Minggu, 12 Agustus 2018

Qurban : Cara Membagi Daging Qurban dengan Benar


Allah perintahkan dalam al-Quran untuk memakan sebagian dari hasil qurban, dan memberikan sebagian kepada orang yang membutuhkan maupun orang yang berkemampuan.

Allah berfirman dalam al-Quran,

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ

“Telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah mati, maka makanlah sebagiannya dan beri daging itu untuk orang yang tidak meminta-minta dan orang yang meminta.” (QS. al-Hajj: 36)

Dalam ayat ini, Allah ta’ala tidak menjelaskan nilai pembagiannya.

Sering ada yang menanyakan apakah mesti hasil penyembelihan qurban dibagi sepertiga untuk shohibul qurban, sepertiga untuk sedekah pada fakir miskin dan sepertiga sebagai hadiah. Lalu apakah hasil qurban boleh dimakan oleh orang yang berqurban (shohibul qurban)?.

Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah memberikan keterangan, “Kebanyakan ulama menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan bersedekah dengan sepertiga hewan qurban, memberi makan dengan sepertiganya dan sepertiganya lagi dimakan oleh dirinya dan keluarga. Namun riwayat-riwayat tersebut sebenarnya adalah riwayat yang lemah. Sehingga yang lebih tepat hal ini dikembalikan pada keputusan orang yang berqurban (shohibul qurban). Seandainya ia ingin sedekahkan seluruh hasil qurbannya, hal itu diperbolehkan. Dalilnya, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ ، وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا ، لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا [ فِى الْمَسَاكِينِ]  ، وَلاَ يُعْطِىَ فِى جِزَارَتِهَا شَيْئًا

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk mengurusi unta-unta hadyu. Beliau memerintah untuk membagi semua daging qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan beliau tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada tukang jagal (sebagai upah). [HR. Bukhari no. 1717 dan Muslim no. 1317]” Dalam hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyedekahkan seluruh hasil sembelihan qurbannya kepada orang miskin.

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) mengatakan,  “Hasil sembelihan qurban dianjurkan dimakan oleh shohibul qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi diberikan kepada kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. Sebagian lagi diberikan pada tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan pada saudara muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.” [Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, soal kesembilan dari Fatwa no. 5612, 11/423-424, Mawqi’ Al Ifta’. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai Anggota]

Dalam fatwa lainnya, Al Lajnah Ad Da-imah menjelaskan bolehnya pembagian hasil sembelihan qurban tadi lebih atau kurang dari sepertiga. Mereka menjelaskan, “Adapun daging hasil sembelihan qurban, maka lebih utama sepertiganya dimakan oleh shohibul qurban; sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat; serta sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Namun jika lebih/ kurang dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya (misalnya hanya diberikan pada orang miskin saja tanpa yang lainnya, pen), maka itu juga tetap diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kelonggaran.” [Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, soal ketiga dari Fatwa no. 1997, 11/424-425, Mawqi’ Al Ifta’. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai Anggota]

  • Fatwa Syaikh Al Allaamah Muhammad Shalih Al Utsaimin rahimahullah


Pertanyaan:
Fadhilatusy Syaikh kita ketahui bersama bahwa daging qurban dibagi menjadi tiga bagian. Sepertiga disedekahkan,  sepertiga dihadiahkan dan sepertiga untuk dimakan shahibul qurban. Akan tetapi saya memiliki 9 sepupu laki-laki. Semuanya bekerja memasak daging di dapur dan mendistribusikan daging tersebut kepada seluruh saudara tanpa aturan sedekah sepertiga atau hadiah sepertiga. Apakah hal ini diperbolehkan?

Jawaban:
Sedekah dengan sepertiga daging qurban bukan suatu kewajiban. Engkau boleh memakan semua daging qurban kecuali sedikit saja untuk disedekahkan. Akan tetapi yang paling utama, ada daging yang engkau sedekahkan, ada yang engkau hadiahkan dan ada yang engkau makan sendiri. Daging yang dihadiahkan dan disedekahkan adalah daging mentah bukan daging yang sudah matang. Dan ini mudah walhamdulillah.

Jadi jika hari raya Idul Adha engkau sembelih hewan qurban lalu kirimkanlah secukupnya kepada orang-orang fakir dan hadiahkan kepada tetanggamu atau teman-temanmu secukupnya. Sisanya engkau bisa memakan seluruhnya di hari Idul Adha atau hari-hari Tasyriq atau engkau simpan lebih lama lagi. (Silsilah Fatawa Nur Ala Darb. Kaset No. 321)

  • Fatwa Syaikh Almuhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah


Pertanyaan:
Apakah termasuk sunnah membagi daging qurban menjadi tiga bagian?

Jawaban:
Daging qurban memang harus ada yang disedekahkan namun tanpa membatasi dengan jumlah tertentu sebagaimana anggapan sebagian orang. Seperti pembagian sepertiga disedekahkan,  sepertiga dimakan di hari Id,  sepertiga di simpan. Pembagian seperti ini tidak berdalil sama sekali. Adapun yang sesuai sunnah Nabi yaitu membagi tiga bagian tanpa membatasi dengan jumlah tertentu, inilah yang benar. Karena Nabi shallallahu’alahi wasallam pernah bersabda,

كنتُ نَهيتكم عن ادِّخار لحوم الأضاحي، ألا فكُلوا وتصدَّقوا وادَّخروا

“Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging qurban. Ketahuilah (sekarang) makanlah, sedekahkanlah dan simpanlah daging qurban.”

Dalam hadits diatas beliau tidak membatasi jumlah tertentu.
(Silsilah Al Huda wan Nur. Kaset No. 208)

Dari keterangan diatas dapat kita tarik kesimpulan:

1. Pembagian daging menjadi tiga hanyalah pembagian dalam pemanfaatan daging. Yaitu untuk dimakan, untuk sedekah, untuk disimpan atau untuk hadiah.

2. Penentuan jumlah 1/3 untuk hadiah, 1/3 untuk sedekah,  1/3 untuk dimakan bukan merupakan sunnah Nabi namun lebih tepatnya ijtihad sebagian ulama.

3. Boleh membagi daging dengan jumlah lain misalnya untuk sedekah 1/4 bagian untuk hadiah 1/4 bagian,  untuk dimakan 1/2 bagian. Atau pembagian lain yang diinginkan oleh shahibul qurban.

Bolehkah Shohibul Qurban Mengambil Semua atau Lebih Dari Sepertiga?.

Inti ibadah qurban adalah menumpahkan darah hewan qurban. Bolehkah seorang muslim yang berqurban dan daging qurbannya untuk dirinya sekeluarga , tidak ada yang diberikan ke orang lain.

Dalam QS. al-Hajj: 36, Allah ta’ala tidak menjelaskan nilai pembagiannya. Karena itu, ulama berbeda pendapat, apakah boleh semua hasil qurban dimanfaatkan oleh sohibul qurban, tanpa ada yang disedekahkan?

Pendapat Pertama, wajib mensedekahkan sebagian hasil qurban.

Ini merupakan pendapat sebagian syafiiyah dan hambali. Bahkan mereka menyatakan, jika ada sohibul qurban yang makan semua hasil qurbannya bersama keluarganya, dan tidak ada yang disedekahkan, maka sohibul qurban wajib ganti rugi, dengan nilai minimal hasil qurban yang layak disedekahkan.

An-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ menyebutkan,

وهل يشترط التصدق منها بشيء أم يجوز أكلها جميعا، فيه وجهان مشهوران ذكرهما المصنف بدليلهما، أحدهما: يجوز أكل الجميع، قاله ابن سريج وابن القاص والإصطخري وابن الوكيل، وحكاه ابن القاص عن نص الشافعي، قالوا: وإذا أكل الجميع ففائدة الأضحية حصول الثواب بإراقة الدم بنية القربة.

Apakah disyaratkan harus mensedekahkan sebagian dari hasil qurban, ataukah boleh dimakan sendiri semuanya? Ada 2 pendapat dalam madzhab Syafiiyah. Telah disebutkan oleh penulis al-Muhadzab dengan dalil masing-masing.

Pendapat pertama, boleh dimakan sendiri semuanya. Ini merupakan pendapat Ibnu Sarij, Ibnul Qash, al-Ishtikhari, Ibnul Wakil, bahkan Ibnul Qash mengatakan, ini merupakan pernyataan as-Syafii. Mereka mengatakan, jika ada orang yang makan semua hasil qurbannya, maka manfaat dari berqurban adalah mendapatkan pahala menyembelih hewan dalam rangka ibadah.

Selanjutnya an-Nawawi menyebutkan pendapat kedua,

والقول الثاني وهو قول جمهور أصحابنا المتقدمين وهو الأصح عند جماهير  المصنفين، ومنهم المصنف في التنبيه يجب التصدق بشيء يطلق عليه الاسم، لأن المقصود إرفاق المساكين، فعلى هذا إن أكل الجميع لزمه الضمان، وفي الضمان خلاف (المذهب) منه أن يضمن ما ينطلق عليه الاسم.

Pendapat kedua, ini merupakan pendapat mayoritas ulama syafiiyah masa silam, dan inilah pendapat yang kuat menurut mayoritas penulis kitab madzhab, termasuk penulis kitab at-Tanbih, mereka menyatakan, bahwa wajib memberikan bagian dari hasil qurban yang layak untuk disebut sedekah. Karena tujuan qurban adalah beramal bagi orang miskin. Berdasarkan hal ini, jika sohibul qurban makan semuanya, wajib ganti rugi. Meskipun untuk adanya ganti rugi, ini menyimpang dari pendapat madzhab. Ada juga yang mengatakan, wajib ganti rugi senilai uang yang bisa disebut sedekah.

(Majmu’ Syarh Muhadzab, 8/416).

Yang dimaksud memberi ganti rugi adalah memberi ganti rugi sedekah senilai daging yang seharusnya dia ambilkan dari hasil qurban, untuk diberikan kepada fakir miskin. Mengingat dia memakan dan menghabiskan semua hasil qurbannya. Artinya qurbannya sah dan tidak perlu diulangi.

Di tempat lain, an-Nawawi lebih menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa harus ada yang disedekahkan dengan nilai yang layak untuk bisa disebut sedekah. dan dianjurkan lebih banyak yang disedekahkan.

فأما الصدقة منها إذا كانت أضحية تطوع، فواجبة على الصحيح عند أصحابنا بما يقع عليه الاسم منها، ويستحب أن تكون بمعظمها

Untuk masalah mensedekahkan hasil qurban, jika itu qurban anjuran, pendapat yang kuat menurut ulama madzhab kami hukumnya wajib. Disedekahkan dengan ukuran yang layak untuk disebut sedekah. Dan dianjurkan yang disedekahkan lebih banyak. (Syarh Shahih Muslim, 13/131).

Keterangan madzhab hambali.

Al-Buhuti dalam kitab Kasyaf al-Qana’, menuliskan,

فإن أكل أكثر الأضحية أو أهدى أكثرها (أو أكلها كلها) إلا أوقية تصدق بها جاز، (أو أهداها كلها إلا أوقية جاز، لأنه يجب الصدقة ببعضها) نيئا على فقير مسلم لعموم “وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ” (فإن لم يتصدق بشيء) نيء منها (ضمن أقل ما يقع عليه الاسم) كالأوقية بمثله لحما

Jika sohibul qurban makan sebagian besar hasil qurban atau menghadiahkan (ke orang kaya), atau dimakan semuanya, selain sekantong jatah (satu uqiyah*)  yang dia sedekahkan untuk orang miskin, hukumnya boleh. Atau dihadiahkan (ke orang kaya) semuannya, selain sekantong yang disedekahkan kepada orang miskin, hukumnya boleh. Karena wajib mensedekahka sebagian jatah qurban, dalam bentuk mentah kepada orang miskin yang miskin. Berdasarkan makna umum dari firman Allah, “dan beri daging itu untuk orang yang tidak meminta-minta dan orang yang meminta..”

Jika tidak ada yang disedekahkan sama sekali dalam bentuk mentah, maka wajib ganti rugi senilai yang layak disebut sedekah. Misalnya bayar senilai sekantong daging. (Kasyaf al-Qana’, 3/23).

*Ulama sepakat, 1 uqiyah senilai 40 dirham. Menurut jumhur itu beratnya senilai kurang lebih 201 gr. Sementara menurut Hanafiyah, itu beratnya senilai 200,8 gr. Selisih 0,2 gr yang sebenarnya tidak signifikan.

Pendapat Kedua, sedekah sebagian hasil qurban hukumnya anjuran dan tidak wajib.

Ini merupakan pendapat Hanafiyah..

Dalam Badai as-Shanai diyatakan,

ويستحب له أن يأكل من أضحيته لقوله تعالى عز شأنه: { فكلوا منها وأطعموا البائس الفقير }.  وروي عن النبي عليه الصلاة والسلام أنه قال: إذا ضحى أحدكم فليأكل من أضحيته ويطعم منه غيره

Dianjurkan untuk makan hewan qurbannya, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Makanlah sebagian hewan itu dan berikan sebagian kepada orang yang tidak mampu.” Dan diriwayatkan dari Nabi aw bahwa beliau bersabda, “Apabila kalian menyembelih qurban, makanlah sebagian hasil qurbannya dan berikan sebagian kepada orang lain.” (Badai as-Shanai, 5/80)

Kemudian beliau melanjutkan,

وله أن يهبه منهما جميعا ولو تصدق بالكل جاز ولو حبس الكل لنفسه جاز لأن القربة في الاراقة وأما التصدق باللحم فتطوع، وله أن يدخر الكل لنفسه فوق ثلاثة أيام لأن النهي عن ذلك كان في ابتداء الإسلام ثم نسخ

Sohibul qurban boleh menghibahkan semua hasil qurban atau mensedekahkan semuanya. Jika disimpan semuanya untuk pribadi, juga boleh. Karena inti ibadah qurban adalah menyembelih. Sementara sedekah hasil qurban, statusnya anjuran. Dia boleh simpan untuk pribadi lebih dari 3 hari. Karena larangan menyimpan lebih dari 3 hari berlaku di awal islam, kemudian dinasakh. (Badai as-Shanai, 5/81).

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bolehnya memanfaatkan semua hasil qurban untuk pribadi dan keluarga. Dengan alasan,

1.    Perintah untuk mensedekahkan hasil qurban kepada yang tidak mampu dan menghadiahkan hasil qurban kepada yang mampu sifatnya anjuran dan tidak wajib. Sebagaimana orang boleh tidak memberikan hasil qurban kepada orang kaya sebagai hadiah, dia juga boleh tidak memberikan hasil qurbannya kepada orang miskin sebagai hadiah. Sehingga, pilihan dimakan sendiri, disedekahkan kepada yang tidak mampu, dan dihadiahkan kepada yang mampu, sifatnya pilihan dan tidak disyaratkan harus ada ketiganya.

2.   Inti dari qurban adalah menyembelih hewan yang ditentukan syariat. Sementara masalah penyaluran dengan disedekahkan, sifatnya anjuran ketika orang memiliki kelebihan makanan (daging).

Beda dengan zakat atau sedekah harta, yang inti dari ibadah ini adalah melepaskan harta milik pribadi dan diberikan kepada orang lain.

3.   Pendapat sebagian syafiiyah dan hambali yang mewajibkan ganti rugi ketika semua bagian hewan qurban dimiliki pribadi, tidak didukung dalil tegas.

4.   Keluarga adalah orang yang paling berhak menerima jatah qurban kita. Sekalipun mereka satu rumah. Sehingga tidak masalah jika qurban itu dimakan sekeluarga. Artinya, apabila Sohibul qurban mengambil lebih dari sepertiga atau kurang dari itu, tidak apa-apa, karena memang itu haknya. Meskipun semakin banyak yang disedekahkan, semakin baik.

Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?

Hasil qurban bisa disantap oleh shohibul qurban, yang lainnya disedekahkan kepada orang miskin dan dihadiahkan untuk kerabat. Lantas bolehkah hasil tersebut diberikan pada orang kafir (non muslim)?

Ulama mazhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging kurban kepada orang kafir. Imam Malik mengatakan, “(Diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan Syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging kurban kepada orang kafir untuk kurban yang wajib (misalnya kurban nazar) dan makruh untuk kurban yang sunah. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 29843).

Imam Al Baijuri As-Syafi’i mengatakan, “Dalam Al-Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian kurban sunah kepada kafir Dzimmi yang miskin. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk kurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri, 2/310).

Pendapat yang kuat adalah tidak mengapa memberikan daging kurban kepada non muslim, terutama dari kerabat, tetangga atau orang fakir. Yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)

Pemberian daging kurban kepada mereka termasuk suatu kebaikan yang Allah telah mengizinkan kepada kita.

Dari Mujahid, bahwa Abdullah bin Amr menyembelih kambing untuk keluarganya. Ketika beliau datang bertanya, “Apakah anda telah memberikan hadiah kepada tetangga kita yang Kristen? Apakah anda telah memberikan hadiah kepada tetangga kita yang Yahudi? Saya mendengar Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

“Jibril senantiasa mewasiatkan kepadaku untuk tetangga, sampai saya menyangka dia akan mewarisinya.” [HR. Tirmidzi, (1943) dinyatakan shahih oleh Al-Albani.]

Ibnu Qudamah mengatakan, “Diperbolehkan memberi makanan dari (daging kurban) kepada orang kafir. Karena ia adalah shodaqah sunnah. Maka diperbolehkan memberikan makanan kepada orang kafir Dzimmi (dalam perlindungan Negara Islam), tawanan sebagaimana shodaqah sunnah lainnya.” Selesai dari ‘Al-Mugni, (9/450).

Syaikh Abdulaziz bin Baz –rahimahullah– ketika ditanya apakah boleh memberikan daging qurban kepada non muslim?

Beliau memjawab :

لا حرج؛ لقوله جل وعلا: لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ، فالكافر الذي ليس بيننا وبينه حرب كالمستأمن أو المعاهد يعطى من الأضحيَّة ومن الصدقة.

Tidak mengapa, karena Allah jalla wa ‘ala berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.”

Maka orang kafir yang tidak ada hubungan perang antara kita dengan mereka, seperti Musta’min (yang meminta jaminan keamanan) atau Mu’ahad (yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin), boleh diberi daging qurban dan juga boleh diberi sedekah.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 18/47)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanyakan hal di atas dan beliau menjawab,

يجوز للإنسان أن يعطي الكافر من لحم أضحيته صدقة بشرط أن لا يكون هذا الكافر ممن يقتلون المسلمين فإن كان ممن يقتلونهم فلا يعطى شيئاً لقوله تعالى : ( لا يَنْهَاكُمْ اللَّهُ عَنْ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمْ اللَّهُ عَنْ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الظَّالِمُونَ ) الممتحنة /8-9 اهـ .

“Boleh seseorang menyerahkan hasil qurban berupa daging sebagai sedekah kepada non muslim dengan syarat ia bukan kafir harbi (yang sedang berperang dengan kaum muslimin). Jika yang ia termasuk kafir harbi, maka tidak boleh. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)
[Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2: 663]

Al Lajnah Ad Daimah juga pernah ditanyakan hal yang sama, para ulama yang duduk dalam lembaga tersebut menjawab,

يجوز لنا أن نطعم الكافر المعاهد والأسير من لحم الأضحية، ويجوز إعطاؤه منها لفقره أو قرابته أو جواره، أو تأليف قلبه؛ لأن النسك إنما هو في ذبحها أو نحرها؛ قربانًا لله، وعبادة له، وأما لحمها فالأفضل أن يأكل ثلثه، ويهدي إلى أقاربه وجيرانه وأصدقائه ثلثه، ويتصدق بثلثه على الفقراء، وإن زاد أو نقص في هذه الأقسام أو اكتفى ببعضها فلا حرج، والأمر في ذلك واسع، ولا يعطى من لحم الأضحية حربيًّا؛ لأن الواجب كبته وإضعافه، لا مواساته وتقويته بالصدقة، وكذلك الحكم في صدقات التطوع    “لا يَنْهَاكُمْ اللَّهُ عَنْ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ” ولأن النبي صلى الله عليه وسلم أمر أسماء بنت أبي بكر رضي الله عنها أن تصل أمها بالمال وهي مشركة في وقت الهدنة.

“Kita boleh saja memberikan hasil qurban berupa daging kepada orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian dengan kaum muslimin. Boleh memberikan hasil qurban tersebut karena kekerabatannya, ia sebagai tetangga, atau ingin melembutkan hatinya. Yang namanya ibadah qurban adalah sembelihan yang disajikan untuk Allah sebagai bentuk pendekatan diri dan ibadah kepada-Nya. Adapun daging qurban, lebih afdhol dimakan oleh shohibul qurban sepertiganya, lalu sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga dan sahabatnya, kemudian sepertiganya lagi sebagai sedekah untuk orang miskin. Jika lebih atau kurang dari sepertiga tadi atau hanya cukup untuk sebagian mereka saja, maka tidaklah masalah. Masalah ini ada kelapangan.

Namun daging hasil qurban tidak boleh diserahkan pada kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin). Karena kafir harus ditekan dan dilemahkan, tidak boleh simpati dan malah menguatkan mereka dengan diberi sedekah. Demikian berlaku dalam sedekah sunnah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8). Dalil bahwasanya boleh berbuat baik dengan orang non muslim selain kafir Harbi adalah praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyuruh Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anha untuk tetap berbuat baik pada ibunya yang musyrik saat hadanah (perdamaian).”

[Fatwa Al Lajnah Ad Daimah soal ketiga no. 1997, 11: 425, ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud]

Jadi hukumnya boleh membagikan daging qurban kepada non muslim. Namun tetap yang lebih afdhol, memprioritaskan kaum muslimin. Karena hubungan iman menjadikan mereka lebih berhak untuk diutamakan. Dan memberi daging qurban kepada mereka, membantu mereka dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hukum Menunda Pembagian Daging Qurban

Sesungguhnya pendistribusian daging qurban tidak harus dilakukan pada hari raya Idul Adha dan hari tasyrik. Bahkan ada anggapan dalam masyarakat apabila daging qurban tidak habis dibagikan di hari raya dan hari tasyrik, maka qurbannya tidak sah. Padahal itu boleh ditunda pada hari setelah hari-hari tersebut bila karena suatu kemaslahatan atau kepentingan.

Misal masyarakat miskin tidak memiliki kulkas atau freezer untuk mengawetkan daging dalam jangka lama. Sementara stok hewan qurban ditempat tersebut banyak. Sehingga daging yang mereka terima pada hari raya atau hari-hari tasyrik sudah sangat mencukupi. Maka boleh bagi shohibul qurban, panitia qurban atau yayasan sosial yang bergerak dalam pendistribusian daging qurban, untuk mengawetkan daging dalam kulkas atau freezer, kemudian dibagikan saat masyarakat kurang mampu membutuhkan. Untuk mengantisipasi terjadinya tabdzir.

Yang terpenting, penyembelihan harus dilakukan pada hari raya dan hari-hari tasyrik. Karena jika dilakukan diluar hari-hari tersebut, sembelihan tidak sah sebagai qurban. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ

“Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunah kaum muslimin” (HR. Bukhari no. 5546).

Juga hadis Abu Burdah radhiyallahu’anhu, bahwa Abu Burdah pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ

“Ya Rasulullah, kabingku sudah aku sembelih sebelum shalat Idul Adha. Aku tahu kalau hari itu adalah hari makan dan minum. Dan aku senang bila kambingku menjadi hewan yang pertama disembelih di rumahku. Oleh karena itu, kambingku kusembelih dan aku sarapan dengannya sebelum aku shalat Idul Adha”.

شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ

“Kambingmu hanyalah kambing biasa (bukan kambing qurban)”, jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(HR. Bukhari no. 955).

Adapun pendistribusian, tidak diharuskan pada hari-hari itu. Asalkan untuk kemaslahatan. Karena terdapat hadis yang menerangkan bolehnya menyimpan daging qurban (iddikhor) lebih dari 3 hari. Meski diawal Islam, tindakan seperti itu dilarang. Namun kemudian larangan tersebut dicabut, sehingga menjadi boleh. Demikian keterangan dari jumhur ulama (mayoritas ulama).

Dalam hadis dari sahabat Buraidah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ ادِّخَارِ لُـحُومِ الْأَضَاحِي فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ

“Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari. (Sekarang) tahanlah (simpanlah) semau kalian” (HR. Muslim).

Nabi menegaskan dalam sabda beliau yang lain,

كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا

“Sekarang silakan kalian makan, bagikan, dan menyimpannya. Karena sesungguhnya pada tahun lalu orang-orang ditimpa kesulitan (kelaparan/krisis ekonomi). Aku ingin kalian membantu mereka (yang membutuhkan makanan)” (HR. Bukhari. Dari Salamah bin Al-Akwa’).

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Diperbolehkan menyimpan daging qurban. Dahulu menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari dilarang. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan. Hal ini telah dijelaskan dalam hadis-hadis shahih yang masyhur.” (Al Majmu’ 8/395. Cetakan Maktabah Al Irsyad).

Semua keterangan di atas berkaitan bila disimpannya untuk konsumsi sendiri. Adapun bila disimpan untuk kemaslahatan masyarakat kurang mampu, tentu lebih dibolehkan lagi. Karena menyimpan daging untuk mereka dalam rangka bersedekah. Sehingga dia mendapatkan pahala sedekah. Sementara menyimpan daging untuk diri sendiri hanya sebagai konsumsi sendiri. Sehingga ia tidak mendapatkan pahala sedekah kepada fakir miskin.

Dalam fatawa syabakah islamiyah nomor 70808 dijelaskan,

فقد تقدم في الفتوى رقم : 58920 ، جواز ادخار لحوم الأضاحي بالنسبة للمضحي, أي يدخرها لنفسه, وإذا جاز له أن يدخرها لنفسه فمن باب أولى جوازادخارها للفقراء حتى يحتاجوا إليها؛ لما في ذلك من المصلحة

“Telah dijelaskan pada fatwa nomor 58920 tentang bolehnya menyimpan daging qurban bagi shohibul qurban. Maksudnya menyimpannya untuk dirinya sendiri. Bila shohibul qurban saja boleh menyimpan daging untuk kepentingan dirinya sendiri, maka menyimpankan daging qurban untuk kaum fakir, sampai mereka membutuhkannya, lebih diutamakan. Karena tindakan tersebut mengandung maslahat”

Wallahua’lam bis showab.

2 komentar:

  1. assalamualaiku kak,, kalau boleh tahu apa yah imbalan untuk orang yang melaksanakan kurban?
    Akikah Jogja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
      Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. Maka Allah akan memberikan pahala kepada si peng-qurban sesuai yang Allah kehendaki.

      Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih)

      Hapus