Siapa mereka yang di sebut dengan Amirul Mukminin?
Barangsiapa
memegang tampuk kekuasaan, dan kondisi sosial menjadi stabil pada saat
kekuasaannya, maka dia dinamakan Amirul Mukminin, baik berkuasanya itu dengan
cara syar’i atau tidak. Yang dimaksud dengan syar’i adalah amir yang ditunjuk
langsung oleh imam sebelumnya, seperti yang terjadi pada kekhilafahan ‘Umar bin
al-Khaththab, atau dia terpilih melalui musyawarah ahlu halli wa al ‘aqdi,
seperti ‘Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Adapun jalan yang tidak
syar’i adalah dengan menggunakan kekuatan dan senjata sehingga kondisi sosial
stabil di tangannya, maka dia juga dinamakan Amirul Mukminin yang wajib kita
taati.
Al-Imam
Ahmad bin Hanbal berkata, “Barangsiapa yang menang atas peperangan dengan
menggunakan pedang sehingga ia menjadi seorang khalifah (pemimpin) yang
dinamakan Amirul Mukminin, maka haram bagi seseorang yang beriman kepada Allah
dan Hari Akhir untuk melewati malamnya dengan tidak mengang-gapnya sebagai
seorang pemimpin, baik dia orang yang shalih maupun jahat.” (Al-Ahkam
as-Sulthaniyah karya Abu Ya’la.)
Ahlu
Sunnah wal Jamaah mempunyai prinsip-prinsip terhadap penguasa, di antaranya:
1.
Meyakini
wajibnya baiat terhadap penguasa.
Ketahuilah bahwa orang yang
menjadi khalifah secara suka-rela, di mana manusia sepakat dan ridha kepadanya,
atau karena khalifah tersebut dapat menundukkan mereka dengan kekuatan sehingga
ia menjadi khalifah, maka mereka wajib taat kepadanya dan haram keluar dari
ketaatan kepadanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ
طَاعَةٍ لَقِيَ اللّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ
فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.
“Barangsiapa melepaskan
ketaatan (dari penguasa) niscaya ia akan menjumpai Allah dalam kondisi tanpa
memiliki hujjah. Dan barangsiapa meninggal tanpa ikatan baiat maka kematiannya
seperti kematian jahiliyyah.” (HR. Muslim).
Hadits yang mulia ini
menunjukkan wajibnya berbaiat kepada seorang penguasa yang telah mampu
mengendalikan kondisi sosial di bawah kekuasaannya, dan haram untuk keluar dari
ketaatan terhadap penguasa tersebut; baik dia shalih atau fajir.
Kewajiban bagi setiap muslim
yang berada di bawah seorang penguasa muslim yang telah disepakati oleh kaum
muslimin bahwa ia sebagai penguasa, atau dapat menundukkan dengan pedangnya,
hendaknya berbaiat kepadanya dan meyakini wajibnya berbaiat kepadanya. Barangsiapa
yang tidak mempunyai niatan untuk berbaiat kepadanya atau tidak meyakini
kewajibannya, maka ketika dia mati, maka kematiannya sama dengan kematian
orang-orang jahiliyah.
Satu hal yang perlu diperjelas
di sini, adanya salah penafsiran terhadap hadits di atas dari beberapa kelompok
pergerakan, yaitu baiat yang ditujukan kepada pemimpin para jamaah tersebut,
dan mewajibkan kepada setiap individu untuk mengadakan jabat tangan secara
langsung kepada pemimpin-pemimpin mereka, dan barangsiapa yang tidak
melaksanakannya, maka dianggap kafir atau tidak layak untuk mendapatkan
loyalitas. Ini merupakan pemahaman yang batil (keliru).
Baiat itu hanyalah kepada
khalifah atau Amirul Mukminin, tidak kepada yang lainnya, dan tidak berarti
setiap kaum muslimin harus mendatangi Amirul Mukminin atau wakilnya untuk
berjabat tangan, tapi cukup untuk meniatkan dan meyakini kewajibannya. Sebab
tidak pernah diceritakan bahwa ketika Abu Bakar, Umar, Utsman, atau Ali bin Abi
Thalib menjadi khalifah, kaum Muslimin berbondong-bondong mendatangi mereka
untuk berjabat tangan, tapi yang membaiat mereka secara langsung hanyalah ahlul
halli wal ‘aqdi.
2.
Menaati
mereka dalam perkara yang makruf
Termasuk dari prinsip Ahlus
Sunnah wal Jamaah, mereka berpendapat bahwa wajib taat kepada pemimpin kaum
Muslimin selama mereka tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Allah Ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ
الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan Hari Kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59).
Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ
فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ.
“Wajib atas seorang muslim
untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada perkara yang ia sukai dan tidak
ia sukai, kecuali jika diperintahkan berbuat maksiat, jika diperintah berbuat
maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” (HR. Al-Bukhari, no. 7144; dan Muslim, no. 1839).
Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam juga bersabda,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى
اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ.
“Aku wasiatkan kepada kalian
untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun (yang memerintah
adalah) seorang budak Habasyi (yang hitam).” (HR.
At-Tirmidzi no. 2676 dan lainnya, serta dishahihkan al-Albani).
Dan beliau shallallahu
‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ
أَطَاعَ اللّهَ وَمَنْ يَعْصِنِيْ فَقَدْ عَصَى اللّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيْرَ فَقَدْ
أَطَاعَنِيْ وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ.
“Barangsiapa taat kepadaku
berarti ia telah menaati Allah, dan barangsiapa bermaksiat kepadaku berarti ia
telah bermaksiat kepada Allah. Dan barangsiapa yang taat kepada amir (yang
muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir, maka ia
bermaksiat kepadaku.” (Muttafaq Alaih).
Dan tentang ini Ahlus Sunnah
sepakat bahwasanya taat kepada penguasa (pemerintah) adalah wajib. Berikut ini
adalah sejumlah kutipan dari ulama-ulama besar Ahlus Sunnah tentang wajib-nya
taat kepada pemimpin dan akibat buruk dari membangkang:
Al-Imam al-Barbahari berkata,
“Barangsiapa memegang kekuasaan dengan kesepakatan kaum Muslimin dan mereka
ridha kepadanya, maka ia adalah Amirul Mukminin. Haram bagi seorang yang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk melewati malam-nya dengan tidak
menganggapnya sebagai seorang pemimpin, baik dia orang yang shalih maupun
fajir.”
Al-Imam Ibnu Hajar
al-Asqalani berkata, “Para ulama telah sepakat atas wajibnya taat kepada
pemimpin yang menang (dalam memperebutkan kekuasaan) dan wajib jihad
bersamanya. Taat kepadanya lebih baik daripada membangkang kepadanya, karena
hal tersebut akan mencegah pertumpahan darah dan menciptakan ketenangan
rakyat.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Orang-orang yang memberontak kepada pemimpin, pasti akan menimbulkan
keru-sakan yang lebih besar daripada kebaikannya.” (Minhaj as-Sunnah).
Akan tetapi kewajiban taat
kepada penguasa tersebut diberi batasan sendiri oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dengan sabdanya,
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ
اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ.
“Tidak boleh taat terhadap
perintah bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal
yang makruf.” (Muttafaq Alaih)
3.
Memberi
nasihat kepada mereka dengan cara yang baik.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ
كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
“Jihad yang paling utama
adalah mengatakan ucapan yang haq di hadapan penguasa yang zhalim.”
Cara Menasihati Penguasa
Menasihati penguasa hendaklah
dengan menggunakan adab dan retorika tersendiri, jangan sampai disamakan dengan
menasihati rakyat biasa. Hendaklah lemah lembut, secara diam (tidak
terang-terangan), tidak menyebut-nyebut keburukan dan kesalahan mereka di
khalayak ramai dan di atas mimbar. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا
يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ
مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ.
“Barangsiapa yang ingin
menasihati penguasa dengan suatu perkara, maka janganlah dia menampakkannya
secara terbuka, tapi hendaklah dia menggenggam tangannya dan mengajaknya
berduaan dengannya, jika ia menerima darinya, maka itulah yang diharapkan, dan
jika tidak, maka ia telah menunaikan kewajibannya terhadapnya.” (HR. Ahmad no. 15333; dan Ibnu Ashim dalam as-Sunnah no. 1096-1098 dan
berkata al-Albani dalam takhrij-nya, 2/523, “Hadits ini shahih dengan
mengumpulkan jalan-jalan periwayatannya.”).
Syaikh asy-Syanqithi berkata,
“Kaum muslimin terhadap penguasa yang zhalim ada tiga kelompok:
Pertama, mampu untuk memberikan nasihat kepadanya, beramar makruf nahi mungkar
kepadanya dengan tidak mendatangkan kemungkaran yang lebih besar dari
sebelumnya, maka nasihat dalam kondisi seperti ini adalah sebagai bentuk jihad
dan menyelamatkan dia dari dosa walaupun nasihat itu tidak berpengaruh
kepadanya. Dan wajib mengemukakan nasihatnya dengan cara yang baik dan lemah
lembut.
Kedua, tidak mampu menegakkan nasihat dikarenakan kezhalimannya yang begitu
parah, dan dapat menimbulkan mudharat yang lebih besar, maka dalam kondisi
seperti ini pengingkarannya hanya dengan hati.
Ketiga, ridha (setuju) atas kemungkaran yang dilakukannya, dengan demikian orang
bersangkutan berserikat dalam dosa dengannya.
Maka perlu diperhatikan oleh
orang yang akan menyampaikan nasihat atau mengingkari kemungkaran seorang
penguasa agar memahami kaidah-kaidah syar’i, maslahat, dan mafsadat yang akan
timbul.
4.
Tidak
Mengadakan Kudeta (Pemberontakan).
Ahlus Sunnah wal Jamaah
mengharamkan keluar dan memberontak kepada pemimpin mereka jika pemimpin
berbuat dosa selain kekufuran, hendaklah sabar jika hal tersebut terjadi,
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar taat kepada mereka
dalam segala hal selain maksiat, dan tidak boleh memeranginya selama tidak
melakukan kekufuran yang nyata, mereka tidak boleh diperangi sehingga nampak
kekufuran yang nyata dan kejelasan yang dapat dibuktikan. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ،
وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ
تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ، قِيْلَ:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لَا، مَا أَقَامُوْا
فِيْكُمُ الصَّلَاةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ
فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ.
“Sebaik-baik pemimpin kalian
adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka
dan mereka mendoakan kalian. (Dan sebaliknya) Seburuk-buruk pemimpin kalian
ada-lah yang kalian benci dan mereka benci kepada kalian, kalian melaknat
mereka dan mereka pun melaknat kalian.’ Lalu para sahabat bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, apakah kami harus memerangi mereka dengan pedang?’ Beliau menjawab,
‘Tidak, selama ia menegakkan shalat di antara kalian. Dan Apabila kalian
melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak kalian sukai, maka bencilah
amalnya dan janganlah kamu melepaskan (diri) dan ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855).
Ketahuilah bahwa kezhaliman
penguasa berawal dari dosa yang kita perbuat, maka janganlah menolak keburukan
dengan keburukan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُم مِّن
مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang
menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura’: 30).
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي
بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan
sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain
disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Al-An’am: 129).
Imam al-Hasan al-Bashri
berkata, “Ketahuilah -semoga Allah mengampuni Anda- bahwa kejahatan pemimpin
itu merupakan salah satu bentuk murka Allah, dan murka itu tidak dapat dihadapi
dengan pedang, akan tetapi dicegah dan ditolak dengan doa dan taubat, kembali
ke jalan Allah dan menjauhkan diri dari segala dosa. Sesungguhnya murka Allah
itu bila dihadapi dengan pedang, maka murka tersebut akan lebih parah.”
Diceritakan bahwa al-Hasan
al-Bashri pernah mendengar seseorang mendoakan al-Hajjaj dengan keburukan, maka
dia berkata, “Janganlah kamu berbuat demikian, -semoga Allah merahmati kamu-
sesungguhnya apa yang menimpa diri kalian adalah disebabkan perbuatan diri
kalian sendiri. Sesungguhnya kami khawatir seandainya Hajjaj dicopot dari
jabatannya atau wafat, justru akan datang seorang pemimpin yang berwatak kera
atau babi.” (Adab al-Hasan, karya Ibnu Jauzi: 119).
Maka jalan yang terbaik untuk
menyelamatkan diri kita dari kezhaliman seorang penguasa adalah bertumpu pada
tiga hal:
Pertama, hendaklah kaum muslimin bertaubat kepada Allah.
Kedua, hendaklah kaum muslimin memperbaiki akidah mereka.
Ketiga, hendaklah mereka mendidik diri dan keluarga di atas Islam yang benar,
Islam yang telah ditempuh oleh nabi dan para sahabatnya. Hal ini bersandaran
pada Firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ
مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri.” (Ar-Ra’du: 11).
5.
Mendoakan
Mereka dengan Kebaikan.
Mendoakan para pemimpin
dengan kebaikan, hidayah dan istiqamah adalah termasuk cara yang ditempuh
salafush shalih.
Al-Imam al-Barbahari berkata,
“Jika Anda melihat orang yang mendoakan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah
bahwa ia termasuk pengikut hawa nafsu, namun bila Anda melihat orang yang
mendoakan kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk ahlu
sunnah.”
Al-Imam al-Fudha`il bin ‘Iyad
berkata, “Seandainya saya mem-punyai doa yang mustajab pasti tidak akan saya
panjatkan kecuali hanya untuk pemimpin.” Kita diperintahkan agar mendoakan
kebaikan bagi mereka, dan kita tidak diperintahkan mendoakan keburukan bagi
mereka, walaupun mereka jahat dan zhalim, karena kezhaliman mereka akan
berakibat fatal bagi dirinya sendiri, dan kebaikan mereka juga untuk dirinya
sendiri dan untuk kaum muslimin.
6.
Tidak
mudah dan sembrono dalam mengkafirkan mereka.
Takfir adalah merupakan hak
Allah, maka tidak boleh dilontarkan kecuali kepada orang yang berhak
dikafirkan. Karena meng-kafirkan seseorang dengan sembrono tanpa hujjah, maka
kekufuran itu akan kembali kepada yang menuduh. Nabi bersabda,
مَنْ قَالَ لِأَخِيْهِ:
يَا كَافِرٌ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا.
“Barangsiapa yang mengatakan
kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’, maka (tuduhan tersebut) akan kembali kepada
salah satu dari keduanya.” (Muttafaq Alaih).
Adapun kaitannya dengan
penguasa, maka mengkafirkan penguasa akan menimbulkan berbagai kerusakan dan
dampak negatif yang timbul setelahnya. Maka Ahlus Sunnah wal Jamaah me-netapkan
bahwa penguasa tidak boleh dikafirkan, kecuali terkumpul beberapa syarat:
a. Kita melihat kekufuran yang nyata, tidak ada kesamaran
lagi.
b. Ada kejelasan bukti yang
nyata dari al-Qur`an dan Sunnah serta ijma’ tentang kekufurannya. Dari Ubadah
bin ash-Shamit, ia berkata,
دَعَانَا النَّبِيُّ، فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ
عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا: عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا
وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ
إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam mendakwahi kami, maka kami berbaiat kepada beliau. Maka beliau
menatakan tuntutan yang wajib kami penuhi apabila beliau membaiat kami,
(ialah): mendengar dan taat (kepada pemimpin) dalam keadaan suka atau terpaksa,
ketika dalam kemudahan ataupun sulit, dan (sekalipun) sewenang-wenang terhadap
kami, dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya kecuali jika
kalian melihat kekufuran yang nyata, dan kamu mempunyai bukti yang nyata dari
Allah dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
c. Pihak yang berhak memvonis kafir dan tidaknya adalah
Allah.
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar