harus diberi insentif tambahan karena adanya tambahan pekerjaan dari yang telah disepakati. Wallahu a’lam

[Ad-Durr Ats-Tsamin fi Fatawa Al-Kufala wal Amilin, hal. 56 Syaikh Ibnu Jibrin]

Bagaimana Hukum Memberi Upah di Bawah UMR

Misalnya seseorang memiliki pembantu rumah tangga, atau pekerja, apakah harus menggajinya sesuai UMR? Bolehkah di bawah UMR tergantung kesepakatan. Dengan pertimbangan, UMR terlalu besar nilainya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan agar setiap muslim memenuhi setiap perjanjian dan kesepakatan yang mereka buat. Selama kesepakatan itu, tidak melanggar aturan syariat, seperti kesepakatan yang memaksa orang untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا ، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Semua kaum muslimin harus sesuai dengan kesepakatan mereka. Kecuali kesepakatan yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. (HR. Turmudzi 1352, Abu Daud 3594, dan dishahihkan al-Albani).

Dan diantara bentuk kesepakatan yang tidak tertulis adalah ‘urf (tradisi) yang berlaku di masyarakat.
Ada kaidah mengatakan,
المعروف عرفاً كالمشروط شرطاً
Apa yang menjadi tradisi dan kesepakatan masyarakat, itu seperti kesepakatan yang dipersyaratkan. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fiqhiyah, hlm. 306).

Artinya, ketika seseorang melakukan akad dengan kliennya, mereka dibatasi dengan tradisi yang berlaku dimasyarakatnya. Meskipun tradisi itu tidak tertulis dalam perjanjian.

Sebagai contoh, si A meminta tukang untuk memperbaiki rumahnya. Si A menyewa tukang selama 3 hari. Berapa jam tukang ini harus bekerja? Dan apakah ada uang makan, uang jajan yang harus dia terima selama bekerja? Ini semua kembali kepada ‘urf (tradisi) yang berlaku di masyarakat. Meskipun ketika akad, sama sekali tidak ada kesepakatan itu.

UMR (Upah Minimum Regional)

Pemerintah menetapkan UMR, salah satu tujuannya adalah untuk membangun ‘urf, agar ketika tidak ada kesepakatan antara pekerja dengan atasan mengenai upah, bisa dikembalikan ke ‘urf yang berlaku.

Yang menjadi pertanyaan, bolehkah seseorang keluar dari ‘urf?

Secara hukum syariat, keluar dari ‘urf diperbolehkan, namun harus dinyatakan dalam kesepakatan di depan. Sehingga tidak menimbulkan sengketa.

Sebagai contoh,

Menurut ‘urf, tukang di tempat kita bekerja dari jam 8.00 sampai jam 17.00. meskipun demikian, pemilik rumah dibenarkan meminta tukang untuk bekerja dari jam 7.00 sampai jam 20.00, dengan mengganti biaya lembur. Dan ketentuan yang menyimpang dari ‘urf ini harus dinyatakan di depan.
Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
مقاطع الحقوق عند الشروط
“Potongan hak, harus sesuai dengan kesepakatan.” (al-Fatawa al-Kubro, 3/124).

Membayar Upah di Bawah Upah Minimum

Terlepas dari hukum yang berlaku di negara kita, memberi upah di bawah UMR, selama itu disepakati, hukumnya dibolehkan. Artinya, upah itu diberikan tanpa mengikuti ‘urf yang berlaku di masyarakat.

Hanya saja, setiap warna negara, ada kewajiban untuk mengikuti aturan dan perundangan dalam negara.

Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; pengusaha dilarang membayarkan upah pekerja di bawah upah minimum.

Kemudian Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum;

Pada pasal 90 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, baik upah minimum (UM) berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten kota (yang sering disebut Upah Minimum Regional, UMR) maupun upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral, UMS).

Kami tidak tahu, sejauh mana ikatan undang-undang ini berlaku di masyarakat. Apakah berlaku untuk semua karyawan, termasuk asisten rumah tangga? Apakah boleh ada pengecualian, ahli hukum nasional yang lebih paham tentang hal ini.


Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar