Rabu, 02 Desember 2015

Harta Gono-Gini Menurut Syariat

Harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Demikianlah pengertian harta gono-gini yang sesuai dengan pasal 35 UU Perkawinan di Indonesia, harta gono-gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Hal ini karena harta dalam sebuah keluarga mempunyai tiga kemungkinan:

Pertama, harta miliki suami saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa ada sedikit pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta suami sebelum menikah, atau harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.

Kedua, harta milik istri saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh istri saja tanpa ada sedikit pun kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta milik istri sebelum menikah, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa harus mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri, dan lain-lain.

Ketiga, harta milik bersama. Misalnya harta yang dihibahkan seseorang kepada suami istri, atau harta benda semisal rumah, tanah, atau lainnya yang dibeli dari uang mereka berdua, atau harta yang mereka peroleh setelah menikah dan suami serta istri sama-sama kerja yang menghasilkan pendapatan dan sebagainya. Yang ketiga inilah yang kemudian diistilahkan dengan harta gono-gini.

Namun harta yang diperoleh sebuah keluarga tidak mesti secara langsung otomatis menjadi harta gono-gini. Perinciannya sebagai berikut:

Secara umum suamilah yang bekerja dan bertanggung jawab atas nafkah dan ekonomi keluarga. Ini banyak disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya. (di antaranya dalam QS. Ath Thalaq: 7)

Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit. Dia tidak memberi harta yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang saya ambil sendiri tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda, “Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari no.5364 dan Muslim no.1714).

Dari Hakim bin Mu’awiyah dari bapaknya berkata: Saya bertanya, “Ya Rasulullah apakah hak istri kami?” Beliau bersabda, “Engkau memberinya makan jika kamu makan, engkau memberinya pakaian jika kamu berpakaian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Al-Irwa’: 2033)

Sesungguhnya, pernikahan adalah tali perekat terkuat yang menyatukan antara dua insan yang saling mencintai. Begitu kuatnya, sampai-sampai menjadikan dua insan yang berbeda seakan menyatu. Menyatu dalam urusan rasa, duka, suka, cita-cita, harta dan lainnya.
Begitu eratnya hubungan mereka sampai-sampai berbagai batasan personal antara mereka seakan sirna. Mereka bahu membahu membangun bahtera rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Kebahagian suami adalah kebahagian istri, dan sebaliknyapun juga demikian, kebahagiaan istri adalah sumber kebanggaan suami.

Sebagaimana keeratan hubungan antara suami istri ini menjadikan batasan harta-harta mereka tersamarkan. Sehingga dalam banyak kasus sulit membedakan antara harta milik suami dengan hak milik istri. Akibatnya terjadi kesusahan ketika salah satu dari mereka meninggal dunia, dan hendak diadakan pembagian warisan. Kondisi serupa juga terjadi pada saat mereka berdua terpaksa mengakhiri hubungan mereka melalui perceraian atau lainnya.
Untuk menyelesaikan masalah ini, biasanya masyarakat kita menempuh tradisi gono-gini, yaitu membagi sama rata seluru harta yang dimiliki sejak awal pernikahan.

Mengenal Harta Gono-gini

Yang dimaksud dengan harta gono-gini (harta bersama) yaitu semua harta yang diperoleh selama pernikahan. Dengan demikian, semua harta yang diperoleh atas jerih payah suami bersama isteri atau oleh suami seorang diri secara hukum positif dihukumi sebagai harta bersama. Demikianlah penjabaran harta bersama yang termaktub pada pasal 35, dari UU Perkawinan No 1, thn 1974, .

Karena harta tersebut adalah milik bersama maka konsekwensinya:

·         Suami atau istri hanya dapat menggunakannya bila mendapat persetujuan dari pasangannya. Suami atau istri tidak dapat menjual, atau menggadaikan atau menghibahkan harta ini semaunya sendiri, tanpa restu dari pihak kedua. Ketentuan ini termaktub dengan jelas pada pasal 36 dari Undang-undang Perkawinan.

·         Apabila tali perkawinan antara mereka putus karena perceraian, maka menurut Undang-Undang ini, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sebagaimana ditegaskan ada pasal 37. Dan pada penjelasan pasal 37, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” mencakup hukum agama, adat dan lainnya.

Walaupun mayoritas masyarakat beragama Islam, namun dalam hal ini kebanyakan mereka memilih hukum adat untuk menyelesaikannya. Yang demikian itu, karena masing-masing dari suami atau istri berhasrat kuat untuk mendapatkan bagian terbesar, paling kurang 50 % dari total harta yang mereka anggap sebagai harta gono gini.

Tinjauan Syariat Harta Gono-gini.

Sebagai seorang muslim yang patuh beragama, anda pasti penasaran ingin mengetahui status hukum Syariat harta gono-gini seperti yang dimaksudkan di atas. Terlebih bila anda menyadari bahwa status harta gono-gini semacam ini erat kaitannya dengan budaya lokal masyarakat kita. Wajar bila anda tidak menemukan sebutan harta gono-gini dalam berbagai referensi ilmu Islam. Bahkan yang anda temukan sebaliknya, yaitu adanya pemisahan antara harta suami dari harta istri.

Berikut beberapa hukum Syariat yang dapat menjadi petunjuk kuat bahwa Islam tidak mengenal istilah “harta bersama/gono-gini”. Berikut berapa bukti nyata akan ketentuan hukum ini:

1.     Mas kawin sepenuhnya milik istri.

Diantara bukti nyata penyimpangan status gono-gini ialah adanya mas kawin pada setiap pernikahan. Dengan tegas Al Qur’an menjelaskan bahwa mas kawin adalah sepenuhnya milik istri dan tidak halal bagi suami untuk mengambilnya kecuali atas kerelaan istrinya. Allah berfirman, yang artinya:

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 4)

Bahkan Al-Qur’an mengharamkan atas suami untuk mengambil kembali mas kawin yang telah ia berikan kepada istrinya, walau hanya sedikit. Allah berfirman, yang artinya
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali harta itu barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.” (QS. An Nisa’: 20).

2.     Kewajiban nafkah atas suami.

Diantara bukti nyata bahwa secara syariat harta istri terpisah dari harta suami sehingga tidak ada status harta gono gini ialah kewajiban nafkah atas suami terhadap istrinya. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya,
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (QS. Al-Baqarah: 233).

Pada suatu hari sahabat Mu’awiyah Al Qusyairi bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Ya Rasulullah, apakah hak-hak istri yang kita tunaikan?

Beliau menjawab:
“Engkau memberinya makan bila engkau memiliki makanan, memberiya pakaian bila engkau memiliki pakaian. Dan janganlah engkau memukul wajahnya, mencelanya dengan mengatakan: “semoga Allah menjelekkan wajahmu”, dan janganlah engkau mengucilkannya kecuali di dalam rumahmu sendiri.” (HR. Abu Dawud).

Anggapan bahwa seluruh harta yang diperoleh selama masa pernikahan adalah milik berdua sama rata, bertentangan dengan ketentuan kewajiban nafkah suami kepada istrinya.

3.     Istri berhak mengajukan gugatan hukum atas nafkahnya yang tertunda

Hak istri untuk mendapat nafkah dari suaminya telah jelas. Bahkan bila suami tidak patuh hukum sehingga menelantarkan istrinya, maka istri berhak mengajukan gugatan hukum terhadap suaminya. Secara hukum, istri berhak mengajukan gugatan cerai, atau gugatan agar suaminya patuh hukum dengan memberi nafkah kepada istrinya tanpa syarat.

Aisyah radhiallahu ‘anha mengisahkan: Suatu hari Hindun binti ‘Utbah istri Abu Sufyan mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata: Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah lelaki pelit. Ia tidak memberiku nafkah yang mencukupi kebutuhanku dan kebutuhan anak-anakku, kecuali bila aku secara sembunyi-sebunyi dan tanpa sepengetahuannya mengambil sebagian hartanya.

Apakah aku berdosa melakukan yang demikian itu?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Silahkan engkau mengambil dari hartanya dalam jumlah yang sewajarnya sesuai dengan kebutuhanmu dan kebutuhah anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘Alaih).

Dengan jelas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut harta Abu Sufyan adalah miliknya dan bukan milik bersama. Sementara istrinya hanya diizinkan untuk mengambil jatah nafkah yang cukup untuknya. Andai ada status harta gono-gini, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa harta Abu Sufyan adalah harta milik Hindun juga.

4.     Suami miskin, berhak menerima zakat istrinya

Dikisahkah bahwa Zaenab istri sahabat Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rencananya menyalurkan zakatnya kepada suaminya yang miskin. Menanggapi pertanyaan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Iya, zakatnya sah, dan ia mendapat dua pahala; pahala kekerabatan dan pahala sedekah.” (Muttafaqun ‘alaih).

Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa seorang istri yang kaya dapat menyalurkan zakatnya kepada suaminya yang miskin. (Simak Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 2/545 dan Subulus Salam oleh As-Shan’any 2/143).

Andai ada sistem gono-gini pada suami dan istri, niscaya bila istri kaya, maka suami secara otomatis turut menjadi kaya, dan demikian pula sebaliknya. Bila demikian halnya, maka tidak mungkin ada seorang istri berkewajiban membayar zakat sedangkan suaminya tidak mampu.

5.     Adanya hukum waris antara suami istri

Allah Azza wa Jala menegaskan hal ini pada ayat berikut, yang artinya,
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.” (QS. An Nisa’: 12)

Berbagai hukum di atas dan lainnya menjadi bukti nyata bahwa status gono gini cacat secara Syariat.

Masalah Dan Solusi Harta Gono-gini

Rendahnya kesadaran masyarakat tentang hukum syariat, sering kali menyebabkan kepemilikan harta dalam rumah tangga menjadi samar. Dan keberadan adat “harta gono-gini” semakin memperburuk kondisi, sehingga suami dan istri tidak ada kesadaran untuk mengenali hartanya masing-masing.

Biasanya, kesadaran baru muncul setelah terjadi sengketa atau perceraian. Namun tentunya kesadaran yang telat datangnya ini tidak banyak berguna; mengingat dalam kondisi semacam ini kedua belah pihak kesulitan untuk menelusuri status kepemilikan seluruh harta kekayaan yang ada.

Untuk mengurai kebuntuan status seperti dalam kondisi ini, maka secara syariat anda harus mengenali tingkat kontribusi keduanya dalam kepemilikan harta yang dianggap sebagai “harta gono-gini”.

1.     Istri tidak memiliki kontribusi

Pada kondisi semacam ini, istri sama sekali tidak berhak mengajukan tuntutan harta gono-gini. Dan bila masalah mencuat karena perceraian, maka istri hanya berhak mendapatkan mut’ah (pemberian sebagai bentuk penghargaan), sebagaimana disebutkan pada ayat berikut, yang artinya,

“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah yang sewajarnya, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” (QS. Al-Baqarah: 241).

Adapun bila masalah ini muncul karena kematian suami, maka istri hanya berhak mendapatkan bagian dari warisan, sebagaimana yang ditegaskan di atas. Demikian pula halnya bila yang meninggal dunia adalah istri, maka suami hanya berhak mendapatkan bagian dari warisannya.

2.     Istri atau suami berkontribusi dalam kepemilikan harta

Gambarannya: suami istri sama-sama kerja atau saling bekerja sama dalam membangun ekonomi keluarga. Dan kebutuhan keluarga pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. sehingga sisanya berapa bagian dari harta suami dan berapa bagian dari harta istri tidak jelas. Dan inilah gambaran kebanyakan keluarga di negeri Indonesia.

Pada kondisi semacam ini, ada solusi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyelesaikan kasus serupa, yaitu sengketa kepemilikan harta yang masing-masing pihak telah kehilangan alat bukti.

Ummu Salamah mengisahkan: Suatu hari ada dua lelaki yang bersengketa perihal harta warisan datang menemui Rasulullah shalllalllahu ‘alaihi wa sallam. Keduanya sama-sama mengajukan klaim yang tidak didukung oleh alat bukti.

Sebelum Nabi shalllalllahu ‘alaihi wa sallam memutuskan, beliau terlebih dahulu memberikan petuah kepada mereka:

“Sejatinya aku adalah manusia biasa, sedangkan kalian berdua mengangkat persengketaan kalian kepadaku. Bisa jadi sebagian dari kalian lebih mahir dibanding lawannya dalam mengutarakan alasan. Dan berdasarkan keterangannya, aku membuat keputusan yang memenangkan klaimnya. Maka barang siapa yang aku menangkan klaimnya, sehingga aku memberinya sebagian dari hak saudaranya, maka hendaknya ia tidak mengambilnya walau hanya sedikit. Karena sejatinya dengan itu aku telah memotongkan sebongkah api neraka untuknya.”

Mendengar petuah ini, kedua sahabat tersebut menangis, dan masing-masing berkata: Bila demikian, maka lebih baik aku merelakan hakku untuknya.

Mengetahui bahwa di hati kedua orang yang pada awalnya bersengketa ini telah tumbuh kesadaran hukum, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Bila kalian berdua telah mengikrarkan yang demikian ini, maka silahkan kalian berdua membagi harta yang kalian perselisihkan, dan upayakan dengan maksimal agar pembagiannya benar. Selajutnya masing-masing dari kalian memaafkan saudaranya.” (HR. Abu Dawud).

Adapun jalan-jalan lain yang bisa ditempuh dalam kondisi yang kedua ini, harta gono-gini tersebut tidak mungkin dibagi kecuali dengan jalan sulh‘urf atau qadha (putusan).

Sulh sendiri adalah kesepakatan antara suami istri berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha. Dalil pensyariatan perdamaian suami istri antara lain:

Dari Katsir bin Abdillah bin Amr bin Auf al-Muzani, dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berdamai itu boleh dilakukan antara kaum muslimin, kecuali sebuah perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin itu tergantung pada syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi no.1370, Ahmad 2:366, dan Abu Dawud no. 3594)

Saat menerangkan hadis di atas, ash-Shan’ani berkata, “Para ulama telah membagi ash-shulh (perdamaian) menjadi beberapa macam: perdamaian antara muslim dan kafir, perdamaian antara suami dan istri, perdamaian antara kelompok yang bughat (zalim) dan kelompok yang adil, perdamaian antara dua orang yang mengadukan permasalahan kepada hakim, perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan perdamaian untuk memberikan sejumlah harta milik bersama dan hak-hak. Pembagian inilah yang dimaksud di sini, yakni pembagian yang disebut oleh para ahli fiqih dengan ash-shulh (perdamaian).

Dengan demikian berdasarkan dalil hadis Amr bin Auf al-Muzani di atas, jika suami istri berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara mereka, dapat ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh). Sebab, salah satu jenis perdamaianadlaah perdamaian antara suami istri, atau perdamaian tatkala ada persengketaan mengenai harta bersama.

Dengan jalan perdamaian ini, pembagian harta gono-gini bergantung pada musyawarah antara suami istri. Bisa jadi suami mendapat 50% dan istri 50% atau suami mendapat 30% dan istri 70%, pun suami bisa mendapat 70% dan istri 30%, dan boleh pula pembagian dengan nisbah (prosentase) yang lain. Semuanya dibenarkan syara’, selam merupakan hasil dari perdamaian yang telah ditempuh berdasarkan kerelaan masing-masing.

Memang, dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antar suami istri tidaklah dibagi kecuali masing-masing mendapat 50%. Dalam pasal 97 KHI disebutkan: “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Namun ketentuan dalam KHI ini bukanlah suatu putusan hukum yang paten, jika suami istri sepakat membagi harta dengan prosentase tertentu, maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.

Urf, merupakan adat kebiasaan yang berlaku di sebuah masyarakat, sehingga itu menjadi hukum di masyarakat tersebut. Para ulama sepakat ‘urf  bisa dijadikan salah satu acuan hukum. Dalam salah satu kaidah fikih disebutkan,
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum.”

Dengan syarat:
1.      Urf itu berlaku umum.
2.      Tidak bertentangan dengan nash syar’i.
3.      Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah kebiasaan yang baru saja terjadi.
4.      Tidak berbenturan dengan tashrih.

Jadi, jika dalam masalah harta gono-gini tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka dilihat apakah dalam masyarakat tersebut ada ‘urf yang berlaku tentang permasalahan harta gono-gini atau tidak. Jika ada, itulah yang diberlakukan. Wallahu a‘lam.

Qadha, jika tidak ada sulh dan ‘urf, barulah masuk dalam sistem terakhir, yaitu qadha. Qadha sendiri adalah keputusan yang ditetapkan oleh hakim setempat tentang masalah yang disampaikan kepadanya. Dalam kondisi ini seorang hakim harus melihat kepada kondisi suami istri tersebut, untuk bisa menentukan pembagian harta gono-gini secara baik. Dan dalam kondisi ini boleh bagi hakim untuk menggunakan hukum perdata yang berlaku di peradilan, selagi tidak bertentangan dengan hukum syariat Islam. 


Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar