Senin, 21 Desember 2020

Istri Menolak Ajakan Suami untuk Jima’ (1) Karena Capek

 


Sepintas kelihatan seperti hal yang sepele, namun Islam sebagai agama yang universal dan sempurna tetap selalu memberikan perhatian pada hal-hal yang bersinggungan dengan kepentingan hajat manusia, dari yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya.

 

Masalah ‘hubungan badan’ antara suami isteri merupakan hal yang lumrah dan biasa terjadi karena masing-masing memerlukannya. Tetapi adakalanya mengalami kendala sehingga tidak dapat terlaksana, sementara bagi seorang suami, adanya kendala tersebut terkadang dirasakan sangat berat baginya, apalagi bila terjadi penolakan dari pihak isteri.

 

Nah, bagaimana Islam memperhatikan sisi ini?.

 

Alasan utama seorang istri menolak ajakan suami untuk ber-jima’ karena istri sedang capek dan mengantuk.

 

Penyebabnya kelelahan itu antara lain karena banyaknya pekerjaan istri dalam mengurus rumah tangga, atau suami terlalu sering mengajak ber-jima’ sehingga memforsir tenaga istri, atau istri seorang wanita karir, yang apabila sampai rumah sudah kecapekan.

 

Seorang suami yang selalu mengajak istrinya untuk berhubungan menunjukkan bahwa dia sayang kepada istrinya. Kebutuhan suami terhadap istri memang sangat besar, sehingga hendaknya seorang istri menyadari hal itu.

 

Apalagi, wanita yang usianya masih muda setiap bulannya ada waktu haid, dan setelah melahirkan pun sang wanita membutuhkan “cuti” dari suaminya selama kurang lebih 40 hari karena syariat Islam melarang suami menggauli istrinya dalam kondisi tersebut. Belum lagi bila istri sakit atau ada uzur lain, dan juga suami yang sering keluar rumah karena mencari nafkah dan sebab-sebab yang lainnya.

 

Jika istri menolak permintaannya karena capek atau mengantuk, sedangkan suami hanya punya satu istri, maka kesalahan ada di pihak isri, karena suami tidak boleh melampiaskan kesenangannya kecuali kepada istri atau budaknya, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Mukminun ayat 6.

 

Bagaimana seharusnya istri bila diajak oleh suaminya? Perhatikan hadits di bawah ini.

 

Dari Thalqu bin Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ فَلْتَأْتِهِ وَ إِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ

 

“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di dapur.” (HR. Tirmidzi: 4/387; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib: 2/199)

 

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَ زَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

 

“Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari: 16/199)

 

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا اَلْمَلآئِكَةُ حَتىَّ تُصْبِحَ

 

“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. Bukhari: 11/14)

 

Dari Abu Hurairah pula ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

 

“Jika seorang wanita tidur dengan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para Malaikat melaknatnya sampai pagi.” [HR Bukhari no. 5194, Muslim no. 120 (1436).]

 

Dan di dalam riwayat yang lain:

حَتَّى تَرْجِعَ

“Sehingga si istri itu kembali.”

 

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam menjelaskan hadits ini berkata, “Ini adalah sebuah dalil yang menunjukkan haram bagi seorang istri menolak ajakan suaminya ke atas ranjang (untuk berjima’) jika tidak ada alasan secara syara, dan haidh pun bukanlah alasan untuk menolaknya, karena sang suami dalam keadaan seperti ini dapat beristimta (menikmatinya) dengan sesuatu yang di atas kain penutup bagian bawah dari badan. [Syarah an-Nawawi (X/7-8)]

 

Di antara faidah yang terkandung di dalam hadits ini adalah:

 

1. Sesungguhnya laknat -sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi- berlangsung sampai kemaksiatan itu hilang dengan terbit fajar dan rasa tidak membutuhkan dari pihak suami, atau dengan taubat dan kembalinya sang istri dengan memenuhi keinginan sang suami.

 

2. Al-Imam Abu Hamzah mengungkapkan faidah lain dari hadits ini, beliau rahimahullah berkata, “Di dalamnya ada sebuah dalil bahwa do‘a Malaikat, yang baik atau yang buruk adalah sebuah do‘a yang diterima, karena di dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam dengan hal tersebut.” [Dinukil dari kitab Fat-hul Baari (X/8)]

 

Ada hadits lain lagi yang menunjukkan sikap seperti ini, di antaranya adalah:

 

Pertama: Al-Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

 ثَلاَثٌ لاَ تُقْبَلُ لَهُمْ صَلاَةٌ، وَلاَ تُصْعَدُ لَهُمْ إِلَى اللهِ حَسَنَةٌ: السَّكْرَانُ حَتَّى يُصْحَى، وَالْمَرْأَةُ السَّاخِطُ عَلَيْهَا زَوْجُهَا، وَالْعَبْدُ اْلآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ فَيَضَعُ يَدَهُ فِي يَدِ مَوَالِيْهِ.

 

“Ada tiga orang yang shalatnya tidak akan diterima, dan kebaikan mereka tidak akan naik kepada Allah, (1) orang yang mabuk sehingga dia sadar, (2) seorang wanita yang dibenci oleh suaminya, dan (3) seorang hamba sahaya yang lari sehingga dia kembali dan meletakkan tangannya di tangan tuannya.” [Dinukil dari kitab Majma’uz Zawaa-id wa Manbaul Fawaa-id kitab an-Nikaah bab Haqqul Zauj ‘alal Mar-ah (IV/313). Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan di dalamnya ada Muhammad bin Uqail, haditsnya hasan, di dalamnya ada kelemahan, sedangkan yang lainnya tsiqah.”]

 

Kedua: Al-Imam ath-Thabrani meriwayatkan juga dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

اِثْنَانِ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا: عَبْدٌ آبِقٌ مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهِمْ، وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ.

 

“Ada dua orang yang shalat mereka tidak pernah melewati kepala mereka: (1) seorang hamba sahaya yang lari dari tuan-tuannya sehingga ia kembali kepada mereka, dan (2) seorang wanita yang berbuat maksiat kepada suaminya sehingga ia kembali.” [Majma’uz Zawaa-id wa Manba-ul Fawaa-id. Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitab ash-Shagir dan al-Ausath dengan perawi yang tsiqah]

 

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan masalah ini:

 

Pertama, penetapan hukum haram bagi istri yang menolak keinginan suami ke atas ranjang (untuk berjima’) disyaratkan dengan tidak ada alasan secara syar’i, hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi karena itu seorang suami harus selalu memperhatikan keadaan sang istri ketika ia memintanya. Syaikhul Islam berkata, “Seorang suami berhak untuk bersenang-senang dengan sang istri kapan saja, selama hal itu tidak memberikan dampak negatif kepadanya atau menyibukkannya dari sesuatu yang lebih wajib, jika semua itu tidak ada, maka seorang istri harus memenuhinya.”

 

Kedua, sesungguhnya penetapan hukum yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pengharaman sikap seorang istri yang menolak ajakan sang suami adalah sebuah tatanan yang membantu terwujudnya makna dari sebuah hubungan suami istri, dengan harapan agar seorang suami lebih dapat menundukkan pandangan, juga menjaga kemaluan.

 

Bolehkah Istri Menolak ketika Diminta Untuk Memegang Kemaluan Suaminya?

 

Terkadang dalam kehidupan sehari-hari dimana seorang suami menginginkan untuk sedikit bermesraan dengan istrinya meskipun tidak sampai menjima’ nya, dia meminta istrinya untuk dipegang-pegang kemaluannya sebelum tidur. Kalau kondisi istri sudah capek, bolehkah dia menolak?

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

 

“Dalam hubungan badan yang kalian lakukan, nilainya sedekah.”

 

Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah ketika kita melampiaskan syahwatnya, kita akan mendapatkan pahala?’

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan,

 

أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

 

“Bukankah ketika orang menyalurkan syahwatnya pada tempat yang haram, dia akan mendapat dosa? Maka demikian pula ketika dia salurkan pada yang halal, dia akan mendapat pahala.” (HR. Muslim 1006).

 

Hadis ini memberikan pelajaran bagi para pasutri bahwa sejatinya semua upaya yang mereka lakukan untuk membahagiakan pasanganya di ranjang akan menghasilkan pahala baginya. Sekalipun semata dia niatkan murni untuk syahwat. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan alasan bahwa sebab dia mendapatkan pahala adalah karena dia meletakkan syahwat itu pada tempat yang dihalalkan syariat.

 

Abu Yusuf menceritakan : Saya pernah bertanya kepada guruku Imam Abu Hanifah, tentang suami yang memegang kemaluan istrinya atau istri memegang kemaluan suaminya agar bergerak (membangkitkan syahwat), apakah menurut Anda ini bermasalah?

 

Jawab Imam Abu Hanifah rahimahullah,

 

لا إني لأرجو أن يعظم الأجر

 

“Tidak masalah, bahkan saya berharap ini akan memperbesar pahalanya.” (Tabyin al-Haqaiq, 16:367).

 

Beliau memahami, usaha suami untuk membahagiakan istrinya atau upaya istri untuk membahagiakan suaminya, bukan usaha sia-sia, karena semua tercatat sebagai pahala.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

 

“Apabila suami mengajak istrinya untuk berhubungan, lalu istri menolak dan suami marah kepadanya maka dia dilaknat para malaikat sampai subuh.” (HR. Bukhari 3237 dan Muslim 1436).

 

Berdasarkan hadis ini, ulama melarang keras para wanita yang menolak ajakan suaminya dalam batas yang dibolehkan.

 

Imam Zakariya al-Anshari – seorang ulama madzhab Syafii – mengatakan,

 

ويحرم عليها أي على زوجته أو جاريته  منعه من استمتاع جائز بها تحريما مغلظا لمنعها حقه مع تضرر بدنه بذلك

 

Terlarang keras bagi istri untuk menolak ajakan suami untuk bercumbu dengannya dalam batas yang dibolehkan. Karena wanita ini menolak hak suami, sementara itu membahayakan badan suami. (Asnal Mathalib, 15:230)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar