Batasan Jarak Safar
Para ulama berbeda
pendapat tentang jarak perjalanan yang telah dianggap sebagai safar. Al-Imam
Ash-Shan’ani menyebutkan ada sekitar 20 pendapat dalam permasalahan ini
sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir. (Subulus Salam, 3/109)
Di sini akan kita
sebutkan beberapa pendapat.
1.
Jarak minimal suatu perjalanan dianggap/disebut safar
adalah 4 barid = 16 farsakh = 48 mil = 85 km.
Ini adalah pendapat Ibnu
‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Malik, Ahmad, dan
Asy-Syafi’i. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas:
كَانَا
يُصَلِّيَانِ رَكْعَتَيْنِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةٍ بُرُدٍ فَمَا فَوْقَ
ذَلِكَ
“Adalah beliau berdua (Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas) shalat
dua rakaat (qashar) dan tidak berpuasa dalam perjalanan 4 barid atau lebih dari
itu.” (Diriwayatkan
Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih, dan Al-Bukhari dalam Shahih-nya secara
mu’allaq)
Mereka juga berdalil dengan sabda Nabi:
يَا
أَهْلَ مَكَّةَ، لاَ تَقْصُرُوا الصَّلَاةَ فِي أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ
مِنْ مَكَّةَ إِلَى عَسْفَانَ
“Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar
shalat (dalam perjalanan) kurang dari 4 barid dari Makkah ke ‘Asfan.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi. Hadits ini dhaif
sekali karena ada dua perawi yang dhaif: Abdulwahhab bin Mujadid bin Jabr dan
Isma’il bin ‘Iyyasy. Lihat Al-Irwa’ no. 565)
2.
Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap/disebut safar
adalah sejauh perjalanan 3 hari 3 malam (berjalan kaki atau naik unta).
Ini adalah pendapat Ibnu
Mas’ud, Suwaid bin Ghafalah, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Ats-Tsauri, dan Abu
Hanifah. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar:
لاَ
تُسَافِرُ الْـمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar selama tiga hari
kecuali bersama mahramnya.”1 (HR. Al-Bukhari, Kitabul Jum’ah, Bab Fi Kam Yaqshuru Ash-Shalah no. 1034)
3.
Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap safar adalah
sejauh perjalanan sehari penuh.
Pendapat ini dipilih
oleh Al-Auza’i dan Ibnul Mundzir.
Dan masih ada beberapa
pendapat yang lain.
Sedangkan riwayat yang
paling kuat dalam permasalahan ini adalah hadits Anas:
كَانَ
رَسُولُ اللهِ إِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ
ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Adalah Rasulullah apabila
beliau keluar sejauh 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat 2 rakaat (yakni
mengqashar shalat).” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha, Bab Shalatul Musafirin
wa Qashruha, no. 1116)
Dalam riwayat di atas
tidak dipastikan apakah Rasulullah n mengqashar shalat pada jarak 3 mil atau 3
farsakh. Sehingga riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah dalam membatasi jarak
safar.
Ibnu Qudamah berkata:
“Tidak ada dasar yang jelas untuk menentukan batasan jarak safar. Karena
menetapkan batasan jarak safar membutuhkan nash (dalil) yang datang dari Allah atau
Rasul-Nya.”
Sedangkan dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah, safar disebutkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan
batasan tertentu.
Dalam kaidah fiqhiyah
disebutkan: “Sesuatu yang mutlak tetap berada di atas kemutlakannya sampai
datang sesuatu yang memberi batasan atasnya.”
Ketika tidak ada
pembatasan jarak safar dalam syariat (nash), demikian pula tidak ada
pembatasannya dalam bahasa Arab, maka pembatasan safar kembali kepada ‘urf
(kebiasaan masyarakat setempat). Selama masyarakat setempat menganggap/
menyatakan perjalanan tersebut adalah safar, maka perjalanan itu adalah safar
yang disyariatkan untuk mengqashar shalat dan berbuka puasa di dalamnya.
Pendapat yang paling
kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat Ibnu Qudamah dan yang lainnya, bahwa
batasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Pendapat ini
dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Al-’Allamah Ibnul
Qayyim. Demikian pula dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Syaikhuna
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahumullah. (lihat Al-Mughni 2/542-543, Al-Majmu’
4/150, Majmu’Al-Fatawa 24/21, Asy-Syarhul Mumti’ 4/497, Al-Jam’u baina
Ash-Shalataini fis Safar hal. 122)
Batasan Waktu Safar.
Apabila seorang Muslim yang telah sampai di
tempat atau daerah tujuan, lalu ia bermaksud untuk menetap di sana dalam jangka
waktu tertentu, apakah ia keluar dari batasan safar dari sejak ia sampai hingga
selesai menetapnya? Dan bagaimana jika seorang Muslim musafir sampai di daerah
yang menjadi tujuannya, namun ia tidak berencana menetap di sana, dan ia masih
bimbang dan belum tahu kapan akan pulang.
Pada kasus pertama, sebagian ulama
mengatakan: ia berstatus musafir jika berencana tinggal selama 4 hari atau
kurang dari itu. Dan ia berstatus sebagai muqim sejak sampai
di daerah tujuan jika ia berencana tinggal lebih dari 4 hari.
Mereka bersandar pada Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam ketika datang ke Mekkah untuk haji beliau tidak menetap di
Mekkah kecuali selama 4 hari beliau meng-qashar shalat. Kemudian beliau keluar
menuju Mina. Selain itu Rasulullah melarang kaum Muhajirin menetap di Mekkah
lebih dari 3 hari agar hijrah mereka tidak batal. Ini menunjukkan bahwa menetap
lebih dari 4 hari mengeluarkan seorang Muslim dari batasan safar menjadi iqamah (menetap).
Pada kasus kedua, sebagian ulama
mengatakan: ia berstatus musafir selama 19 hari, namun setelahnya ia berstatus muqim.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al Bukhari (1080), dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma,
ia berkata:
أَقَامَ النَّبِيُّ
-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ، فَنَحْنُ إِذَا
سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا، وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
menetap selama 19 hari dengan meng-qashar shalat. Dan kami jika menetap selama
19 hari kami meng-qashar shalat, jika lebih dari itu kami menyempurnakan shalat“
Dan
itulah pendapat Jumhur (sebagian
besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan
Hambali rahimahumullah yaitu bahwa ada batasan waktu tertentu.
Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad
Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan
para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa status sebagai musafir itu batasnya sampai ia kembali ke daerah tempat
tinggalnya. Berapapun lamanya ia menetap di daerah tujuan, walaupun ia berada di situ selama bertahun-tahun.
Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang
batasan waktu dalam masalah ini.
Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan
dalil-dalil yang sangat banyak tentang mengqashar (meringkas) shalat,
diantaranya:
Sahabat Jabir radhiallahu anhu meriwayatkan,
bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Tabuk
selama dua puluh hari mengqashar shalat. [HR. Ahmad]
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat.[HR. Bukhari]
Nafi' rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma tinggal di Azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat. [HR Al-Baihaqi]
Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut. [Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa'ul Ghalil Syaikh Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312.]
Sedangkan dalam shalat jum’at, kebanyakan
ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi musafir, namun apabila
musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at maka wajib
atasnya untuk mengikuti shalat jum'at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam
Malik, imam Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. [Al-Mughni, Ibnu
Qudamah 3/216, Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula
Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370]
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat
Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' Beliau shallallahu alaihi wa'ala
alihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan menggantinya dengan shalat
Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar. [Hajjatun Nabi shallallahu alaihi
wa'ala alihi wasallam Kama Rawaaha Anhu Jabir -radhiallahu anhu, Karya Syaikh
Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73.].
Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat
khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta
orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum'at dan
menggantinya dengan Dhuhur. [Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216]
Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum'at"
Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum'at.
Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para ulama') yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan menyelisihinya. [Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216]
Qashar Dalam Safar
Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (Dhuhur,
Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat. [Lihat Tafsir Ath-Thabari 4/244, Mu'jamul
Washit hal 738.]
Dasar mengqashar shalat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para ulama). [Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/165]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ
الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang
kafir" [An-Nisaa'/4: 101]
Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada
Umar ibnul Kaththab radhiallahu anhu tentang ayat ini seraya berkata: "Jika
kamu takut di serang orang-orang kafir", padahal manusia telah aman ?!.
Sahabat Umar radhiallahu anhu menjawab: Aku sempat heran seperti keherananmu
itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wa'ala alihi
wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab: (Qashar itu) adalah
sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut. [HR.
Muslim, Abu Dawud. Lihat Al-jami'li Ahkamil Qur'an, Al-Qurthubi 5/226-227]
"Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: Allah
menentukan shalat melalui lisan Nabimu shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam
empat raka'at apabila hadhar (mukim) dan dua raka'at apabila safar" [HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud]
"Dari Umar radhiallahu anhu berkata: Shalat safar
(musafir) adalah dua raka'at, shalat Jum'at adalah dua raka'at dan shalatIed
adalah dua raka'at" [HR. Ibnu
Majah dan An-Nasa'i dll dengan sanad sahih. Lihat sahih Ibnu Majah 871 dan
Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayim 1/467]
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata:Aku menemani
Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau
tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu
Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai
wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah
menambah atas duaraka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu
anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah
subhaanahu wa ta'ala telah berfirman :
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
tauladan yang baik bagimu." [Al-Ahzaab/33
: 21] [HR. Bukhari dan Muslim dll. Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnati wal Kitabil
Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 138]
Berkata Anas bin Malik radhiallahu anhu: Kami pergi
bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dari kota Madinah
ke kota Mekkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke
kota Madinah” [HR. Bukhari dan Muslim]
Wallahua'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar