Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui,
(QS Ar Ruum: 30)
fitrah
Allah:
maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama
yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu
tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh
lingkungan.
Sunnah-sunnah
fitrah itu yaitu sunnah-sunnah yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah dan
hadits Aisyah Radhiyallahu anhum.
Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda.
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ
وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْآبَاطِ
Ada lima macam
fitrah , yaitu : khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku,
dan mencabut bulu ketiak.” (HR.
Bukhari no. 5891 dan Muslim no. 258)
Al-Hafizh Ibnu
Hajar menyebutkan dalam 'Fathul Baari (10/417)' dari Imam Abu Bakar Ibnul Arabi
ketika ia berbicara tentang hadits : "Fithrah itu ada lima ; khitan,
mencukur rambut kemaluan ....". Ia berkata :"Menurutku kelima perkara
yang disebutkan dalam hadits ini semuanya wajib. Karena seseorang jika ia
meninggalkan lima perkara tersebut tidak tampak padanya gambaran bentuk anak
Adam (manusia), lalu bagaimana ia digolongkan dari kaum muslimin"
Adapun hadits
Aisyah, yaitu dari jalan Zakariya bin Abu Zaidah dan Mush'ab bin Abu Syaibah
dari Thalq bin Habib dari Abu Zubair dari Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ
وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ
وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ قَالَ زَكَرِيَّاءُ
قَالَ مُصْعَبٌ وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ
"Sepuluh
perkara yang termasuk fitrah, yaitu : memotong kumis, membiarkan jenggot, bersiwak
(gosok gigi), memasukkan air ke dalam hidung (ketika berwudhu), memotong kuku,
membasuh ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, beristinja'
(dengan menggunakan air)” Zakaria berkata, "Mus'ab berkata, Aku lupa
perkara yang kesepuluh. Kalau tidak salah adalah madhmadhah (berkumur)" [Hadits Riwayat
Ahmad VI/137. Muslim 261. Nasa'i 5040. dan Tirmidzi 2757]
Batasan-batasan
waktu dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur
bulu kemaluan, semua dilakukan setiap pekan berdasarkan hadits riwayat
Al-Baghawi di dalam Musnad-nya [Al-Baghawi] dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash
Radhiyallahu anhu. “Bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memotong
kuku dan kumisnya pada setiap hari jum’at”
Dan makruh
hukumnya bila membiarkannya (tidak dipotong) lebih dari 40 (empat puluh) hari
berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata.
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ وَنَتْفِ
الْإِبِطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ
لَيْلَةً
“Kami telah
diberi tempo dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan
mencukur bulu kemaluan jangan sampai dibiarkan lebih dari empat puluh
malam" [Hadits Riwayat Muslim 258 dan Ibnu Majah 295]
Sunnah Fitrah: KHITAN
Telah tsabit
masalah khitan dalam sunnah yang suci dalam beberapa hadits di antaranya :
- Abu
Haurairah Radhiyallahu 'anhu berkata : 'Aku mendengar Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda. "Fithrah itu ada
lima : Khitan, Mencukur bulu kemaluan, Memotong kumis, Menggunting kuku dan
Mencabut bulu ketiak" [Dikeluarkan
oleh Al-Bukhari (6297 - Fathul Bari), Muslim (3/257 - Nawawi), Malik dalam
Al-Muwatha (1927), Abu Daud (4198), At-Tirmidzi (2756), An-Nasa'i (1/14-15),
Ibnu Majah (292), Ahmad dalam Al-Musnad (2/229) dan Al-Baihaqi (8/323)]
- Dari
Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya kakeknya datang kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata. "Aku telah masuk
Islam". Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya. "Buanglah darimu rambut kekufuran dan
berkhitanlah" [Hasan,
Dikeluarkan Abu Daud (356), Ahmad (3/415) dan Al-Baihaqi (1/172)]
- Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahawasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Nabi Ibrahim berkhitan setelah beliau berusia 80 tahun" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (6298 - Fathul Bari), Muslim (2370), Al-Baihaqi (8/325), Ahmad (2/322-418)]
Firman Allah
Ta'ala. "Kemudian Kami wahyukan kepadamu ; 'Ikutilah millahnya Ibrahim
yang hanif" [An-Nahl : 123]
Khitan termasuk millah Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah. Dalam hadits-hadits di atas ada keterangan masyru'nya khitan dan orang dewasa jika belum dikhitan juga diperintahkan melakukannya.
Hukum
Khitan.
Yang paling rajih
hukum khitan adalah wajib, ini yang ditujukkan oleh dalil-dalil dan mayoritas
pendapat ulama. Perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tsabit
terhadap seorang laki-laki yang telah ber-Islam untuk berkhitan. Beliau
bersabda kepadanya : "Buanglah darimu rambut kekufuran dan
berkhitanlah". Ini merupakan dalil yang paling kuat atas wajibnya
khitan.
Berkata Syaikh
Al-Albani dalam 'Tamamul Minnah hal 69 : "Adapun hukum khitan maka yang
tepat menurut kami adalah wajib dan ini merupakan pendapatnya jumhur seperti
Imam Malik, Asy-Syafi'i, Ahmad dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Qayyim.
Khitan termasuk syi'ar Islam yang paling jelas, yang dibedakan dengan seorang
muslim dari seorang nashrani. Hampir-hampir tidak dijumpai dari kaum muslimin
yang tidak berkhitan.
Hukum khitan ini
umum bagi laki-laki dan wanita, hanya saja ada sebagian wanita yang tidak ada
pada mereka bagian yang bisa dipotong ketika khitan yaitu apa yang diistilahkan
klitoris (kelentit). Kalau demikian keadaannya maka tidak dapat dinalar bila
kita memerintah mereka untuk memotongnya padahal tidak ada pada mereka.
Berkata Ibnul Hajj
dalam Al-Madkhal (3/396) : "Khitan diperselisihkan pada wanita, apakah
mereka dikhitan secara mutlak atau dibedakan antara penduduk Masyriq (timur)
dan Maghrib (barat). Maka penduduk Masyriq diperintah untuk khitan karena pada
wanita mereka ada bagian yang bisa dipotong ketika khitan, sedangkan penduduk
Maghrib tidak diperintah khitan karena tidak ada bagian tersebut pada wanita
mereka. Jadi hal ini kembali pada kandungan ta'lil (sebab/alasan)".
Disyariatkannya Khitan Bagi Wanita.
Dalam hal ini ada beberapa hadits, di antaranya.
- Sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ummu Athiyah (wanita tukang khitan): "Khitanlah dan jangan dihabiskan (jangan berlebih-lebihan
dalam memotong bagian yang dikhitan) karena yang demikian lebih cemerlang bagi
wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami" [Shahih,
Dikeluarkan oleh Abu Daud (5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil
(3/1083) dan Al-Khatib dalam Tarikhnya 12/291)]
- Sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Bila
telah bertemu dua khitan (khitan laki-laki dan wanita dalam jima'-pent) maka
sungguh telah wajib mandi (junub)" [Shahih, Dikeluarkan oleh
At-Tirmidzi (108-109), Asy-Syafi'i (1/38), Ibnu Majah (608), Ahmad (6/161),
Abdurrazaq (1/245-246) dan Ibnu Hibban (1173-1174 - Al Ihsan)]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menisbatkan khitan pada wanita, maka ini merupakan dalil disyariatkan juga khitan bagi wanita. - Riwayat
Aisyah Radhiyallahu 'anha secara marfu'. "Jika
seorang lelaki telah duduk di antara cabang wanita yang empat (kinayah dari
jima, -pent) dan khitan yang satu telah menyentuh khitan yang lain maka telah
wajib mandi (junub)" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (1/291 -
Fathul Bari), Muslim (249 - Nawawi), Abu Awanah (1/269), Abdurrazaq (939-940),
Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Al-Baihaqi (1/164)]
Hadits ini juga mengisyaratkan dua tempat khitan yang ada pada lelaki dan wanita, maka ini menunjukkan bahwa wanita juga dikhitan. Berkata Imam Ahmad : "Dalam hadits ini ada dalil bahwa para wanita dikhitan" [Tuhfatul Wadud]. - Dari Anas bin Malik rodhiyallahu’anhu berkata, Rosulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ummu ‘athiyah, ”Apabila engkau mengkhitan wanita biarkanlah sedikit, dan jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.”(HR. Al-Khatib)
Hendaklah
diketahui bahwa pengkhitanan wanita adalah perkara yang ma'ruf (dikenal) di
kalangan salaf.
Walimah Khitan
Acara walimah
khitan merupakan acara yang sangat biasa dilakukan oleh umat Islam di
Indonesia, atau mungkin juga di negeri lainnya. Persoalannya, apakah acara
semacam itu ada tuntunannya atau tidak ?
Utsman
bin Abil ‘Ash diundang ke (perhelatan) Khitan, dia enggan untuk datang lalu dia
diundang sekali lagi, maka dia berkata, ” Sesungguhnya kami dahulu pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendatangi walimah khitan
dan tidak diundang.” (HR. Imam Ahmad)
Berdasarkan atsar
dari Utsman bin Abil’Ash di atas, walimah khitan adalah tidak disyariatkan,
walaupun atsar ini dari sisi sanad tidak shohih, tetapi ini merupakan pokok,
yaitu tidak adanya walimah khitan. Karena khitan merupakan hukum syar’i, maka
setiap amal yang ditambahkan padanya harus ada dalilnya dari Al-Qur’an dan As
Sunnah. Dan walimah ini merupakan amalan yang disandarkan dan dikaitkan dengan
khitan, maka membutuhkan dalil untuk membolehkannya. Semoga Allah ta’ala
memudahkan kaum muslimin untuk menjalankan sunnah yang mulia ini.
Sunnah Fitrah: ISTIHDAD
Istihdad
adalah mencukur rambut kemaluan. Perbuatan ini diistilahkan istihdad karena
mencukurnya dengan menggunakan hadid yaitu pisau cukur. (Ihkamul Ahkam fi
Syarhi ‘Umdatil Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab fil Madzi wa Ghairihi)
Dalam hadits Ibnu
‘Umar radhiyallahu 'anhuma yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari, hadits ‘Aisyah
dan hadits Anas yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, istihdad ini disebutkan
dengan lafadz: (mencukur ‘anah). Pengertian ‘anah adalah rambut yang tumbuh di
atas kemaluan dan sekitarnya.
Istihdad hukumnya
sunnah. Tujuannya adalah untuk kebersihan. Dan istihdad ini juga disyariatkan
bagi wanita, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits: “Pelan-pelanlah,
jangan tergesa-gesa (untuk masuk ke rumah kalian) hingga kalian masuk di waktu
malam –yakni waktu Isya'– agar para istri yang ditinggalkan sempat menyisir
rambutnya yang acak-acakan /kusut dan sempat beristihdad (mencukur rambut
kemaluan).” (HR. Al-Bukhari no. 5245 dan Muslim)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu
'anhuma: “Apabila engkau telah masuk ke negerimu
(sepulang dari bepergian/safar) maka janganlah engkau masuk menemui istrimu
hingga ia sempat beristihdad dan menyisir rambutnya yang acak-acakan/kusut.” (HR. Al-Bukhari no. 5246)
Yang utama rambut
kemaluan tersebut dicukur sampai habis tanpa menyisakannya. Dan dibolehkan
mengguntingnya dengan alat gunting, dicabut, atau bisa juga dihilangkan dengan
obat perontok rambut, karena yang menjadi tujuan adalah diperolehnya kebersihan.
(Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/239, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 1/342,
Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Hukmul Istihdad)
Al-Imam Ahmad
rahimahullahu ketika ditanya tentang boleh tidaknya menggunakan gunting untuk
menghilangkan rambut kemaluan, beliau menjawab, “Aku berharap hal itu
dibolehkan.” Namun ketika ditanya apakah boleh mencabutnya, beliau balik
bertanya, “Apakah ada orang yang kuat menanggung sakitnya?”
Abu Bakar ibnul
‘Arabi rahimahullahu berkata, “Rambut kemaluan ini merupakan rambut yang lebih
utama untuk dihilangkan karena tebal, banyak dan kotoran bisa melekat padanya.
Beda halnya dengan rambut ketiak.”
Waktu yang
disenangi untuk melakukan istihdad adalah sesuai kebutuhan dengan melihat
panjang pendeknya rambut yang ada di kemaluan tersebut. Kalau sudah panjang
tentunya harus segera dipotong/dicukur. (Al-Minhaj 3/140, Fathul Bari 10/422,
Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Hukmul Istihdad)
Adapun rambut yang
tumbuh di sekitar dubur, terjadi perselisihan pendapat tentang boleh tidaknya
mencukurnya. Ibnul ‘Arabi rahimahullahu mengatakan bahwa tidak disyariatkan
mencukurnya, demikian pula yang dikatakan Al-Fakihi dalam Syarhul ‘Umdah. Namun
tidak ada dalil yang menjadi sandaran bagi mereka yang melarang mencukur rambut
yang tumbuh di dubur ini. Adapun Abu Syamah berpendapat, “Disunnahkan
menghilangkan rambut dari qubul dan dubur. Bahkan menghilangkan rambut dari
dubur lebih utama karena dikhawatirkan di rambut tersebut ada sesuatu dari
kotoran yang menempel, sehingga tidak dapat dihilangkan oleh orang yang
beristinja (cebok) kecuali dengan air dan tidak dapat dihilangkan dengan
istijmar (bersuci dari najis dengan menggunakan batu).” Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani rahimahullahu menguatkan pendapat Abu Syamah ini. (Fathul Bari, 10/422)
Mencukur rambut
kemaluan ini tidak boleh bahkan haram dilakukan oleh orang lain, terkecuali
orang yang dibolehkan menyentuh dan memandang kemaluannya seperti suami dan
istri. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 1/342, Fathul Bari 10/423)
Sunnah Fitrah: MENCABUT RAMBUT KETIAK
Mencabut rambut
ketiak disepakati hukumnya sunnah dan disenangi memulainya dari ketiak yang
kanan, dan bisa dilakukan sendiri atau meminta kepada orang lain untuk
melakukannya. Afdhal-nya rambut ini dicabut, tentunya bagi yang kuat menanggung
rasa sakit. Namun bila terpaksa mencukurnya atau menghilangkannya dengan obat
perontok maka tujuannya sudah terpenuhi.
Ibnu Abi Hatim
dalam bukunya Manaqib Asy-Syafi’i meriwayatkan dari Yunus bin ‘Abdil A’la, ia
berkata, “Aku masuk menemui Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan ketika itu
ada seseorang yang sedang mencukur rambut ketiaknya. Beliau berkata, ‘Aku tahu
bahwa yang sunnah adalah mencabutnya, akan tetapi aku tidak kuat menanggung
rasa sakitnya’.” (Al-Minhaj 3/140, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 1/341, Fathul
Bari 10/423, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/244)
Harb berkata, “Aku
katakan kepada Ishaq: ‘Mencabut rambut ketiak lebih engkau sukai ataukah
menghilangkannya dengan obat perontok?’ Ishaq menjawab, ‘Mencabutnya, bila
memang seseorang mampu’.” (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Hukmu Natful
Ibthi)
Sunnah Fitrah: MEMOTONG KUKU
Hukumnya sunnah,
tidak wajib. Dan yang dihilangkan adalah kuku yang tumbuh melebihi ujung jari,
karena kotoran dapat tersimpan / tersembunyi di bawahnya dan juga dapat
menghalangi sampainya air wudhu. Disenangi untuk melakukan nya dari kuku jari
jemari kedua tangan, baru kemudian kuku pada jari-jemari kedua kaki. Tidak ada
dalil yang shahih yang dapat menjadi sandaran dalam penetapan kuku jari mana yang
terlebih dahulu dipotong. Ibnu Daqiqil Ied rahimahullahu berkata, “Orang yang
mengatakan sunnahnya mendahulu kan jari tangan daripada jari kaki ketika
memotong kuku perlu mendatang-kan dalil, karena kemutlakan dalil anjuran
memotong (tanpa ada perincian mana yang didahulukan) menolak hal tersebut.”
Namun mendahulukan bagian yang kanan dari jemari tangan dan kaki ada asalnya,
yaitu hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha yang menyatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi memulai dari bagian kanan. (Lihat
Fathul Bari 10/425)
Tidak ada dalil
yang shahih tentang penentuan hari tertentu untuk memotong kuku, seperti
hadits: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi memotong kuku
dan kumisnya pada hari Jum’at.” Hadits ini merupakan salah satu riwayat
mursal dari Abu Ja’far Al-Baqir, sementara hadits mursal termasuk hadits dhaif.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
Dengan demikian
memotong kuku dapat dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan. Al-Hafizh
rahimahullahu menyatakan melakukannya pada setiap hari Jum’at tidaklah
terlarang, karena bersungguh-sungguh membersihkan diri pada hari tersebut
merupakan perkara yang disyariatkan. (Fathul Bari, 10/425)
Akan tetapi
kuku-kuku tersebut jangan dibiarkan tumbuh lebih dari 40 hari karena hal itu
dilarang, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia
berkata: “Ditetapkan waktu bagi kami dalam memotong kumis, menggunting kuku,
mencabut rambut ketiak dan mencukur rambut kemaluan, agar kami tidak
membiarkannya lebih dari empat puluh malam.” (HR. Muslim no. 598)
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu mengatakan, “Makna hadits di atas adalah tidak boleh meninggalkan
perbuatan yang disebutkan melebihi 40 hari. Bukan maksudnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan waktu untuk mereka agar membiarkan
kuku, rambut ketiak dan rambut kemaluan tumbuh selama 40 hari.” (Al-Minhaj
3/140, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 1/340)
Dalam memotong
kuku boleh meminta orang lain untuk melakukannya, karena hal ini tidaklah
melanggar kehormatan diri. Terlebih lagi bila seseorang tidak bisa memotong
kuku kanannya dengan baik karena kebanyakan orang tidak dapat menggunakan
tangan kirinya dengan baik untuk memotong kuku, sehingga lebih utama baginya
meminta orang lain melakukannya agar tidak melukai dan menyakiti tangannya.
(Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib, 1/243)
Apakah bekas potongan kuku itu dibuang begitu saja atau dipendam?
Al-Hafizh
rahimahullahu menyatakan bahwa Al-Imam Ahmad rahimahullahu pernah ditanya
tentang hal ini, “Seseorang memotong rambut dan kuku-kukunya, apakah rambut dan
kuku-kuku tersebut dipendam atau dibuang begitu saja?” Beliau menjawab,
“Dipendam.” Ditanyakan lagi, “Apakah sampai kepadamu dalil tentang hal ini?”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu menjawab, “Ibnu ‘Umar memendamnya.”
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari hadits Wa`il bin Hujr disebutkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memendam rambut dan
kuku-kuku. Alasannya, kata Al-Imam Ahmad rahimahullahu, “Agar tidak menjadi
permainan tukang sihir dari kalangan anak Adam (dijadikan sarana untuk
menyihir, pent.).” Al-Hafizh rahimahullahu juga berkata, “Orang-orang yang
berada dalam madzhab kami Asy-Syafi'i menyenangi memendam rambut dan kuku
(karena rontok atau sengaja dipotong, pent.) karena rambut dan kuku tersebut
merupakan bagian dari manusia. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 10/425)
Sunnah Fitrah: KUMIS & JENGGOT
Dalil-Dalil Wajibnya Memelihara Jenggot Dan Memangkas Kumis
- Dari
Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguh nya beliau bersabda : “Kami diperintah untuk
memangkas kumis dan membiarkan tumbuh jenggot.”
[HR Muslim]
- Dari Abdullah bin Umar ra: “Pangkaslah
kumis kalian dan biarkan jenggot kalian tumbuh.” Dalam suatu riwayat lain : “Cukurlah
kumis kalian dan biarkan tumbuh jenggot kalian.” [HR Bukhari – Muslim]
- Dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, bersabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Potonglah kumis kalian dan
panjangkanlah / biarkanlah jenggot kalian.”
[HR Muslim
no. 599]
- Dari Zaid bin Arqam: “Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya maka bukan termasuk golongan kami.” (HR At Tirmidzi)
Kumis adalah
rambut yang tumbuh di atas bibir bagian atas. Telah datang perintah dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memotong kumis dan tidak
membiarkannya terus tumbuh hingga menutupi kedua bibir.
Memotong kumis dan
memanjangkan jenggot –atau membiarkannya tumbuh apa adanya– merupakan amalan
yang dilakukan untuk menyelisihi orang-orang musyrikin dan Majusi (para
penyembah api). Karena kebiasaan mereka adalah membiarkan kumis tumbuh hingga
menutupi bibir, sementara jenggot mereka cukur.
Dengan demikian
dalam masalah memotong kumis dan memanjangkan jenggot ini, ada dua tujuan:
- Menyelisihi
kebiasaan orang ‘ajam (non Arab), dalam hal ini orang-orang Majusi/Persia
ataupun musyrikin.
- Menjaga kebersihan daerah bibir dan sekitarnya yang merupakan tempat masuknya makanan dan minuman. Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullahu menyatakan “Memotong kumis dilakukan dengan mengambil/memotong kumis yang panjangnya melebihi bibir, sehingga tidak meng-ganggu ketika makan dan tidak terkumpul kotoran di dalamnya.”
Batasan kumis yang
dipotong adalah dipotong sampai tampak ujung bibir, bukan menipiskan dari
akarnya. Sementara hadits yang menyebutkan: “Potonglah kumis…” yang dimaksudkan
adalah memotong bagian kumis yang panjang hingga tidak menutupi kedua bibir.
Memang dalam
masalah ini ada perbedaan pendapat. Mayoritas ulama Salaf berpendapat kumis itu
dicukur sampai habis sama sekali, berdalil dengan dzahir hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Potonglah kumis dan habiskanlah.” (HR.
Al-Bukhari no. 5893) Ini merupakan pendapat orang-orang Kufah.
Namun kebanyakan
mereka berpendapat dilarang mencukur kumis dan menghabiskannya sama sekali,
demikian pendapat yang kedua. Pendapat yang kedua ini dipegangi Al-Imam Malik
rahimahullahu. Bahkan beliau memandang mencukur kumis sampai habis adalah
perbuatan mencincang dan beliau memerintahkan agar pelakunya diberi ganjaran
sebagai pelajaran. Dengan demikian, menurut pendapat yang kedua ini kumis tidak
dihabiskan sama sekali tapi diambil / dipotong sesuai dengan kadarnya yang
dengannya akan tampak ujung bibir (tidak tertutup kumis).
Sebagian ulama,
seperti Ath-Thabari, punya pendapat lain. Beliau menganggap kedua-duanya boleh,
sehingga seseorang boleh memilih apakah ia ingin mencukur habis kumisnya atau
membiarkannya namun tidak sampai menutupi bibir (dipotong bagian yang
berlebihan). Beliau berkata, “As-Sunnah menunjuk-kan bahwa kedua perkara
tersebut dibolehkan dan tidak saling bertentangan. Karena lafadz hadits yang
satu menunjukkan mengambil sebagian, sedangkan lafadz hadits kedua menunjukkan
mengambil seluruhnya. Berarti keduanya tsabit (ada perintah / tuntunannya)
sehingga seseorang diberi pilihan untuk melakukan apa yang diinginkannya.”
Termasuk Fitrah
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui,
(QS Ar Ruum: 30)
fitrah Allah:
maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama
yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu
tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh
lingkungan.
- Dari
Abi Hurairah radliyallahu 'anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam : “Termasuk fitrah Islam, memotong kumis dan membiarkan
jenggot tumbuh. Sesungguhnya orang-orang Majusi membiarkan kumisnya
dan mencukur jenggotnya. Maka bedakanlah dengan mereka, yaitu pangkaslah kumis
kalian dan biarkanlah tumbuh jenggot kalian.”
- “Sepuluh perkara termasuk fitrah, yaitu menggunting kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air dengan hidung), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan istinja’.” [HR Muslim]
Larangan menyerupai suatu kaum.
- Dari
Nafi’ dan Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Bedakanlah kalian dengan orang-orang musyrik, yaitu
banyakkanlah jenggotmu dan pangkaslah kumismu.” [HR Bukhari – Muslim no.
600]
- Dari
Abi Hurairah radliyallahu 'anhu, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Biarkanlah
jenggot kalian tumbuh dan cukurlah kumis kalian dan janganlah kalian menyerupai
orang-orang yahudi dan nashara.”
[HR Ahmad]
- Dari
Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma secara marfu' : “Janganlah kalian menyerupai
orang-orang Ajam, biarkanlah tumbuh
jenggot kalian.” [HR Al Bazzar]
- Dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu: “Sesungguhnya
orang musyrik itu, mereka membiarkan kumis
mereka tumbuh dan mencukur jenggot mereka. Maka bedakanlah dengan mereka yaitu
biarkanlah jenggot kalian tumbuh dan cukurlah kumis kalian.” (HR Al Bazzar
dengan sanad yang hasan)
- Dari
Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Bedakanlah kalian dengan
orang-orang Majusi, karena sesungguhnya mereka (orang-orang Majusi)
memendekkan jenggot dan memanjangkan kumisnya.” [HR Muslim no.602]
- Dari
Ibnu Umar radliyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan
tentang orang-orang Majusi. Beliau
bersabda : “Sesungguh nya mereka memanjangkan kumis dan mencukur jenggot
maka bedakanlah kalian dengan mereka.” Lalu beliau (Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam) menampakkan pemotongan kumisnya kepadaku (Ibnu Umar).
[HR Ibnu Hibban]
- Ibnu
Abi Syaibah telah meriwayatkan bahwasanya salah seorang dari majusi datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia sungguh telah mencukur jenggotnya dan
memanjangkan kumisnya. Maka bertanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada
orang tersebut, apa yang menyebabkan berbuat demikian, dia menjawab : “Ini
agama kami.” Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (adalah
jenggot beliau penuh dari sini sampai sini dan menunjuk tangannya pada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) : “Akan tetapi pada agama kami, yaitu memangkas kumis dan membiarkan
jenggot tumbuh.”
- Harits
bin Abi Usamah telah mengeluarkan dari Yahya bin Katsir, dia berkata : Telah
datang seorang laki-laki 'ajam ke
masjid dan sungguh dia telah memanjangkan kumisnya dan menggunting jenggotnya.
Maka bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada orang tersebut : “Apa
yang membawa kamu (menyuruh kamu) atas ini?” Maka orang tersebut menjawab :
“Sesungguhnya rab (raja) saya yang memerintah saya dengan ini.” Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan agar memanjangkan jenggot
dan memangkas kumis saya.”
- Ibnu
Jarir meriwayatkan dari Zaid bin Habib kisahnya dua utusan kisra (kaisar), berkata Zaid bin Habib : Telah masuk dua
utusan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sungguh keduanya telah mencukur jenggot dan memelihara kumisnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memandang dengan benci kepada keduanya dan
bersabda : “Celakalah kalian berdua. Siapakah yang menyuruh kalian dengan
ini.” Kedua orang tersebut menjawab : “Yang memerintahkan kami adalah
rab kami (yaitu kaisar).” Maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Akan tetapi Rabbku memerintahkan untuk memelihara jenggotku
dan memotong kumisku.” [HR Thabrani]
- Dari
Ibnu Umar radliyallahu 'anhu dia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa
menyerupai dengan suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” [HR Abu
Dawud]
- Dari
Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Nabi bersabda: “Bukanlah
termasuk golongan kami barangsiapa yang menyerupai selain kami, janganlah
kalian menyerupai orang-orang yahudi dan nashara.” [HR Abu Dawud]
- Dan
diriwayatkan oleh Ibnu Umar radliyallahu 'anhu: “Barangsiapa yang menyerupai
mereka sampai meninggal (mati) dia akan dibangkitkan bersama mereka.”
- Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukanlah termasuk golongan kami
barangsiapa yang menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai
orang-orang yahudi dan nashrani. Sesungguhnya cara salamnya orang-orang yahudi
dengan isyarat jari-jemari dan cara salamnya orang-orang nashrani dengan
telapak tangan.” [HR Tirmidzi - Thabrani]
Ada tambahan dari sisi Thabrani : “Janganlah kalian mencukur jambul (rambut yang tumbuh di kepala bagian depan), pangkaslah kumis kalian, dan biarkanlah jenggot kalian tumbuh.”
Teladani Rasulullah dan Sahabat.
- Muslim
meriwayatkan dari Jarir radliyallahu 'anhu, ia berkata : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak rambut jenggotnya.”
- Dari
Umar radliyallahu 'anhu: “(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) itu
tebal jenggotnya.” Dan dalam suatu riwayat: “Banyak jenggotnya.” Dan
dalam riwayat lain : “Lebat jenggotnya.” [HR Tirmidzi]
- Dari
Anas radliyallahu 'anhu : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, jenggotnya penuh dari sini
sampai sini --menunjuk dengan tangannya pada lebarnya--.”
- Allah
‘Azza wa Jalla memperindah para laki-laki dengan jenggot. Dan diriwayatkan
termasuk tasbihnya para Malaikat : “Maha Suci (Allah) yang telah menghiasi
orang laki-laki dengan jenggot.”
- Telah berkata dan bersaksi bahwa seorang laki-laki yang mencabut rambut di bawah bibirnya di sisi Umar bin Abdul Aziz maka beliau menolak persaksiannya. Umar bin Khaththab radliyallahu 'anhu dan Ibnu Abi Layla (seorang qadli di Madinah) menolak persaksian semua orang yang mencabut jenggotnya. Berkata Abu Syamah : “Sungguh telah terjadi pada suatu kaum yang mereka itu mencukur jenggotnya dan kejadian ini lebih parah dari apa-apa yang terdapat pada Majusi (yang mereka itu memendekkan jenggot dan memanjangkan kumisnya) disebabkan mereka mencukur jenggotnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar