As-Salamu ‘alaikum
Saya ingin bertanya : Bagaimana hukum bekerja sebagai pegawai negeri,
karena sumber dana pemerintah selain dari dana halal juga dari dana yang tidak
jelas seperti pariwisata, pajak? Apakah ada perincian lagi, kalau instasi pajak
atau pariwisata tidak boleh tapi instasi lain boleh? Apakah kita termasuk wala’
(loyalitas –red) kepada taghut jika kita bekerja di sana?
Jawab:
Wa’alaikumus Salam wa Rahmatullahi wa Barakatuhu.
Dalam soal pertama ini ada tiga permasalahan penting yang membutuhkan
keterangan yang jelas, apalagi pada zaman sekarang, dimana mayoritas manusia
begitu ambisi mengejar dunia dan acuh terhadap hukum-hukum agama sehingga tidak
memperdulikan lagi apakah pekerjaan yang dia geluti selama ini diridhai oleh
Allah ataukah tidak. Kita memohon kepada Allah bimbingan dan petunjuk untuk
menjawab masalah penting ini dengan jawaban yang diridhaiNya dan memberikan
rizki yang halal kepada kita serta menjauhkan kita semua dari rizki yang haram.
Amiin.
A.
Hukum Bekerja Sebagai Pegawai Negeri
Sebelum kita memasuki inti permasalahan, ada baiknya kita memahami beberapa
point penting berikut:
1.
Syari’at Islam menganjurkan kepada kita untuk bekerja dan memberikan
kebebasan kepada kita dalam memilih pekerjaan apa saja selagi pekerjaan
tersebut halal.
Demikian
ditegaskan oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 5/425, Al-Muru’ah wa Khowarimuha
205, Syaikh Masyhur bin Hasan Salman).
عَنْ رِفَاعَةَ
بْنِ رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ سُئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ
أَطْيَبُ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ
Dari Rifa’ah bin
Rafi’ bahwasanya Nabi pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau
menjawab: “Pekerjaan seorang dengan tangannya sendiri dan setiap perdagangan
yang baik”. (Shahih li ghairihi. Riwayat Al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful
Astar 2/83/1257)
عَنِ
الْمِقْدَامِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ, وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Dari Miqdam dari
Nabi bahwa beliau bersabda: Tidaklah seorang memakan makanan yang lebih baik
daripada makanan dari hasil tangannya sendiri, dan adalah Nabiyullah Dawud
makan dari hasil pekerjaannya sendiri”. (HR. Bukhari 2076)
2.
Dan juga berdasarkan kaidah berharga “Asal dalam muamalat adalah boleh dan
halal”.
Oleh karenanya,
apabila kita membaca sirah para salaf, niscaya akan kita dapati bahwa mereka
berbeda-beda pekerjaannya, ada yang menjadi pedagang, petani, tukang kayu,
tukang besi, tukang sepatu, penjahit baju, pembuat roti, pengembala, buruh dan
seabrek pekerjaan lainnya.
3.
Ketahuilah bahwa Syari’at membagi pekerjaan menjadi dua macam:
Pertama, Pekerjaan haram, seperti bekerja sebagai penyanyi, dukun, penjual khamr,
pekerja di bank riba, pelacur, pencuri dan sejenisnya dari pekerjaan-pekerjaan
yang dilarang oleh syari’at Islam.
Kedua, Pekerjaan mubah, contohnya banyak sekali, hanya saja sebagian ulama menyebutkan
bahwa “Pokok pekerjaan itu ada tiga: Tani, dagang, industri”. (Al-Hawi Al-Kabir
19/180, Al-Mardawi).
Syaikh Masyhur bin
Hasan menambahkan: “Dan diantara pokok pekerjaan pada zaman kita sekarang
-selain tiga di atas- adalah bekerja sebagai “pegawai” dengan aneka macamnya. Hanya
saja terkadang sebagiannya bercampur dengan hal-hal yang haram atau makruh
tergantung keadaan jenis pekerjaan itu sendiri. Para pekerjanya secara umum
banyak mengeluh dari kurangnya barakah. Di samping itu, pekerjaan ini juga
menimbulkan dampak negatif bagi mayoritas pegawai, diantaranya:
a.
Kurangnya tawakkal kepada Allah dalam rezeki
b.
Banyaknya korupsi dan suap
c.
Malas dalam bekerja dan kurang perhatian
d.
Sangat ambisi dengan gajian akhir bulan
e.
Banyaknya sifat nifaq di depan atasan”.
(Lihat Al-Muru’ah
wa Khowarimuha hal. 193-206).
4.
Bekerja sebagai pegawai negeri -sebagaimana pekerjaan secara umum-
diperinci menjadi dua:
Pertama, Apabila pekerjaan tersebut tidak ada kaitannya dengan perkara-perkara
haram, maka hukumnya boleh, bahkan bisa jadi dianjurkan.
Kedua, Apabila pekerjaan tersebut berhubungan dengan perkara-perkara haram
seperti pajak, pariwisata haram, bank ribawi dan sejenisnya, maka hukum
kerjanya juga haram, karena itu termasuk tolong-menolong dalam kejelekan yang
jelas diharamkan dalam Islam.
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ
تَعَاوَنُوْا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ
شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Dan tolong
menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan
pelanggaran. Dan bertaqawalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksaNya . (QS. Al-Maidah: 2)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : لَعَنَ رَسُوْلُ
اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir berkata:
Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberinya, sekretarisnya dan dua saksinya.
Dan beliau bersabda: Semuanya sama. (HR. Muslim: 1598)
B.
Hukum Gaji Dari Pemerintah
Gaji pegawai negeri tergantung kepada pekerjaan itu sendiri:
1.
Apabila dari pekerjaan yang haram, maka gajinya juga haram. Nabi bersabda:
إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya
Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan pula hasil
(upahnya)”. (HR. Ahmad 1/247, 293 dan Abu Dawud 3488 dan dishahihkan Ibnu
Qayyim dalam Zadul Ma’ad 5/661)
عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدِ الأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud
Al-Anshari bahwasanya Rasulullah melarang dari uang hasil jual anjing, mahar
(upah) pelacur dan upah dukun. (HR. Bukhari 2237 dan Muslim 3985)
2.
Apabila gajinya dari pekerjaan yang halal, maka gajinya juga halal,
sekalipun sumber dana pemerintah yang digunakan sebagai gaji tersebut bercampur
antara halal dengan haram, selagi dia tidak mengetahui bahwa uang gaji yang dia
terima jelas-jelas haram.
Lebih jelasnya, masalah ini dibangun di atas beberapa kaidah:
Asal segala sesuatu adalah halal
Kaidah agung ini berdasarkan dalil-dalil yang banyak sekali dari Al-Qur’an
dan sunnah. Sumber dana pemerintah yang bercampur antara halal, haram dan
syubhat, selagi tidak diketahui secara pasti bahwa uang yang dia terima adalah
uang haram maka termasuk dalam kaidah ini. Patokan masalah ini tergantung pada
keyakinan hati, bukan pada kenyataan perkara, artinya jika dia mengambil uang
gaji tersebut yang kenyataannya adalah tidak halal tetapi dia tidak
mengetahuinya maka hukumnya boleh.
Para ulama ahli fiqih menyebutkan bahwa harta yang di tangan para pencuri,
atau titipan dan pergadaian yang tidak diketahui pemiliknya apabila tidak
mungkin untuk dikembalikan kepada pemiliknya maka wajib dishodaqohkan atau
diberikan ke baitul mal, dan harta tersebut bagi orang yang diberi shodaqoh
adalah halal, padahal telah dimaklumi bersama bahwa harta tersebut adalah
jelas-jelas milik orang lain yang tidak bisa dikembalikan kepada pemiliknya.
Jika harta tersebut saja halal, maka harta yang tidak diketahui keadaannya dan
tidak dipastikan kejelasannya tentu saja lebih jelas kehalalannya.
Agama Islam dibangun di atas kemaslahatan dan membendung kerusakan
Dana pemerintah tersebut pasti diberikan, mungkin diberikan kepada orang
yang tidak berhak menerimanya, atau kepada orang yang berhak menerimanya, dan
tentu saja yang kedua ini lebih berhak menerimanya. Seandainya ahli agama yang
berhak menerimanya tidak mau menerima uang dari dana pemerintah tersebut lalu
diambil oleh orang yang tidak berhak menerimanya, maka akan terjadi kerusakan
yang banyak sekali dan akan terhambat kemaslahatan yang banyak, padahal
syari’at Islam dibangun di atas kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan.(Lihat
Al-Ajwibah As-Sa’diyyah ‘anil Masaail Al-Kuwaitiyyah hal. 163-164 oleh Syaikh
Abdur Rahman As-Sa’di, tahqiq Dr. Walid bin Abdillah).
Rasulullah menerima hadiah dan memenuhi undangan makanan dari Yahudi,
padahal kita tahu semua bahwa Yahudi memakan uang dengan bathil dari riba dan
lain sebagainya. Lantas bagaimana kiranya hukum menerimanya dari seorang
muslim?! Jelas lebih halal.
C.
Apakah Bekerja Di Pemerintahan Termasuk Wala’ (loyalitas) Kepada Taghut?
Ada beberapa point penting yang harus kita fahami dalam masalah ini:
·
Masalah berhukum dengan selain Allah termasuk masalah basar yang menimpa
para pemerintah pada zaman kita sekarang, maka hendaknya kita tidak
tergesa-gesa dalam menghukumi mereka dengan hukum yang tidak berhak bagi mereka
sehingga masalahnya benar-benar jelas bagi kita, karena ini sangat berbahaya
sekali. Kita memohon kepada Allah agar memperbaiki para penguasa kaum muslimin.
(Syarh Tsalatsah Utsul hal. 159 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin).
·
Menvonis para pemerintah yang tidak berhukum dengan selain Allah dengan
taghut berarti itu mengkafirkan mereka, ini jelas keliru karena madzhab salaf
memerinci masalah ini; apabila dia berhukum dengan selain hukum Allah dari
undang-undang manusia dan hukum-hukum jahiliyyah, dengan mengingkari wajibnya
berhukum dengan hukum Allah, atau berpendapat bahwa hukum Allah tidak relevan
pada zaman sekarang, atau berpendapat sama saja berhukum dengan hukum
Allah atau selainnya maka dia kafir, tetapi apabila dia berhukum dengan
mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah dan tidak mengingkarinya, tetapi
karena ambisi terhadap dunia, maka dia adalah fasiq. (Lihat kembali makalah
“Hukum Islam Vs Hukum Jahiliyyah” dalam Al Furqon edisi 11/Th.III, “Fitnah
Takfir” edisi 10/Th. III, “Berhukum Dengan Hukum Allah” edisi 8/Th. IV).
·
Anggaplah kalau mereka memang melakukan kekufuran nyata, bukankah
menvonisnya dengan kekafiran memiliki kaidah-kaidah yang tidak ringan?! Harus
terpenuhi syarat dan hilang segala penghalangnya?! Sudahkah kita menegakkan
hujjah kepada mereka?! Bukankah mayoritas mereka melakukannya karena kebodohan
dan taklid buta?!
·
Anggaplah juga bahwa pemerintah adalah taghut dan kafir, tetap tidak
bisa kita pukul rata bahwa setiap para pegawai pemerintahnya adalah
kafir. Sungguh ini adalah pemikiran menyimpang Khawarij yang sesat, karena
haramnya wala’ (loyalitas) kepada orang-orang kafir bukan berarti haramnya
muamalah dengan mereka dalam hal-hal yang mubah (boleh). Itu kalau kita anggap
bahwa pemerintah kafir, lantas bagaimana kiranya kalau pemerintah masih
mendirikan shalat?! (Lihat tulisan “Pembaikotan Produk Orang Kafir” edisi
12/Th. IV)
Akhirnya, kami mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Syaikh Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan -semoga Allah menjaganya-:
“Saya tidak percaya kalau ada seorang muslim yang wala’ (loyal) terhadap
orang-orang kafir, tetapi kalian mengartikan wala’ (loyal) bukan pada
tempatnya. Kalaulah memang ada yang loyal kepada orang kafir, maka dia adalah
orang yang jahil atau non muslim. Adapun orang muslim maka dia tidak mungkin
loyal kepada orang kafir, tetapi ada beberapa perkara yang kalian menganggapnya
loyal padahal tidak, seperti jual beli dengan orang kafir atau memberi hadiah
orang kafir…”. (Al-Fatawa Syar’iyyah fil Qodhoya ‘Ashriyyah hal. 95, kumpulan
Muhammad Fahd Al-Hushayyin).
Akhirnya, kita berdoa kepada Allah agar menambahkan bagi kita ilmu yang
bermanfaat dan meneguhkan kita di atas agamaNya. Amiin.
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar