Sepintas kelihatan seperti hal yang sepele, namun Islam
sebagai agama yang universal dan sempurna tetap selalu memberikan perhatian
pada hal-hal yang bersinggungan dengan kepentingan hajat manusia, dari yang
sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya.
Masalah ‘hubungan badan’ antara suami
isteri merupakan hal yang lumrah dan biasa terjadi karena masing-masing
memerlukannya. Tetapi adakalanya mengalami kendala sehingga tidak dapat
terlaksana, sementara bagi seorang suami, adanya kendala tersebut terkadang
dirasakan sangat berat baginya, apalagi bila terjadi penolakan dari pihak
isteri.
Nah, bagaimana Islam memperhatikan sisi
ini?.
Alasan utama seorang istri menolak ajakan suami untuk ber-jima’
karena istri sedang capek dan mengantuk.
Penyebabnya kelelahan itu antara lain karena
banyaknya pekerjaan istri dalam mengurus rumah tangga, atau suami terlalu
sering mengajak ber-jima’ sehingga memforsir tenaga istri, atau istri seorang
wanita karir, yang apabila sampai rumah sudah kecapekan.
Seorang suami yang selalu mengajak istrinya
untuk berhubungan menunjukkan bahwa dia sayang kepada istrinya. Kebutuhan suami
terhadap istri memang sangat besar, sehingga hendaknya seorang istri menyadari hal itu.
Apalagi, wanita yang usianya masih muda
setiap bulannya ada waktu haid, dan setelah melahirkan pun sang wanita
membutuhkan “cuti” dari suaminya selama kurang lebih 40 hari karena syariat
Islam melarang suami menggauli istrinya dalam kondisi tersebut. Belum lagi bila
istri sakit atau ada uzur lain, dan juga suami yang sering keluar rumah karena
mencari nafkah dan sebab-sebab yang lainnya.
Jika istri menolak permintaannya karena
capek atau mengantuk, sedangkan suami hanya punya satu istri, maka kesalahan
ada di pihak isri, karena suami tidak boleh melampiaskan kesenangannya kecuali
kepada istri atau budaknya, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Mukminun ayat
6.
Bagaimana seharusnya istri bila diajak
oleh suaminya? Perhatikan hadits di bawah ini.
Dari Thalqu bin Ali, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ فَلْتَأْتِهِ وَ إِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Apabila seorang suami mengajak istrinya
untuk berkumpul hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di
dapur.” (HR. Tirmidzi:
4/387; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib: 2/199)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَ زَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa
(sunnah) sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari: 16/199)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ غَضْبَانَ عَلَيْهَا
لَعَنَتْهَا اَلْمَلآئِكَةُ حَتىَّ تُصْبِحَ
“Apabila suami mengajak istrinya ke
tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya,
malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. Bukhari: 11/14)
Dari Abu Hurairah pula ia berkata, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا
لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang wanita tidur dengan
meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para Malaikat melaknatnya sampai
pagi.” [HR Bukhari no.
5194, Muslim no. 120 (1436).]
Dan di dalam riwayat yang lain:
حَتَّى
تَرْجِعَ
“Sehingga si istri itu kembali.”
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam
menjelaskan hadits ini berkata, “Ini adalah sebuah dalil yang menunjukkan haram
bagi seorang istri menolak ajakan suaminya ke atas ranjang (untuk berjima’)
jika tidak ada alasan secara syara, dan haidh pun bukanlah alasan untuk
menolaknya, karena sang suami dalam keadaan seperti ini dapat beristimta
(menikmatinya) dengan sesuatu yang di atas kain penutup bagian bawah dari
badan. [Syarah an-Nawawi (X/7-8)]
Di antara faidah yang terkandung di
dalam hadits ini adalah:
1. Sesungguhnya laknat -sebagaimana
dijelaskan oleh Imam an-Nawawi- berlangsung sampai kemaksiatan itu hilang
dengan terbit fajar dan rasa tidak membutuhkan dari pihak suami, atau dengan
taubat dan kembalinya sang istri dengan memenuhi keinginan sang suami.
2. Al-Imam Abu Hamzah mengungkapkan
faidah lain dari hadits ini, beliau rahimahullah berkata, “Di dalamnya ada
sebuah dalil bahwa do‘a Malaikat, yang baik atau yang buruk adalah sebuah do‘a
yang diterima, karena di dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengancam dengan hal tersebut.” [Dinukil dari kitab Fat-hul Baari
(X/8)]
Ada hadits lain lagi yang menunjukkan
sikap seperti ini, di antaranya adalah:
Pertama: Al-Imam ath-Thabrani
meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثٌ لاَ تُقْبَلُ لَهُمْ صَلاَةٌ، وَلاَ تُصْعَدُ لَهُمْ
إِلَى اللهِ حَسَنَةٌ: السَّكْرَانُ حَتَّى يُصْحَى، وَالْمَرْأَةُ السَّاخِطُ
عَلَيْهَا زَوْجُهَا، وَالْعَبْدُ اْلآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ فَيَضَعُ يَدَهُ فِي
يَدِ مَوَالِيْهِ.
“Ada tiga orang yang shalatnya tidak
akan diterima, dan kebaikan mereka tidak akan naik kepada Allah, (1) orang yang
mabuk sehingga dia sadar, (2) seorang wanita yang dibenci oleh suaminya, dan
(3) seorang hamba sahaya yang lari sehingga dia kembali dan meletakkan tangannya
di tangan tuannya.” [Dinukil dari kitab Majma’uz Zawaa-id wa Manbaul Fawaa-id kitab an-Nikaah
bab Haqqul Zauj ‘alal Mar-ah (IV/313). Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits
ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan di dalamnya ada
Muhammad bin Uqail, haditsnya hasan, di dalamnya ada kelemahan, sedangkan yang
lainnya tsiqah.”]
Kedua: Al-Imam ath-Thabrani meriwayatkan
juga dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
اِثْنَانِ
لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا: عَبْدٌ آبِقٌ مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى
يَرْجِعَ إِلَيْهِمْ، وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ.
“Ada dua orang yang shalat mereka tidak
pernah melewati kepala mereka: (1) seorang hamba sahaya yang lari dari
tuan-tuannya sehingga ia kembali kepada mereka, dan (2) seorang wanita yang
berbuat maksiat kepada suaminya sehingga ia kembali.” [Majma’uz Zawaa-id wa Manba-ul
Fawaa-id. Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh
ath-Thabrani di dalam kitab ash-Shagir dan al-Ausath dengan perawi yang tsiqah]
Ada dua hal penting yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan masalah ini:
Pertama, penetapan hukum haram bagi
istri yang menolak keinginan suami ke atas ranjang (untuk berjima’) disyaratkan
dengan tidak ada alasan secara syar’i, hal ini sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi karena itu seorang suami harus selalu
memperhatikan keadaan sang istri ketika ia memintanya. Syaikhul Islam berkata,
“Seorang suami berhak untuk bersenang-senang dengan sang istri kapan saja,
selama hal itu tidak memberikan dampak negatif kepadanya atau menyibukkannya
dari sesuatu yang lebih wajib, jika semua itu tidak ada, maka seorang istri
harus memenuhinya.”
Kedua, sesungguhnya penetapan hukum yang
dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pengharaman sikap
seorang istri yang menolak ajakan sang suami adalah sebuah tatanan yang
membantu terwujudnya makna dari sebuah hubungan suami istri, dengan harapan
agar seorang suami lebih dapat menundukkan pandangan, juga menjaga kemaluan.
Bolehkah Istri Menolak ketika Diminta Untuk Memegang Kemaluan Suaminya?
Terkadang dalam kehidupan sehari-hari
dimana seorang suami menginginkan untuk sedikit bermesraan dengan istrinya
meskipun tidak sampai menjima’ nya, dia meminta istrinya untuk dipegang-pegang
kemaluannya sebelum tidur. Kalau kondisi istri sudah capek, bolehkah dia menolak?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
وَفِي
بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
“Dalam hubungan badan yang kalian
lakukan, nilainya sedekah.”
Para sahabat bertanya: ‘Wahai
Rasulullah, apakah ketika kita melampiaskan syahwatnya, kita akan mendapatkan
pahala?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menuturkan,
أَرَأَيْتُمْ
لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا
وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Bukankah ketika orang menyalurkan
syahwatnya pada tempat yang haram, dia akan mendapat dosa? Maka demikian pula
ketika dia salurkan pada yang halal, dia akan mendapat pahala.” (HR. Muslim 1006).
Hadis ini memberikan pelajaran bagi para
pasutri bahwa sejatinya semua upaya yang mereka lakukan untuk membahagiakan pasanganya
di ranjang akan menghasilkan pahala baginya. Sekalipun semata dia niatkan murni
untuk syahwat. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
alasan bahwa sebab dia mendapatkan pahala adalah karena dia meletakkan syahwat
itu pada tempat yang dihalalkan syariat.
Abu Yusuf menceritakan : Saya pernah
bertanya kepada guruku Imam Abu Hanifah, tentang suami yang memegang kemaluan
istrinya atau istri memegang kemaluan suaminya agar bergerak (membangkitkan
syahwat), apakah menurut Anda ini bermasalah?
Jawab Imam Abu Hanifah rahimahullah,
لا إني
لأرجو أن يعظم الأجر
“Tidak masalah, bahkan saya berharap ini
akan memperbesar pahalanya.” (Tabyin al-Haqaiq, 16:367).
Beliau memahami, usaha suami untuk
membahagiakan istrinya atau upaya istri untuk membahagiakan suaminya, bukan
usaha sia-sia, karena semua tercatat sebagai pahala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ
عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila suami mengajak istrinya untuk
berhubungan, lalu istri menolak dan suami marah kepadanya maka dia dilaknat
para malaikat sampai subuh.” (HR. Bukhari 3237 dan Muslim 1436).
Berdasarkan hadis ini, ulama melarang
keras para wanita yang menolak ajakan suaminya dalam batas yang dibolehkan.
Imam Zakariya al-Anshari – seorang ulama
madzhab Syafii – mengatakan,
ويحرم
عليها أي على زوجته أو جاريته منعه من
استمتاع جائز بها تحريما مغلظا لمنعها حقه مع تضرر بدنه بذلك
Terlarang keras bagi istri untuk menolak
ajakan suami untuk bercumbu dengannya dalam batas yang dibolehkan. Karena wanita
ini menolak hak suami, sementara itu membahayakan badan suami. (Asnal Mathalib,
15:230)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar