Kamis, 03 Desember 2015

Status Harta Istri

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, Sudah disimpulkan bahwa kewajiban untuk nafkah kepada istri dan keluarga itu diambilkan dari harta suami.

Allah berfirman,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Wajib bagi setiap suami untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada istri, dengan sepantasnya.” (Q.S. Al-Baqarah:233)

Ayat di atas menunjukkan bahwa dalam sebuah keluarga hukum asal yang berlaku: sang suami memberikan nafkah kepada istri. Karena itu, dalam harta yang diperoleh suami, ada bagian yang harus diberikan kepada istri sebagai nafkah. Suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri termasuk perbuatan zalim, dan istri berhak untuk mengambilnya sesuai dengan kebutuhannya, tanpa harus izin kepada suaminya.

Dinyatakan dalam hadis dari Hindun binti Utbah radhiyallahu ‘anha, bahwa beliau mengadukan perihal suaminya (Abu Sufyan) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang pelit. Dia tidak memberikan harta yang cukup untuk kebutuhanku dan anak-anakku, kecuali jika aku mengambilnya tanpa sepengetahuannya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan,
خُذِي مَا يَكْفِيكِ  وَوَلَدَكِ، بِالْمَعْرُوفِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Ambillah hartanya, yang cukup untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu, sewajarnya.”

Ayat dan hadis di atas memberikan konsekuensi sebaliknya; bahwa wanita tidak wajib memberikan hartanya kepada suaminya.  Harta istri sepenuhnya menjadi milik istri, dan dia tidak berkewajiban memberikan sebagian hartanya tersebut kepada suaminya. Sehingga, wanita berhak mengeluarkan hartanya untuk kepentingannya atau untuk sedekah, tanpa harus meminta izin kepada suaminya.

Di antara dalilnya adalah hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berceramah di hadapan jamaah wanita,
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ
Wahai para wanita, perbanyaklah sedekah, karena saya melihat kalian merupakan mayoritas penghuni neraka.”

Seketika itu, para wanita itu pun berlomba-lomba menyedekahkan perhiasan mereka, dan mereka melemparkannya di pakaian Bilal. (H.R. Muslim 304).

Dalil yang lainnya adalah hadis dari Abu Said Al-Khudri, bahwa suatu ketika, Zainab (istri Ibnu Mas’ud) hendak membayar zakat perhiasan yang dia miliki. Kemudian beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bolehkah istri memberikan zakatnya kepada suaminya dan anak yatim dalam asuhannya?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَعَمْ، لَهَا أَجْرَانِ، أَجْرُ القَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ
Ya, silakan. Dia mendapat dua pahala: pahala menjaga hubungan kekerabatan dan pahala bersedekah.” (HR. Bukhari 1466)

Si Istri (istri Ibnu Mas’ud) bersedekah kepada suaminya (Ibnu Mas’ud) karena Ibnu Mas’ud adalah orang yang miskin, sementara istrinya kaya. Ini menunjukkan bahwa harta istri murni menjadi miliknya dan suami sedikitpun tidak turut memilikinya. Jika suami turut memilikinya, tentu saja suami tidak boleh mendapatkan zakat dari harta istrinya. Ini berbeda ketika suami kaya sementara istri tidak mampu, suami tidak beleh memberikan zakatnya kepada istrinya. Karena suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya.

Bolehkah Suami Mengambil Harta Istri?


Allah menegaskan bahwa harta istri itu murni menjadi miliknya, dan tidak ada seorangpun yang boleh mengambilnya kecuali dengan kerelaan istri. Dalil kesimpulan ini adalah ayat tentang mahar,
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 4)

Fatawa Syabakah Islamiyah menjelaskan tafsir ayat ini,
والآية الكريمة علقت جواز أخذ مال الزوجة على أن يكون بطيب النفس وهو أبلغ من مجرد الإذن، فإن المرأة قد تتلفظ بالهبة والهدية ونحو ذلك بسبب ضغط الزوج عليها مع عدم رضاها بإعطائه، وعلم من هذا أن المعتبر في تحليل مال الزوجة إنما هو أن يكون بطيب النفس
Ayat di atas menjelaskan bahwa suami boleh mengambil harta istri jika disertai kerelaan hati. Dan kerelaan hati itu lebih dari sebatas izin. Karena terkadang ada wanita yang dia menghibahkan atau menghadiahkan hartanya atau semacamnya, disebabkan tekanan suami kepadanya. Sehingga diberikan tanpa kerelaan. Disimpulkan dari sini, bahwa yang menjadi acuan tentang halalnya harta istri adalah adanya kerelaan hati. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 32280)

Jika harta mahar, yang itu asalnya dari suami diberikan kepada istrinya, tidak boleh dinikmati suami kecuali atas kerelaan hati sang istri, maka harta lainnya yang murni dimiliki istri, seperti penghasilan istri atau warisan milik istri dari orang tuanya, tentu tidak boleh dinikmati oleh suaminya kecuali atas kerelaan istri juga.

Dalam Fatwa Islam ditegaskan,
وأما بخصوص راتب الزوجة العاملة : فإنه من حقها ، وليس للزوج أن يأخذ منه شيئاً إلا بطِيب نفسٍ منها
”Khusus masalah gaji istri yang bekerja, semuanya menjadi haknya. Suami tidak boleh mengambil harta itu sedikitpun, kecuali dengan kerelaan hati istrinya.” (Fatwa Islam, no. 126316) .

Kami menasehatkan kepada para suami yang mengambil harta istrinya tanpa kerelaannya, atau tidak memberikan nafkah dalam batas wajar kepada istrinya, hendaknya dia bertaubat kepada Allah. Karena tindakannya adalah kedzaliman, yang pasti akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Yang Maha Melihat dan Mendengar semua perbautan hamba-Nya.

Hukum Mengumpulkan Harta Suami-Istri untuk Keperluan Rumah Tangga?


Apabila seorang istri merelakan hartanya digabung dengan harta suami untuk keperluan bersama, maka hal itu diperbolehkan dengan syarat istri tersebut seorang yang peduli dengan hartanya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
Jika istrimu berbuat baik kepadamu (memberikan sebagian mas kawin tersebut kepadamu), maka terimalah dan makanlah dengan senang hati.” (QS. An-Nisaa’: 4).

Adapun, jika istri tersebut seorang yang tidak pernah mempedulikan hartanya (pemboros), maka Anda tidak boleh mengambil hartanya sedikitpun. Sebaliknya, Anda harus menjaga hartanya untuk kepentingan dirinya. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong kita semua agar kita senantiasa melaksanakan segala sesuatu yang Dia ridhai.

Sumber: Fatawa Syaikh Bin Baaz Jilid 2, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz,


Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar