Al Badaa' yaitu bermakna tampak (muncul) setelah sembunyi,
atau bermakna timbulnya pandangan baru.
Al Badaa' sesuai dengan kedua makna itu, haruslah didahului
oleh ketidaktahuan, serta baru diketahui.
Keduanya ini merupakan suatu hal yang mustahil atas diri
Allah, akan tetapi orang Rafidhah (syiah) menisbatkan kepada Allah sifat Al
Badaa'.
Mereka mengatakan bahwa Allah Ta'ala tidak mengetahui hal-hal
tertentu sebelum terjadi. Dan mereka sifatkan Allah Ta'ala dengan al-Bada'
yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala baru mengetahui sesuatu setelah terjadi.
Telah diriwayatkan dari Ar Rayaan bin Al Sholt, ia berkata :
"Saya telah mendengar Al Ridha berkata : "Tidaklah Allah mengutus
seorang nabi kecuali mengharamkan khamar, dan mengakui bahwa Allah itu memiliki
sifat Al Badaa”. [Ushulul Kafi, hal :40] Dan dari Abi Abdillah ia berkata :
"Tidak pernah Allah diibadati dengan sesuatu apapun seperti
(mengibadatinya dengan) Al Badaa”. [Ushulul Kafi, oleh Al Kulaini di kitab
tauhid : 1/133.] Maha Tinggi Allah dari hal itu dengan ketinggian yang besar.
Lihatlah wahai saudarku muslim,
bagaimana mungkin mereka menisbatkan kepada Allah subhanahu wa ta'ala sifat jahil
(ketidak-tahuan), sedangkan Dia mengatakan tentang diri-Nya :
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
"Katakanlah : Tidak
ada seorang pun di langit dan di bumi yang tahu ghaib kecuali Allah." (Qs An Naml 65)
Dan di sisi lain Rafidhah (syi'ah) meyakini bahwa
sesungguhnya para imam mengetahui seluruh ilmu, dan tidak akan tersembunyi
baginya sesuatu apapun.
Apakah ini keyakinan Islam (akidah Islam) yang dibawa oleh
nabi Muhammad -Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam- ??????
Apa Akidah Rafidhah Dalam Masalah Sifat Allah ?
Adalah Rafidhah orang yang pertama kali mengatakan tajsiim
(bersifat seperti tubuh manusia). Sungguh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
menentukan bahwa sesungguhnya orang yang melakukan kedustaan ini dari kalangan
kaum Rafidhah adalah Hisyam ibnul Hakam [Minhaaj sunnah (1/20) oleh Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah], dan Hisyam bin Salim Al Jawaliqi, Yunus bin Abdurrahman
Al Qummi, dan Abu Ja'far Al Ahwal. ['Itiqadaat Firaqul Muslimin Wal Musyrikin,
hal : 97.]
Seluruh orang yang disebutkan tadi termasuk syeikh-syeikh
besar golongan Itsna Asyariyah (Rafidhah), kemudian mereka menjadi pemeluk
paham Jahmiyah mu'athilah, sebagaimana sekumpulan riwayat mereka menyifati Rabb
semesta alam dengan sifat-sifat negatif yang mereka masukkan sebagai sifat yang
tetap bagi Allah. Dan sungguh Ibnu Babawaih meriwayatkan lebih dari tujuhpuluh
riwayat yang mengatakan bahwa Allah Ta'ala, tidak disifati dengan jaman, tidak
dengan tempat, tidak dengan bagaimananya, tidak dengan gerak, tidak dengan
berpindah, tidak dengan sesuatupun dari sifat-sifat tubuh, Dia bukan yang bisa
diraba, bukan bertubuh dan berbentuk." [At Tauhid, oleh Abu Babawaih, hal
: 57.] Maka syeikh-syeikh mereka mengikuti jalan (metode) yang sesat ini dengan
menta'til (menghilangkan) sifat-sifat yang tercantum dalam Al-Quran dan sunnah.
Sebagaimana mereka mengingkari turunnya Allah yang Maha
Agung. Mereka mengatakan Al Quran makhluk, mereka mengingkari ru'yah (melihat
kepada Allah) pada hari akhirat. Tercantum dalam kitab "Biharul
Anwar", bahwasanya Abu Abdillah Ja'far As Shodiq ditanya tentang Allah
ta'ala, apakah bisa dilihat pada hari akhirat? Beliau berkata : "Maha Suci
Allah dan Maha Tinggi dari hal itu dengan ketinggian yang besar, sesungguhnya
pandangan tidak akan bisa mencapai kecuali hal-hal yang mempunyai warna dan
bentuk, dan Allah yang menciptakan warna-warni dan bentuk".
Bahkan mereka mengatakan : "Jika seandainya dinisbatkan
kepada Allah sebagian sifat seperti ru'yah, maka dihukum sebagai murtad,
sebagaimana yang didapatkan dari syeikh mereka Ja'far Al Najfi di kitab
"Kasyful Ghitho'" hal : 417. Perlu diketahui bahwasanya melihat
kepada Allah pada hari akhirat adalah benar adanya dan sudah konsisten dalam
Kitab dan Sunnah tanpa meliputi seluruhnya dan tanpa bagaimananya, sebagaimana
firman Allah :
وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
"Wajah-wajah pada saat itu berseri-seri,
kepada Rabbnya melihat" (Qs Al Qiyamah : 22,23).
Dan dari sunnah apa yang tercantum dalam Shahih Bukhari dan
Muslim dari hadits Jarir bin Abdillalh Al Bajali, berkata : "Adalah kami
duduk-duduk bersama Rasulullah, lalu beliau melihat kepada purnama, pada malam
empat belas, lalu bersabda : "Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian
dengan mata telanjang, sebagaimana kalian melihat ini (purnama), dimana kalian
tidak berdesakan melihatnya". [Bukhari no : 544, dan Muslim no : 633.] Dan
ayat-ayat serta hadits-hadits dalam masalah itu banyak sekali, yang tidak
memungkinkan kita untuk menyebutkannya. Lihat karangan-karangan Ahli Sunnah Wal
Jamaah dalam menetapkan ru'yah, seperti kitab Ar Ru'yah oleh Daruqutni, dan
kitab imam Al Lalikai dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar