Jumat, 27 Mei 2016

Hukum Seseorang Mencium Putrinya atau Mahram yang Lain

Kita tidak menyangsikan bahwa seorang ayah adalah mahram bagi putrinya dan dibolehkan bagi si putri untuk tidak berhijab di hadapan ayahnya. Yang mungkin jadi pertanyaan, bolehkah seorang ayah mencium putrinya yang sudah baligh dan sebaliknya?

Jawaban dari pertanyaan ini adalah perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap putrinya, Fathimah radhiallahu ‘anha, sebagaimana dikisahkan Aisyah radhiallahu ‘anha,
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ كَانَ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ كَلاَمًا وَلاَ حَدِيْثًا وَلاَ جِلْسَةً مِنْ فَاطِمَةَ. قَالَتْ  : وَكَانَ النَّبِيُّ إِذَارَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا، ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ، وَكاَنَ إِذَا أَتَاهَاالنَّبِيُّ رَحَّبَتْ بِهِ، ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ucapan, berbicara maupun duduk daripada Fathimah. Biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang (ucapan tarhib: Marhaban –pen.) padanya. Lalu beliau berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian menggamit lengannya dan membimbingnya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Demikian pula jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada Fathimah, Fathimah mengucapkan selamat datang kepada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggamit lengannya lalu mencium beliau.” (Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Adabil Mufrad no. 725)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah memberi jawaban dari pertanyaan di atas dengan fatwa beliau sebagai berikut, “Tidak ada dosa bagi seorang ayah untuk mencium putrinya yang sudah besar ataupun yang masih kecil tanpa disertai syahwat.

Namun ciuman itu diarahkan ke pipi putrinya apabila putrinya telah dewasa sebagaimana hal ini telah tsabit dari perbuatan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, beliau pernah mencium putrinya Aisyah radhiallahu ‘anha pada pipinya. (Dan ciuman itu tidak boleh pada bibirnya) karena ciuman pada bibir terkadang akan menggerakkan syahwat maka meninggalkannya lebih utama dan lebih hati-hati.

Demikian pula si putri, boleh baginya mencium ayahnya pada hidung atau kepalanya tanpa disertai syahwat. Adapun bila ciuman itu disertai  syahwat maka haram bagi semuanya (kecuali suami istri tentunya) dalam rangka menutup fitnah dan menutup perantara yang mengantarkan pada perbuatan fahisyah (keji).” (al- FatawaKitab ad-Da’wah 1/188, 189; Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 2/547)

Asy-Syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullah berkata, “Tidak sepantasnya seorang lelaki mencium ibunya pada bibirnya. Demikian pula seorang ibu tidak pantas mencium putranya pada bibirnya, sebagaimana tidak pantas seorang ayah mencium putrinya pada bibirnya, atau seorang lelaki mencium saudara perempuannya, atau bibinya atau salah seorang dari mahramnya pada bibirnya.

Ciuman pada bibir ini khusus untuk suami/istri karena akan membangkitkan syahwat bagaimanapun keadaannya. (Adapun selain bibir), tidak apa-apa seorang ibu mencium putranya pada bagian kepala atau keningnya, demikian pula seorang anak laki-laki boleh mencium kepala atau kening ibunya atau yang semisalnya.” (Siaran radio Nur ‘alad Darbseperti dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah, 2/546—547)

Perbuatan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu yang dimaksud asy-Syaikh Ibnu Baaz di atas adalah sebagaimana dikisahkan al-Bara’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu,
فَدَخَلْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى، فَرَأَيْتُ أَبَاهَا يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَقَالَ: كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّةُ؟
“Aku masuk bersama Abu Bakar menemui keluarganya, ternyata Aisyah putrinya sedang berbaring karena diserang sakit panas yang tinggi. Maka aku melihat ayahnya, Abu Bakar, mencium pipinya seraya bertanya, “Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?” (HR. al-Bukhari no. 3918)

Catatan: Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Secara pasti, masuknya al-Bara’ menemui keluarga Abu Bakar terjadi sebelum turunnya perintah berhijab dan ketika itu al-Bara’ belum berusia baligh, demikian pula Aisyah.” (Fathul Bari, 7/315)

Ibnu Abidin As-Dimasyqi rahimahullah berkata,
التقبيل على خمسة أوجه: قبلة المودة للولد على الخد، وقبلة الرحمة لوالديه على الرأس، وقبلة الشفقة لأخيه على الجبهة وقبلة الشهوة لامرأته وأمته على الفم وقبلة التحية للمؤمنين على اليد وزاد بعضهم، قبلة الديانة للحجر الأسود جوهرة.
“Ciuman itu ada lima macam:
1. Ciuman cinta, yaitu ciuman kepada anak di pipinya.
2. Ciuman kasih sayang, yaitu ciuman kepada ibu dan bapak di kepalanya.
3. Ciuman sayang, yaitu ciuman kepada saudara di dahinya.
4. Ciuman birahi, yaitu ciuman kepada istri atau budak perempuan di mulutnya.
5. Ciuman penghormatan, itulah ciuman di tangan untuk orang-orang yang beriman.
Sebagian ulama menambahkan yaitu ciuman sebagai ketaatan terhadap agama yaitu mencium batu hajar aswad.”

Namun hendaknya seorang muslim perhatikan keadaan, jika memang di daerahnya atau di tempatnya belum terbiasa melihat saudara laki-laki mencium pipi saudara perempuannya, atau bapak mencium pipi anak perempuannya lebih-lebih saudari atau anak perempuannya sudah memiliki suami. Sebaiknya tidak dilakukan karena hukumnya sekedar mubah. Sebagaimana kaidah fiqhiyah.
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat”

Demikian pembahasan singkat ini semoga bermanfaat.


Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar