Senin, 12 Juni 2017

BPJS dan KIS

BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)

Bagaimana tinjauan hukum Islam mengenai BPJS? Bolehkah menjadi anggota BPJS?

Mengenal BPJS

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011. Sesuai Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum nirlaba.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS akan menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu lembaga asuransi jaminan kesehatan PT Askes Indonesia menjadi BPJS Kesehatan dan lembaga jaminan sosial ketenaga kerjaan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Transformasi PT Askes dan PT Jamsostek menjadi BPJS dilakukan secara bertahap. Pada awal 2014, PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan, selanjutnya pada 2015 giliran PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan.

Lembaga ini bertanggung jawab terhadap Presiden. BPJS berkantor pusat di Jakarta, dan bisa memiliki kantor perwakilan di tingkat provinsi serta kantor cabang di tingkat kabupaten kota.

Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS. Ini sesuai pasal 14 UU BPJS.

Setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Sedangkan orang atau keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS. Setiap peserta BPJS akan ditarik iuran yang besarnya ditentukan kemudian. Sedangkan bagi warga miskin, iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui program Bantuan Iuran.

Menjadi peserta BPJS tidak hanya wajib bagi pekerja di sektor formal, namun juga pekerja informal. Pekerja informal juga wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan. Para pekerja wajib mendaftarkan dirinya dan membayar iuran sesuai dengan tingkatan manfaat yang diinginkan.

Jaminan kesehatan secara universal diharapkan bisa dimulai secara bertahap pada 2014 dan pada 2019, diharapkan seluruh warga Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan tersebut. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan BPJS Kesehatan akan diupayakan untuk menanggung segala jenis penyakit namun dengan melakukan upaya efisiensi.

Peserta BPJS

Sesuai Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 jenis Iuran dibagi menjadi:

– Iuran Jaminan Kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah daerah dibayar oleh Pemerintah Daerah (orang miskin dan tidak mampu).

– Iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PNS, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai pemerintah non pegawai negeri dan pegawai swasta) dibayar oleh Pemberi Kerja yang dipotong langsung dari gaji bulanan yang diterimanya.

– Pekerja Bukan Penerima Upah (pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri) dan Peserta bukan Pekerja (investor, perusahaan, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan, janda, duda, anak yatim piatu dari veteran atau perintis kemerdekaan) dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.

Untuk jumlah iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang terdiri atas PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri akan dipotong sebesar 5 persen dari gaji atau Upah per bulan, dengan ketentuan 3 persen dibayar oleh pemberi kerja, dan 2 persen dibayar oleh peserta.

Tapi iuran tidak dipotong sebesar demikian secara sekaligus. Karena secara bertahap akan dilakukan mulai 1 Januari 2014 hingga 30 Juni 2015 adalah pemotongan 4 persen dari Gaji atau Upah per bulan, dengan ketentuan 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja dan 0,5 persen dibayar oleh Peserta.

Namun mulai 1 Juli 2015, pembayaran iuran 5 persen dari Gaji atau Upah per bulan itu menjadi 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1 persen oleh Peserta.

Sementara bagi peserta perorangan akan membayar iuran sebesar kemampuan dan kebutuhannya. Untuk saat ini sudah ditetapkan bahwa:

– Untuk mendapat fasilitas kelas I dikenai iuran Rp 59.500 per orang per bulan
– Untuk mendapat fasilitas kelas II dikenai iuran Rp 42.500 per orang per bulan
– Untuk mendapat fasilitas kelas III dikenai iuran Rp 25.500 per orang per bulan

Pembayaran iuran ini dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan dan apabila ada keterlambatan dikenakan denda administratif sebesar 2 persen dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan. Dan besaran iuran Jaminan Kesehatan ditinjau paling lama dua tahun sekali yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Rincian Hukum BPJS

BPJS dikategorikan menjadi 3:

1- PBI (Peserta Bantuan Iuran)
Murni gratis dengan subsidi dari pemerintah bagi WNI yang telah direkomendasikan sebagai warga yg tidak mampu.

2- Non PBI diperuntukkan bagi PNS/POLRI/TNI/ABRI, organisasi, lembaga dan perusahaan. Dana ditanggung oleh instansi yang bersangkutan dan juga sebagiannya  ditanggung peserta.

3- Mandiri
Bersifat premi iuran dengan tiga kategori kelas sebagaimana telah disebutkan. Jika terjadi keterlambatan menyetor iuran maka terkena denda dan ini masuk kategori unsur riba dan gharar.

Jadi, BPJS yg diperbolehkan adalah kategori 1 karena murni gratis tanpa premi dan tanpa denda. Kategori 2 dibolehkan bila tanpa premi (tidak ada premi yang dipotong dari gaji) dan tidak ada denda.

Sedangkan kategori 3, haram untuk diikuti dengan karena ada unsur gharar dan riba. Ghararnya dari sisi spekulasi yang tinggi untuk rugi karena resiko tidak bisa dipastikan. Accident belum pasti pula terjadi.

Pengertian gharar sebagaimana dikatakan oleh Al Jarjani,

مَا يَكُوْنُ مَجْهُوْلُ العَاقِبَةِ لاَ يَدْرِى أَيَكُوْنُ أَمْ لَا
Sesuatu yang ujung-ujungnya tidak jelas, hasilnya akan ada ataukah tidak.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 31: 149).

Gharar seperti inilah yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror.” (HR. Muslim no. 1513)

Contoh gharar di masa silam yang terlarang sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ ، وَكَانَ بَيْعًا يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ ، كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَ إِلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir.” (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883).

Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu. Itulah ghoror karena ujung akhirnya tidaklah jelas diperoleh.

Jika Sakit Parah dan Untuk Berobat Butuh Biaya Besar

Jika kita tidak bisa masuk kategori 1 karena tidak ada rekomendasi dari RT bahwa kita tidak mampu, kita juga tidak bisa ikut kategori 2 karena kita bukan PNS atau semisalnya, maka bisa mendaftar BPJS ketika kondisi dlm kedaruratan.

Contoh: Ada seseorang yang sakit parah hingga harus keluar biaya puluhan juta. Awalnya keluarganya bukan kategori orang miskin. Namun saat itu mereka benar-benar tidak mampu membayar biaya sebesar itu, maka boleh bagi mereka mendaftar BPJS kategori 1, tentu dengan pengantar dari RT/RW setempat.

Alasan MUI Melarang BPJS


BPJS yang dipermasalahkan MUI adalah BPJS untuk dua program,

Pertama, untuk program jaminan kesehatan mandiri dari BPJS, dimana peserta membayar premi iuran dengan tiga kategori kelas

Kedua, jaminan kesehatan Non PBI (Peserta Bantuan Iuran) yang diperuntukkan bagi PNS/ POLRI/ TNI, lembaga dan perusahaan. Dimana dana BPJS sebagian ditanggung oleh instansi yang bersangkutan dan juga sebagiannya  ditanggung peserta.

Dalam program ini, MUI menimbang adanya 3 unsur pelanggaran dalam BPJS,

Pertama, gharar (ketidak jelasan) bagi peserta dalam menerima hasil dan bagi penyelenggara dalam menerima keuntungan.

Kedua, mukhatharah (untung-untungan), yang berdampak pada unsur maisir (judi)

Ketiga,  Riba fadhl (kelebihan antara yang diterima & yang dibayarkan). Termasuk denda karena keterlambatan.

Penjelasan lebih rincinya sebagai berikut,

Pertama, Peserta bayar premi bulanan, namun tidak jelas berapa jumlah yang akan diterima. Bisa lebih besar, bisa kurang. Di situlah  unsur gharar (ketidak jelasan) dan untung-untungan.

Ketika gharar itu sangat kecil, mungkin tidak menjadi masalah. Karena hampir dalam setiap jual beli, ada unsur gharar, meskipun sangat kecil.

Dalam asuransi kesehatan BPJS, tingkatannya nasional. Artinya, perputaran uang di sana besar. Anda bisa bayangkan ketika sebagian besar WNI menjadi peserta BPJS, dana ini bisa mencapai angka triliyun. Jika dibandingkan untuk biaya pemeliharaan kesehatan warga, akan sangat jauh selisihnya. Artinya, unsur ghararnya sangat besar.

Kedua, secara perhitungan keuangan bisa jadi untung, bisa jadi rugi. Kita tidak menyebut peserta BPJS yang sakit berarti untung, sebaliknya ketika sehat berarti rugi. Namun dalam perhitungan keuangan, yang diperoleh peserta ada 2 kemungkinan, bisa jadi untung, bisa jadi rugi. Sementara kesehatan peserta yang menjadi taruhannya.

Jika dia sakit, dia bisa mendapatkan klaim dengan nilai yang lebih besar dari pada premi yang dia bayarkan.

Karena pertimbangan ini, MUI menyebutnya, ada unsur maisir (judi).

Ketiga, ketika klaim yang diterima peserta BPJS lebih besar dari premi yg dibayarkan, berarti dia mendapat riba Fadhl. Demikian pula, ketika terjadi keterlambatan peserta dalam membayar premi, BPJS menetapkan ada denda. Dan itu juga riba.

Menimbang 3 hal di atas, MUI dan beberapa pakar fikih di Indonesia, menilai BPJS belum memenuhi kriteria sesuai syariah.

Diantaranya pernyataan Dr. Muhammad Arifin Badri – pembina pengusahamuslim.com – ketika memberikan kesimpulan tentang BPJS,
”BPJS Kesehatan termasuk dalam katagori Asuransi Komersial, jadi hukumnya haram.”

Kemudian juga keterangan DR. Erwandi Tarmizi,
Bahwa sebagian besar dengan adanya BPJS ini sangat baik dan bagus dari pemerintah terhadap rakyatnya. Hanya saja, karena ada satu akad yang mengandung unsur ribawi,  yakni bila terjadinya keterlambatan pembayaran maka pada bulan berikutnya akan dikenakan denda Rp 10 ribu, unsur inilah yang pada akhirnya dipermasalahkan dan menjadikan BPJS haram. (SalamDakwah.com)

KIS (Kartu Indonesia Sehat)


Kartu Indonesia Sehat (KIS) adalah kartu identitas peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. – http://www.bpjs-kis.info

Meskipun tidak semua pemegang KIS mendapatkan fasilitas kesehatan gratis, tapi kebanyakan peserta KIS adalah warga kurang mampu penyandang masalah kesejahteraan sosial. Sehingga umumnya mereka mendapat fasilitas kesehatan gratis.

Kita fokuskan untuk KIS sebagai layanan kesehatan gratis dari pemerintah untuk masyarakat yang kurang mampu.

Apakah kartu ini boleh digunakan?

Jaminan kesehatan yang diberikan pemerintah secara cuma-cuma, tidak lepas dari kondisi gharar (ketidak-jelasan). Karena tidak ada manusia yang bisa memastikan kebutuhan jaminan kesehatan itu. Sehingga jaminan kesehatan  yang diberikan pemerintah ukurannya tidak jelas. Bagi peserta KIS yang sering sakit, akan mendapat dana kesehatan lebih banyak dari pemerintah dibanding peserta yang jarang sakit.

Hanya saja, ada satu kondisi yang perlu kita perhatikan, bahwa gharar dalam KIS sifatnya gratis. Dalam arti, peserta KIS yang jarang sakit, tidak akan merasa dirugikan karena tidak mendapat banyak dana kesehatan. Meskipun kondisinya tidak jelas, namun tidak ada yang dirugikan. Inilah yang disebut dengan gharar akad tabarru’at (sosial).

Ulama berbeda pendapat mengenai gharar dalam akad tabarru’at (akad sosial).

Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah dibolehkan. Sebagaimana yang dinyatakan dalam madzhab Malikiyah ketika membahas hibah al-majhul (pemberian Cuma-Cuma untuk objek yang tidak jelas). Ibnu Rusyd mengatakan,

أن هبة المجهول جائزة كما يجوز رهنه لجواز رهن الغرر
Bahwa hibah majhul dibolehkan. Sebagaimana bolehnya gadai barang yang majhul, karena boleh menggadaikan gharar. (al-Bayan wa at-Tahshil, 13/462).

Pendapat ini juga yang dinilai lebih kuat oleh Syaikhul Islam (al-Fatawa al-Kubro, 5/434) dan pendapat Ibnul Qoyim (I’lamul Muwaqqi’in, 2/28).

Diantara dalilnya adalah hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada beliau,

لَوْ قدْ جاءَ مالُ البَحْرَيْنِ قَدْ أعْطَيْتُكَ هَكَذَا وهَكذَا
“Jika harta kekayaan Bahrain berhasil dikuasai, akan kuberikan kepadamu harta sekian.”

Sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, wilayah Bahrain belum berhasil dikuasai. Ketika Bahrain dikuasai di zaman Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, beliau mengumumkan ke para sahabat,

منْ كانَ لَهُ عِنْدَ النبيِّ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم عِدَةٌ أوْ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فأتَيْتُهُ
Siapa yang punya utang janji dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau utang beliau, silahkan menghadap kami, akan kami penuhi.

Kemudian Jabir menyampaikan pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Abu Bakr mengambil satu cakupan kepadaku. Ketika kuhitung, ternyata jumlahnya 500 dirham.

Abu Bakr juga mengatakan,
“Silahkan ambil lagi semisal ini…” (HR. Bukhari 2296)

Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan sesuatu kepada Jabir, dalam bentuk pemberian yang ukurannya tidak pasti. Karena itu, pada saat Abu Bakr membayarnya, beliau berikan 1 cakupan, dan tidak menggunakan ukuran. Ini dalil bahwa gharar yang gratis tidak diperhitungkan.

KIS sebagai layanan kesehatan yang diberikan pemerintah sifatnya gratis. Warga tidak ditarik biaya, sehingga kalaupun tidak mendapatkannya, dia tidak merasa dirugikan.

Wallahu a’lam bish showab. Semooga bermanfaat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar