Pengertian Safar
Dalam bahasa Arab, safar
berarti menempuh perjalanan. Adapun secara syariat safar adalah meninggalkan
tempat bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu tempat. (Lisanul
Arab, 6/277, Asy-Syarhul Mumti’, 4/490, Shahih Fiqhus Sunnah, 1/472)
1.
Istikharah Sebelum Safar
Apabila seseorang bertekad untuk
melakukan safar, disunnahkan untuk istikharah (meminta pilihan) kepada Allah.
Dia melakukan shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdoa dengan
doa istikharah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ
وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ
تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي
وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ-
فَاقْدُرْهُ لِي وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي
دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي
وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ
حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ
“Ya Allah, sungguh aku meminta
pilihan dengan ilmu-Mu, meminta ketentuan dengan takdir-Mu, aku meminta
karunia-Mu yang besar. Sesungguhnya Engkau Maha berkuasa, sedangkan aku tidak
berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui
perkara ghaib. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan
anda) lebih baik bagiku, agamaku, hidupku, dan akhir urusanku, maka berilah aku
kemampuan untuk melakukannya. Mudahkanlah urusanku dan berilah aku barakah
padanya. Namun jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) jelek
bagiku dalam hal agama, kehidupan, dan akhir urusanku, maka palingkanlah urusan
itu dariku. Palingkanlah aku dari urusan itu. Tentukanlah kebaikan itu untukku
di manapun dia, dan jadikanlah aku ridha dengannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6382, Abu Dawud
no. 1538, dan lainnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar membawakan
ucapan Ibnu Abi Jamrah ketika menjelaskan sabda Nabi : فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا
(pada seluruh perkara): “Lafadz ini umum namun yang dimaksud adalah khusus.
Sesungguhnya pada perkara yang wajib, mustahab, haram, dan makruh, tidak
disyariatkan untuk melakukan istikharah. Perkaranya terbatas pada hal yang
mubah dan hal yang mustahab apabila dihadapkan pada dua perkara, mana yang
harus dia pilih.” (Fathul Bari, 11/188)
Oleh karena itu, safar yang wajib
dan mustahab yang jelas, tidak disyariatkan untuk melakukan shalat istikharah.
Terlebih lagi pada safar yang makruh dan haram.
2.
Musyawarah Sebelum Safar
Dianjurkan bagi orang yang hendak
melakukan safar untuk bermusyawarah dengan orang yang dipercaya agamanya,
berpengalaman, serta mengetahui tentang safar yang akan dia lakukan. Allah berfirman:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada urusan itu.” (Ali ‘Imran: 159)
Perintah ini ditujukan kepada Nabi,
padahal beliau adalah manusia yang paling baik dan paling benar pandangannya.
Beliau bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan. Demikian
pula khalifah-khalifah setelahnya, mengajak orang-orang yang shalih dan
memiliki pandangan yang baik untuk bermusyawarah dengan mereka. (Syarh Riyadhis
Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t, 2/520)
Maka, bermusyawarah sebelum safar
merupakan petunjuk Nabi yang seharusnya diikuti.
3.
Menyiapkan Bekal Safar
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata:
“Seorang musafir tidaklah pantas berkata: ‘Aku akan safar tanpa bekal. Cukup
dengan bertawakkal.’ Ini adalah ucapan bodoh, karena membawa bekal dalam safar
tidaklah mengurangi maupun bertentangan dengan tawakkal.” (Mukhtashar Minhajil
Qashidin, hal. 121)
Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan
riwayat dari Ibnu Abbas, beliau berkata: “Penduduk Yaman pernah naik haji tanpa
membawa bekal. Mereka berkata: ‘Kami bertawakkal kepada Allah.’ Setelah
tiba di Makkah, ternyata mereka meminta-minta kepada orang-orang di sana. Lalu
Allah menurunkan ayat teguran: “Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah ketakwaan.” (Al-Baqarah: 197) [Shahih Al-Bukhari no. 1523]
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul
Bari (3/449) berkata: “Al-Muhallab berkata: ‘Dalam hadits ini terdapat faedah
bahwa meninggalkan meminta-minta kepada orang lain termasuk ketakwaan’.”
4.
Membawa Teman dalam Safar
Dianjurkan bagi musafir untuk
membawa teman yang bisa membantu tatkala dibutuhkan. Rasulullah bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ
مَا فِي الْوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ
“Seandainya manusia mengetahui
apa-apa yang ada pada safar sendirian sebagaimana yang aku ketahui, maka
seorang musafir tidak akan melakukan safar pada malam hari sendirian.” (HR. Al-Bukhari no. 2998 dari Ibnu
Umar)
Imam Malik meriwayatkan hadits dalam Al
Muwatha dalam kitab Al Isti’dzan, bab Maa ja’a bil wahdah fis safar, dan
juga Abu Daud (2607), dan At Tirmidzi (1674), dari ‘Amr bin Syu’aib dari
ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الرَّاكِبُ
شَيْطَانٌ، وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ، وَالثَّلَاثَةُ رَكْبٌ
“orang yang berkendaraan sendirian adalah setan, orang
yang berkendaraan berdua adalah dua setan, orang yang berkendaraan bertiga maka
itulah orang yang berkendaraan yang benar“.
Adapun hadits Jabir bin Abdullah:
نَدَبَ
رَسُوْلُ اللهِ النَّاسَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ فَانْتَدَبَ الزُّبَيْرُ ثُمَّ
–ثَلَاثَ مَرَّاتٍ- فَقَالَ النَّبِيُّ لِكُلِّ نَبِيٍّ
حَوَارِيٌّ وَحَوَارِيَّ الزُّبَيْرُ
“Pada perang Khandaq, Nabi menawarkan
(untuk menjadi mata-mata) kepada para sahabatnya. Maka Az-Zubair segera
menyambutnya. (Rasulullah mengulangi tawarannya sampai tiga kali, dan Az-Zubair
selalu menyambutnya). Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Setiap nabi punya
penolong, dan penolongku adalah Az-Zubair’.” (HR. Al-Bukhari no. 2997)
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan:
“Hadits ini menunjukkan diperbolehkannya seseorang safar sendirian dalam
keadaan darurat, atau untuk kemaslahatan yang tidak didapatkan melainkan dengan
safar sendirian, seperti mengutus mata-mata (dalam perang). Sedangkan safar
sendirian selain keadaan tersebut adalah makruh. Bisa jadi, pembolehan (safar
sendirian) itu adalah saat dibutuhkan pada kondisi aman. Sedangkan pelarangan
safar sendirian itu adalah ketika kondisi bahaya, sementara tidak ada
kepentingan mendesak untuk melakukan safar.” (Fathul Bari, 6/161)
5.
Memilih Ketua Rombongan
Disunnahkan memilih ketua rombongan
yang paling berilmu dan berpengalaman sebagai penanggung jawab urusan-urusan
mereka yang berkaitan dengan safar. Seluruh rombongan wajib menaatinya dalam
perkara yang membawa kepada kemaslahatan safar.
Rasulullah bersabda:
إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ
فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Apabila tiga orang akan berangkat
safar hendaklah mereka memilih salah seorang sebagai amir (ketua rombongan).” (HR. Abu Dawud no. 2608 dari Abu
Sa’id dan Abu Hurairah)
6.
Menitipkan Keluarga, Harta, dan Apa
Saja yang Diinginkan kepada Allah
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam
Musnad-nya dari Ibnu Umar, dari Nabi, beliau bersabda:
إِنَّ لُقْمَانَ
الْحَكِيمَ كَانَ يَقُولُ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا اسْتُوْدِعَ شَيْئًا
حَفِظَهُ
“Sesungguhnya Luqman Al-Hakim pernah
berkata: ‘Sesungguhnya Allah apabila dititipi sesuatu pasti menjaganya’.”
Sebaliknya, keluarga yang ditinggal
juga disyariatkan untuk menitipkan orang yang akan melakukan safar kepada Allah
dengan membaca:
أَسْتَوْدِعُ اللهَ
دِينَكُمْ وَأَمَانَتَكُمْ وَخَوَاتِيمَ أَعْمَالِكُمْ
“Aku titipkan kepada Allah agamamu,
amanahmu, dan penutup amalmu.” (HR. Abu Dawud no. 2601, dengan sanad yang shahih, dari
Abdullah Al-Khatmi)
7.
Disunnahkan Berangkat pada Hari
Kamis
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahih-nya (no. 2950) dari Ka’b bin Malik:
أَنَّ النَّبِيَّ
خَرَجَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ يَوْمَ الْخَمِيسِ وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ
يَوْمَ الْخَمِيسِ
“Bahwasanya Nabi berangkat ketika
perang Tabuk pada hari Kamis, dan adalah beliau menyukai safar pada hari
Kamis.”
Disunnahkan pula berangkat di waktu
pagi, karena Rasulullah telah berdoa:
اللَّهُمَّ بَارِكْ
لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا
“Ya Allah, berilah barakah untuk
umatku di waktu pagi mereka.”
Apabila mengutus pasukan, beliau
juga memberangkatkan mereka di waktu pagi. (HR. Abu Dawud, no. 2602,
At-Tirmidzi no. 1212 dari Shakhr ibnu Wada’ah Al-Ghamidi. Lihat Shahihul Jami’
no. 2180, Al-Misykat no. 3908, Shahih Abi Dawud no. 2270)
8.
Bertakbir Tiga Kali Ketika Sudah
Naik Di Atas Kendaraan
Kemudian membaca doa berikut ini:
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا
لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا
نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنْ الْعَمَلِ مَا
تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ
اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ
وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ
”Maha Suci Dzat yang telah
menundukkan semua ini untuk kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu
menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya Allah,
sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, ketakwaan, dan amal yang Engkau
ridhai dalam safar ini. Ya Allah, ringankanlah atas kami safar ini, pendekkan
perjalanan jauh kami. Ya Allah, Engkaulah teman safar kami dan pengganti kami
dalam mengurus keluarga yang kami tinggal. Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari kesulitan safar, perubahan hati ketika melihat
sesuatu dan dari kejelekan di saat kami kembali mengurus harta, keluarga, dan
anak kami.” (HR.Muslim no. 1342 dari
Ibnu Umar)
9.
Bertakbir Tatkala Mendaki (Naik) dan
Bertasbih Ketika Menurun
Disunnahkan bagi musafir untuk
bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) sekali, dua atau tiga kali, tatkala
perjalanan menaik dan bertasbih (mengucapkan Subhanallah) tatkala perjalanan
menurun. Berdasarkan hadits Jabir, dia berkata:
كُنَّا إِذَا صَعِدْنَا
كَبَّرْنَا وَإِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا
”Dulu apabila kami (berjalan)
menaik, kami bertakbir, dan apabila turun kami bertasbih.” (HR. Al-Bukhari no. 2993)
Begitu pula hadits Ibnu Umar, beliau
berkata:
كَانَ النَّبِيُّ
وَجُيُوشُهُ إِذَا عَلَوْا الثَّنَايَا كَبَّرُوا وَإِذَا هَبَطُوا سَبَّحُوا
“Kebiasaan Nabi dan pasukannya,
apabila mereka mendaki bukit-bukit (berjalan naik), mereka bertakbir. Apabila
turun, mereka bertasbih.” (HR. Abu Dawud no. 2599, lihat Shahih Abi Dawud no. 263)
Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar,
beliau bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ
إِذَا قَفَلَ مِنْ الْحَجِّ أَوِ الْعُمْرَةِ كُلَّمَا أَوْفَى عَلَى
ثَنِيَّةٍ أَوْ فَدْفَدٍ كَبَّرَ ثَلَاثًا
“Kebiasaan Nabi apabila kembali
bepergian dari haji atau umrah, tatkala melewati bukit atau tempat yang tinggi,
beliau bertakbir tiga kali.” (HR. Al-Bukhari no. 6385 dan Muslim no. 1344)
Hal ini sepantasnya dilakukan oleh
seorang musafir, baik tatkala berada di udara (seperti di atas pesawat terbang)
ataupun tatkala berada di atas bumi (darat).
10.
Berjalan pada Malam Hari
Disunnahkan bagi musafir untuk
berjalan pada malam hari, berdasarkan hadits Anas z, beliau berkata: Rasulullah
bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ
فَإِنَّ الْأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ
“Hendaklah kalian berjalan pada
malam hari (tatkala safar) karena sesungguhnya bumi itu dilipat (dipendekkan)
pada malam hari.”
(HR. Abu Dawud no. 2571, dishahihkan oleh Asy-Syaih Al-Albani di dalam
Ash-Shahihah no. 681. Lihat juga Shahihul Jami, no. 4064)
11.
Memperbanyak Doa Ketika Safar
Disunnahkan pula bagi musafir untuk
berdoa pada sebagian besar waktunya tatkala safar karena doanya mustajab,
selama tidak ada hal-hal yang menghalangi terkabulnya doa, seperti memakan dan
meminum makanan/ minuman yang haram. Anas berkata: Rasulullah bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ لاَ
تُرَدُّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
“Tiga doa yang tidak akan ditolak:
doa orangtua untuk anaknya, doa orang yang sedang berpuasa, dan doa orang yang sedang
safar.” (HR. Al-Baihaqi, 3/345.
Lihat Ash-Shahihah no. 596)
12.
Berdoa Ketika Singgah
Berdasarkan hadits Khaulah bintu
Hakim, beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda:
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ: أَعُوذُ
بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ
حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Barangsiapa singgah di suatu tempat
kemudian mengucapkan:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ
اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
(Aku berlindung dengan Kalimat Allah
yang sempurna dari kejahatan apa-apa yang telah Dia ciptakan),
maka tidak ada sesuatu pun yang akan
membahayakannya sampai dia beranjak dari tempat itu.” (HR. Muslim no. 2708)
13.
Segera Pulang Menemui Keluarga Jika
Telah Selesai Urusannya
Rasulullah bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ
أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ
فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar itu bagian dari azab
(melelahkan), menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum, dan
tidurnya. Maka apabila salah seorang di antara kalian telah menyelesaikan
urusannya, bersegeralah pulang menemui keluarganya.” (HR. Al-Bukhari no. 1804, Muslim
no. 1927, dari Abu Hurairah)
14.
Mendatangi Keluarganya pada Awal
Siang atau Pada Akhir Siang Bila Tidak Mampu
Anas berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ
لَا يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلًا وَكَانَ يَأْتِيهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً
“Rasulullah tidak mendatangi
keluarganya pada malam hari (tatkala pulang dari safar). Beliau mendatangi
mereka pada waktu siang atau sore hari.” (HR. Al-Bukhari no. 1800 dan Muslim
no. 1938)
15.
Jika safar cukup lama, dilarang
mendatangi keluarganya di malam hari, kecuali ada pemberitahuan sebelumnya
Jabir bin Abdillah berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ
إِذَا أَطَالَ الرَّجُلُ الْغَيْبَةَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ طُرُوقًا
“Rasulullah n melarang seseorang
yang telah lama melakukan safar untuk mendatangi keluarga/istrinya pada malam
hari.” (HR. Muslim no. 1928)
Faedah: Al-Imam An-Nawawi dan
Al-Hafizh Ibnu Hajar t telah menjelaskan dalam kitab mereka bahwa larangan ini
berlaku bagi yang datang mendadak tanpa pemberitahuan. Adapun musafir yang
sudah memberitahu sebelumnya, maka tidak termasuk dalam larangan ini. Wallahu
a’lam. (Fathul Bari, 9/252, Syarh Shahih Muslim, 13/73)
16.
Membaca Doa Ketika Melihat
Kampungnya
Anas berkata:
أَقْبَلْنَا مَعَ النَّبِيِّ
حَتَّى إِذَا كُنَّا بِظَهْرِ الْمَدِينَةِ قَالَ: آيِبُونَ تَائِبُونَ
عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ؛ فَلَمْ يَزَلْ يَقُولُهَا حَتَّى قَدِمْنَا
الْمَدِينَةَ
“Kami datang bersama Nabi, hingga
ketika kami melihat kota Madinah, beliau mengucapkan:
آيِبُونَ تَائِبُونَ
عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
‘Orang-orang yang kembali,
bertaubat, beribadah, dan hanya kepada Rabb kami semua memuji.’
Beliau terus membacanya sampai kami
tiba di Madinah.” (HR. Muslim no. 1345)
17.
Melakukan shalat dua rakaat di
masjid terdekat ketika telah tiba
Apabila seseorang telah kembali dari
safarnya, hendaklah ia mendatangi masjid dan melakukan shalat dua rakaat dengan
niat shalat qudum (shalat datang dari safar), sebelum menemui keluarganya. Hal
ini berdasarkan hadits Ka’b bin Malik:
كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ
سَفَرٍ بَدَأَ بِالْمَسْجِدِ فَرَكَعَ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ
“Adalah Rasulullah apabila kembali
dari suatu safar, beliau memulai dengan mendatangi masjid lalu melakukan shalat
dua rakaat di dalamnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3088 dan Muslim no. 2769)
Jabir bin Abdillah berkata: “Dulu
kami bersama Nabi dalam suatu safar. Tatkala kami tiba di Madinah, Rasulullah
berkata kepadaku:
ادْخُلِ الْمَسْجِدَ
فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Masuklah masjid kemudian shalatlah
dua rakaat.” (HR. Al-Bukhari no.
3087)
Kebanyakan manusia lalai
dari sunnah ini, mungkin karena tidak tahu atau karena menyepelekan. Namun
sepantasnya setiap muslim menghidupkan sunnah ini. Wallahul muwaffiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar