Jumat, 14 September 2018

Tarbiyah Bagi Yatim


Batasan Yatim Menurut Para Ulama Dan Anjuran Berbuat Ihsan Kepada Mereka

Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika mengomentari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

“Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya”. [HR Muslim, no. 2.983]

Beliau hafizhahullah berkata, “Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ ) adalah kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk) kerabat di sini, ialah ibu sang yatim, atau saudara laki-lakinya ataupun pihak-pihak selain mereka yang memiliki kekerabatan dengannya. Wallahu a’lam.” [Bahjatun Nazhirin I/350]

Sebagian fuqaha juga memasukkan dalam kategori anak yatim ini, yaitu mereka yang kehilangan orang tuanya karena sakit dalam waktu yang sangat lama, atau karena perceraian, safar, jihad, hilang dan sebab-sebab lainnya. Dan seorang anak yatim akan keluar dari batasannya sebagai yatim, ketika ia telah mencapai usia baligh, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahju.

لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ

“Tidak ada keyatiman setelah baligh ……” [Sunan Abu Dawud, no. 2.873] Lihat Tafsir Ibni Katsir (II/ 215), tafsir ayat ke 6 dari surat An Nisa’.

Kerabat ataupun keluarga serta pihak-pihak yang memiliki hubungan dengannya lebih berhak untuk berbuat baik kepada si yatim, memenuhi kebutuhannya, mendidik serta mengarahkannya, mengasihi, mengayomi, menyayanginya serta mengasuhnya hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang baik dan matang, serta siap menghadapi hidup ketika ia telah dewasa. Meski demikian, syari’at Islam yang sempurna, tidak hanya membatasi kewajiban berbuat ihsan kepada anak yatim hanya pada kerabatnya saja, namun kewajiban ini juga berlaku umum bagi setiap kaum muslimin sesuai dengan kadar kemampuan mereka.

Banyak nash-nash syar’i yang menegaskan keutamaan menyantuni anak yatim dan menjanjikan balasan yang agung bagi para pemelihara anak yatim. Di antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُ لَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:”Mengurusi urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu”. [al Baqarah : 220].

Dalam menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata: Ketika turun ayat

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. [an Nisa’: 10].

Ayat tersebut terasa berat bagi para sahabat. (Sehingga para sahabat) segera memisahkan makanan mereka dari makanan anak yatim, karena khawatir akan memakan harta mereka, meskipun sebelumnya mereka terbiasa menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim (yang berada dalam kepengasuhannya, Pen).

Mereka kemudian bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu, maka Allah memberi khabar kepada mereka, bahwa maksud (ayat tersebut) adalah berbuat ishlah dalam masalah harta anak yatim, dengan cara menjaga harta tersebut dan mengembangkannya dalam perdagangan. Dan menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim dalam masalah makanan ataupun selain itu, hukumnya boleh, asalkan tidak merugikan sang yatim. Kerena mereka itu adalah saudara kalian juga. Dan (sudah menjadi keumuman), jika saudara bergaul dan berbaur dengan saudaranya sendiri. Parameter dalam hal ini adalah niat serta amal (sang pengasuh yatim). Allah Maha mengetahui siapa yang berniat untuk berbuat baik kepada anak yatim dan dia tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan harta yatim tersebut. Jika ada yang termakan olehnya tanpa ada maksud demikian, maka ia tidak berdosa.

Allah Maha mengetahui pula siapa yang berniat buruk dalam penggabungan harta tersebut, yakni ia ingin mendapatkannya kemudian ia memakannya. Demikian inilah yang berdosa. Karena washilah (sarana) memiliki hukum yang sama dengan maksud (tujuannya). [Taisir Karimir Rahman I/ 211]

Dalam satu haditsnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أنا وَ كَافِلُ اليَتِيْمِ في الجَنَّةِ هكَذَا وَ أشَارَ بَالسَبَابَةِ وَ الوُسْطَى وَ فَرَّجَ بَيْنَهُمَا

“Aku dan pemelihara anak yatim di surga nanti, kedudukannya seperti (dua jari ) ini,” dan Beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan memisahkan keduanya”. [HR Bukhari (9/ 439-Fathu Al Bari)]

Dalam hadits tersebut, Rasulullah memberikan permisalan yang sangat gamblang tentang luhurnya kedudukan pemelihara anak yatim. Bahwa di surga nanti mereka memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Metode Dan Sarana Tarbiyyah Bagi Anak Yatim

Anak-anak yatim memerlukan pendidikan dan tarbiyyah yang lebih spesifik dibanding anak-anak lainnya. Hal ini mengingat kondisi mereka yang kehilangan unsur-unsur esensial yang mereka butuhkan dalam hidup.

Diantaranya ialah kasih sayang orang tua. Oleh karena itu, hal pertama yang mereka butuhkan ialah kepuasan terhadap rasa kasih sayang, terpenuhinya perasaan aman, serta kehadiran sosok pengasuh pengganti orang tuanya yang mampu memberikan pengarahan dan bimbingan untuknya, memenuhi segala kebutuhan jasmani dan rohaninya. Mereka juga membutuhkan dorongan motivasi untuk ikut berkembang dalam lingkungan masyarakat sebagaimana umumnya anak-anak yang lain. Para yatim adalah anak-anak yang kehilangan unsur- unsur kekuatan hidup mereka. Mereka kehilangan muara kasih sayang hakiki dengan meninggalnya orang tua.

Untuk itu, Islam mendorong setiap muslim untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yatim dan menjanjikan pahala yang agung bagi siapa saja yang berbuat baik kepada mereka.

Kondisi anak-anak yatim pun berbeda antara satu dengan lainnya. Di antara mereka ada yang kehilangan salah satu saja dari orang tuanya, yakni ibu atau bapaknya. Dalam kondisi semacam ini, biasanya mereka lebih mudah diarahkan dalam lingkungan yang baru, yaitu ketika orang tuanya (ibu atau bapaknya) yang masih hidup telah menikah lagi, kemudian ia memiliki saudara-saudara baru yang nantinya akan ikut berkembang bersama dengannya, dengan syarat orang tuanya tersebut menikah dengan duda atau janda yang telah memiliki anak-anak juga. Dengan mencurahkan segenap kesungguhan untuk memelihara mereka, insya Allah anak-anak yatim tersebut akan tumbuh dan berkembang tanpa adanya permasalahan psikis yang cukup serius. Tentunya, hal ini terkait juga dengan din kedua orang tuanya. Artinya selama kedua orang tuanya itu konsisten dengan ajaran-ajaran Islam, dan mereka meluruskan niat dalam mengasuh anak-anak mereka, niscaya anak-anak mereka akan tumbuh normal sebagaimana layaknya anak-anak yang lain, dengan taufik dari Allah. Jika tidak, tentunya usaha untuk mengarahkan anak yatim tersebut menjadi anak yang baik akan menemui banyak kendala, karena din adalah muara kebaikan bagi segala urusan hidup manusia.

Di antara mereka juga ada yang kehilangan ayahnya, sedangkan mereka memiliki kakak laki-laki yang mampu mengasuh dan mendidik mereka. Dalam keadaan seperti ini, sang kakak menggantikan posisi ayahnya, dengan syarat ia memiliki kepribadian kuat serta teguh pendirian; karena mengasuh anak-anak yatim bukanlah suatu pekerjaan ringan, dan tanggung jawabnya teramat besar. Bagi ibu dari anak-anak yatim tersebut, semestinya memberikan penghormatan kepada sang kakak, bahu-membahu bersamanya dalam mendidik anak-anaknya, serta mempercayakan kepemimpinan keluarga kepada sang kakak secara kongkrit. Hal yang demikian ini, memberikan efek kepada adik-adiknya yang yatim untuk tunduk terhadap perintah sang kakak, dan secara bersamaan juga kepekaan dan tanggung jawab sang kakak sebagai pengganti ayah akan tebentuk, sehingga ia terbiasa dan lebih memiliki kepercayaan diri untuk mengasuh dan mendidik adik-adiknya. Seorang ibu, meskipun ia memiliki kekuasaan untuk memerintah anak-anaknya, namun jika anak-anaknya itu telah menginjak masa dewasa, mereka tetap membutuhkan sosok pembimbing lain selain ibu, yakni sosok pemimpin laki-laki yang mampu mengarahkan mereka yang tidak lain adalah kakaknya tadi.

Diantara mereka ada pula yatim yang kehilangan salah satu dari orang tuanya karena perceraian, atau pun kepergian orang tua yang sangat lama, atau karena orang tuanya sakit, kemudian sang ibu tidak menikah lagi dan memilih tinggal bersama keluarganya sedangkan ia memiliki beberapa anak. Dalam kondisi seperti ini, sang yatim membutuhkan sosok pendidik lain, yaitu semisal kakek atau pamannya. Dan selayaknya, bagi ibu untuk memberikan kepercayaan kepada kakek atau paman dalam perkara-perkara penting, jika anak-anaknya telah tumbuh besar dan mereka tidak sepenuhnya lagi berada dalam kekuasaan sang ibu. Pengarahan kakek atau paman sangat berpengaruh bagi mereka, karena laki-laki pada umumnya lebih tegas dan berakal panjang dibandingkan wanita.

Berikut ini kami paparkan beberapa point yang memuat metode tarbiyyah bagi anak yatim. Di antaranya ialah sebagai berikut :

1. Hendaknya sosok pendidik pengganti orang tua yang meninggal itu memiliki kemampuan untuk mengarahkan anak yatim, mampu mengemban tanggung jawab pendidikan mereka dan memahami dengan baik dan sempurna tentang problematika anak yatim serta hukum-hukumnya. Juga mampu memenuhi kebutuhan mereka akan kasih sayang dan cinta kasih, dan tidak membedakan anak-anak yatim itu antara yang satu dengan lainnya.

2. Adanya tekad yang kuat dan niat yang lurus dari pemelihara yatim tersebut untuk mendidik mereka, karena banyak pemelihara yatim yang meremehkan masalah ini serta menzhalimi hak mereka. Sewajibnya bagi pemelihara anak yatim untuk memperlakukan mereka sebagaimana layaknya mereka memperlakukan anak-anak mereka sendiri.

3. Memberikan waktu luang dan kesempatan yang cukup bagi sang yatim untuk bergaul dengan anak-anak lainnya. Sebisa mungkin dihindari hal-hal yang bisa menimbulkan kegoncangan jiwa bagi mereka, serta menjauhi sikap memata-matai mereka dalam setiap urusan, agar mereka merasa diberi kepercayaan untuk mengurusi urusannya sendiri. Dengan demikian, akal dan dan fungsi sosialnya akan berkembang. Sedangkan kewajiban ibu adalah memberikan pemahaman tentang tanggung jawab hidup kepada anak ketika mereka menginjak usia dewasa, fahamkan bahwa mereka adalah generasi harapan ibunya. Dengan cara ini, ibu turut membantu anak untuk mencapai kematangan dan kedewasaan dalam bertindak, serta kemapanan dalam berpikir untuk menghadapi hidup.

4. Dalam kondisi perceraian, hendaklah kedua orang tua bertindak dengan penuh bijaksana dan sarat dengan kematangan jiwa, hingga anak dapat tumbuh lurus tanpa adanya tekanan ataupun gangguan psikhis lainnya. Selayaknya mereka saling memberikan dan menunjukkan pengormatan kepada mantan pasangan, menghindari sejauh-jauhnya saling cela dan tuduh satu dengan lainnya serta tidak membeberkan seluruh konflik yang terjadi di antara mereka berdua kepada sang anak. Dengan cara seperti ini, kebutuhan anak akan kebahagiaan yang berhak ia dapatkan dari kedua orang tuanya akan senantiasa tercukupi, serta hak kedua orang tua untuk mengasuh dan mendidik anak mereka tetap terjaga, karena sikap mulia dan perwira dari kedua orang tuanya yang saling menghormati satu dengan lainnya meski dalam kondisi perceraian, akan terekam kuat dalam memori sang anak. Sang anak akan tetap menghormati kedua orang tuanya, karena hal itu ia lihat dari sikap kedua orang tuanya dalam wujud nyata. Dan sebaliknya, jika kedua orang tua saling cela dan menyalahkan satu sama lainya, saling membeberkan kejelekan pasangannya di hadapan sang anak, hal ini akan merusak kepercayaan dan penghormatan sang anak kepada kedua orang tuanya sekaligus, sehingga ia tidak lagi mau menghormati kedua orang tuanya serta sulit untuk menerima arahan dan bimbingan dari keduanya.

Ancaman Bagi Pemakan Harta Anak Yatim Dengan Zhalim

Para yatim adalah golongan dhu’afa (kaum lemah) yang sangat membutuhkan tangan-tangan penuh kasih, yang mau mengayomi mereka, membimbing dan menjaga mereka dari ketergelinciran yang akan mencelakakan hidup mereka. Maka selayaknya bagi setiap wali dan pihak-pihak yang diberi amanah mengurusi mereka untuk selalu mengontrol hati mereka, senantiasa meluruskan niat demi meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menjauhi sikap mengkhianati amanah, berbuat zhalim dan semena-mena terhadap anak yatim.

Berbuat zhalim kepada mereka merupakan dosa besar yang diancam dengan siksa neraka. Adzab memakan harta anak yatim secara zhalim terkadang langsung Allah berikan di dunia. Mungkin para yatim yang lemah itu, tidak bisa membalas kezhaliman yang mereka terima, tidak bisa menuntut haknya yang dirampas secara semena-mena. Namun janganlah kita lupa, Allah-lah yang menjadi penolong mereka. Hendaklah kita takut terhadap adzab Allah yang mungkin datang secara tiba-tiba dan kita ditimpa su’ul khatimah disebabkan kezhaliman kita, wal’iyadzubillah.

Telah banyak nash-nash syar’i yang menjelaskan keharaman memakan harta anak yatim secara zhalim. Seluruh nash-nash tersebut datang dengan shighat tahrim (konteks pengharaman atau larangan) yang sangat tegas. Di antara nash-nash tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An Nisa’ di atas:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. [an Nisa’: 10]

Tentang tafsir ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata, ”Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا

“Yaitu mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar. Batasan ini, (yaitu secara zhalim) mengeluarkan masalah sebelumnya, yaitu bolehnya memakan harta anak yatim bagi (pemelihara mereka ) yang faqir dengan cara yang ma’ruf, serta bolehnya mencampurkan makanan mereka dengan makanan para yatim”.

Barangsiapa yang memakannya secara zhalim, maka (sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya), yaitu sesungguhnya yang mereka makan hakikatnya adalah api neraka yang menyala-nyala di dalam perut mereka, dan mereka sendiri yang memasukkan api tersebut ke dalam perutnya. وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً (dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala), yaitu api yang membakar dan menyala-nyala. Ini merupakan ancaman yang sangat berat bagi dosa-dosa, yang menunjukkan keburukan memakan harta anak yatim, dan ia menjadi penyebab masuk neraka. Hal itu menunjukkan jika perbuatan itu termasuk salah satu dari dosa-dosa besar. Kita memohon keselamatan kepada Allah.” [Taisir Karimir Rahman I/384-385]

Kemudian firmanNya dalam surat Al Ma’un:

أَرَءَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim” . [al Ma’un : 1-2]

Imam Al Mufassir Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Allah Ta’ala berfirman: Apakah engkau tahu wahai Muhammad, (siapakah) yang mendustakan din? (Din) adalah (hari) kembalinya manusia, balasan serta pahala, فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (yaitu orang-orang yang menguasai anak yatim), menzhalimi haknya, tidak memberinya makan dan tidak berbuat baik kepadanya” [Tafsir Al Qur’an Al Azhim 8/493]

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kepada kaum mu’minin, berbuat zhalim kepada anak yatim merupakan sifat orang-orang yang mendustakan agama. Mereka akan dibalas atas kezhaliman tersebut dengan siksa yang amat keras. Wal’iyadzu billah.

Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, ”Wahai, Rasulullah! Apakah perkara-perkara itu?” Beliau menjawab, ”Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, serta menuduh wanita merdeka yang menjaga diri lagi beriman dan tidak berbuat kekejian”. [HR Bukhari (5/393-Al Fath) dan Muslim 89]

Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dengan jelas tersurat bahwa memakan harta anak yatim termasuk dari tujuh perkara yang membinasakan. Konteks larangan tersebut datang dengan lafazh ( اجْتَنِبُوا ). Hal ini menunjukkan keharaman yang lebih tegas daripada sekedar lafazh nahyi (larangan). Wallahu a’lam.

Demikian sedikit pembahasan berkenaan dengan anak yatim. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan hambaNya yang menunaikan amanah. Wallahu waliyyu at taufiiq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar