Pengertian aurat dan kewajiban
menutupnya.
Aurat adalah suatu angggota badan yang tidak boleh di
tampakkan dan di perlihatkan oleh lelaki atau perempuan kepada orang lain.
[Lihat al-Mausû’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah, 31/44]
Menutup aurat hukumnya wajib sebagaimana
kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ
مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ
أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ
أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ
أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ
الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ
الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada orang laki–laki yang
beriman, "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allâh maha mengatahui apa yang mereka perbuat." Katakanlah kepada wanita
yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera–putera mereka, atau
putera–putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allâh, wahai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.
[an-Nûr/24:31]
Dan Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Wahai anak adam, pakailah pakaianmu yang
indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang
berlebihan. [al-A'râf/7:31]
Sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang di sebutkan
dalam Shahîh Muslim dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:
كَانَتْ الْمَرْأَةُ تَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَهِيَ
عُرْيَانَةٌ … فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ
مَسْجِدٍ
Dahulu para wanita tawaf di Ka’bah tanpa mengenakan
busana … kemudian Allâh menurunkan ayat :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di
setiap (memasuki) masjid…[HR. Muslim, no. 3028]
Bahkan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada istri-istri nabi dan wanita beriman untuk menutup aurat mereka sebagaimana firman-Nya :
Bahkan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada istri-istri nabi dan wanita beriman untuk menutup aurat mereka sebagaimana firman-Nya :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ
فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka !” Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allâh
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Ahzâb/33:59]
Dengan menutup aurat hati seorang terjaga dari
kejelekan Allâh Azza wa Jalla berfrman :
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ
وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ
وَقُلُوبِهِنَّ
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan)
kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. [al-Ahzâb/33:53]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menegur Asma binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma ketika beliau datang ke rumah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengenakan busana yang agak tipis.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memalingkan mukanya sambil berkata
:
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ
لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا
Wahai Asma ! Sesungguhnya wanita jika
sudah baligh maka tidak boleh nampak dari anggota badannya kecuali ini dan ini
(beliau mengisyaratkan ke muka dan telapak tangan). [HR. Abu Dâwud, no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218.
Hadist ini di shahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah
didatangi oleh seseorang yang menanyakan perihal aurat yang harus di tutup dan
yang boleh di tampakkan, maka beliau pun menjawab :
احْفَظْ عَوْرَتَكَ إلَّا مِنْ زَوْجِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ
يَمِينُكَ.
Jagalah auratmu kecuali terhadap
(penglihatan) istrimu atau budak yang kamu miliki. [HR. Abu Dâwud, no.4017; Tirmidzi, no. 2794;
Nasa'i dalam kitabnya Sunan al-Kubrâ, no. 8923; Ibnu Mâjah, no. 1920. Hadist
ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni]
Wanita yang tidak menutup auratnya di ancam tidak
akan mencium bau surga sebagaimana yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu beliau berkata :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ
كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ
عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَمْثَالِ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ
الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ
رِيحَهَا لَتُوجَدُ مِنْ مَسِيْرةٍ كَذَا وَكَذَا
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada
dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (yang pertama
adalah) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia
dan (yang kedua adalah) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berpaling
dari ketaatan dan mengajak lainnya untuk mengikuti mereka, kepala mereka
seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan
tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan
sekian.” [HR. Muslim, no. 2128]
Dalam riwayat lain Abu Hurairah menjelaskan.
bahwasanya aroma Surga bisa dicium dari jarak 500 tahun. [HR. Malik dari
riwayat Yahya Al-Laisiy, no. 1626]
Dan diharamkan pula seorang lelaki melihat aurat
lelaki lainnya atau wanita melihat aurat wanita lainnya, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ
الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ
فِي الثَّوْبِ الْوَا حِدِ، وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةَ فِي
الثَّوْبِ الْوَحِدِ
Janganlah seorang lelaki melihat aurat
lelaki (lainnya), dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat wanita
(lainnya). Seorang pria tidak boleh bersama pria lain dalam satu kain, dan
tidak boleh pula seorang wanita bersama wanita lainnya dalam satu kain.” [HR. Muslim, no. 338 dan yang lainnya]
Begitu pentingngnya menjaga aurat dalam agama Islam
sehingga seseorang di perbolehkan melempar dengan kerikil orang yang berusaha
melihat atau mengintip aurat keluarganya di rumahnya, sebagaimana sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَوْ اطَّلَعَ فِي بَيْتِكَ أَحَدٌ وَلَمْ تَأْذَنْ لَهُ
خَذَفْتَهُ بِحَصَاةٍ فَفَقَأْتَ عَيْنَهُ مَا كَانَ عَلَيْكَ مِنْ جُنَاحٍ
Jika ada orang yang berusaha melihat
(aurat keluargamu) di rumahmu dan kamu tidak mengizinkannya lantas kamu
melemparnya dengan kerikil sehingga membutakan matanya maka tidak ada dosa
bagimu. [HR. Al-Bukhâri, no. 688,
dan Muslim, no. 2158].
Batasan-batasan aurat.
Pertama. Aurat Sesama Lelaki
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama
tentang batasan aurat sesama lelaki, baik dengan kerabat atau orang lain.
Pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat jumhur Ulama yang
mengatakan bahwa aurat sesama lelaki adalah antara pusar sampai lutut. Artinya pusar
dan lutut sendiri bukanlah aurat sedangkan paha dan yang lainnya adalah aurat.
Adapun dalil dalam hal ini, semua hadistnya terdapat kelemahan pada sisi
sanadnya , tetapi dengan berkumpulnya semua jalur sanad tersebut menjadikan
hadist tersebut bisa di kuatkan redaksi matannya sehingga dapat menjadi hujjah.
[Lihat perkataan Syaikh al-Albâni dalam kitabnya Irwâ’ 1/297-298, dan Fatawa
al-Lajnah ad-Dâimah, no. 2252]
Kedua. Aurat Lelaki Dengan Wanita
Jumhur Ulama sepakat bahwasanya batasan aurat lelaki
dengan wanita mahramnya ataupun yang bukan mahramnya sama dengan batasan aurat
sesama lelaki. Tetapi mereka berselisih tentang masalah hukum wanita memandang
lelaki. Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini ada dua pendapat.
Pendapat pertama, Ulama Syafiiyah berpendapat
bahwasanya tidak boleh seorang wanita melihat aurat lelaki dan bagian lainnya
tanpa ada sebab. Dalil mereka adalah keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
Katakanlah kepada wanita yang beriman,
"Hendaklah mereka menahan pandangannya. [an-Nûr/24:31]
Dan hadist Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia
berkata :
كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ
بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : احْتَجِبَا مِنْهُ ! فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى
لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ
Aku berada di sisi Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Maimunah sedang bersamanya. Lalu masuklah
Ibnu Ummi Maktum Radhiyallahu anhu -yaitu ketika perintah hijab telah turun-.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, "Berhijablah kalian
berdua darinya." Kami bertanya, "Wahai Rasûlullâh, bukankah ia buta
sehingga tidak bisa melihat dan mengetahui kami?" Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam balik bertanya, "Apakah kalian berdua buta ? Bukankah kalian
berdua dapat melihat dia ?. [HR. Abu Dâwud, no. 4112; Tirmidzi, no. 2778; Nasa'i dalam Sunan al-
Kubrâ, no.9197, 9198) dan yang lainnya namun riwayat ini adalah riwayat yang
dha’îf, dilemahkan oleh Syaikh al-Albâni]
Dan mereka juga berdalil dengan qiyas: yaitu
sebagaimana di haramkan para lelaki melihat wanita seperti itu pula di haramkan
para wanita melihat lelaki.
Pendapat yang kedua adalah pendapat Ulama di
kalangan mazhab Hambali, boleh bagi wanita melihat pria lain selain auratnya.
Mereka berdalil dengan sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Aisyah
Radhiyallahu anhuma, dia berkata :
رَأَيْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى
الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ
الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ
Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menutupiku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang
Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa
puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka
bercanda [HR. Al-Bukhâri, no.5236;
Muslim, no.892 dan yang lainnya]
Ketiga. Aurat Lelaki Dihadapan Istri
Suami adalah mahram wanita yang terjadi akibat
pernikahan, dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para Ulama bahwasanya
seorang suami atau istri boleh melihat seluruh anggota tubuh pasangannya.
Adapun hal ini berdasarkan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٢٩﴾ إِلَّا
عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ
مَلُومِينَ
Dan orang-orang yang memelihara
kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka
miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. [al-Ma’ârij/70:29-30]
Dan hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau
Radhiyallahu anhuma berkata:
قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ جَنَابَةٍ
“Aku mandi bersama dengan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana dalam keadaan junub. [HR. Al-Bukhâri, no. 263 dan Muslim,
no. 43]
Keempat. Aurat Wanita Dihadapan Para Lelaki Yang Bukan
Mahramnya
Diantara sebab mulianya seorang wanita adalah
dengan menjaga auratnya dari pandangan lelaki yang bukan mahramnya. Oleh kerena
itu agama Islam memberikan rambu-rambu batasan aurat wanita yang harus di tutup
dan tidak boleh ditampakkan. Para Ulama sepakat bahwa seluruh anggota tubuh
wanita adalah aurat yang harus di tutup, kecuali wajah dan telapak tangan yang
masih diperselisihkan oleh para Ulama tentang kewajiban menutupnya. Dalil
tentang wajibnya seorang wanita menutup auratnya di hadapan para lelaki yang
bukan mahramnya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ
فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin,
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [al-Ahzâb/33:59]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
menegaskan bahwa seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat yang harus di tutup.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ
بَيْتِـهَا اسْتَشْـرَ فَهَا الشَّيْـطَانُ
Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar
rumah, maka syaithan akan menghiasinya [HR. Tirmidzi,no. 1173; Ibnu Khuzaimah, no. 1686;
ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr, no. 10115 dan yang lainnya]
Kelima. Aurat Wanita Di depan Mahramnya
Mahram adalah seseorang yang haram di nikahi kerena
adanya hubungan nasab, kekerabatan dan persusuan. Pendapat yang paling kuat
tentang aurat wanita di depan mahramnya yaitu seorang mahram di perbolehkan
melihat anggota tubuh wanita yang biasa nampak ketika dia berada di rumahnya
seperti kepala, muka, leher, lengan, kaki, betis atau dengan kata lain boleh
melihat anggota tubuh yang terkena air wudhu. Hal ini berdasarkan keumuman ayat
dalam surah an-Nûr, ayat ke-31, insyaAllâh akan datang penjelasannya pada
batasan aurat wanita dengan wanita lainnya. Dan hadist Ibnu Umar Radhiyallahu
anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata :
كَانَ الرِّجَالُ والنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُوْنَ فِيْ زَمَانِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمِيْعًا
Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wudhu’ secara bersamaan [HR. Al-Bukhâri, no.193 dan yang
lainnya]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Bisa jadi, kejadian
ini sebelum turunnya ayat hijab dan tidak dilarang pada saat itu kaum lelaki
dan wanita melakukan wudhu secara bersamaan. Jika hal ini terjadi setelah
turunya ayat hijab, maka hadist ini di bawa pada kondisi khusus yaitu bagi para
istri dan mahram (di mana para mahram boleh melihat anggota wudhu wanita).
[Lihat Fathul Bâri, 1/300]
Keenam. Aurat Wanita Di Depan Wanita Lainnya
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama
tentang aurat wanita yang wajib di tutup ketika berada di depan wanita lain.
Ada dua pendapat yang masyhûr dalam masalah ini :
• Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa aurat wanita
di depan wanita lainnya seperti aurat lelaki dengan lelaki yaitu dari bawah
pusar sampai lutut, dengan syarat aman dari fitnah dan tidak menimbulkan syahwat
bagi orang yang memandangnya.
• Batasan aurat wanita dengan wanita lain, adalah
sama dengan batasan sama mahramnya, yaitu boleh memperlihatkan bagian tubuh
yang menjadi tempat perhiasan, seperti rambut, leher, dada bagian atas, lengan
tangan, kaki dan betis. Dalilnya adalah keumuman ayat dalam surah an-Nûr, ayat
ke-31. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera–putera mereka, atau putera–putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, [an-Nûr/24:31]
Yang dimaksud dengan perhiasan di dalam ayat di
atas adalah anggota tubuh yang biasanya di pakaikan perhiasan.
Imam al- Jasshâs rahimahullah berkata, “Yang
dimaksud dengan ayat di atas adalah bolehnya seseorang menampakkan perhiasannya
kepada suaminya dan orang-orang yang disebutkan bersamanya (yaitu mahram)
seperti ayah dan yang lainnya. Yang terpahami, yang dimaksudkan dengan
perhiasan disini adalah anggota tubuh yang biasanya di pakaikan perhiasan
sepert wajah, tangan, lengan yang biasanya di pakaikan gelang, leher, dada
bagian atas yang biasanya di kenakan kalung, dan betis biasanya tempat gelang
kaki. Ini menunjukkan bahwa bagian tersebut boleh dilihat oleh orang-orang yang
disebutkan dalam ayat di atas (yaitu mahram). [ Ahkâmul Qur'ân, 5/174]
Hal senada juga di ungkapkan oleh imam az-Zaila'i rahimahullah. [ Tabyînul
Haqâi'q, 6/19]
Syaikh al-Albâni rahimahullah menukil kesepakatan
ahlu tafsir bahwa yang di maksud pada ayat di atas adalah bagian tubuh yang
biasanya di pakaikan perhiasan seperti anting, gelang tangan, kalung, dan
gelang kaki. [ar-Raddul Mufhim 1/75]
Pendapat Yang terkuat dalam hal ini adalah pendapat
terakhir, yaitu aurat wanita dengan wanita lain adalah seperti aurat wanita
dengan mahramnya karena dalil yang mendukung lebih kuat. Wallahu a’lam.
Anas bin Malik berkisah:
Aisyah pernah memperlihatkan bagaimana tata cara wudhu Rasulullah di hadapan Abu Abdillah Salim Sablan, dan Salim ini biasa bertanya langsung di hadapan Aisyah bila ada masalah yang tidak dimengertinya. Demikian sampai akhirnya Salim merdeka dari statusnya sebagai budak dan setelah itu Aisyah pun mengenakan hijab di hadapannya, hingga kata Salim: “Aku tidak pernah lagi melihat Aisyah setelah hari itu.” (HR. An-Nasai no. 99)
Dalam masalah ini, mayoritas ahlul ilmi berpendapat boleh bagi seorang wanita menampakkan perhiasannya di hadapan budaknya, baik budak laki-laki ataupun budak wanita. Dzahir ayat dalam surat An-Nur (atau budak yang mereka miliki), mendukung pendapat mereka, karena dzahir ayat ini mencakup ‘abid (budak laki-laki) dan ima (budak wanita). (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 12/155; Tafsir Ibnu Katsir, 5/401)
Ketujuh. Aurat Wanita Di Depan Budak yang dimiliki
Anas bin Malik berkisah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَتَى فَاطِمَةَ بِعَبْدٍ كَانَ قَدْ وَهَبَهُ لَهَا قَالَ وَعَلَى
فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ثَوْبٌ إِذَا قَنَّعَتْ بِهِ رَأْسَهَا لَمْ
يَبْلُغْ رِجْلَيْهَا وَإِذَا غَطَّتْ بِهِ رِجْلَيْهَا لَمْ يَبْلُغْ رَأْسَهَا
فَلَمَّا رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَلْقَى قَالَ
إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكِ بَأْسٌ إِنَّمَا هُوَ أَبُوكِ وَغُلَامُكِ
“Nabi mendatangi
Fathimah bersama seorang budak (lelaki) yang beliau hadiahkan kepada
Fathimah. Ketika itu Fathimah mengenakan pakaian (pendek) yang bila ia tutupkan
ke kepalanya, pakaian itu tidak mencapai kedua kakinya. Dan jika ia tutupkan ke
kedua kakinya maka tidak menutupi kepalanya. Tatkala Nabi melihat apa yang
dijumpai Fathimah, beliau bersabda: “Tidak apa-apa bagimu (untuk menampakkan
kepala dan kedua kaki, pen.) karena yang ada di hadapanmu hanyalah ayah dan
budakmu.” (HR. Abu Dawud no. 3582)
Aisyah pernah memperlihatkan bagaimana tata cara wudhu Rasulullah di hadapan Abu Abdillah Salim Sablan, dan Salim ini biasa bertanya langsung di hadapan Aisyah bila ada masalah yang tidak dimengertinya. Demikian sampai akhirnya Salim merdeka dari statusnya sebagai budak dan setelah itu Aisyah pun mengenakan hijab di hadapannya, hingga kata Salim: “Aku tidak pernah lagi melihat Aisyah setelah hari itu.” (HR. An-Nasai no. 99)
Dalam masalah ini, mayoritas ahlul ilmi berpendapat boleh bagi seorang wanita menampakkan perhiasannya di hadapan budaknya, baik budak laki-laki ataupun budak wanita. Dzahir ayat dalam surat An-Nur (atau budak yang mereka miliki), mendukung pendapat mereka, karena dzahir ayat ini mencakup ‘abid (budak laki-laki) dan ima (budak wanita). (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 12/155; Tafsir Ibnu Katsir, 5/401)
Siapakah yang bertanggung jawab menjaga
aurat?
Agama Islam selaras dengan fitrah manusia. Selama
fitrah tersebut masih suci, tidak di nodai dengan maksiat, maka menjaga aurat
bagian dari pembawaan manusia sejak lahir, sebagaimana nabi Adam dan istrinya
ketika nampak aurat mereka yang sebelumnya tertutup akibat memakan buah yang
terlarang. Dengan fitrahnya, nabi Adam dan istrinya menutup auratnya dengan
daun-daun surga, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ ۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا
سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ ۖ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ
أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ
لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ
Maka syaithan membujuk keduanya (untuk
memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu
itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya
dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka, "Bukankah Aku
telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan aku katakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua ? [al- A'râf/7:22]
Namun, ketika fitrah ini mulai hilang dari bani
Adam dan ketika sifat malu pada diri mereka mulai terkikis, maka harus ada yang
mengontrol dan mengingatkan mereka dalam menjaga aurat. Sebab, mempertontonkan
aurat merupakan sebuah kemungkaran yang harus di ingkari, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ،
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ،
وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
Barangsiapa diantara kalian melihat
kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya, jika dia tidak
mampu maka dengan lisannya, jika dia tidak bisa maka dengan hatinya dan itu
adalah selemah –lemah iman. [HR. Muslim, no.49 dan yang lainnya]
Mengubah kemungkaran dengan tangan adalah hak dari
ulill amri (pemerintah) atau orang yang memiliki kekuasan, seperti ayah kepada
anaknya, atau suami terhadap istrinya. Seorang bapak berkewajiban menjaga aurat
anak perempuannya jika dia sudah baligh. Mereka berkewajiban melarang anak
perempuan mereka berdandan atau berpakaian yang tidak menutup aurat ketika
keluar rumah.
Begitu pula seorang suami, ia juga berkewajiban
menjaga aurat istrinya, seperti menyuruhnya berbusana yang menutup anggota
tubuhnya, menyuruhnya berjilbab jika keluar rumah. Dan jika sudah diberi
nasehat dengan cara yang baik, suami boleh memberikan sangsi kepada istrinya
yang tetap membuka auratnya, yaitu dengan pisah ranjang, atau memukulnya dengan
pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Karena membuka aurat bagian dari nusyûz
(meninggalkan salah satu kewajiban) seorang istri kepada suaminya. Allâh Azza
wa Jalla berfirman tentang sangsi nusyûz :
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا
تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyûz maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta'atimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allâh Maha Tinggi lagi
maha besar. [An-Nisâ’/4:34]
Pemerintah juga mempunyai peranan penting dalam
menjaga aurat masyarakat, sehingga mereka tidak seenaknya berpakaian dan
berpenampilan yang mengumbar aurat di depan umum. Tatanan sebuah masyarakat
akan rusak jika hal ini tidak dilarang, sebab akan terjadi berbagai macam
kemungkaran seperti perzinahan, pemerkosaan dan yang lainnya. Pemerintah harus
ikut andil dalam menjaga aurat masyarakat kerena itu merupakan kewajiban dan
tanggung jawab mereka sebagai pihak yang berwenang. Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
.
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap
kalian akan di tanya tentang kepemimpinannya, seorang amir maka dia adalah
pemimpin bagi rakyatnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. [HR. al-Bukhâri , no. 893, 2409, 2554;
dan Muslim, no.1829]
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Wajib bagi
waliyul amri (pemerintah) melarang perempuan yang keluar (rumahnya) dengan
berdandan dan bersolek, dan juga melarang mereka berpakaian yang menampakkan
auratnya. [at-Thuruq al-Hukmiah, hlm. 238]
Jika terjadi pelangggaran dalam masalah ini
pemerintah boleh memberikan sangsi terhadap pelakunya, dan hal ini di benarkan
dalam agama Islam. Masalah jenis sangsi, dikembalikan kepada kebijakan hakim.
Kerena pelanggaran tidak menutup aurat termasuk hukum ta'zîr dan bukan bagian
dari hukum hudud.
Wallâhu a’lam.
Wallâhu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar