@
Menghadap Kabah
Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bila berdiri untuk sholat fardhu atau sholat sunnah, beliau
menghadap Ka'bah. Beliau memerintahkan berbuat demikian sebagaimana sabdanya
kepada orang yang sholatnya salah:
"Bila engkau
berdiri untuk sholat, sempurnakanlah wudhu'mu, kemudian menghadaplah ke kiblat,
lalu bertakbirlah." (HR. Bukhari, Muslim dan Siraj).
Tentang hal ini telah
turun pula firman Allah dalam Surah Al Baqarah : 115: "Kemana saja kamu
menghadapkan muka, disana ada wajah Allah."
Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam pernah sholat menghadap Baitul Maqdis, hal ini terjadi sebelum
turunnya firman Allah: "Kami telah melihat kamu menengadahkan kepalamu
ke langit. Kami palingkan kamu ke kiblat yang kamu inginkan. Oleh karena itu,
hadapkanlah wajahmu ke sebagian arah Masjidil Haram." (QS. Al Baqarah
: 144).
Setelah ayat ini turun
beliau sholat menghadap Ka'bah.
Pada waktu sholat subuh
kaum muslim yang tinggal di Quba' kedatangan seorang utusan Rasulullah untuk
menyampaikan berita, ujarnya, "Sesungguhnya semalam Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam telah mendapat wahyu, beliau disuruh menghadap Ka'bah. Oleh
karena itu, (hendaklah) kalian menghadap ke sana." Pada saat itu mereka
tengah menghadap ke Syam (Baitul Maqdis). Mereka lalu berputar (imam mereka
memutar haluan sehingga ia mengimami mereka menghadap kiblat). (HR. Bukhari,
Muslim, Ahmad, Siraj, Thabrani, dan Ibnu Sa'ad. Baca Kitab Al Irwa', hadits No.
290).
@
Berdiri
Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam mengerjakan sholat fardhu atau sunnah berdiri karena memenuhi
perintah Allah dalam QS. Al Baqarah : 238. Apabila bepergian, beliau melakukan
sholat sunnah di atas kendaraannya. Beliau mengajarkan kepada umatnya agar
melakukan sholat khauf dengan berjalan kaki atau berkendaraan.
"Peliharalah
semua sholat dan sholat wustha dan berdirilah dengan tenang karena Allah. Jika
kamu dalam ketakutan, sholatlah dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Jika
kamu dalam keadaa aman, ingatlah kepada Allah dengan cara yang telah diajarkan
kepada kamu yang mana sebelumnya kamu tidak mengetahui (cara tersebut)." (QS. Al Baqarah :
238).
@
Menghadap Sutrah (pembatas)
Sutrah (pembatas yang
berada di depan orang sholat) dalam sholat menjadi keharusan imam dan orang
yang sholat sendirian, sekalipun di masjid besar, demikian pendapat Ibnu Hani'
dalam Kitab Masa'il, dari Imam Ahmad.
Beliau mengatakan,
"Pada suatu hari saya sholat tanpa memasang sutrah di depan saya, padahal
saya melakukan sholat di dalam masjid kami, Imam Ahmad melihat kejadian ini, lalu
berkata kepada saya, 'Pasanglah sesuatu sebagai sutrahmu!' Kemudian aku
memasang orang untuk menjadi sutrah."
Syaikh Al Albani
mengatakan, "Kejadian ini merupakan isyarat dari Imam Ahmad bahwa orang
yang sholat di masjid besar atau masjid kecil tetap berkewajiban memasang
sutrah di depannya."
Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Janganlah kamu sholat tanpa menghadap sutrah dan
janganlah engkau membiarkan seseorang lewat di hadapan kamu (tanpa engkau
cegah). Jika dia terus memaksa lewat di depanmu, bunuhlah dia karena dia
ditemani oleh setan." (HR. Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang jayyid
(baik)).
Beliau juga bersabda: "Bila
seseorang di antara kamu sholat menghadap sutrah, hendaklah dia mendekati
sutrahnya sehingga setan tidak dapat memutus sholatnya." (HR. Abu
Dawud, Al Bazzar dan Hakim. Disahkan oleh Hakim, disetujui olah Dzahabi dan
Nawawi).
Dan hendaklah sutrah itu
diletakkan tidak terlalu jauh dari tempat kita berdiri sholat sebagaimana yang
telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
"Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam berdiri shalat dekat sutrah (pembatas) yang jarak
antara beliau dengan pembatas di depannya 3 hasta." (HR. Bukhari dan
Ahmad).
Adapun yang dapat
dijadikan sutrah antara lain: tiang masjid, tombak yang ditancapkan ke tanah,
hewan tunggangan, pelana, tiang setinggi pelana, pohon, tempat tidur, dinding
dan lain-lain yang semisalnya, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam.
@
Niat
Niat berarti menyengaja
untuk sholat, menghambakan diri kepada Allah Ta'ala semata, serta menguatkannya
dalam hati.
Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang
akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya." (HR. Bukhari, Muslim
dan lain-lain. Baca Al Irwa', hadits no. 22).
Niat tidak
dilafadzkan
Dan tidaklah disebutkan
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak pula dari salah seorang
sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan.
Abu Dawud bertanya kepada
Imam Ahmad. Dia berkata, "Apakah orang sholat mengatakan sesuatu
sebelum dia takbir?" Imam Ahmad menjawab, "Tidak." (Masaail
al Imam Ahmad hal 31 dan Majmuu' al Fataawaa XXII/28).
As Suyuthi berkata,
"Yang termasuk perbuatan bid'ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu
berniat sholat. Hal itu tidak pernah diperbuat oleh Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam maupun para shahabat beliau. Mereka dulu tidak pernah melafadzkan niat
sholat sedikitpun selain hanya lafadz takbir."
Asy Syafi'i berkata,
"Was-was dalam niat sholat dan dalam thaharah termasuk kebodohan terhadap
syariat atau membingungkan akal." (Lihat al Amr bi al Itbaa' wa al Nahy
'an al Ibtidaa').
@
Takbiratul Ihram
Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam selalu memulai sholatnya (dilakukan hanya sekali ketika hendak memulai
suatu sholat) dengan takbiratul ihrom yakni mengucapkan Allahu Akbar di awal
sholat dan beliau pun pernah memerintahkan seperti itu kepada orang yang
sholatnya salah. Beliau bersabda kepada orang itu:
"Sesungguhnya
sholat seseorang tidak sempurna sebelum dia berwudhu' dan melakukan wudhu'
sesuai ketentuannya, kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar." (Hadits
diriwayatkan oleh Al Imam Thabrani dengan sanad shahih).
Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Apabila engkau hendak mengerjakan sholat,
maka sempurnakanlah wudhu'mu terlebih dahulu kemudian menghadaplah ke arah
kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihrom." (Muttafaqun 'alaihi).
Takbirotul ihrom
diucapkan dengan lisan
Takbirotul ihrom tersebut
harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).
Muhammad Ibnu Rusyd
berkata, "Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakkan
lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan
membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut."
An Nawawi berkata,
"…adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan
suara ketika membaca lafadz takbir, baik apakah dia sedang menjadi makmum atau
ketika sholat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai
rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan
adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini
berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat al Quran, takbir, membaca
tasbih ketika ruku', tasyahud, salam dan doa-doa dalam sholat baik yang hukumnya
wajib maupun sunnah…" beliau melanjutkan, "Demikianlah nash yang
dikemukakan Syafi'i dan disepakati oleh para pengikutnya. Asy Syafi'i berkata
dalam al Umm, 'Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada
disampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran
itu.'." (al Majmuu' III/295).
@
Mengangkat Kedua Tangan
Disunnahkan mengangkat
kedua tangannya setentang bahu ketika
bertakbir dengan merapatkan jari-jemari tangannya, berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radiyallahu anhuma, ia berkata:
"Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya
setentang bahu jika hendak memulai sholat, setiap kali bertakbir untuk ruku'
dan setiap kali bangkit dari ruku'nya." (Muttafaqun 'alaihi).
Atau mengangkat kedua
tangannya setentang telinga, berdasarkan hadits riwayat Malik bin Al-Huwairits
radhiyyallahu anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
biasa mengangkat kedua tangannya setentang telinga setiap kali bertakbir (didalam
sholat)." (HR. Muslim).
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam dan Hakim disebutkan bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya dengan
membuka jari-jarinya lurus ke atas (tidak merenggangkannya dan tidak pula
menggengamnya). (Shifat Sholat Nabi).
@
Tangan Bersedekap
Kemudian Nabi shallallahu
'alaihi wasallam meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya (bersedekap).
Beliau bersabda:
"Kami, para
nabi diperintahkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur serta meletakkan
tangan kanan pada tangan kiri (bersedekap) ketika melakukan sholat." (Hadits
diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dan Adh Dhiya' dengan sanad shahih).
Dalam sebuah riwayat
pernah beliau melewati seorang yang sedang sholat, tetapi orang ini meletakkan
tangan kirinya pada tangan kanannya, lalu beliau melepaskannya, kemudian orang
itu meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya. (Hadits riwayat Ahmad dan
Abu Dawud dengan sanad yang shahih).
Meletakkan atau menggenggam
Beliau shallallahu 'alaihi
wasallam meletakkan lengan kanan pada punggung telapak kirinya, pergelangan dan
lengan kirinya berdasar hadits dari Wail
bin Hujur:
"Lalu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya
di atas telapak tangan kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya." (Hadits
diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, dengan sanad yang
shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban, hadits no. 485).
Beliau terkadang juga menggenggam
pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya, berdasarkan hadits Nasa'i
dan Daraquthni:
"Tetapi beliau
terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya." (sanad shahih).
Bersedekap Di Dada.
Menyedekapkan tangan di dada
adalah perbuatan yang benar menurut sunnah berdasarkan hadits: "Beliau
meletakkan kedua tangannya di atas dadanya." (Hadits diriwayatkan oleh
Al Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dari Wail bin Hujur).
Cara-cara yang sesuai
sunnah ini dilakukan oleh Imam Ishaq bin Rahawaih. Imam Mawarzi dalam Kitab
Masa'il, halaman 222 berkata: "Imam Ishaq meriwayatkan hadits secara
mutawatir kepada kami…. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a qunut
dan melakukan qunut sebeluim ruku'. Beliau menyedekapkan tangannya berdekatan
dengan teteknya." Pendapat yang semacam ini juga dikemukakan oleh Qadhi
'Iyadh al Maliki dalam bab Mustahabatu ash Sholat pada Kitab Al I'lam, beliau
berkata: "Dia meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri di dada."
@
Memandang Tempat Sujud
Pada saat mengerjakan
sholat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menundukkan kepalanya dan
mengarahkan pandangannya ke tempat sujud. Hal ini didasarkan pada hadits yang
diriwayatkan oleh Ummul Mukminin 'Aisyah radhiyallahu 'anha: "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengalihkan pandangannya dari tempat sujud
(di dalam sholat)." (HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Larangan menengadah
ke langit
Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam melarang keras menengadah ke langit (ketika sholat). Dari Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan
pandangan matanya yang terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat atau hendaklah
mereka benar-benar menjaga pandangan mata mereka." (HR. Muslim, Nasa'i
dan Ahmad).
Rasulullah juga melarang
seseorang menoleh ke kanan atau ke kiri ketika sholat, beliau bersabda: "Jika
kalian sholat, janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah akan
senantiasa menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang sholat selama ia
tidak menoleh ke kanan atau ke kiri." (HR. Tirmidzi dan Hakim).
Dalam Zaadul Ma'aad
(I/248) disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang sholat menolehkan
kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, "Jumhur ulama
mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi
rusak."
Juga dimakruhkan shalat
dihadapan sesuatu yang bisa merusak konsentrasi atau di tempat yang ada
gambar-gambarnya, diatas sajadah yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan
dinding yang bergambar dan sebagainya.
@
Membaca Doa Istiftah
Doa istiftah yang dibaca oleh Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bermacam-macam. Dalam doa istiftah tersebut beliau
shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan pujian, sanjungan dan kalimat
keagungan untuk Allah.
Beliau pernah memerintahkan hal ini
kepada orang yang salah melakukan sholatnya dengan sabdanya: "Tidak
sempurna sholat seseorang sebelum ia bertakbir, mengucapkan pujian, mengucapkan
kalimat keagungan (doa istiftah), dan membaca ayat-ayat al Quran yang
dihafalnya…" (HR. Abu Dawud dan Hakim, disahkan oleh Hakim, disetujui
oleh Dzahabi).
Adapun bacaan doa istiftah yang
diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diantaranya adalah:
اَللَّهُمَّ بَاعِدْ
بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ،
اَللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ، كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ
مِنَ الدَّنَسِ، اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ.
“Ya Allah, jauhkan antara aku dan
kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya
Allah, bersihkanlah aku dan kesalahan- kesalahanku, sebagaimana baju putih
dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku
dengan salju, air dan air es”. [HR. Al-Bukhari 1/181 dan Muslim 1/419.]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلاَ إِلَـهَ غَيْرُكَ.
Maha Suci Engkau ya Allah, aku memujiMu,
Maha Berkah akan nama-Mu, Maha Tinggi kekayaan dan kebesaranMu, tiada Ilah yang
berhak disembah selain Engkau. [HR. Empat penyusun kitab Sunan, dan lihat Shahih
At-Tirmidzi 1/77 dan Shahih Ibnu Majah 1/135.]
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ
لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِيْنَ، إِنَّ صَلاَتِيْ، وَنُسُكِيْ، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِيْ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكَ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ. أَنْتَ
رَبِّيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِيْ وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِيْ
فَاغْفِرْلِيْ ذُنُوْبِيْ جَمِيْعًا إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ
أَنْتَ. وَاهْدِنِيْ لأَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِيْ لأَحْسَنِهَا إِلاَّ
أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّيْ سَيِّئَهَا، لاَ يَصْرِفُ عَنِّيْ سَيِّئَهَا إِلاَّ
أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ كُلُّهُ بِيَدَيْكَ، وَالشَّرُّ
لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ،
أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.
“Aku menghadap kepada Tuhan Pencipta langit
dan bumi, dengan memegang agama yang lurus dan aku tidak tergolong orang-orang
yang musyrik. Sesungguhnya shalat, ibadah dan hidup serta matiku adalah untuk
Allah. Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagiNya, dan karena itu, aku
diperintah dan aku termasuk orang-orang muslim.
Ya Allah, Engkau adalah Raja, tiada
Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau, engkau Tuhanku dan aku adalah
hambaMu. Aku menganiaya diriku, aku mengakui dosaku (yang telah kulakukan).
Oleh karena itu ampunilah seluruh dosaku, sesungguhnya tidak akan ada yang
mengampuni dosa-dosa, kecuali Engkau. Tunjukkan aku pada akhlak yang terbaik,
tidak akan menunjukkan kepadanya kecuali Engkau. Hindarkan aku dari akhlak yang
jahat, tidak akan ada yang bisa menjauhkan aku daripadanya, kecuali Engkau. Aku
penuhi panggilanMu dengan kegembiraan, seluruh kebaikan di kedua tanganMu,
kejelekan tidak dinisbahkan kepadaMu. Aku hidup dengan pertolongan dan
rahmatMu, dan kepadaMu (aku kembali). Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Aku
minta ampun dan bertaubat kepadaMu”. [HR. Muslim 1/534]
اَللَّهُمَّ رَبَّ
جِبْرَائِيْلَ، وَمِيْكَائِيْلَ، وَإِسْرَافِيْلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ
فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ. اِهْدِنِيْ لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ
الْحَقِّ بِإِذْنِكَ تَهْدِيْ مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ.
“Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan
Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang ghaib
dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka
(orang-orang kristen dan yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran
apa yang dipertentangkan dengan seizin dariMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan
pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki”. [HR. Muslim 1/534.]
اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا،
اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
كَثِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا،
وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً)) ثلاثا ((أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، مِنْ نَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
وَهَمْزِهِ
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar,
Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji
bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang
banyak. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore”. (Diucapkan tiga kali). “Aku
berlindung kepada Allah dari tiupan, bisikan dan godaan setan”. [HR. Abu
Dawud 1/203, Ibnu Majah 1/265 dan Ahmad 4/85. Muslim juga meriwayatkan hadits
senada dari Ibnu Umar, dan di dalamnya terdapat kisah 1/420
اَللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ
أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ
قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، [وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ][وَلَكَ الْحَمْدُ لَكَ مُلْكُ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ][وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ][ وَلَكَ الْحَمْدُ][أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ
الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ، وَالْجَنَّهُ حَقُّ،
وَالنَّارُ حَقُّ، وَالنَّبِيُّوْنَ حَقُّ، وَمُحَمَّدٌ حَقُّ، وَالسَّاعَةُ
حَقُّ][اَللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ،
وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ. فَاغْفِرْ لِيْ مَا
قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ][أَنْتَ
الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ][أَنْتَ إِلَـهِيْ
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ[.
“Apabila Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam shalat Tahajud di waktu malam, beliau membaca: “Ya, Allah! BagiMu
segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji,
Engkau yang mengurusi langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji,
Engkau Tuhan yang menguasai langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji
dan bagi-Mu kerajaan langit dan bumi serta seisi-nya. BagiMu segala puji,
Engkau benar, janjiMu benar, firmanMu benar, bertemu denganMu benar, Surga
adalah benar (ada), Neraka adalah benar (ada), (terutusnya) para nabi adalah
benar, (terutusnya) Muhammad adalah benar (dariMu), kejadian hari Kiamat adalah
benar. Ya Allah, kepadaMu aku menyerah, kepadaMu aku bertawakal, kepadaMu aku
beriman, kepadaMu aku kembali (bertaubat), dengan pertolonganMu aku berdebat
(kepada orang-orang kafir), kepadaMu (dan dengan ajaran-Mu) aku menjatuhkan
hukum. Oleh karena itu, ampunilah dosaku yang telah lewat dan yang akan datang.
Engkaulah yang mendahulukan dan mengakhirkan, tiada Tuhan yang hak disembah
kecuali Engkau, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang hak disembah
kecuali Engkau”. [HR.
Al-Bukhari dalam Fathul Bari 3/3, 11/116, 13/371, 423, 465 dan Muslim
meriwayatkannya dengan ringkas 1/532]
@
Membaca Ta’awudz
Membaca doa ta'awwudz adalah disunnahkan
dalam setiap raka'at, sebagaimana firman Allah ta'ala: "Apabila kamu
membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan
yang terkutuk." (An Nahl : 98).
Dan pendapat ini adalah yang paling
shahih dalam madzhab Syafi'i dan diperkuat oleh Ibnu Hazm (Lihat al Majmuu'
III/323 dan Tamaam al Minnah 172-177).
Nabi biasa membaca ta'awwudz yang berbunyi:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ،
"Aku berlindung kepada Allah dari setan
yang terkutuk"
Atau mengucapkan:
"A'UUDZUBILLAHI MINASY SYAITHAANIR
RAJIIM MIN HAMAZIHI WA NAFKHIHI WANAFTSIHI"
artinya: "Aku berlindung kepada
Allah dari setan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkan gila), dari
kesombongannya, dan dari hembusannya (yang menyebabkan kerusakan akhlaq)."
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan
dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
Atau mengucapkan:
"A'UUZUBILLAHIS SAMII'IL ALIIM
MINASY SYAITHAANIR RAJIIM..."
artinya: "Aku berlindung kepada
Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang
terkutuk..." (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Tirmidzi
dengan sanad hasan).
@
Membaca Al Fatihah
Hukum Membaca Al Fatihah
Membaca Al Fatihah merupakan salah satu
dari sekian banyak rukun sholat, jadi kalau dalam sholat tidak membaca
Al-Fatihah maka tidak sah sholatnya berdasarkan perkataan Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, "Tidak dianggap sholat (tidak sah sholatnya) bagi yang
tidak membaca Al Fatihah" (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al- Jama'ah:
yakni Al Imam Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu
Majah).
"Barangsiapa yang sholat tanpa
membaca Al Fatihah maka sholatnya buntung, sholatnya buntung, sholatnya
buntung…tidak sempurna" (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan
Abu 'Awwanah).
Kapan Kita Wajib Membaca Surat
Al-Fatihah
Jelas bagi kita kalau sedang sholat
sendirian (munfarid) maka wajib untuk membaca Al Fatihah, begitu pun pada
sholat jama'ah ketika imam membacanya secara sirr (tidak diperdengarkan) yakni
pada sholat Dhuhur, 'Ashr, satu roka'at terakhir sholat Mahgrib dan dua roka'at
terakhir sholat 'Isyak, maka para makmum wajib membaca surat Al-Fatihah
tersebut secara sendiri-sendiri secara sirr (tidak dikeraskan).
Lantas bagaimana kalau imam membaca
secara keras…? spt sholat maghrib, isya, subuh.
Tentang ini Syaikh Al-Albani mengatakan
bahwa pernah Rasulullah melarang makmum membaca surat dibelakang imam kecuali
surat Al Fatihah, "Betulkah kalian tadi membaca (surat) dibelakang imam
kalian?" Kami menjawab: "Ya, tapi dengan cepat wahai
Rasulallah." Berkata Rasul: "Kalian tidak boleh melakukannya lagi
kecuali membaca Al-Fatihah, karena tidak ada sholat bagi yang tidak
membacanya." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhori, Abu Dawud,
dan Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan Ad Daraquthni)
Selanjutnya beliau shallallahu 'alaihi
wa sallam melarang makmum membaca surat apapun ketika imam membacanya dengan
jahr (diperdengarkan) baik itu Al Fatihah maupun surat lainnya. Hal ini selaras
dengan keterangan dari Al Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal tentang wajibnya
makmum diam bila imam membaca dengan jahr/keras. Berdasar arahan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, Dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah berkata
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :"Dijadikan imam itu hanya untuk
diikuti. Oleh karena itu apabila imam takbir, maka bertakbirlah kalian, dan apabila
imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan bacaan imam
itu)…" (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud no. 603 &
604. Ibnu Majah no. 846, An Nasai. Imam Muslim berkata: Hadits ini menurut
pandanganku Shahih).
"Barangsiapa sholat mengikuti imam
(bermakmum), maka bacaan imam telah menjadi bacaannya juga." (Hadits
dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah, Ad Daraquthni, Ibnu Majah, Thahawi dan
Ahmad lihat kitab Irwaul Ghalil oleh Syaikh Al- Albani).
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah mendirikan sholat yang beliau
keraskan bacaanya dalam sholat itu, beliau bertanya: "Apakah ada seseorang
diantara kamu yang membaca bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki
menjawab, "Ya ada, wahai Rasulullah." Kemudian beliau berkata,
"Sungguh aku katakan: Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al Quran
(juga)." Berkata Abu Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari
membaca bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada sholat-sholat yang
Rasulullah keraskan bacaannya, ketika mereka sudah mendengar (larangan) yang
demikian itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. (Hadits dikeluarkan
oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai dan Malik. Abu Hatim Ar Razi
menshahihkannya, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).
Hadits-hadits tersebut merupakan dalil
yang tegas dan kuat tentang wajib diamnya makmum apabila mendengar bacaan imam,
baik Al Fatihahnya maupun surat yang lain. Selain itu juga berdasarkan firman
Allah Ta'ala, "Dan apabila dibacakan Al Quran hendaklah kamu dengarkan ia
dan diamlah sambil memperhatikan (bacaannya), agar kamu diberi rahmat."
(Al-A'raaf : 204).
Ayat ini asalnya berbentuk umum yakni
dimana saja kita mendengar bacaan Al Quran, baik di dalam sholat maupun di luar
sholat wajib diam mendengarkannya walaupun sebab turunnya berkenaan tentang
sholat. Tetapi keumuman ayat ini telah menjadi khusus dan tertentu (wajibnya)
hanya untuk sholat, sebagaimana telah diterangkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid,
Sa'id bin Jubair, Adh Dhohak, Qotadah, Ibarahim An Nakhai, Abdurrahman bin Zaid
bin Aslam dan lain-lain. Lihat Tafsir Ibnu Katsir II/280-281.
Cara Membaca Al Fatihah
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
membaca surat Al-Fatihah pada setiap roka'at. Membacanya dengan berhenti pada setiap
akhir ayat (waqof), tidak menyambung satu ayat dengan ayat berikutnya (washol)
berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud, Sahmi dan 'Amr Ad Dani, dishahihkan oleh
Hakim, disetujui Adz Dzahabi.
Jadi bunyinya:
BISMILLAHIRRRAHMANNIRRAHIM
kemudian berhenti,
ALHAMDULILLAHIRABBIL'ALAMIN
kemudian berhenti,
ARRAHMANIRRAHIM
Begitulah seterusnya sampai selesai ayat
yang terakhir.
Terkadang beliau membaca: ( MAALIKI
YAUMIDDIIN ) Atau dengan memendekkan bacaan 'maa' menjadi: ( MALIKI YAUMIDDIIN
), Berdasarkan riwayat yang mutawatir dikeluarkan oleh Tamam Ar Razi, Ibnu Abi
Dawud, Abu Nu'aim, dan Al Hakim. Hakim menshahihkannya, dan disetujui oleh
Adz-Dzahabi.
Seandainya Seseorang Belum Hafal
Al-Fatihah
Bagi seseorang yang belum hafal Al
Fatihah terutama bagi yang baru masuk Islam, tentu Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam telah memberikan solusinya. Nasehatnya untuk orang yang belum hafal
Al-Fatihah (tentunya dia tak berhak jadi Imam):
Ucapkanlah:
SUBHANALLAHI, WALHAMDULILLAHI, WA LAA
ILAHA ILLALLAHU, WALLAHU AKBAR, WALAA HAULA WALAA QUWWATA ILLA BILLAHI
artinya: "Maha Suci Allah, Segala
puji milik Allah, tiada Ilah (yang haq) kecuali Allah, Allah Maha Besar, Tiada
daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah." (Hadits Shahih
dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Hakim, Thabrani dan Ibnu
Hibban disahihkan oleh Hakim dan disetujui oleh Ad- Dzahabi).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
juga bersabda: "Jika kamu hafal suatu ayat Al- Qur-an maka bacalah ayat
tersebut, jika tidak maka bacalah Tahmid, Takbir dan Tahlil." (Hadits
dikeluarkan oleh Abu Dawud dan At Tirmidzi dihasankan oleh At Tirmidzi, tetapi
sanadnya shahih, baca Shahih Abi Dawud hadits no. 807).
@
Membaca Aamiin
Hukum Bagi Imam:
Membaca amin disunnahkan bagi imam
sholat.
Dari Abu hurairah, dia berkata:
"Dulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, jika selesai membaca surat
Ummul Kitab (Al Fatihah) mengeraskan suaranya dan membaca
aamin." (Hadits dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hibban, Al Hakim, Al
Baihaqi, Ad Daraquthni dan Ibnu Majah, oleh Al Albani dalam Al Silsilah Al
Shahihah dikatakan sebagai hadits yang berkualitas shahih)
"Bila Nabi selesai membaca
Al-Fatihah (dalam sholat), beliau mengucapkan aamiin dengan suara keras dan
panjang." (Hadits shahih dikeluarkan oleh Al Imam Al- Bukhari dan Abu
Dawud)
Hadits tersebut mensyari'atkan para imam
untuk mengeraskan bacaan amin, demikian yang menjadi pendapat Al Imam Al
Bukhari, As Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan para imam fikih lainnya. Dalam shahihnya
Al Bukhari membuat suatu bab dengan judul 'baab jahr al imaan bi al ta miin'
(artinya: bab tentang imam mengeraskan suara ketika membaca amin). Di dalamnya
dinukil perkataan (atsar) bahwa Ibnu Al- Zubair membaca amin bersama para
makmum sampai seakan-akan ada gaung dalam masjidnya.
Juga perkataan Nafi' (maula Ibnu Umar):
Dulu Ibnu Umar selalu membaca aamiin dengan suara yang keras. Bahkan dia
menganjurkan hal itu kepada semua orang. Aku pernah mendengar sebuah kabar
tentang anjuran dia akan hal itu."
Hukum Bagi Makmum:
Dalam hal ini ada beberapa petunjuk dari
Nabi (Hadits), atsar para shahabat dan perkataan para ulama.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata: "Jika imam membaca amiin maka hendaklah kalian juga membaca
amiin."
Hal ini mengisyaratkan bahwa membaca
amiin itu hukumnya wajib bagi makmum. Pendapat ini dipertegas oleh Asy
Syaukani. Namun hukum wajib itu tidak mutlak harus dilakukan oleh makmum.
Mereka baru diwajibkan membaca aamiin ketika imam juga membacanya.
Adapun bagi imam dan orang yang sholat
sendiri, maka hukumnya hanya sunnah. (lihat Nailul Authaar, II/262).
"Bila imam selesai membaca ghoiril
maghdhuubi 'alaihim waladhdhooolliin, ucapkanlah amiin [karena malaikat juga
mengucapkan amiin dan imam pun mengucapkan amiin]. Dalam riwayat lain:
"(apabila imam mengucapkan amiin, hendaklah kalian mengucapkan amiin)
barangsiapa ucapan aminnya bersamaan dengan malaikat, (dalam riwayat lain
disebutkan: "bila seseorang diantara kamu mengucapkan amin dalam sholat
bersamaan dengan malaikat dilangit mengucapkannya), dosa-dosanya masa lalu
diampuni." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari, Muslim, An
Nasai dan Ad Darimi)
Syaikh Al Albani mengomentari masalah
ini sebagai berikut:
"Aku berkata: Masalah ini harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan dengan cara meninggalkannya. Termasuk kesempurnaan dalam mengerjakan masalah ini adalah dengan membarengi bacaan amin sang imam, dan tidak mendahuluinya. (Tamaamul Minnah hal. 178)
@
Membaca Surah Setelah Al Fatihah
Membaca surat Al Qur an setelah membaca Al Fatihah dalan
sholat hukumnya sunnah karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
membolehkan tidak membacanya. Membaca surat Al Quran ini dilakukan pada dua
roka'at pertama. Banyak hadits yang menceritakan perbuatan Nabi shallallahu
'alaihi wasallam tentang itu.
Panjang Pendeknya Surat Yang Dibaca
Pada sholat munfarid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam membaca surat-surat yang panjang kecuali dalam kondisi sakit atau sibuk,
sedangkan kalau sebagai imam disesuaikan dengan kondisi makmumnya (misalnya ada
bayi yang menangis maka bacaan diperpendek).
Rasulullah berkata: "Aku melakukan sholat dan aku
ingin memperpanjang bacaannya akan tetapi, tiba-tiba aku mendengar suara tangis
bayi sehingga aku memperpendek sholatku karena aku tahu betapa gelisah ibunya
karena tangis bayi itu." (Muttafaq 'alaih)
Cara Membaca Surat
Dalam satu sholat terkadang beliau membagi satu surat
dalam dua roka'at, kadang pula surat yang sama dibaca pada roka'at pertama dan
kedua. (berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Abu Ya'la, juga
hadits shahih yang dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Al Baihaqi atau
riwayat dari Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim, disahkan oleh Al Hakim
disetujui oleh Ad Dzahabi)
Terkadang beliau membolehkan membaca dua surat atau lebih
dalam satu roka'at. (Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari
dan At Tirmidzi, dinyatakan oleh At Tirmidzi sebagai hadits shahih)
Tata Cara Bacaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasanya membaca surat
dengan jumlah ayat yang berimbang antara roka'at pertama dengan roka'at kedua.
(berdasar hadits shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim)
Dalam sholat yang bacaannya dijahrkan Nabi membaca dengan
keras dan jelas. Tetapi pada sholat dzuhur dan ashar juga pada sholat maghrib
pada roka'at ketiga ataupun dua roka'at terakhir sholat isya' Nabi membacanya
dengan lirih yang hanya bisa diketahui kalau Nabi sedang membaca dari gerakan
jenggotnya, tetapi terkadang beliau memperdengarkan bacaannya kepada mereka
tapi tidak sekeras seperti ketika di-jahr-kan. (Berdasarkan hadits yang
dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sering membaca
suatu surat dari awal sampai selesai selesai. Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam berkata: "Berikanlah setiap surat haknya, yaitu dalam setiap
(roka'at) ruku' dan sujud." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Abi
Syaibah, Ahmad dan 'Abdul Ghani Al-Maqdisi)
Dalam riwayat lain disebutkan: "Untuk setiap satu
surat (dibaca) dalam satu roka'at." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam
Ibnu Nashr dan At Thohawi)
Dijelaskan oleh Syaikh Al Albani: "Seyogyanya kalian
membaca satu surat utuh dalam setiap satu roka'at sehingga roka'at tersebut
memperoleh haknya dengan sempurna." Perintah dalam hadits tersebut
bersifat sunnah bukan wajib.
Dalam membaca surat Al Quran Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam melakukannya dengan tartil, tidak lambat juga tidak cepat
-sebagaimana diperintahkan oleh Allah- dan beliau membaca satu per satu
kalimat, sehingga satu surat memerlukan waktu yang lebih panjang dibanding
kalau dibaca biasa (tanpa dilagukan). Rasulullah berkata bahwa orang yang
membaca Al Quran kelak akan diseru: "Bacalah, telitilah dan tartilkan
sebagaimana kamu dulu mentartilkan di dunia, karena kedudukanmu berada di akhir
ayat yang engkau baca." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud
dan At Tirmidzi, dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat Al
Quran dengan suara yang bagus, maka beliau juga memerintahkan yang demikian
itu: "Perindahlah/hiasilah Al Quran dengan suara kalian [karena suara yang
bagus menambah keindahan Al Quran]." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam
Al Bukhari , Abu Dawud, Ad Darimi, Al Hakim dan Tamam Ar Razi)
"Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak
melagukan Al Quran." (Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al Hakim,
dishahihkan oleh Al Hakim dan disetujui oleh Adz Dzahabi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar